Minggu, 06 April 2014

Era Kebangkitan



Era KEBANGKITAN KEMBALI
HUkum islam

BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
                Fenomena-fenomena yang terjadi pada akhir abad 12H/18M, merupakan wujud kesadaran dari kebangkitan kembali dunia Islam. Kebangkitan kembali dunia Islam dipengaruhi oleh dua faktor. Pertama,terjadinya kontak dunia barat. Kedua,timbulnya kesadaran dari kalangan ulama’, bahwa sudah banyak ajaran Islam yang telah menyimpang dari nilai-nilai ke Islaman. Hal ini memunculkan gerakan pembaruan Islam dalam berbagai lapangan dan bidang. Gerakan-gerakan ini, walaupun berbeda intensitasnya dan ekstensitasnya, namun pada hakikatnya merupakan refleksi dari kesadaran umat Islam terhadap kebekuan dan kejumudan yang telah  mengiring umat Islam kedalam belenggu keterpakuan tekstual yang memunculkan kesenjangan antara hukum dengan realitas sosial.
B.RUMUSAN MASALAH
1.       Apa sebabnya pada masa kebangkitan kembali timbul gerakan setelah munculnya kesadaran umat Islam akan adanya kelemahan dan kemunduran kaum muslimin?
2.       Mengapa gerakan ini muncul di daeran Arabia yang di komandani oleh Syekh Muhammad bin Abdullah bin Abdul Wahhab?


BAB II
PEMBAHASAN
1.Posisi Politik pada Masa Kebangkitan Kembali
A.      Kondisi Awal pada Masa Kebangkitan Fiqih
Periode ini, menurut Hasbi Ash-Shiddiqy disebut juga dengan periode renaisance. Berlangsung sejak abad ke 13H. Sampai sekarang (abad ke 20) disebut periode kebangkitan fiqih. Karena pada masa ini timbul ide, usaha dan gerakan-gerakan pembahasan dari takhlid yang terdapat dalam umat Islam, gerakan ini timbul setelah munculnya kesadaran umat Islam akan adanya kelemahan dan kemunduran kaum muslimin yang disebabkan oleh adanya prestasi dalam berbagai bidang kehidupan sehingga menimbulkan gerakan-gerakan keagamaan diberbagai negri Islam.[1]
Pada dasarnya, gerakan ini menyeru pada kebangkitan umat Islam, pengusiran terhadap penjajah, penembangan Ilmu pengetahuan Islam. Meninggalkan takhlid buta dan bid’ah dan kembali pada ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah.  Serta mengikuti metode ulama’ salaf (ulama’ sahabat dan ulama’ sebelum masa kemunduran) seruan ini senada dengan apa yang telah dikumandangkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu qoyyim pada periode yang lalu.[2]
Pengaruh yang ditinggalkan pada periode ini.
1.       Usaha pengkajian dan penulisan kitab-kitab fiqih
2.       Usaha menyusun hukum-hukum fiqih secara sistem undang-undang tanpa membatasi dengan suatu madzhab-madzhab tertentu.
Usaha menyusun fiqih secara undang-undang sebenarnya, sudah dilakukan sejak pemerintahan Abbasiyah sebagai contoh undang-undang tentang keuangan (perbajakan) yang dikenal dengan kitab Al-Kharaj yang disusun oleh Abu Yusuf atau pemerintah Harun Al-Rasyid.
Posisi politik pada masa kebangkkitan kembali yaitu Islam tidak hanya hidup dan besar di Madinah, tetapi sudah menjangkau Mesir, Syiria, dan Persia. Yang notabennya merupakan pusat peradaban pra Islam. Yang kemudian mengarah kpada Polarisasi kehidupan umat Islam itu sendiri, kondisi seperti ini membuat para sahabat untuk melakukan ijtihad, teutama dalam memutuskan persoalan yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits.[3]
B.      Format Kebangkitan Fiqih Sampai Sekarang
         Kebangkitan fiqih pada masa ini, dapat dilihat sebagai berikut.
1.       Munculnya kecendrungan baru dalam mengkaji fiqih Islam tanpa harus terikat dengan madzhab Imam tertentu.
2.       Berkembangnya kajian fiqih muqoronah (fiqih perbandingan) yang tidak hanya terfokus pada internal madzhab-madzhab fiqih melainkan merambah perbandingan antara umat Islam dan hukum positif barat
Musthafa Ahmad Az-Zarqa mengemukakan bahwa, ada tiga ciri yang mewarnai perkembangan fiqih pada periode ini.
1.       Munculnya Upaya pengodifikasikan fiqih sesuai dengan tuntutan situasi dan zaman. Hal ini ditandai dengan disusunnya majalah Al-Ahkam Adliyah di kejaan Turki Usmani yang memuat persoalan-persoalan (hukum perdata)
2.       Upaya pengodifikasikan fiqih semakin luas bukan saja di wilayah yurisdiksi kerajaan Turki Usmani, seperti Suriah, Palestina dan Irak. Pengodofikasikan hukum tersebut tidak terbatas pada hukum perdata saja, tetapi juga hukum pidana dan hukum administrasi negara.
3.       Munculnya upaya pengodifikasikan berbagai hukum fiqih yang tidak terikat sama sekali dengan madzhab fiqih tertentu. Hal ini di dasarkan atas kesadaran ulama’ fiqih bahwa sesuatu yang terdapat dalam suatu madzhab belum tentu dapat mengayomi permasalahan yang dihadapi ketika itu.
2.Aktifitas Ulama’ Terhadap Pengembangan Hukum Islam
                         Beberapa ulama’ bangkit menawarkan ide-ide pembaharuan (Reformasi) pemikiran dengan gerakannya masing-masing. Secara garis besar ada dua kecendrungan atau trend pembaharuan yang muncul pada saat  ini. Pertama, trend Salafiah yaitu gerakan pembaruan yang berbijak atas dasar Salafi. Gerakan ini berkecendrungan menghubungkan otoritas ulama’ abad pertengahan (abad 2H) dan menyerukan perlunya kembali pada al-Qur’an dan Hadits (back to Qaran and hadith) sebagai rujukan utama dalam perumusan hukum Islam.
                         Gerakan ini mucul di daerah Arabia yang di komandani olek Syekh Muhammad bin Abdullah bin Adul Wahhab (1115-1206) gerakan ini di ilhami oleh ide-ide pemikirannya Ibnu Taimiyah. Setelah mengalami pengembaraan panjang, ia mendakwahkan selogan baru “madzhab al-Muwahhidun/Purifikasi”. Gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap paham tauhid yang menurut mereka sudah banyak diselewengkan oleh umat sehingga banyak bercampur dengan aliran dinamisme dan animisme yang mempercayai adanya kekuatan ghaib selain Allah yang mengarah kepada tahayyul, bid’ah, dan churafat (TBC).
                         Di India, muncul seorang tokoh yang terkenal dengan pemikirannya yang radikal yaitu Syekh Waliullah al-Dahlawi. Melalui karya monomentalnya “hujatu al-Bhalighah” ia menyerukan perluya pembaruan hukum Islam melalui menyesuaian (adaptasi) ajaran Islam dengan budaya lokal. Menurutnya, bahwa Islam mampu baradaptasi dengan situasi setempat dan tuntutan zaman. Hal yang perlu dipegang dan dipertahankan adalah ajaran dasarnya yang universal. Sedangkan interpretasi dan aplikasinya dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi. Di antara ide-ide yang ditawarkan adalah menterjemahkan al-Qur’an dengan bahasa Persia. 
                         Kedua, Trend Reformis, gerakan ini berupaya untuk melakukan pengkajian ulang (renterpretasi) dan adaptasi hukum Islam dengan perkembangan dunia modern. Tokoh gerakan ini antara lain, Jamaluddin al-Afghani (Istambul 1824-1897)dengan idenya “Pan Islamisme” (persatuan seluruh Islam) dan pembaraan ilmu pengetahuan dengan memperluas kurikulum lembaga-lembaga pendidikan. Menurun al-Afghani, bahwa mundur dan lemahnya umat Islam disebabkan karena umat Islam tidak bersatu.[4]
                         Gagasan lain yang tidak kalah penting adalah statemennya bahwa “ijtihad terbuka kembali”.  Ide pembaruan yang ditawarkan oleh al-Afghani mendapat sambutan yang positif dari Muhammad Abduh di Mesir (1849) dan Rasyid Ridla di Libanon (1865).
                         Dalam bayak hal ide Muhammad Abduh inilah yang banyak diambil sebagai model gerakan Keislaman di Indonesia, seperti pesis, muhammadiyah, dan al-Wasiliyah. Sebagaimana Muhammad Abduh, Syekh Isma’il at-Taimi juga mengangkat ide-ide segar di Tunisia (awal abad 19M). dia mengajak kaum musliin di Tunisia untuk keluar dari jebakan keterasingan dan kebuntuan. Semangat kebangkitan untuk keluar dari kejumudan dan kebekuan terus terkobar dari masa kemasa, baik geakan yang cendrung salafiah maupum modern.
3.Pola Gerakan Ulama’ pada Masa Kebangkitan
                         Dalam pola gerakan ulama’ pasca kebangkitan ini terdapat empat pola utama yang menonjol. Adapun empat pola utama tersebut yaitu: pertama, tradisionalism atau salafiyah. Ibnu Taimiyah, as-Syaukani, Abdul Wahab, dan Ibnu Qoyim. Pendukung pola ini menekankan keharusan kembali  kepada al-Qur’an dan Sunnah mereka mengecam takhlid dan mendakwahkan keharusan mengikuti para ulama’ salaf (sahabat dan thabi’in). karakteristik dari pola ini adalah keteguhannya dalam memegang Sunnah dan pandangannya yang sangat literalis terhadap nash-nash al-Qur’an. Gerakan ini menolak terhadap statemen bahwa ikhtilaf adalah ramat.
                         Penelitian yang dilakukan oleh pendukung pola ini membuktikan bahwa hadits Rasul yang menyebutkan “ikhtilaf umatku adalah rahmat” dinyatakan maudlu’ dan tidak punya dasar. Karena itu semua ikhtilaf harus dikembalikan pada al-Qur’an dan hadits, bukan pada pendapat para fuqaha’. Kedua, Modernisme. Pola pemikiran ini dipelopori oleh sejumlah pemikir dan sarjana muslim yang sebagian besar terdidik dalam alam pendidikan sekuler. Pendukung pola ini mendakwahkan bahwa fiqih Islam tidak lagi mampu merespon berbagai perkembangan baru yang mncul dan multidimensi kebutuhan kepentingan manusia.[5] Ketiga, Survivalisme. Pendukung pola ini bercita-cita membangun pemikiran fiqih yang sudah ada. Keluasan tsarwah fiqhiyah harus dikembangkan dan bukan malah dikorbankan. Keempat, Neo-survivalisme. Gerakan ini menawarkan fiqih perkembangan dengan mengadakan pendekatan transvormatif yaitu menggabungkan pemahaman sejarah hukum Islam dengan sosiologi hukum. Menurut pendukung pola ini, kegagalan fuqaha’ selama ini karena mereka kurang memperhatikan perubaha yang terjadi masyarakat dengan kondisi hukum, sehingga terjadi kesenjangan antara fiqih secara teoritis dengan realita di masyarakat secara praktis.    
BAB III
KESIMPULAN
                         Dari uraian di atas dapat kami simpulkan bahwa:
1.       Disebabkan oleh adanya prestasi barat dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga menimbulkan gerakan-gerakan keagamaan di berbagai Negri Islam.
2.       Karena gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap paham tauhid yang menurut mereka sudah banyak diselewengkan oleh umat sehingga banyak bercampur dengan aliran dinamisme dan animisme yang mempercayai adanya kekuatan ghaib selain Allah yang mengarah kepada tahayyul, bid’ah dan churafat (TBC). 


DAFTAR PUSTAKA

Supriyadi, Dedi. 2007. Sejarah Hukum Islam. CV.Pustaka Setia. Bandung.
As-siddiqi, Hasbi. 2007.  Perkembangan Hukum Islam.CV. Pustaka Setia. Jakarta.
Suhan. 2012. Sejarah Hukum Islam. Pamekasan.


[1] Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam, (CV, Pustaka Seti, Bandung:2007), hal.119
[2] Hasbi As-Siddiqi, Perkembangan Hukum Islam, (CV, Pustaka Setia, Jakarta:2007), hal.46
[3] Moh. Subhan, Sejarah Hukum Islam, ( Pamekasan:2012), hal.116                                                              
[4] Ibid, hal.117
[5] Ibid,hal.118

Tidak ada komentar:

Posting Komentar