Era KEBANGKITAN KEMBALI
HUkum
islam
BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Fenomena-fenomena
yang terjadi pada akhir abad 12H/18M, merupakan wujud kesadaran dari
kebangkitan kembali dunia Islam. Kebangkitan kembali dunia Islam dipengaruhi
oleh dua faktor. Pertama,terjadinya kontak dunia barat. Kedua,timbulnya
kesadaran dari kalangan ulama’, bahwa sudah banyak ajaran Islam yang telah
menyimpang dari nilai-nilai ke Islaman. Hal ini memunculkan gerakan pembaruan
Islam dalam berbagai lapangan dan bidang. Gerakan-gerakan ini, walaupun berbeda
intensitasnya dan ekstensitasnya, namun pada hakikatnya merupakan refleksi dari
kesadaran umat Islam terhadap kebekuan dan kejumudan yang telah mengiring umat Islam kedalam belenggu
keterpakuan tekstual yang memunculkan kesenjangan antara hukum dengan realitas
sosial.
B.RUMUSAN MASALAH
1.
Apa sebabnya pada masa
kebangkitan kembali timbul gerakan setelah munculnya kesadaran umat Islam akan
adanya kelemahan dan kemunduran kaum muslimin?
2.
Mengapa gerakan ini muncul
di daeran Arabia yang di komandani oleh Syekh Muhammad bin Abdullah bin Abdul
Wahhab?
BAB II
PEMBAHASAN
1.Posisi Politik pada Masa
Kebangkitan Kembali
A. Kondisi Awal pada Masa Kebangkitan Fiqih
Periode ini, menurut Hasbi Ash-Shiddiqy disebut juga dengan periode
renaisance. Berlangsung sejak abad ke 13H. Sampai sekarang (abad ke 20) disebut
periode kebangkitan fiqih. Karena pada masa ini timbul ide, usaha dan
gerakan-gerakan pembahasan dari takhlid yang terdapat dalam umat Islam, gerakan
ini timbul setelah munculnya kesadaran umat Islam akan adanya kelemahan dan
kemunduran kaum muslimin yang disebabkan oleh adanya prestasi dalam berbagai
bidang kehidupan sehingga menimbulkan gerakan-gerakan keagamaan diberbagai
negri Islam.[1]
Pada dasarnya, gerakan ini menyeru pada kebangkitan umat Islam, pengusiran
terhadap penjajah, penembangan Ilmu pengetahuan Islam. Meninggalkan takhlid
buta dan bid’ah dan kembali pada ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah. Serta mengikuti metode ulama’ salaf (ulama’
sahabat dan ulama’ sebelum masa kemunduran) seruan ini senada dengan apa yang
telah dikumandangkan oleh Ibnu Taimiyah dan Ibnu qoyyim pada periode yang lalu.[2]
Pengaruh yang ditinggalkan pada periode ini.
1.
Usaha pengkajian dan
penulisan kitab-kitab fiqih
2.
Usaha menyusun hukum-hukum
fiqih secara sistem undang-undang tanpa membatasi dengan suatu madzhab-madzhab
tertentu.
Usaha menyusun fiqih secara undang-undang sebenarnya,
sudah dilakukan sejak pemerintahan Abbasiyah sebagai contoh undang-undang
tentang keuangan (perbajakan) yang dikenal dengan kitab Al-Kharaj yang disusun
oleh Abu Yusuf atau pemerintah Harun Al-Rasyid.
Posisi politik pada masa kebangkkitan kembali yaitu
Islam tidak hanya hidup dan besar di Madinah, tetapi sudah menjangkau Mesir,
Syiria, dan Persia. Yang notabennya merupakan pusat peradaban pra Islam. Yang
kemudian mengarah kpada Polarisasi kehidupan umat Islam itu sendiri, kondisi
seperti ini membuat para sahabat untuk melakukan ijtihad, teutama dalam
memutuskan persoalan yang tidak terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits.[3]
B.
Format Kebangkitan
Fiqih Sampai Sekarang
Kebangkitan fiqih pada masa ini, dapat
dilihat sebagai berikut.
1. Munculnya kecendrungan baru dalam mengkaji fiqih Islam tanpa
harus terikat dengan madzhab Imam tertentu.
2.
Berkembangnya kajian fiqih
muqoronah (fiqih perbandingan) yang tidak hanya terfokus pada internal
madzhab-madzhab fiqih melainkan merambah perbandingan antara umat Islam dan
hukum positif barat
Musthafa Ahmad Az-Zarqa mengemukakan bahwa, ada tiga
ciri yang mewarnai perkembangan fiqih pada periode ini.
1. Munculnya Upaya pengodifikasikan fiqih sesuai dengan tuntutan
situasi dan zaman. Hal ini ditandai dengan disusunnya majalah Al-Ahkam Adliyah
di kejaan Turki Usmani yang memuat persoalan-persoalan (hukum perdata)
2. Upaya pengodifikasikan fiqih semakin luas bukan saja di wilayah
yurisdiksi kerajaan Turki Usmani, seperti Suriah, Palestina dan Irak.
Pengodofikasikan hukum tersebut tidak terbatas pada hukum perdata saja, tetapi
juga hukum pidana dan hukum administrasi negara.
3.
Munculnya upaya
pengodifikasikan berbagai hukum fiqih yang tidak terikat sama sekali dengan
madzhab fiqih tertentu. Hal ini di dasarkan atas kesadaran ulama’ fiqih bahwa
sesuatu yang terdapat dalam suatu madzhab belum tentu dapat mengayomi permasalahan
yang dihadapi ketika itu.
2.Aktifitas
Ulama’ Terhadap Pengembangan Hukum Islam
Beberapa ulama’ bangkit
menawarkan ide-ide pembaharuan (Reformasi) pemikiran dengan gerakannya
masing-masing. Secara garis besar ada dua kecendrungan atau trend pembaharuan
yang muncul pada saat ini. Pertama, trend
Salafiah yaitu gerakan pembaruan yang berbijak atas dasar Salafi. Gerakan ini
berkecendrungan menghubungkan otoritas ulama’ abad pertengahan (abad 2H) dan
menyerukan perlunya kembali pada al-Qur’an dan Hadits (back to Qaran and
hadith) sebagai rujukan utama dalam perumusan hukum Islam.
Gerakan ini mucul di
daerah Arabia yang di komandani olek Syekh Muhammad bin Abdullah bin Adul
Wahhab (1115-1206) gerakan ini di ilhami oleh ide-ide pemikirannya Ibnu Taimiyah.
Setelah mengalami pengembaraan panjang, ia mendakwahkan selogan baru “madzhab
al-Muwahhidun/Purifikasi”. Gerakan ini muncul sebagai reaksi terhadap paham
tauhid yang menurut mereka sudah banyak diselewengkan oleh umat sehingga banyak
bercampur dengan aliran dinamisme dan animisme yang mempercayai adanya kekuatan
ghaib selain Allah yang mengarah kepada tahayyul, bid’ah, dan churafat (TBC).
Di India, muncul
seorang tokoh yang terkenal dengan pemikirannya yang radikal yaitu Syekh
Waliullah al-Dahlawi. Melalui karya monomentalnya “hujatu al-Bhalighah” ia
menyerukan perluya pembaruan hukum Islam melalui menyesuaian (adaptasi) ajaran
Islam dengan budaya lokal. Menurutnya, bahwa Islam mampu baradaptasi dengan
situasi setempat dan tuntutan zaman. Hal yang perlu dipegang dan dipertahankan
adalah ajaran dasarnya yang universal. Sedangkan interpretasi dan aplikasinya
dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi dan kondisi. Di antara ide-ide yang
ditawarkan adalah menterjemahkan al-Qur’an dengan bahasa Persia.
Kedua, Trend
Reformis, gerakan ini berupaya untuk melakukan pengkajian ulang (renterpretasi)
dan adaptasi hukum Islam dengan perkembangan dunia modern. Tokoh gerakan
ini antara lain, Jamaluddin al-Afghani (Istambul 1824-1897)dengan idenya “Pan
Islamisme” (persatuan seluruh Islam) dan pembaraan ilmu pengetahuan dengan
memperluas kurikulum lembaga-lembaga pendidikan. Menurun al-Afghani, bahwa
mundur dan lemahnya umat Islam disebabkan karena umat Islam tidak bersatu.[4]
Gagasan lain yang tidak
kalah penting adalah statemennya bahwa “ijtihad terbuka kembali”. Ide pembaruan yang ditawarkan oleh al-Afghani
mendapat sambutan yang positif dari Muhammad Abduh di Mesir (1849) dan Rasyid Ridla
di Libanon (1865).
Dalam bayak hal ide
Muhammad Abduh inilah yang banyak diambil sebagai model gerakan Keislaman di
Indonesia, seperti pesis, muhammadiyah, dan al-Wasiliyah. Sebagaimana Muhammad
Abduh, Syekh Isma’il at-Taimi juga mengangkat ide-ide segar di Tunisia (awal
abad 19M). dia mengajak kaum musliin di Tunisia untuk keluar dari jebakan
keterasingan dan kebuntuan. Semangat kebangkitan untuk keluar dari kejumudan
dan kebekuan terus terkobar dari masa kemasa, baik geakan yang cendrung
salafiah maupum modern.
3.Pola Gerakan
Ulama’ pada Masa Kebangkitan
Dalam pola gerakan
ulama’ pasca kebangkitan ini terdapat empat pola utama yang menonjol. Adapun
empat pola utama tersebut yaitu: pertama, tradisionalism atau salafiyah.
Ibnu Taimiyah, as-Syaukani, Abdul Wahab, dan Ibnu Qoyim. Pendukung pola ini
menekankan keharusan kembali kepada
al-Qur’an dan Sunnah mereka mengecam takhlid dan mendakwahkan keharusan
mengikuti para ulama’ salaf (sahabat dan thabi’in). karakteristik dari pola ini
adalah keteguhannya dalam memegang Sunnah dan pandangannya yang sangat
literalis terhadap nash-nash al-Qur’an. Gerakan ini menolak terhadap statemen
bahwa ikhtilaf adalah ramat.
Penelitian yang
dilakukan oleh pendukung pola ini membuktikan bahwa hadits Rasul yang
menyebutkan “ikhtilaf umatku adalah rahmat” dinyatakan maudlu’ dan tidak punya
dasar. Karena itu semua ikhtilaf harus dikembalikan pada al-Qur’an dan hadits,
bukan pada pendapat para fuqaha’. Kedua, Modernisme. Pola
pemikiran ini dipelopori oleh sejumlah pemikir dan sarjana muslim yang sebagian
besar terdidik dalam alam pendidikan sekuler. Pendukung pola ini mendakwahkan
bahwa fiqih Islam tidak lagi mampu merespon berbagai perkembangan baru yang
mncul dan multidimensi kebutuhan kepentingan manusia.[5]
Ketiga, Survivalisme. Pendukung pola ini bercita-cita membangun
pemikiran fiqih yang sudah ada. Keluasan tsarwah fiqhiyah harus dikembangkan
dan bukan malah dikorbankan. Keempat, Neo-survivalisme. Gerakan ini
menawarkan fiqih perkembangan dengan mengadakan pendekatan transvormatif yaitu
menggabungkan pemahaman sejarah hukum Islam dengan sosiologi hukum. Menurut
pendukung pola ini, kegagalan fuqaha’ selama ini karena mereka kurang
memperhatikan perubaha yang terjadi masyarakat dengan kondisi hukum, sehingga
terjadi kesenjangan antara fiqih secara teoritis dengan realita di masyarakat
secara praktis.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian di atas
dapat kami simpulkan bahwa:
1.
Disebabkan oleh adanya
prestasi barat dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga menimbulkan
gerakan-gerakan keagamaan di berbagai Negri Islam.
2.
Karena gerakan ini muncul
sebagai reaksi terhadap paham tauhid yang menurut mereka sudah banyak
diselewengkan oleh umat sehingga banyak bercampur dengan aliran dinamisme dan
animisme yang mempercayai adanya kekuatan ghaib selain Allah yang mengarah
kepada tahayyul, bid’ah dan churafat (TBC).
DAFTAR PUSTAKA
Supriyadi, Dedi. 2007.
Sejarah Hukum Islam. CV.Pustaka Setia. Bandung.
As-siddiqi,
Hasbi. 2007. Perkembangan Hukum
Islam.CV. Pustaka Setia. Jakarta.
Suhan. 2012. Sejarah
Hukum Islam. Pamekasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar