DINASTI
ABBASIYAH
(Kebangkitan
Sunni, Perkembangan Filsafat, Sains dan Tasawuf)
By. Moh. Subhan
A.
PENDAHULUAN
Kekuasaan dinasti Abbasiyah diperoleh bukan sebagai akibat
komplotan kaum istana, melainkan hasil koalisi dari beberapa kelompok yang
berbeda (Persia,
Turki dan Bani Abbas) yang dipimpin oleh Abdullah al Saffah ibn Muhammad ibn
Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas.[1] Koalisi
terjadi karena dilatar belakangi oleh persamaan nasib yang sama, yaitu
sama-sama tertindas oleh penguasa dinasti Umayyah. Persamaan nasib inilah yang
akhirnya memunculkan sebuah gerakan untuk menumbangkan kekuasaan dinasti Umayyah yang
dianggapnya dlalim. Usaha mereka tidak sia-sia, sehingga pada tahun 750 M dinasti
Umayyah dapat digulingkan. Sejak saat itulah, kekuasaan dinasti Umayyah
digantikan oleh dinasti Abbasiyah. Kekuasaan dinasti Abbasiyah berlangsung
dalam rentang waktu yang panjang, mulai tahun 132 – 656 H / 750 – 1258 M.
Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda
sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya.
Pada periode awal kekuasaan dinasti Abbasiyah, umat Islam mencapai
masa keemasan dalam Peradaban, politik dan kebudayaan. Bahkan, periode ini juga
berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan sains dalam Islam.
Perkembangan sains dan filsafat pada periode ini tidak bisa lepas dari peran
para khalifah yang sangat interes terhadap ilmu pengetahuan dan menghargai
kepada para ilmuawan, sehingga muncul beberapa tempat yang dijadikan sebagai
basis pengkajian ilmu pengetahuan, seperti kota Baghdad
di Irak, kota Moru dan Nasabur di Persia, kota Mesir, kota
Kairawan di Afrika, dsb.[2] Maka muncullah beberapa pakar ilmu; filsafat,
teolog dan hukum. Begitu pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan pada waktu itu,
sehingga dikenal sebagai kebangkitan terbesar pemikiran dan kebudayaan dalam
Islam. Popularitas dinasti Abbasiyah mencapai puncaknya pada era khalifah Harun
al Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Makmun (813-833 M). Pada masa inilah
negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. Transliterasi
buku-buku asing yang dilakukan oleh khalifah Al Makmun, terutama buku-buku
filsafat Yunani membawa pengaruh yang signifikan terhadap kebebasan berpikir
umat Islam, terutama kelompok Mu’tazila. Namun, kebebasan berpikir yang
bercorak rasional ini segera meredup sejak al Ghazali melontarkan kritik tajam terhadap
pemikiran filsafat yang dianggap sudah kelewat batas. Al Ghazali tidak hanya
menyerang pemikiran filsafat pada masanya, tetapi juga menghidupkan ajaran
tasawuf.[3]
Berangkat dari uraian di atas, maka penulis ingin mengupas
lebih jauh tentang Kebangkitan Sunni, Perkembangan Filsafat, Sains dan Tasawuf di
era dinasti Abbasiyah dalam makalah ini. Dengan harapan mudah-mudahan kajian
yang sederhana ini menambah cakrawala berpikir kita dan yang terpenting adalah
bagaimana kita mampu berkiprah untuk izzul Islam wal muslimin.
B.
PEMBAHASAN
1. Kebangkitan
Sunni
Periode pertama dinasti Abbasiyah 132 – 232 H / 750 – 847 M)
mencapai masa keemasan. Karena khalifah pada waktu itu adalah sosok yang kuat
perhatian terhadap perkembangan agama dan ilmu pengetahuan. Para
ulama dan pakar pengetahuan pada masa dinasti Umayyah yang kurang mendapat
tempat, pada masa dinasti Abbasiyah ini
mereka dihargai dan dimulyakan. Maka sangat wajar, jika pada waktu itu
berkembang dengan cepat dan pesat berbagai disiplin ilmu; ilmu tafsir, ilmu hadits,
ilmu kimia, fisika, dsb. Perkembangan dan kemajuan dinasti Abbasiyah mencapai
puncaknya pada era Harun al Rasyid dan puteranya, al Makmun.
Pada era kekuasaan Harun al Rasyid, rakyat benar-benar
merasakan kemajuan di segala bidang, kebebasan berpikir benar-benar dijunjung
tinggi. Tetapi kondisi seperti itu berubah, ketika al Makmun menjabat sebagai
khalifah. Dia seorang khalifah yang sangat gandrung terhadap gaya pemikiran orang-orang Yunani yang bebas
dan rasional. Mu’tazilah sebagai salah satu aliran dalam Islam yang banyak
dipengaruhi oleh filsafat Yunani, terkenal dengan rasionalis. Oleh karena
itulah maka ia menjadikan Mu’tazilah sebagai madzhab negara. Dan memaksa kepada
rakyat agar mengikuti madzhab tersebut. Bahkan ia akan menghukum siapa saja
yang menentang. Dan hal tersebut dibuktikan, dengan memenjarakan Ahmad bin
Hambal yang dinyatakan telah menentang terhadap ajaran Mu’tazilah.
Tetapi setelah kekuasaan al Makmun usai dan digantikan oleh
Al Mutawakkil, maka keadaan menjadi berubah. Di mana al Mutawakkil adalah sosok
khalifah yang tidak senang terhadap aliran Mu’tazilah. Tindakan yang pertama kali dilakukan adalah
membebaskan Ahmad bin Hambal dari penjara. Tindakan khalifah al Mutawakkil ini
disambut hangat oleh kalangan Sunni, terutama kalangan Ahlu Hadits (al muhadistin)
yang ingin memurnikan ajaran tauhid kembali kedalam bentuk
kesederhanaannya tanpa pembahasan-pembahasan yang logis dan rasional.[4]
Sejalan dengan tindakan itu khalifah al Mutawakkil memulihkan
kembali kedudukan aliran Sunni dan mengumumkan larangan terhadap aliran
Mu’tazilah. Berlangsung demonstrasi-demontrasi di ibukota mendukung kebijakan
tersebut, di bawah komando Ahmad bin Hambal.
Gerakan sunni yang berada di bawah pimpinan Ahmad bin Hambal
(164 242 H / 780 -855 M) makin memperlihatkan pengaruhnya yang bertambah kuat
terhadap khalifah al Mutawakkil. Gerakan sunni ini bertujuan “memurnikan”
kembali ajaran islam agar terbebas dari campur aduk akal dan filsafat, seperti
yang dianut oleh kaum salaf.
Tapi pengaruh yang begitu kuat tersebut sampai kelewat batas,
ekstrim. Sehingga pada tahun 851 M
keluar dekrit dari khalifah, yang memerintahkan menghancurkan dan perataan
terhadap seluruh bangunan yang dimuliakan kaum Syi’ah. Termasuk makam Hasan dan
Husain di Karbala. Dekrti ini membangkitkan reaksi dan ketegangan yang tiada
terkira pada masa-masa berikutnya. Tetapi segala tantangan yang menghambat
telah disingkirkan.[5]
2. Perkembangan
Sain dan Filsafat
Gerakan penerjemahan secara besar-besaran ke
dalam bahasa Arab terjadi pada masa dinasti abbasiyah. Gerakan ini terdiri dari
dua fase. Pertama, dimulai pada awal berdirinya dinasti Abbasiyah, dan kedua
pada era pemerintahan al makmun dan khalifah sesudahnya.
Khalifah Al manshur yang dikenal sangat
menyukai filsafat, hukum dan astronomi, mendirikan kota
Baghdad pada
tahun 148 H / 765 M. Pada masa pemerintahannya penerjemahan dilakukan oleh para
penerjemah, meliputi filsafat dan sains Yunani. Dan ia memberi imbalan yang
besar kepada para penerjemahnya. Kemajuan yang sangat besar juga dicapai pada
era khalifah Harun al rasyid (786 – 809).
Pada era kekuasaanya banyak karya astronomi yang diterjemahkan kedalam
bahasa Arab. Sekitar tahun 773 M, seorang pendatang dari India membawa naskah aritmatika dan astronomi ke
baghdad. Naskah
astronomi itu adalah Shiddanta, yang lebih dikenal dengan nama Sindhind. Buku
yang diterkemahkan oleh ibrahim al farazi ini merangsang minat baru terhadap
kajian astronomi di Persia.
Beberapa saat seteleh itu Muhammad bin Musa ak Khawarizmi menggabungkan sistem
astronomi Yunani dan India.
Sejak saat itu, astronomi mendapat posisi yang penting dalam dunia keilmuan
Arab.
Salah satu astronom Arab terkemuka dari
generasi berikutnya adalah, Abu Ma’shar salah seorang murid al Kindi. Dalam
sejarah peradabah Eropah ia dikenal dengan nama Abumazar. [6]
Selain buku Aritmatika, astronomi dan
kedokteran diterjemahkan pula buku filsafat dan logika. Kegemaran pada karya
filsafat ini sebenarnya baru nampak pada masa pemerintahan al Makmun (813-833
M).[7] Al
Makmun merupakan sosok khalifah yang rasionalis yang berusaha menanamkan
pandangan keagamaan kepada rakyatnya melalui mekanisme otoritas negara dan ia sangat
cinta kepada ilmu pengetahuan. Hal tersebut dibuktikan, pada masa
pemerintahannya penerjemahan buku-buku non Arab kedalam bahasa Arab,
terutama buku-buku filsafat dan
kedokteran terjadi secara besar-besaran.[8]
Dan puncaknya, ketika didirikannya Bait al Hikmah (House of Wisdom)
sebagai perpustakaan, observatorium dan pusat penerjemahan Pendirian Bait al
Hikmah merupakan karya monumental Al Makmun yang dimaksudkan untuk memasukkan
hal-hal positip dari kebudayaan Yunani ke dalam Islam. Bait al Hikmah merupakan
pusat pengkajian dan penelitian berbagai macam ilmu sekaligus sebagai
perpustakaan yang lengkap dengan team penerjemah. Team ini bertugas
menerjemahkan teks-teks asli Yunani,
Persia, Suryani
dan bahasa lainnya ke dalam bahasa Arab. Para
penerjemah yang terdiri dari kaum Nasrani, Yahudi dan Majusi (sabaean) digaji
oleh khalifah dengan gaji yang tinggi. Pada masa inilah Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan ilmu
pengetahuan.[9]
Buku-buku yang diterjemahkan pada saat itu
terdiri dari berbagai macam bahasa; Persia,
Latin, Suryani, Yunani, Ibrani,
India, Qibti
dan Nibti. Keragaman karya yang diterjemahkan inilah yang pada akhirnya
membentuk corak tersendiri filsafat Islam. Orang yang dianggap berjasa besar
pada waktu itu adalah, Abu zaid Hunain bin Ishak al Ibadi (w. 263 H / 876 M).
Dia yang menerjemahkan buku karya Plato seperti Republik, Laws dan Timaeus dan menerjemahkan
juga karya Aristoteles seperti Categories, Physic dan Magna Moralia. Disamping Abu
Zaid, di lembaga Bait al Hikam masih banyak penerjemah-penerjemah lain, seperti
Qusta bin Luqa seorang Kristen Suria, yang menerjemahkan karya filsafat,
astronomi dan geometri, Abu Bisr Matta bin Yunus (w. 328 H/ 939 M) seorang dari
kalangan Nestorian menerjemahkan karya Aristoteles; Analytica Posteriora dan
komentar Alexander dari Aphrodisias tentang De Generatione et de Corruptione
yang berbahasa Suria ke dalam bahasa Arab. Cukup banyak di antara buku-buku itu
yang penting sekali artinya dari segi pengembangan filsafat di lingkungan dunia
pemikiran Arab-Islam.[10]
Maka tampillah abad ke-4 H adalah abad yang paling subur dalam usaha
penerjemahan karya intelektual Yunani ke dalam bahasa Arab.
Dengan diterjemahkannya buku-buku karya
filosof Yunani yang dikembangkan oleh Plotinus dan Agustine kedalam bahasa Arab,
banyak melahirkan filosof-filosof Islam
eperti; Ibnu Rusy (w. 1198 M), al Farabi (w. 950 M), al Biruni (w. 973-1048 M),
Ibnu Sina (w. 1037 M) dan tokoh-tokoh yang lain. Lahirnya sejumlah filosof
tadi, telah mengakibatkan lahirnya sejumlah pemikiran yang sangat luar biasa,
bukan saja untuk jamannya, bahkan dikenal sampai sekarang. Ide-ide Plotanian
tentang dasar asasi dari realita, yakni ide keesaan dari Socrates dan Plotinus
telah banyak mempengaruhi doktrin keesaan Tuhan kaum Mu’tazilah (kelompok Islam
Rasional). Tuhan didefinisikan sebagai dzat yang mengetahui terhadap hal-hal
yang dapat diketahui, kehendak-Nya sebagai ketidak mungkinan keterpaksaan bagi
wujudnya, aktvitas kreatif-Nya sebagai emanasi benda-benda dan hal-hal dari
pada-Nya. Tuhan dengan demikian tidak mengetahui persoalan secara rinci.
Hak-hak yang terperinci dapat dan harus dijelaskan dan dilakukan oleh manusia.[11]
C.
Kebangkitan Sufi
Pengaruh penerjemahan buku-buku asing
terutama filsafat Yunani membawa dampak yang sangat signifikan terhadap tata
cara berpikir umat Islam. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh Islam yang sangat
gandrung dengan tata berpikir filsafat, seperti Ibnu Rusy (w. 1198 M), al
Farabi (w. 950 M), al Biruni (w. 973-1048 M), Ibnu Sina (w. 1037 M), dan
sebagainya. Cara berpikir dan cara pandang tokoh-tokoh tersebut dinilai oleh al
Ghazali dianggap telah kelewat batas. Sehingga al ghazali mengkritik pemikiran
filsafat yang tertuang dalam kitabnya “Tahafut al Falasifah” (Kekacauan Para
Filosof). Kritik al Ghazali ini mendapat sanggahan dari filosof besar islam,
Ibnu Rusyd, balam kitabnya “ Tahafut al tahafut (Kekacauan buku kekacauan).
Tetapi nampaknya kritik al Ghazali jauh lebih populer dan berpengaruh daripada bantahan Ibnu rusyd.
Bahkan al Ghazali tidak hanya mengkritik dan
menyerang filsafat pada masanya, tetapi juga menghidupkan ajaran tasawuf dalam
Islam. Sehingga ajaran ini berkembang pesat setelah al Ghazali. Di antara
ajaran tasawuf adalah tawakkal, zuhud, sabar, dan sebagainya. Dalam tasawuf
kehidupan ukhrawi jauh lebih diutamakan daripada kehidupan duniawi.
D. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan:
1. Dinasti Abbasiyah
dibangun di atas koalisi dari elemen bangsa yang berbeda, dengan misi yang sama
yaitu menumbangkan kekuasaan dinasti Umayyah, dan selama dinasti ini berkuasa,
pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik,
sosial dan budaya.
2. Puncak keemasan Dinasti Abbasiyah tercapai
pada periode awal kekuasaan, banyak buku-buku karya Yunani, India,
dsb. yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dan hal ini membawa pengaruh
terhadap perkembangan ilmu dan filsafat.
3. Penerjemahan buku-buku non Arab kedalam
bahasa Arab terjadi sejak awal pemerintahan dinasti Abbasiyah dan mencapai
puncaknya pada era kekuasaan al makmun.
4. Penerjemahan buku-buku filsafat Yunani membawa
pengaruh yang signifikan terhadap cara berpikir umat islam saat itu (rasional),
sehingga lahirlah beberapa filosof Islam seperti ibnu Rusyd, al Kindi. Tetapi
di satu sisi hal ini dianggap telah merusak agama, maka terjadilah saling
kritik antara para filosof dengan mereka yang tidak suka pada filsafat. (Ibnu
Rusyd VS al Ghazali).
5. Akibat dari kebijakan khalifah al makmun yang
menjadikan Mu’tazilah sebagai madzhab negara membawa reaksi keras dari ummat
saat itu, sehingga pada era kekuasaan al mutawakkil aliran Mu’tazilah harus
dilenyapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Badri Yatim, SejarahbPeradaban islam, Raja
Grafindo Persada, Jakarta,
cet. XII, 2000
Watt, W. Montgomery,
The Influence of Islam on Medieval Europe, Endiburgh University
Press, 1972
Joesoef Sou’yb, Sejarah daulah
Abbasiyah II, Bulan Bintang, Jakarta,
1977
Nur Cholis Majid, Khazanah
Intelektual islam , Jakarta,
Bulan Bintang, 1994
Majid Fahry, Sejarah Filsafat
Islam Sebuah Peta Kronologis, mizan, Bandung,
2002
Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu, Pustaka
Bani Quraisy, Bandung,
2006
Syalabi, A, Sejarah Kebudayaan Islam, Pustaka
Al Husna Baru, Jakarta,
2003
Syed Mahmudunnasir, islam dan
konseopsinya, Rosyda, Bandung,
1988
[1] Badri
Yatim, SejarahbPeradaban islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet. XII, hlm. 49
[2] Watt, W.
Montgomery, The Influence of Islam on Medieval Europe, Endiburgh
University Press, 1972, hlm. 124
[3] Badri
Yatim, op.cit, hlm. 152
[4] Joesoef
Sou’yb, Sejarah daulah Abbasiyah II, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, hlm. 10
[5] Ibid,
hlm. 14
[6] Syed
Mahmudunnasir, islam dan konseopsinya, Rosyda, Bandung, hlm. 104
[7] Ibid,
hlm. 52
[8] Nur
Cholis Majid, Khazanah Intelektual islam , Jakarta, Bulan Bintang, 1994, hlm. 56- 57
[9] Watt, W.
Montgomery, op.
cit, hlm. 68
[10] Majid
Fahry, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis, mizan, Bandung, 2002, hlm. 45
[11] Cecep
Sumarna, Filsafat Ilmu, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2006, hlm. 17
Tidak ada komentar:
Posting Komentar