SEJARAH PERKEMBANGAN
METODE PENAFSIRAN AL-QUR’ĀN DAN ULAMĀ’ TAFSĮR
A. Pendahuluan
Al-Qur’ān adalah wahyu Allāh SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Sebagai kitab suci terakhir untuk dijadikan petunjuk dan pedoman yang kekal bagi kebahagiaan hidup manusia, di dunia dan di akhirat. Al-Qur’ān memberikan petunjuk global apa yang harus dilakukan manusia di dunia, baik untuk dirinya sendiri, sesamanya, lingkungannya dan dengan Allāh.
Oleh karena itu seseorang tidak akan maju dan bangsa tidak akan bangkit, kecuali dengan menggali petunjuk dan ajaran-ajaran al-Qur’ān , dan hal itu tidak akan tercapai jika tidak mempelajari Tafsįrnya. Tanpa Tafsįr manusia tidak mungkin sampai pada rahasia-rahasia al-Qur’ān yang dapat mengantarkannya ke gerbang kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.
Tafsįr al-Qur’ān adalah kunci untuk membuka gudang simpanan al-Qur’ān , guna mendapatkan mutiara dan permata yang ada di dalamnya. Oleh karena itulah Tafsįr menjadi kebutuhan yang penting, karena kandungan al-Qur’ān tidak hanya menyodorkan ajaran agama, tapi juga pedoman kehidupan sosial.
Untuk menafsirkan al-Qur’ān , diperlukan suatu metode, yaitu suatu cara tertentu yang dipakai dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan penafsiran tersebut. Metode mempunyai fungsi yang sangat penting dalam upaya pencapian maksud dan tujuan dari penafsiran itu sendiri.
Upaya menafsirkan al-Qur’ān sebenarnya telah dimulai dan dilakukan oleh Rasūlullāh sendiri, para sahabatnya kemudian diikuti oleh tabi’in, tabi’t tābi’įn dan generasi yang tumbuh dan hidup sesudahnya. Upaya penggalian kandungan al-Qur’ān itu terus dilakukan, sehingga kita dapat menemukan kitab-kitab Tafsįr dengan metode (manhāj), kecenderungan (naz’ah/ittijah) dan sasaran (focus) penafsiran yang berbeda-beda, dan itu terus berkembang sesuai dengan perkembangan ilmu dan jaman. Keberagaman penafsiran al-Qur’ān antara lain disebabkan oleh; lingkungan, kecenderungan golongan dan pribadi, kapasitas keilmuan dan daya nalar yang berbeda.
Bertitik tolak dari hal tersebut, maka dalam makalah ini penulis akan menguraikan sejarah perkembangan metode penafsiran al-Qur’ān dan ulamā’ Tafsįr, yang meliputi pengertian Tafsįr, terjemah dan ta’wįl dan syarat-syarat mufassir, kronologis tumbuh kembangnya kitab Tafsįr dan penulisnya, klasifikasi kitab-kitab Tafsįr, berbagai macam metode (manhāj) Tafsįr, kecenderungan / aliran (naz’ah / ittijah) dan fokus penafsiran al-Qur’ān .
B. Pengertian Tarjamah, Ta’wįl, Tafsįr dan Perbedaannya
Sebelum membahas tentang tafsįr dan hal-hal yang berkorelasi dengannya, maka terlebih dulu penulis akan mepaparkan pengertian tarjamah, tafsįr dan takwįl. Dengan maksud terbentuk pemahaman mengenai tafsįr, tarjamah dan takwįl, sehingga tidak terjadi tumpang tindih antara ketiga istilah tersebut.
1. Pengertian Tarjamah
Menurut bahasa tarjamah adalah memindahkan kalimat dari satu bahasa ke bahasa lain ( نقل الكلا م من لغة الى اخرى ). Sedangkan makna tarjamah secara istilah menurut az Zarqānį, mengungkapkan pengertian kalimat dalam suatu bahasa dengan kalimat bahasa lain lengkap dengan seluruh pengertian dan maksud-maksudnya. Berdasarkan pengertian tersebut di atas maka Az Zarqānį membagi tarjamah menjadi dua, yaitu:
Tarjamah Harfiyah / leterlijkl / lafziyah, adalah mengubah kata-kata dalam suatu kalimat dari satu bahasa ke dalam kata-kata yang sama artinya dalam bahasa lain, dengan susunan dan urutan kata yang sama. Sebagian orang menyebut tarjamah ini dengan tarjamah musāwiyah.
Tarjamah Ma’nāwiyah /tafsįriyah, adalah mengubah suatu kalimat dari suatu bahasa ke dalam bahasa lain tanpa mengubah arti, tapi tidak terikat dengan
susunan kalimat aslinya.
2. Pengertian Ta’wįl
Menurut bahasa ta’wįl diambil dari kata اول" “ artinya kembali atau kembalinya sesuatu. Sedangkan menurut istilah, terdapat beberapa definisi yang saling melengkapi satu sama lain sehingga dapat disimpulkan sebagai berikut:
Ta’wįl dalam arti luas sinonim (muradif) dengan Tafsįr, yaitu menerangkan arti ayat, menjelaskan maksud kandungannya, mengistinbathkan hukum dan menguraikan hikmah-hikmahnya.
Ta’wįl dalam arti sempit, yaitu menentukan salah satu arti dari beberapa arti yang dimiliki lafal ayat, dari arti yang kuat (rajįh) kepada arti yang kurang kuat (marjūh) karena ada dalil yang menghendakinya.
3. Pengertian Tafsįr
Tafsįr menurut bahasa terjadi perbedaan pendapat, ada yang mengatakan bahwa tafsįr berasal dari kata tafsįra yang berarti statoskop (alat yang dipakai oleh dokter untuk memeriksa orang sakit, yang berfungsi membuka dan menjelaskan), sehingga tafsįr berarti penjelasan. Sedangkan menurut Mannā’ul Qaţţān, kata tafsįr mengikuti wazan taf’įl, dari kata fassara, yang berarti menerangkan, membuka dan menjelaskan makna yang ma’qul. . Jadi tafsįr berarti keterangan atau penjelasan.
Sedangkan tafsįr menurut istilah ada beberapa pendapat, namun pada prinsipnya sama, sehingga dapat disimpulkan menjadi 2 (dua); yaitu dalam arti sempit dan arti luas:
Tafsįr dalam arti sempit adalah menerangkan lafal-lafal ayat dan i’rābnya serta menerangkan segi-segi sastra, susunan al-Qur’ān dan isharat-isharat ilmiahnya. Pengertian tafsįr macam ini lebih banyak merupakan penerapan kaidah-kaidah bahasa saja, daripada penafsiran dan penjelasan kehendak Allāh dan petunjuk-petunjuk-Nya.
Tafsįr dalam arti luas adalah, menjelaskan petunjuk-petunjuk al-Qur’ān, ajaran hukumnya, hikmah Allāh di dalam mensyariatkan hukum-hukum kepada umat manusia dengan cara yang menarik hati, membuka jiwa dan mendorong orang untuk mengikuti petunjuknya. Tafsįr dalam arti luas inilah yang lebih layak disebut dengan tafsįr.
4. Titik Persamaan dan Perbedaan Tarjamah, Ta’wįl dan Tafsįr
Titik persamaannya adalah ketiga-tiganya menerangkan makna ayat-ayat al-Qur’ān .
Sedang perbedaannya adalah:
Tarjamah; hanya mengubah kata-kata / ayat dalam bahasa Arab kedalam bahasa lain tanpa memberikan penjelasan arti kandungan secara panjang lebar, dan tidak menyimpulkan isi kandungannya.
Ta’wįl; lafal-lafal ayat al-Qur’ān itu dialihkan dari arti yang lahir dan rajįh kepada arti lain yang samar-samar dan marjuh.
Tafsįr; menjelaskan makna ayat yang kadang-kadang dengan panjang lebar, lengkap dengan penjelasan hukum hikmah yang dapat diambil dari ayat itu dan seringkali disertai dengan kesimpulan kandungan ayat-ayat tersebut.
C. Syarat-Syarat Mufassir dan Thabaqat Ahli Tafsįr
1. Syarat-Syarat Mufassir
Untuk dapatnya menafsirkan al-Qur’ān dengan baik dan benar diperlukan beberapa persyaratan, yaitu:
a. Akidahnya benar.
Akidah mempunyai pengaruh besar pada jiwa pemiliknya. Apabila seseorang yang akidahnya tidak benar menyusun kitab Tafsįr maka ia akan menafsirkan, mena’wilkan ayat-ayat al-Qur’ān sesuai dengan akidahnya. Dan hal tersebut dapat menyesatkan dan membahayakan umat.
b. Terlepas dari hawa nafsu.
Hawa nafsu dapat mendorong pemiliknya melakukan kecurangan-kecurangan dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān .
c. Memulai menafsirkan al-Qur’ān dengan al-Qur’ān , yang mujmāl dengan yang tafshili.
d. Mencari Penafsiran dari Sunnah, karena as sunnah berfungsi sebagai penjelas al-Qur’ān .
e. Mencari Penafsiran dari pendapat sahabat, karena mereka menyaksikan situasi dan kondisi ketika al-Qur’ān turun.
f. Mencari Penafsiran dari pendapat tabi’įn, seperti dari Mujahid bin Jabir, Hasan Basri, dan beberapa tokoh tābi’įn yang lain. .
g. Mengetahui bahasa Arab dengan segala cabangnya, baik dari cabang sharāf atau badi’i, ma’ani dan bayannya, maupun adābul lughah dan fiqhul lūgha.
h. Mengetahui dan memahami dasar-dasar ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’ān , seperti ilmu tauhįd, nasįkh dan mansūkh dan lain sebagainya.
i. Mendetailnya pemahaman yang memungkinkan seorang mufassir mentarjihkan satu makna atas yang lain.
j. Mengetahui pokok-pokok Ulumul Qur’ān; ilmu qirā’at, ilmu asbāb an nuzūl, ilmu nasįkh-mansūkh, ilmu makkį-madanį, dsb.
k. Mengetahui hal ihwal manusia dan tabi’atnya, terutama dari orang-orang Arab pada masa turunnya al-Qur’ān , agar mengerti keselarasan hukum-hukum al-Qur’ān .
2. Thabaqat Ahli Tafsįr
Thabaqāt (tingkatan) ahli Tafsįr dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Ahli Tafsįr dari kalangan sahabat. Ahli Tafsįr dari kalangan sahabat yang terkenal adalah: Abū Bakar Ash Şiddįq, Umar bin Khaţţāb, Uthmān bin Affān, Alį bin Abį Ţālįb, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musā al Ash’arį, Abdullāh bin Zubair, Anas bin Malik, Abū Hurairah, Jābir dan Abdullāh bin Amr bin ‘Aş.
b. Ahli Tafsįr dari kalangan tabi’in.
Ahli Tafsįr dari kalangan tābi’įn terbagi tiga kelompok; (1). Kelompok ahli Tafsįr di Makkah; diantara tokoh-tokohnya adalah Mujāhid bin Jabįr, Atha’ bin Abi Rabah, Ikrimah Maulā Ibnu Abbas, Thāwus bin Kaisān al Yamanį, Sā’id bin Jubair, (2). Kelompok ahli Tafsįr di Madinah; diantara tokoh-tokohnya adalah Muhammad bin Ka’ab al Qurazhi, Abul Aliyah ar Riyahy, Zaid bin Aslam, (3). Kelompok ahli Tafsįr di Iraq; diantara tokoh-tokohnya adalah Hasan al Bashri, Masruq bin al Ajda, Qatādah bin Di’amah as Sadusy dan Atha al Qurasānį.
c. Ahli Tafsįr yang menyusun kitab Tafsįrnya berdasarkan pendapat sahabat dan tābi’įn; diantara tokoh-tokohnya adalah Sufyān bin Uyainah, Waqi’ bin Jarah, Syu’bah bin Hujāj, Yazįd bin Harun, Abdur Razāk, Ishāk bin Rahawaih, Abu Bakar bin Abi Syaibah, dsb.
d. Ahli Tafsįr yang menyusun kitab Tafsįrnya berdasarkan pendapat sahabat, tābi’įn dan tabi’it tabi’in; tokohnya adalah Ibnu Jarir.
e. Ahli Tafsįr yang menyusun kitab Tafsįrnya berdasarkan argumen yang ma’qul; diantara tokoh-tokohnya adalah Abu Ishāk az Zujāj, Abū ’Alį al Farisį, Abu Bakar an Naqās, dan Abū Jakfār an Nuhās.
f. Ahli Tafsįr dari kalangan ulamā’ muta’akhirįn.
D. Pertumbuhan dan Perkembangan Tafsįr
1. Tafsįr pada Masa Rasūlullāh
Nabi Muhammad saw sendiri adalah orang pertama yang menjelaskan al-Qur’ān. Setiap menerima ayat al-Qur’ān, Rasūlullāh langsung menyampaikan kepada para sahabat serta menafsirkan ayat yang perlu ditafsįrkan. Kegiatan penafsiran pada era ini masih berupa penyampaian dari mulut ke mulut (musyāfahah). Penafsiran ayat-ayat al Qur’ān yang dilakukan Rasūlullāh itu adakalanya dengan sunnah qauliyah (perkataan) dan ada kalanya dengan sunnah taqrįriyah (ketetapan) dan disusun pendek-pendek dan tampak ringkas, karena penguasaan bahasa Arab yang murni pada saat itu cukup untuk memahami gaya dan susunan kalimat al-Qur’ān . Tafsįr yang diterima dari Rasūlullāh sangat sedikit sekali.
Para sahabat adalah orang-orang yang menjadi generasi penerusnya. Mereka menafsirkan al-Qur’ān secara nukilan (riwayat) dari seorang perawi kepada perawi lain. Generasi berikutnya adalah para tabi’įn, tabi’it tabi’įn dan generasi yang hidup sesudahnya.
2. Tafsįr pada Masa Sahabat
Para sahabat tidak mengalami kesulitan dalam mempelajari Tafsįr karena mereka menerima al-Qur’ān langsung dari Shahibur Risalah (Rasūlullāh ), disamping al-Qur’ān diturunkan dengan bahasa mereka sendiri (Bahasa Arab) serta suasana dan peristiwa turunnya ayat mereka dapat menyaksikan langsung.
Jika mereka tidak mengetahui maksud suatu lafaz atau maksud suatu ayat, mereka bertanya langsung kapada Rasūlullāh atau sesama sahabat sendiri. Tidak semua sahabat sederajat dalam memahami isi al-Qur’ān , baik secara global maupun terperinci, mereka berbeda-beda tingkat pemahamannya sesuai dengan tingkat ketinggian akal pikirannya, bahkan ada yang tidak sanggup memahami arti kata-kata dari al-Qur’ān .
Pedoman yang dipakai oleh para sahabat sebagai sumber pokok dalam menafsirkan al-Qur’ān adalah:
Al-Qur’ān
As Sunnah
Ijtihād
Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani).
Oleh karena itu bagi orang yang akan menafsirkan al-Qur’ān, pertama kali harus memperhatikan penafsiran dalam al-Qur’ān sendiri –menafsiri ayat dengan ayat--. Karena Allāh sebagai pembicara lebih mengetahui makna-makna atau maksud firman-Nya daripada selain-Nya. Tahap ini tidak boleh dilewati oleh setiap orang yang akan menafsirkan al-Qur’ān .
Bila para sahabat menghadapi kesulitan dalam memahami ayat-ayat al-Qur’ān mereka mengembalikan kepada Rasūlullāh (as sunnah). Jika dalam as sunnah juga tidak ditemukan, mereka melakukan ijtihād. Namun, diantara para sahabat ada yang tidak mau menggunakan ijtihād dalam menafsirkan al-Qur’ān , seperti; Abu Bakar dan Umar bin Khaththab. Sebagian sahabat yang lain disamping menggunakan riwayat hadįth dalam menafsirkan al-Qur’ān mereka juga menggunakan ijtihād (ra’yu), diantaranya Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas.
Dengan demikian, metode penafsiran yang dipakai oleh para sahabat adalah; Bil Ma’tsur (dengan riwayat) dan Bir Ra’yi (dengan akal/ijtihād).
Tafsįr sahabat yang berkenaan dengan asbabun nuzul ayat dan ayat yang bukan ijtihādi kedudukannya sama dengan hadįth marfu’ karena seolah-olah mereka telah meriwayatkan dari Rasūlullāh , sedangkan Tafsįr sahabat yang berkenaan dengan asbabun nuzul ayat dan ayat yang memerlukan ijtihād maka Tafsįr tersebut dimauqufkan..
Ahli-ahli Tafsįr pada masa sahabat, adalah; Abu Bakar, Umar bin Khaţāb, Ustmān bin Affān, Ali bin Abi Thālib, Abdullāh bin Mas’ud, Abdullāh bin Abbās, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsābit, Abu Musā al Ash’arį Abdullāh bin Zubair, Anas bin Mālik, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Jābir, Amr bin Aş dan Aishah.
3. Tafsįr pada Masa Tabi’in
Sebagaimana sebagian sahabat terkenal dengan ahli tafsįr, maka sebagian tābi’įn juga ada yang terkenal dengan ahli tafsįr. Sumber tafsįr pada masa tābi’įn meliputi:
Kitabullah.
Riwayat dari sahabat baik yang berasal dari penafsiran Rasūlullāh maupun hasil ijtihād sahabat sendiri.
Ahlul kitab.
Ijtihād.
Rasūlullāh dan para sahabatnya dalam menafsirkan al-Qur’ān tidaklah menjangkau seluruh ayat al-Qur’ān. Mereka hanya menafsirkan ayat yang dirasa samar, tetapi kesamaran itu terus bertambah seiring dengan makin
jauhnya manusia dari Rasūlullāh dan sahabatnya. Lalu pada periode berikutnya para tābi’įn menambah tafsįr sesuai dengan kebutuhannya.
Para ulamā’ berbeda pendapat mengenai tafsįr karya tābi’įn yang tidak dinukil dari Rasūlullāh atau sahabat:
Sebagian ulamā’ berpendapat tafsįr mereka tidak perlu dipakai, alasannya karena mereka (tabi’in) tidak menyaksikan korinah-korinah dan keadaan-keadaan sewaktu al-Qur’ān diturunkan, maka dalam memahami maksudnya mereka bisa saja salah.
Sebagian besar mufassirin, bahwa tafsįr mereka itu diambil karena mereka biasanya menerima dari sahabat.
Pendapat yang kuat adalah apabila tafsįr tersebut merupakan ijma para tābi’įn terhadap suatu pendapat, maka wajib atas kita untuk memeganginya dan kita tidak mengambil pendapat lain.
Metode yang dipakai oleh para tābi’įn dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān , adalah; bil ma’thūr (dengan riwayat) dan bil ra’yį (dengan akal / ijtihād). Tetapi, diantara para tābi’įn ada yang menerima penafsiran dengan memakai ijtihād, tapi ada pula yang menolaknya. Diantara tābi’įn yang menerima penafsiran dengan ijtihād adalah Mujāhid, Ikrimah dan sahabat-sahabatnya. Hanya saja mereka melarang bagi orang-orang yang tidak sempurna syarat untuk menafsirkan al-Qur’ān, seperti; kurangnya pengetahuan tentang bahasa Arab, belum mampu mempelajari al-Qur’ān dalam segi mujmāl (global) dan mufaşşalnya (rinci). Pendirian kelompok Mujāhid ini mendapat sambutan yang positip dari ulamā’ -ulamā’ Irak, Mu’tazilah dan ulamā’ kalam.
Adapun golongan tābi’įn yang menolak menafsirkan al-Qur’ān dengan menggunakan ijtihād adalah; Said bin Musayyab, Ibnu Sirįn, Hisyām bin Urwah bin Az Zubair. Said ibnu Musayyab, berkata:
انا لا اقول فى القرأن شيأ
Bahwasannya aku tidak berpendapat (dengan ijtihād) barang sedikitpun dalam menafsirkan al-Qur’ān .
Dengan demikian, pada generasi tābi’įn terdapat dua aliran madrasah dalam menafsirkan al-Qur’ān , yaitu:
1. Madrasah ahlu ra’yu, yaitu menafsirkan al-Qur’ān dengan ra’yu (ijtihād).
2. Madrasah ahlu atsar, yaitu menafsirkan al-Qur’ān hanya dengan memakai riwayat atau atsar saja.
Ahli Tafsįr pada masa tabi’in, adalah; Said bin Jubair, Mujāhid, Ikrįmah, Atha bin Abį Rabah (Makkah), Zaid bin Aslam, Abū ‘Aliyah dan Muhammad bin Ka’ab al Qurazhi (Madįnah), Al Qāmah bin Qais, Masrūq, Aswad bin Yazįd, Murrah al hamadani, Amir Ash Sha’bį, Hasan al Başri dan Qatādah bin Di’amah as Sadusi (Irāk).
E. Tafsįr pada Masa Pembukuan
1. Tafsįr pada Abad II H s/d Abad III H
Pada permulaan abad kedua Hijriyah, ketika telah banyak pemeluk agama Islam non Arab dan munculnya persoalan-persoalan baru di kalangan tābi’įn serta banyaknya yang membutuhkan tafsįr al-Qur’ān, maka ulamā’ merasa perlu untuk membuat tafsįr dan mengkodifikasikannya (membukukan), agar dapat dipahami maknanya dan dapat dijadikan pedoman hidup. Pada akhir periode tabi’in, beberapa ulamā’ mulai mengumpulkan tafsįr-tafsįr dari Nabi dan sahabat. Sufyan bin Uyainah (w.198 H), dan waki’ bin Jarah (w. 197 H), adalah ulamā’-ulamā’ terkemuka yang pertama merintis penulisan Tafsįr, meskipun belum tersusun secara tematik atau menurut kronologi surat dan ayat dan masih termasuk dalam bab-bab hadįth. Hanya saja tafsįr-tafsįr mereka tidak sampai pada kita, namun kebanyakan isi kandungannya telah ditampung oleh tafsįr Ibnu Jarįr Aţ Ţabarį. Sedangkan nama-nama kitab tafsįr itu biasanya dinisbahkan (dibangsakan/disandarkan) kepada nama penulisnya. Hal ini menunjukkan bahwa tafsįr tersebut ditulis secara perorangan.
Pada pertengahan abad III Hijriyah, tafsįr mulai ditulis secara sistematis dan menurut kronologis surat dan ayat. Diantara ulamā’ yang menulisnya adalah Ibnu Majah (w, 273 H), Ibnu Jarįr Aţ Ţabarį (w. 310 H), Ibnu Abį Hatim (w. 327 H), dan lain-lain.
Metode penulisan tafsįr pada masa ini adalah dengan bil ma’tsur dan bil ra’yi. Tafsįr pertama yang ditulis menggunakan metode bil ma’tsur adalah tafsįr Jāmi’ul bayān Fį tafsįri al-Qur’ān karya Ibnu Jarįr Aţ Ţabarį (w. 310 H).
1. Tafsįr pada Abad IV H s/d Abad XI H
Sesudah zaman Ibnu Jarįr Aţ Ţabarį, bangunlah ulamā’ -ulamā’ yang bersungguh-sungguh dalam menafsirkan al-Qur’ān dengan dasar dirāyat (akal). Menafsrikan al-Qur’ān dengan dirāyat adalah salah satu hasil yang ditumbuhkan oleh perkembangan ilmu nahwu, balaghah dan kalām.
Pada abad IV H, hadįth sudah dibukukan, begitu pula ilmu mantįq, ilmu hikmah, ilmu balaghah dan filsafat telah dipelajari dengan seksama, kaidah-kaidah ushūl, musthalah al hadįth telah diatur, maka mulailah segolongan para mufassirįn mengoreksi riwayat-riwayat yang berasal dari Israiliyat dengan menggunakan penalaran rasional. Pada masa ini telah berkembang dengan luas tafsįr bil ra’yį untuk ayat-ayat i’tiqād yang mulai dikembangkan oleh golongan Mu’tazilah.
Mulai saat itu, tafsįr mempunyai sandaran yang lebih kuat, karena mufassirūn hanya menerima riwayat-riwayat yang şahįh saja dan logis, atau bisa diterima secara kaidah bahasa.
Yang mula-mula menyusun tafsįr al-Qur’ān dengan lengkap atas dasar riwayat dan kaidah kuat yang sesuai dengan kehendak bahasa, ialah; Abū Muslim Muhammad bin Bahar al Ashfahany (w.322 H), dengan kitab Tafsįrnya “Jami’ut Ta’wįl ”. Ia adalah seorang tokoh Mu’tazilah. Tafsįr ini tidak berkembang di masyarakat. Tetapi sari patinya banyak dinukilkan oleh Ar Razi dalam kitab Tafsįrnya “Al Muqtaf Alaih”.
Diantara tokoh-tokoh Tafsįr bil dirayah adalah; Abu Bakar al Asham, An Nadhām, Al Jubā’i, Ubaidillāh Ibn Muhammad Ibnu Jarwu.
Pada abad V H, sesudah kaum muslimin mempelajari ilmu logika, ilmu filsafat, eksakta, ilmu hukum, ilmu kedokteran dan lain sebagainya, maka muncul sebuah perubahan dalam pemikiran dan penyusunan kitab-kitab tafsįr. Para ahli tafsįr tidak hanya mengutip riwayat dari para sahabat, tābi’įn dan tabiit tābi’įn saja, melainkan telah menyelidiki, meneliti dan membandingkan terhadap apa yang telah dilakukan oleh para ahli tafsįr sebelumnya, bahkan mereka mengolah dan menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān sesuai dengan spesifikasi ilmu tertentu. Oleh karena itu, terdapat kitab-kitab tafsįr yang disusun dengan tinjauan dari beberapa segi. Diantara ahli tafsįr pada saat itu, seperti Jarullāh Az Zamakhsarį (467-528 H) menulis kitab tafsįr yang mengkaji al-Qur’ān dari segi balaghahnya, kitab itu diberi nama “Al Kashāf”.
2. Ahli Tafsįr abad IV s/d XI Hijriah
Abū Muslim Muhammad Ibnu Bahar al Asfahani (w. 322 H), kitab tafsįrnya; Jamį’ut Ta’wįl.
Abū Muhammad Sahl bin Abdullāh at Tasturį (w. 383 H), kitab tafsįrnya; At Tasturį, kitab Tafsįr tentang ilmu tasawuf.
Az Zamaksarį (467-528 H), kitab tafsįrnya; Al Kashāf
Abū Hasan Alį bin Ahmad al Wahidi (w. 468 H), kitab tafsįrnya; Al Wajįz Fį Tafsįril Qur’ānil Azįs.
Abū Bakar Ibnu Arabį (w. 542 H), kitab tafsįrnya; Ahkāmul Qur’ān
Abū Ja’far Muhammad ibnu Hasan At tūsį (w. 459 H) dari ulamā’ Syi’ah, kitab tafsįrnya; At Tibyān Fį Tafsįr al-Qur’ān .
Abū Muhammad al Husain Ibnu Mas’ūd Al Farā’ (w. 516 H), kitab tafsįrnya; Ma’ālimut Tanzįl.
Imam Ibnu Jauzi (w. 597 H), kitab tafsįrnya; Zadul Mashir dan Funūn Ihsan.
Fahruddin Ar Rāzi (w. 605 H), kitab tafsįrnya; Mafātihul Ghaib.
Al Qādhį, Al Baidhawį (w. 685 H), kitab tafsįrnya; Anwārut Tanzįl.
Imam Abū Abdullāh al Qurtubį (w. 671 H), kitab tafsįrnya; Al Jāmį’ li Ahkāmil Qur’ān, kitab Tafsįr tentang hukum-hukum.
Abū Hayyān Al Andalusį (w. 754 H), kitab tafsįrnya; Al Bahrur Muhįţ dan Al Nahru Al Ma’ad.
Al Hafįdz Ibnu Katsįr (w.772 H), kitab tafsįrnya; Al-Qur’ān ul Azįm.
Jalāluddįn al Mahalli dan Jalāluddįn As Suyuţį (w. 911 H), kitab tafsįrnya; Al jalālain.
Az Zarqanį (w. 977 H), kitab tafsįrnya; As Sirāj Al Munįr.
3. Ahli-ahli Tafsįr abad XII H – 18 H
Sumber Tafsįr pada masa ini adalah naqliyah dan ijtihādiyah. Ahli-ahli Tafsįr pada periode ini, ialah:
Ash Shaukanį (w. 1250 H); Fathul Qadįr.
Al Lūsį (w. 1270 H); Rūhul Ma’ānį.
Sidįq Hasan Khan (w. 1307 H); Fat-hul Bayān.
Isma’įl Haqqi; Rūhul Bayān.
Muhammad Nawāwį al Bantanį; Tafsįr Munįr.
Jamāluddįn al Qasimį (w. 1322 H); Mahāsinut Ta’wįl.
As sayyid Muhammad Rasyįd Ridlā; Al Manār.
Tanţawį Jauharį; Al Jawāhir.
Muhammad Abdul Azįs al Hakįm; Al Futuhāt al Rabbāniyah.
Ahmad Musţafā al Maraghį; Al Maraghį.
Mahmudi Khijazį; Al Wadhįh.
Ahmad Izzah Darwāriyah; Tafsįr Hadįth.
4. Ahli-ahli Tafsįr abad Modern
Sayyid Quţūb; Fi Dhilālil Qur’ān.
Muhammad farįd Qajdį; Al Mushāf al Mufaşşar.
Abu Zaed Ad Dawanhurį; Al Hidāyah wal Irfān.
Husain Maklūf; Shafatul Bayān.
Mahmūd Yūnus; Tafsįr al-Qur’ān ul Karįm.
Ahmad hasan; Al Furqān.
Prof. Dr. Hasbį Aş Şiddiqį; Al Nūr.
Prof. Dr. Hamka; Al Azhār.
F. Macam-Macam Metode Penafsiran Al-Qur’ān
Selama ini sering terjadi kerancuannpemakian istilah “manhāj (metode) dan “naz’ah/ittijah” (kecenderungan/aliran). Oleh karena itu, dalam bahasan ini akan diuraikan tentang macam-macam Tafsįr dari segi manhāj dan dari segi naz’ah.
Yang dimaksud dengan metode penafsiran al-Qur’ān adalah cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān, baik yang didasarkan atas pemakaian sumber-sumber penafsirannya, atau sistem penjelasan Tafsįr-Tafsįrnya, keluasan penjelasan Tafsįrnya, maupun yang didasarkan atas sasaran dan tertib ayat-ayat yang diTafsįrkan.
Metode Tafsįr ulamā’ Mutaqaddimįn (terdahulu) dibedakan menjadi 3 macam, yaitu: (1). Bi al Ma’tsur (riwayat), (2). Bi al-Ra’yi (akal, nalar)dan (3) Bi al Isyarį (isharat). Sedangkan metode Tafsįr ulamā’ Mutaakhirįn (akhir) dibagi menjadi 4; yaitu (1). Tahlilį, (2). Ijmalį, (3). Muqārin, dan (4). Mawdu’į.
Untuk lebih rincinya, di bawah ini akan dipaparkan pengelompokan macam-macam metode menurut stressingnya (titik tekan) dan dari sudut pandangnya.
1. Metode penafsiran al-Qur’ān dari segi sumber penafsirannya, ada 3 macam, yaitu:
a. Metode Tafsįr Bi al Ma’tsūr / Bi al Riwāyah / Bi al Manqūl; tata cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān yang didasarkan atas sumber al-Qur’ān, al Hadįth dan dari riwayat sahabat dan tabi’įn. Berikut dikemukakan contoh Tafsįr Bi al Ma’tsūr:
Tafsįr Al- Qur’ān dengan al- Qur’ān (Surat ad Dukhān; 3 diTafsįri dengan Surat al Qadar; 1).
انا انزلناه فى ليلة مباركة انا كنا منذرين ( الدخان: 3)
انا انزلناه فى ليلة القدر (القدر: 1)
Tafsįr Al- Qur’ān dengan Sunnah (lafad الظلم dalam Surat al An’ām; 82 diTafsįri dengan الشرك)
الذين أمنوا ولم يلبس ايمانهم بظلم اولئك لهم الأمن وهم مهتدون ( الآنعام: 82)
حد ثنى محمد بن بشار حد ثنا ابن ابى عد ى عن شعبة عن سليمان عن اب راهم عن علمة عت عبد الله رضى الله عنه قال: لما نزلت (ولم يلبسوا ايما نهم بظام) قال اصحا به واينا لم يظلم فنزلت (انا الشرك لظلم عظيم)
Kitab-kitab Tafsįr yang tergolong dalam metode ini, antara lain:
Jāmi’ul Bayān Fį Tafsįri al-Qur’ān ; Ibnu Jarįr Aţ Ţabari (w. 310 H).
Ma’ālimul al Tanzįl; Imām al Husain Ibnu Mas’ūd al Baghawį (w. 516 H).
Al Jāmi’ lį Ahkām al-Qur’ān ; Al Qurtubį (w. 671 H).
b. Metode Tafsįr Bi al Ra’yi / Bi al-Dirayah / Bi al-Ma’qūl, yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān yang didasarkan atas sumber ijtihād dan pemikiran mufassir terhadap tuntutan kaidah Bahasa Arab dan kesusastraannya, dan teori ilmu pengetahuan. Kitab-kitab Tafsįr yang memakai metode ini,adalah:
Mafātihul Ghaib; Fahruddin Ar Rāzį (w. 606 H).
Anwār al tanzįl wa Haqāiqu al Ta’wįl; Imam al Baidāwį (w. 692 H).
Madārik al tanzįl wa Haqāiqu at Ta’wįl; Abul Barakat an Nasafį (w. 710 H).
b. Metode Bil Iqtiranį (perpaduan antara bil ma’tsūr dan bil ra’yį), yaitu cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān yang didasarkan atas perpaduan antara sumber tafsįr riwāyah yang kuat dan şahįh dan sumber hasil ijtihād atau membandingkan ayat dengan ayat yang membahas masalah yang sama. Atau membandingkan kitab tafsir yang satu dengan kitab tafsir yang lain. Contoh membandingkan ayat al-Qur’ān yang mirip atau serupa secara redaksional terdapat delapan (8) kemungkinan:
Struktur kalimat yang berlawanan.
وادخلوا البا ب سجدا وقولوا حطة (البقرة: 58 )
وقولوا حطة وادخلوا البا ب سجدا (الآعراف: 161)
penambahan dan pengurangan.
ولكن كانوا انفسهم يظلمون (البقرة:57 )
ولكن انفسهم يظلمون (أل عمران: 117)
mendahulukan dan mengakhirkan,
وما الحيا ة الدنيا الآ لعب ولهو (الآ نعام: 32)
وما هذ ه الحيا ة الدنيا الآ لعب ولهو (الآ نكبوت: 64 )
takrif dan tankir,
رب اجعل هذا البلد أ منا (البقرة : 126)
رب اجعل هذا بلدا أ منا (÷براهيم: 35)
jama’ dan tunggal,
penggantian huruf dengan huruf lain,
penggantian kata dengan kata lain, dan
idhām dan tanpa idhām.
Kitab-kitab tafsįr yang memakai metode ini, antara lain:
Tafsįr Al Manār; Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Rashįd Ridlā.
Al Jawāhirul Fį Tafsįr al-Qur’ān ; Thantawį al Jauharį (w. 1358 H).
Tafsįr al Maraghį; Ahmad Musţafā al Maraghį (w. 1371 H / 1952 M).
2. Metode Tafsįr ditinjau dari segi cara menjelaskan terhadap Tafsįran ayat al-Qur’ān , ada 2 macam, yaitu:
a. Metode Bayanį / deskripsi, yaitu penafsiran dengan cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān hanya dengan memberikan keterangan secara deskripsi tanpa membandingkan riwayat / pendapat dan tanpa menilai (tarjįh) antar sumber. Diantara kitab Tafsįr yang memakai metode ini, adalah; Ma’ālimu al Tanzįl; Imam al Husain Ibnu Mas’ūd al baghawį (w. 516 H).
b. Metode Muqarin / Perbandingan, yaitu membandingkan ayat dengan ayat dalam bahasan yang sama, pendapat mufassir dengan pendapat mufassir lain dengan menonjolkan segi-segi perbedaan. Diantara kitab Tafsįr yang memakai metode ini adalah; Al Jāmi’ lį Ahkām al-Qur’ān ; Imam al Qurţubį (w. 671 H).
3. Metode Tafsįr dari segi keluasan penjelasan Tafsįrnya, ada 2 macam, yaitu:
a. Metode Tafsįr Ijmalį, yaitu penafsiran dengan cara, menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān secara global. Kitab Tafsįr yang memakai metode ini adalah:
Tafsįr Al-Qur’ān ul Karįm; M. Farid Wadji
Tafsįr Wasįţ; Majma’ul Bukhūthil Islāmiyah.
b. Metode Tafsįr Ithnabį, yaitu penafsiran dengan cara menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān secara rinci. Kitab-kitab Tafsįr yang menggunakan metode ini, adalah:
Tafsįr Al Manār; Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Rashįd Ridlā.
Tafsįr Al Maraghį; Ahmad Musţafā al Maraghį (w. 1371 H / 1952 M).
Tafsįr Fį Dzilāli Qur’ān; Sayyid Qutub (w. 1966 M).
5. Metode Tafsįr dari segi sasaran dan tertib ayat-ayat yang diTafsįrkan, ada 3 macam:
a. Metode Tafsįr Tahlilį, yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān dengan cara urut dan tertib ayat-ayat dan surat dalam al-Qur’ān . Kitab-kitab Tafsįr yang menggunakan metode ini, adalah:
Mafātihul Ghaib; Fahruddin Ar Rāzį(w. 606 H).
Tafsįr Al Maraghį; Ahmad Musţafā al Maraghį (w.1371 H / 1952 M).
b. Metode Tafsįr Maudlu’į, yaitu penafsiran dengan cara pembahasan yang mendalam pada satu topik tertentu dari beberapa topik yanga ada dalam al-Qur’ān , dengan memperhatikan masa turunnya dan asbabun nuzulnya, memperhatikan hubungan ayat yang satu dengan ayat lainnya dalam menunjuk suatu permasalahan, kemudian menyimpulkan masalah yang dibahas dari risalah ayat-ayat yang diTafsįrkan secara terpadu. Biasanya Tafsįr maudlu’į ini dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keahlian dalam bidang tertentu. Kitab-kitab yang memakai metode ini, adalah:
Al Mar’atu Fįal-Qur’ān al Karįm; Abbas Al Aqqād.
Ar Ribā Fį Al-Qur’ān al Karįm; Abul Alāl Maududį.
Al Mahdatu al Mankhiyah; Dr. M. Hijazi
Ayati al Kauniyah; Dr. Abdullah Syahhatah.
c. Metode Tafsįr Nuzulį; yaitu menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān dengan cara urut dan tertib sesuai dengan urutan turunnya ayat al-Qur’ān . Kitab Tafsįr yang menngunakan metode ini, adalah:
Al Tafsįr al Bayāni Lį Al-Qur’ān al Karįm; Bintu asy Syaţi’.
Suratu Ar Rahmān wa Suwaru Qişār; Syauqį Dhaif.
Tafsįr al-Qur’ān al Karįm; Prof. Dr. H. QuraishShihāb, MA.
G. Macam-Macam Kecenderungan / Aliran Penafsiran.
Yang dimaksud kecenderungan di sini adalah arah penafsiran yang menjadi kecenderungan mufassir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān . Ada beberapa corak kecenderungan penafsiran / aliran penafsiran, yaitu; lughawi atau adabį, fiqh atau ahkām, shufį atau isyārį, I’tiqādį, Falsafį, ilmį dan ijtima’į.
1. Tafsįr Lughawį / Adabį, yaitu Tafsįr yang menitik beratkan pada unsur bahasa, yang meliputi segi i’rāb dan harakat bacaannya, pembentukan kata, susunan kalimat, kesusteraan. Dikatakan “adabį” karena memakai ilmu balaghah. Kitab Tafsįr yang memakai memakai metode ini, adalah:
Al Kashshāf, karya Az Zamaksarį,
Al Bahr al Muhith, karya Al Andalusi.
2. Tafsįr all Fiqh, yaitu Tafsįr Al-Qur’ān yang titik sentralnya pada bidang hukum. Kitab Tafsįr yang memakai memakai metode ini, adalah:
Tafsįr Al Jāmi’ lį Ahkām Al-Qur’ān , karya Al Qurţubį,
Tafsįr Ahkām Al-Qur’ān , karya Ibnu Arabį,
Tafsįr Ayati Al Ahkām, karya Muhammad Alį As Sayis.
3. Tafsįr Shufį, yaitu Tafsįr al-Qur’ān yang beraliran tasawuf, kajiannya menitik tekankan pada unsur-unsur kejiwaan. Kitab Tafsįr yang memakai memakai metode ini, adalah; Tafsįr At Tasturį karya Abu Muhammad Sahl bin Abdullāh at Tasturį
4. Tafsįr Falsafį, adalah Tafsįr al-Qur’ān yang beraliran filsafat, kajiannya menitik tekankan pada bidang filsafat. Kitab Tafsįr yang memakai memakai metode ini, adalah; Mafātihul Ghaib, karya Fahruddin Ar Rāzį.
5. Tafsįr Ilmį /’Ashrį, yaitu Tafsįr al-Qur’ān titik sentral kajiannya adalah ilmu pengetahuan umum atau ayat-ayat kauniyat. Kitab Tafsįr yang menggunakan
metode ini, adalah:
Al Jawāhir, karya Ţanţawį Jauhari,
Tafsįr ‘Ayat al Kauniyāt, karya Abdullah Syahhathah,
Min al ‘Ayat al Kauniyāt Fį al-Qur’ān al Karįm, karya Dr. Muhammad Jamaluddįn al fandį.
6. Tafsįr I’tiqādį, yaitu Tafsįr al-Qur’ān yang titik sentral kajiannya pada bidang aqidah. Kitab ini dikarang sebagai upaya untuk menguatkan paham-paham tertentu, syi’ah maupun mu’tazilah.
7. Tafsįr Ijma’į, yaitu penafsiran yang menitik tekankan pada realita sosial yang berkembang di masyarakat. ab Tafsįr yang memakai memakai metode ini, adalah;
Tafsįr Fį Dilālil Qur’ān, karya Sayyid Quţub,
Tafsįr Al Manar, karya Syaikh Muhammad Abduh dan Syaikh Rashįd Ridlā.
H. Kesimpulan
1. Untuk menafsirkan al-Qur’ān , diperlukan suatu metode, yaitu suatu cara tertentu yang dipakai dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’ān dan hal-hal lain yang ada kaitannya dengan penafsiran tersebut.
2. Antara Tafsįr, tarjamah dan ta’wįl disamping mempunyai titik persamaan juga mempunyai titik perbedaan.
3. Untuk dapatnya menafsirkan al-Qur’ān dengan baik dan benar diperlukan beberapa persyaratan, yaitu; Akįdah yang benar, terlepas dari hawa nafsu, memulai menafsirkan al-Qur’ān dengan al-Qur’ān , yang mujmal dengan yang
Tafşilį, mencari penafsiran dari Sunnah, mencari penafsiran dari pendapat sahabat, mencari penafsiran dari pendapat tabi’įn, mengetahui bahasa Arab dengan segala cabangnya, mengetahui dan memahami dasar-dasar ilmu yang berhubungan dengan al-Qur’ān , mendetailnya pemahaman yang memungkinkan seorang mufassir mentarjihkan satu makna atas yang lain, mengetahui pokok-pokok Ulumul Qur’an, mengetahui manusia dan tabi’atnya.
4. Ulamā’ Tafsįr membagi metode penafsiran Al-Qur’ān menjadi dua periode, yaitu periode Mutaqaddimįn, meliputi; bil ma’tsūr, bil ra’yį dan bil isyārį, dan periode Mutaakhirįn, meliputi; Tahlilį, Ijmalį, Muqārįn, dan Mawdu’į.
5. Ada beberapa corak kecenderungan penafsiran / aliran penafsiran, yaitu; lughawį / adabį, fiqh / ahkām, shufį / ishārį, I’tiqādį, Falsafį, ilmi, ijtima’į.
==Han’s==
DAFTAR PUSTAKA
Az Zarkashį, al Burhān fį Ulūmil Qur’ān, Isā al Babį al halabį wa Shurakahuhu, Mesir, 1957, Jld,1.
Az Zarqānį, Manāhilul Irfān fį Ulūmil Qur’an, maktabah al Ghazaly, Damascus, 1981.
Alį As Şābunį, Muhammad, Al Tibyān fį Ulūm al-Qur’ān , Beirut, Dār al Irsyād, 1970.
Amįn, Ahmad, Fajrul Islām, Sulaiman Mar’i, Cet. X Singapura, 1965
Ahmad ash Shirbaşi, Sejarah Tafsįr al-Qur’ān , ttj, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1985
Hasbi as Shidiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’ān /Tafsįr, Bulan Bintang, Jakarta, 1977
Husein ad Dzahabį, Muhammad, at Tafsįr wal Mufassirūn, Jld 1 cet. III, Maktabah wahbah, 1985
Jalal, Abdul HA, Urgensi Tafsįr Maudlū’į pada Masa Kini, Jakarta, Kalam Mulia, 1990
Muchlas, Imam, Metode Penafsiran al-Qur’ān Tematis-Permasalahan, t.p. 1977
Nasir, Ridlwan, Memahami al-Qur’ān , Perspektif Baru Memahami al-Qur’ān , Indra Media, Surabaya, 2003.
Qaţţān, Mannā’ul, Mabāhits fį Ulūm al-Qur’ān , Mansūratul Ashril Hadįth, 1973.
Shihab, Quraish, Membumikan al-Qur’ān , bandung, Mizan, 1992
Taimiyah, Ibnu, Muqaddam Fi Ushūl al Tafsįr, Kuwait; Dar Al-Qur’ān , 1971
==Han’s==
Tidak ada komentar:
Posting Komentar