PROSPEK GERAKAN EKONOMI SYARIAH
DAN PERBANKAN SYARIAH
DALAM SKALA GLOBAL DAN REGIONAL
Abstrak
Ekonomi konvensional berpijak pada filosofi positivisme yang mendewakan power of rationality (kekuatan rasionalitas). Pendewaan terhadap kekuatan rasionalitas berdampak pada tergusurnya nilai-nilai dan aspek-aspek subyektif seperti nilai etika dan moral spiritual yang bersifat teologis. Nilai-nilai yang bersifat teologis dipandang sebagai wilayah yang berdiri secara terpisah dari ekonomi, tidak memilki relasi dengan ekonomi. Ekonomi pada akhirnya benar-benar menjadi disiplin ilmu yang bebas nilai (value free) yang pada gilirannya membuat manusia tidak lagi berpijak pada nilai-nilai kebenaran yang sejati. Ekonomi selanjutnya ditegakkan di atas sebuah sendi yang rapuh, yang mengabaikan aspek spiritual dan hanya berorientasi pada aspek material.
Dalam beberapa dasawarsa belakangan ini muncul sistem ekonomi dan perbankan syari’ah, yang mewarnai perkembangan realitas ekonomi dan perbankan modern bahkan memperoleh apresiasi yang semakin luas, tidak saja dari lingkungan negara yang mayoritas masyarakatnya Islam, tetapi juga dari negara-negara yang masyarakat Islamnya minoritas. Kemunculan sistem ekonomi dan perbankan syari’ah bagi para proponennya diharapkan mampu mengembalikan aktivitas ekonomi dan bisnis manusia pada sentrum yang sesungguhnya, yang mencerminkan jati dirinya sebagai makhluk teomorfosis dengan tegaknya nilai-nilai humanis dan trasedental. Dalam sistem ekonomi dan perbankan syariah aspek material dan spiritual bersifat mutually inclusive. Sistem ekonomi dan perbankan syariah melihat realitas objektif, realisme dan realitas subjektif yang didasarkan pada nominalisme sebagai ko-eksistensi, bukan dikotomi.
A. Pendahuluan
Revolusi industri dengan ekonomi sosialisme dan kapitalismenya telah menempatkan nilai-nilai agama sebagai variabel lain yang tidak memiliki hubungan yang signifikan dalam konteks ekonomi dan bisnis telah memberikan kontribusi besar bagi muncul dan merebaknya gaya hidup (life style) materialis dan sekuleris, budaya hedonistik dan individualistik, sikap hidup egoisme dan permissivism serta kemiskinan menjamur di tengah kemakmuran.[1]
Sejumlah fenomena tersebut telah turut memberikan andil besar bagi terbukanya nurani ilmuwan, terutama ekonom tentang betapa berbahayanya memisahkan nilai keagamaan dari konteks ekonomi. Dengan kata lain, para ekonom dengan hasil kajiannya menempatkan kembali pentingnya penyatuan nilai agama dengan ekonomi.[2]
Hancurnya sosialisme beberapa waktu lalu seiring dengan runtuhnya Uni Sovyet dan sejumlah negara komunis lainnya di penghujung tahun 80-an, dan terjadiya krisis ekonomi secara estafet mulai tahun 1866 dan 1890, 1929, 1985, 1987, 1998, 2000 dan terjadinya krisis finansial global (global financial crisis) baru-baru ini – 2008-, semakin menunjukkan akan kelemahan dan kebobrokan sistem kapitalisme.
Melihat fenomena-fenomena yang tragis tersebut, maka tidak mengherankan apabila sejumlah pakar ekonomi terkemuka, mengkritik dan mencemaskan kemampuan ekonomi kapitalisme dalam mewujudkan kemakmuran ekonomi di muka bumi ini. Bahkan cukup banyak klaim yang menyebutkan bahwa kapitalisme telah gagal sebagai sistem dan model ekonomi.[3] Mereka mulai mencari formula ekonomi yang mengakomodasikan kepentingan material dan spiritual manusia.[4] Suatu format yang menempatkan hubungan segitiga, antara manusia, tuhan dan alam secara harmonis. Format ekonomi dan bisnis yang memasukkan aspek nilai-nilai etika yang bersumber dari agama disadari sebagai suatu yang sangat mendasar, yang harus ditempatkan dalam kerangka kajian dan aksi ekonomi sehingga melahirkan teori dan praktek ekonomi yang berkarakter relegius, bermoral dan humanis.
Sejalan dengan hal tersebut, Anthony Gidden dalam bukunya “The Thrid Way (alternatif ketiga)” menyatakan dunia seyogyanya mencari jalan ketiga dari pergumulan sistem kakap dunia yakni kapitalisme dan sosialisme. Jalan ketiga tersebut, bagi Gidden terdapat dalam konsepsi Islam.
Oleh karena itu, dengan kegagalan sistem kapitalisme dalam mewujudkan kesejahteraan (wallfare) yang berkeadilan, maka menjadi sebuah keniscayaan bagi umat manusia untuk merubah ekonomi kapitalisme menuju sistem ekonomi yang berkeadilan dan berketuhanan. Tatanan ekonomi yang mencerminkan keadilan, pandangan yang sejajar terhadap manusia dan moralitas, dalam hal ini ekonomi Islam patut untuk dipertimbangkan sebagai salah satu alternativ dalam merealisasikan kesejahteraan manusia secara universal.
Kehadiran konsep ekonomi baru tersebut, bukanlah gagasan awam, tetapi mendapat dukungan dari ekonom terkemuka di dunia yang mendapat hadiah Nobel 1999, yaitu Joseph E.Stiglitz. Dia dan Bruce Greenwald menulis buku “Toward a New Paradigm in Monetary Economics” Mereka menawarkan paradigma baru dalam ekonomi moneter. Dalam buku tersebut mereka mengkritik teori ekonomi kapitalis (konvensional) dengan mengemukakan pendekatan moneter baru yang entah disadari atau tidak merupakan sudut pandang ekonomi Islam di bidang moneter, seperti peranan uang, bunga, dan kredit perbankan.
Dengan demikian, munculnya ekonomi Islam dan perbankan syari’ah tidak lahir dari kevakuman realitas sosial dan ekonomi. Kemunculannya merupakan refleksi kesadaran diri individu dan para proponennya dalam menerjemahkan visi kekhalifahannya, yaitu meluruskan kembali penyimpangan sosial ekonomi yang terjadi akibat kesalahan ontologi dan epistemologi ekonomi modern dan mengeliminasi cacat nilai dalam praktik ekonomi dan bisnis modern.[5] Dalam perkembangannya Sejumlah pusat keuangan internasional mulai memperkenalkan pelayanan dan produk syariah, termasuk London dan Singapura. Prancis berencana mengikuti jejak Inggris yang berusaha menjadi pusat keuangan syariah di daratan Eropa. Sistem keuangan yang tak terkena dampak besar krisis subprime mortgage telah menarik perhatian dunia, termasuk Prancis, untuk menggelutinya. Bahkan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) mulai mempelajari keuangan syariah untuk melihat bagaimana hal itu dapat membentuk kembali sistem keuangan Barat. Sekretaris Jenderal General Council for Islamic Banks and Financial Institutions, Ezzedine Khoja, mengatakan para ahli finansial terus mencari model keuangan yang aman sebagai solusi di masa depan. Dan, sejak sistem keuangan syariah diperkenalkan kembali pada 1975, industri ini berkembang pesat. Saat ini terdapat lebih dari 400 bank syariah yang beroperasi penuh dengan aset lebih dari 600 miliar dolar AS.[6]
Sementara perkembangan perbankan syariah di Indonesia pasca diberlakukannya Undang-Undang No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan disahkannya UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, maka Perbankan Syariah telah berkembang dengan pesatnya. Selama tahun 2008 jaringan pelayanan bank syariah mengalami penambahan sebanyak 130 kantor cabang. Sehingga saat ini terdapat 1.440 kantor cabang bank konvensional yang memiliki layanan syariah. Secara geografis, penyebaran jaringan kantor perbankan syariah saat ini telah menjangkau masyarakat lebih dari 89 kabupaten/kota di 33 propinsi. Jumlah BUS (Bank Umum Syariah) bertambah, sehingga sampai Oktober 2008 menjadi berjumlah lima BUS. [7] Bahkan diprediksikan pertumbuhan industri perbankan syariah pada tahun 2009 masih akan menikmati high-growth (pertumbuhan tinggi), yakni di kisaran 38 %, dibandingkan pertumbuhan perbankan secara nasional. Sehingga paling tidak pada tahun 2009 ditargetkan ada 9 bank umum syariah baru, yang diperkirakan enam dari bank domestik, yaitu Bukopin Syariah, BCA Syariah, BNI Syariah, Bank Victoria Syariah dan Bank Panin Syariah dan Bank NISP Syariah, serta tiga lainnya berasal dari investor Timur Tengah, baik didirikan dengan cara merger bank lokal atau mandiri.
Industri Perbankan Syariah Indonesia sebagai bagian dari sistem perbankan nasional, diharapkan terus tumbuh untuk mendorong aktifitas perekonomian produktif masyarakat. Pertumbuhan itu meliputi pertumbuhan DPK (dana pihak ketiga), jumlah pembiayaan, pertambahan jumlah rekening nasabah, serta jumlah sektor perekonomian yang dibiayai.
B. Mendekonstruksi Ekonomi Konvensional
Pendekatan ekonomi konvensional yang berlebihan terhadap pemenuhan kepentingan pribadi (self interest), memang telah meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam perekonomian Dunia. Tetapi dibalik keberhasilan ini, sesungguhnya ekonomi konvensional gagal dalam mewujudkan aktualisasi visi sosial dan tujuan normatif lahirnya ilmu ekonomi.[8] Hal itu kemudian juga menimbulkan efek negatif dalam bentuk yang diistilahkan oleh Fukuyama “kekacauan yang besar (the great disruption)”.
Kekacauan ini diantaranya berkaitan dengan runtuhnya sistem keluarga. Dalam konsepsi kapitalis, mengasuh dan merawat anak, diyakini membutuhkan pengorbanan yang besar yang dianggap sebagai suatu kerugian dalam ukuran materialis dan hedonis. Mentalitas pasar yang mendorong untuk memenuhi kepuasan/kepentingan pribadi yang telah disuntikan kedalam keluarga, menyebabkan para orang tua tidak mampu untuk berhubungan baik satu sama lainnya. Terjadi peningkatan hubungan seks bebas, perceraian, dan keluarga dengan orang tua tunggal (single parents) menimbulkan penderitaan emosional, kejiwaan, serta material pada anak-anak. Hal ini mengakibatkan penurunan kualitas manusia dan keruntuhan kontrol sosial. Kenakalan remaja dan anomie yang semakin meningkat, menjadi ancaman serius bagi upaya mewujudkan kemakmuran masyarakat.
Hal ini menjadi semakin buruk, ketika sejumlah proporsi signifikan dalam masyarakat terperangkap kegananasan roda kemiskinan, hidup dalam penderitaan di kota-kota besar, dan terpenjara oleh ghetto pathology, tingkat pengangguran yang kronis dan kriminalitas yang tinggi.[9] Realitas ini merebak dan telah menjangkiti hampir seluruh negeri, termasuk negeri-negeri muslim.
Tren atau kecenderungan kemiskinan juga mengarah menjadi semakin buruk. Jumlah orang miskin yang hidupnya kurang dari 1 dolar AS (kurs rupiah Rp. 11.145)[10] terus bertambah terutama di negara-negara berkembang seperti di Indonesia. Jumlah angka kemiskinan menurut data BPS berfluktuasi., periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 38,70 juta. Namun pada tahun 2006, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup drastis, yaitu dari 35,10 juta orang (15,97 persen) pada bulan Februari 2005 menjadi 39,30 juta (17,75 persen) pada bulan Maret 2006. Dan, pada tahun 2007 tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 37,17 juta orang (16,58 %) dari populasi. Berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,13 juta.[11] Namun beberapa bulan terakhir tahun 2007 akibat harga minyak mentah dunia melonjak drastis bahkan mendekati angka 100 dolar per barel telah menambah jumlah angka kemiskinan di Indonesia. Sehingga pada tahun 2008 jumlah penduduk miskin naik menjadi 39,05 juta (17,75%) dari total penduduk Indonesia yang berjumlah ± 222 juta jiwa.
Kekacauan ekonomi juga terjadi secara global akibat “globalisasi ekonomi” yang tidak adil. Globalisasi ekonomi hanya menguntungkan perusahaan multinasional (Multi National Corporations/MNCs). Globalisasi sebagian besar merupakan cerita bagaimana perusahaan multinasional mengambil alih peran negara dalam menentukan jalannya perekonomian dunia. Globalisasi ekonomi dan berbagai peraturan birokrasi global telah membuat korporasi-korporasi multinasional mampu bergabung menjadi satu, menyuarakan satu kepentingan. Sebanyak 200 korporasi besar papan atas dunia menguasai 28 persen aktivitas perekonomian global. Sementara itu 500 korporasi papan atas memegang 70 persen perdagangan dunia, dan 1000 korporasi papan atas mengontrol lebih dari 80 persen hasil industri dunia.[1] Hal ini memang diharapkan dan sejalan dengan visi dari sistem kapitalis yang berparadigma pasar (market mechanism paradigm), yang menyerahkan jalannya ekonomi sepenuhnya kepada pasar. Pemerintah hanya akan turut campur ketika pasar diganggu oleh interupsi luar (externalities) atau kegagalan pasar (market failures). Padahal externalities atau market failures sangat bias standarnya. Globalisasi dianggap memberikan efek efisien kepada proses perdagangan dunia, meski sesungguhnya hanya menguntungkan kapitalis global sebagai pemilik MNCs. Dampaknya adalah penghisapan atau akumulasi kekayaan hanya untuk segelintir orang dan meninggalkan kemiskinan yang meluas. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip al-Qur’an:
ös1……….. w tbqä3t P's!rß tû÷üt/ Ïä!$uÏYøîF{$# öNä3ZÏB
Kekacauan juga terindikasi pada kesenjangan pertumbuhan pasar uang (money market) dan pasar obligasi (bond market) berikut pasar sekundernya (secondary market) yang begitu cepat, hingga pertumbuhannya melampaui pertumbuhan perdagangan di sektor riel. Perkembangan baik kualitas maupun kuantitas transaksi di pasar ini berakibat ketidakseimbangan antara pasar uang dan pasar barang. Berdasarkan data World Bank menunjukan volume transaksi di pasar uang dan pasar derivatifnya mencapai 500 triliun dolar AS, sedangkan volume transaksi yang terjadi di sektor ril hanya 6 triliun dolar AS dalam satu tahun.[3] Besarnya volume pasar uang dan pasar derivatif adalah cerminan akumulasi kekayaan para ‘kapitalis global’. Dan ketidakseimbangan antara pasar uang dan pasar barang sangat berbahaya. Sistem kredit atau sistem hutang juga telah memerangkap perekonomian dunia sedemikian dalam. Mekanisme bunga (interest rate) yang juga menggurita bersama sistem hutang ini, kemudian membuat sistem perekonomian harus menderita ketidakseimbangan kronis. Kebangkrutan ekonomi sedang menghantui berbagai negara termasuk Indonesia bahkan juga perorangan akibat perangkap sistem bunga tersebut.
Berbagai akses yang sangat menghawatirkan akibat mal praktek ekonomi konvensional sebagaimana terurai di atas telah memunculkan kesadaran dari sejumlah kalangan perlunya mendekonstruksi ekonomi kapitalisme menuju sistem ekonomi yang berkeadilan dan berketuhanan. Tatanan ekonomi yang mencerminkan keadilan, pandangan yang sejajar terhadap manusia dan moralitas. Oleh karena itu perlu dicanangkan sebuah premis baru bahwa pembangunan ekonomi dalam kerangka ajaran Islam dan ilmu ekonomi pembangunan Islami berakar pada kerangka nilai yang ada dalam al-Qur’an dan as-Sunah. Al-Qur’an dan As-Sunah merupakan titik rujukan yang paling mendasar. Premis kedua dalam pendekatan ini menolak sikap imitatif.
Model kapitalis maupun sosialis serta derivasinya bukan merupakan ideal type, kendatipun kita juga dapat mengumpulkan sumber-sumber yang bermanfaat untuk diadaptasikan atau diintegrasikan dalam kerangka Islam tanpa harus mengurangi nilai-nilai normatif yang ada. Teori pembangunan seperti yang dikembangkan di Barat (negara-negara kapitalis, sosialis dan penganut derivasinya) banyak dipengaruhi oleh karakteristik unik, masalah spesifik, nilai eksplisit dan implisit serta infrastruktur sosial-politik-ekonomi yang khas dari kazanah peradabannya.[4] Sehingga akan terjadi kesulitan besar dan bahkan cenderung kontraproduktif ketika dipaksakan untuk diadopsi secara penuh, hal ini disebabkan adanya perbedaan mendasar yang membentuk bangunan kemasyarakatan dari masing-masing peradaban. Pendekatan Islam haruslah jelas-jelas bersifat ideologis dan berorientasi pada nilai-nilainya. Konsep pembangunan senantiasa terikat oleh kondisi budaya, sosial dan politik setempat.
Pembangunan dalam Islam mempunyai pengertian khusus dan unik. Beberapa aspek pembangunan seperti keadilan sosial dan hak asasi (social justice and human rights), mempunyai persamaan dengan konsep barat, meskipun banyak perbedaan dan memiliki dasar pokoknya yang berbeda. Harus diakui bahwa proyek ilmu ekonomi Islam dan Islamisasi ilmu ekonomi telah menjadi obor terdepan bagi proyek Islamisasi ilmu. Bahkan para penggiat perbankan dan keuangan Islam juga telah berhasil mengukuhkan terwujudnya sistem keuangan Islam secara global dan diakui eksistensinya dalam percaturan ekonomi di dunia dewasa ini.
Keberadaan sistem ekonomi Islam merupakan konsekuensi dari pandangan hidup Islam (Islamic worldview). Worldview Islam yang menjadi dasar ini oleh para Ulama dan Cendekiawan muslim disebut dengan berbagai istilah; Maulana al-Maududi mengistilahkannya dengan Islami nazariat (Islamic Vision), Sayyid Qutb menggunakan istilah al-Tasawwur al-Islami (Islamic Vision), Mohammad Atif al-Zayn menyebutnya al-Mabda’ al-Islami (Islamic Principle), sedangkan Prof. Syed Naquib al-Attas menamakannya Ru’yatul Islam lil Wujud (Islamic Worldview).[5] Meskipun secara istilah terjadi perbedaan penyebutan tetapi secara esensi terdapat kesamaan keyakinan para Ulama’ dan Cendekiawan tersebut bahwa pandangan hidup (worldview) seorang muslim haruslah menjadikan Islam sebagai sistem hidup yang mengatur semua sisi kehidupannya yang menjanjikan kesejahteraan dan keselamatan di dunia dan akherat.
Worldview ini lahir dari adanya konsep-konsep Islam yang mengkristal menjadi kerangka berfikir (mental framework). Islam pada hakekatnya merupakan panduan pokok bagi manusia untuk hidup dan kehidupannya, baik itu aktifitas ekonomi, politik, hukum maupun sosial budaya. Islam memiliki kaidah-kaidah, prinsip-prinsip atau bahkan beberapa aturan spesifik dalam pengaturan detil hidup dan kehidupan manusia. Islam mengatur hidup manusia dengan kefitrahannya sebagai individu (hamba Allah SWT) dan menjaga keharmonisan interaksinya dalam kehidupan sosial-kemasyarakatan. Dalam aktifitas kehidupan manusia, beberapa aspek aktifitas tersebut memiliki sistemnya sendiri-sendiri, misalnya aspek ekonomi, hukum, politik dan sosial budaya. Islam yang diyakini sebagai sistem yang integratif dan konprehensip tentu memiliki formulasinya sendiri dalam aspek-aspek tersebut. Sistem ekonomi Islam, sistem hukum Islam, sistem politik Islam dan sistem sosial-budaya Islam merupakan bentuk sistem yang spesifik dari konsep Islam sebagai sistem kehidupan. [6]
Worldview Islam memberikan pijakan bahwa bahwa umat manusia adalah ciptaan Allah, dan seluruh sumber kehidupan (resources) yang tersedia adalah amanah-Nya, maka secara otomatis manusia memiliki hubungan persaudaraan yang alamiah dan mereka juga harus bertanggungjawab kepada-Nya. Oleh karena itu manusia tidak secara mutlak bebas untuk melakukan apa saja, akan tetapi mereka diharapkan untuk menggunakan sumber daya yang terbatas (limited resources) dan berinteraksi antara satu dengan lainnya serta membangun lingkungan hidup sedemikian rupa sehingga mendukung usaha perwujudan kesejahteraan bersama (mutual welfare) setiap individu, tanpa melihat apakah status social, ras dan agama. Manusia juga diharapkan untuk tidak saja menjamin pencapaian tujuan materi, akan tetapi juga tujuan spiritual dan kemanusiaan.
Islam menekankan pembanguan ‘insan seutuhnya’ (human development) menuju puncak kehidupan yang seindah-indahnya (fi ahsani taqwiin).[7] Pembangunan mendasarkan diri pada konsep tazkiyah an-nafs dengan titik tumpu pada penyempurnaan akhlak dan kepribadian. Karena pribadi adalah bagian penting dalam pembentukan peradaban. Asas ketenangan (internal harmony) merupakan hasil dari proses tazkiyah. Ibnu Khaldun pernah melukiskan betapa agama dapat menghasilkan transformasi social (social transformation). Dan sebaliknya manakala sebuah komunitas masyarakat terjebak pada kesenangan dan kemewahan maka akan lahir babak kehancuran dari peradaban (the decay of civilization). Dengan konsep tazkiah ini maka diharapkan terbentuk: konsep pembangunan Islami yang memiliki sifat komprehensif dan mengandung unsur spiritual, moral dan material; fokus usaha dengan jantung pembangunan itu sendiri adalah manusia; pembangunan ekonomi adalah aktifitas yang multidimensional; pembangunan ekonomi menimbulkan sejumlah perubahan secara kuantitatif maupun kualitatif; dan adanya prinsip sosial Islam yang dinamis untuk pemanfaatan sumber daya alam dan pemanfaatan ini dilaksanakan dengan semangat keadilan.
Kebijakan pembangunan Islami yang ideal harus berorientasi untuk meningkatkan tingkat spiritual masyarakat Islam dan meminimalisasi kerusakan moral, memenuhi kewajibannya untuk kesejahteraan ekonomi dalam batas-batas sumber daya yang tersedia; dan menjamin keadilan distributif dan memberantas praktik eksploitasi. Sebuah doktirn yang melekat dan menyatu dalam kepribadian masyarakat (built-in in-doctrination). Kesejahteraan individu dalam masyarakat Islam dapat terealisasi bila ada iklim yang cocok bagi pelaksanaan nilai-nilai spiritual Islam secara keseluruhan untuk individu maupun masyarakat.
C. Prilaku Manusia dalam Ekonomi
1. Produksi
Dalam konsepsi Islam, prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya seharusnya berpijak pada prinsip agama. Selain itu, mempertimbangkan juga kecenderungan-kecenderungan dari fitrah manusia. Dalam ekonomi Islam, keduanya berinteraksi secara harmonis sehingga terbentuklah sebuah mekanisme ekonomi yang khas dengan pondasi nilai-nilai Ilahiyah. Disisi lain, ekonomi konvensional memandang prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhannya yang tak terbatas dengan menggunakan faktor-faktor produksi yang terbatas. Dari sini dapat dipahami bahwa prilaku manusia tersebut terfokus sebagai prilaku yang bersifat individual dan prilaku tersebut bukan dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan (needs), tetapi pada hakekatnya untuk memuaskan keinginan (wants) yang memang tak terbatas. [8]
Definisi ekonomi konvensional ini berkembang dari pemahaman motif-motif ekonomi yang dijelaskan oleh pemikir ekonomi kapitalis. Francis Ysidro Edgworth (1845-1926) merupakan tokoh sentral yang mengemukakan motif self interest (egoism dan utilitarianism) dari prilaku ekonomi manusia. Dari diskursus intelektual mengenai motif prilaku ekonomi di kalangan pakar ekonomi konvensional, sesungguhnya telah diakui bahwa moralitas dan nilai agama memiliki andil dalam prilaku ekonomi manusia. Namun Edgworth (1881) memiliki alasan kuat bahwa hanya egoismelah yang menjadi landasan nilai yang sangat konsisten bagi prilaku manusia (egoistic behaviour).
Ada perbedaan yang mendasar antara ekonomi Islam dan ekonomi konvensional dari pondasi dasar yang telah dijelaskan diatas. Pertama adalah sumber landasan nilai yang muncul. M.N. Siddiqi [9] mengemukakan bahwa sumber utama dari prilaku dan infrastruktur ekonomi Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah. Pengetahuan itu bukan buah fikiran pakar ekonomi Islam, tapi ‘ide langsung’ dari Allah SWT. Sementara itu sumber pengetahuan dari prilaku dan institusi ekonomi konvensional adalah intelegensi dan intuisi akal manusia melalui studi empiris. Perbedaan kedua, tentu saja terletak pada motif prilaku itu sendiri. Ekonomi Islam dibangun dan dikembangkan di atas nilai altruisme, sedangkan ekonomi konvensional dibangun dan dikembangkan berdasarkan nilai egoisme.
Dari banyak prinsip-prinsip ekonomi Islam yang disebutkan oleh pakar ekonomi Islam, setidaknya terdapat empat prinsip utama dalam sistem ekonomi Islam.[10] Pertama, menjalankan usaha-usaha yang halal (permissible conduct). Dari produk, manajemen, proses produksi hingga proses sirkulasi atau distribusi haruslah dalam kerangka halal. Usaha-usaha tersebut tidak bersentuhan dengan judi (maisir) dan spekulasi (gharar) atau tindakan-tindakan lainnya yang dilarang secara syariah. Hal ini juga berlandaskan pada surah al-Baqarah ayat 72 & 168 serta an-Nisaa ayat 29.. Dalam ekonomi Islam pada dasarnya aktifitas apapun hukumnya boleh kecuali ada dalil yang melarang aktifitas itu secara syariah.
Kedua, hidup hemat dan tidak bermewah-mewah (abstain from wasteful and luxurius living), bermakna juga bahwa tindakan-tindakan ekonomi hanyalah sekedar untuk memenuhi kebutuhan (needs) bukan memuaskan keinginan (wants). Prinsip ini sejalan dengan panduan al-Qur’an:
ûÓÍ_t6»t tPy#uä (#räè{ ö/ä3tGt^Î yZÏã Èe@ä. 7Éfó¡tB (#qè=à2ur (#qç/uõ°$#ur wur (#þqèùÎô£è@ 4 ¼çm¯RÎ) w =Ïtä tûüÏùÎô£ßJø9$#
Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
Ketiga, implementasi Zakat (implementation of zakat). Pada tingkat negara mekanisme zakat yang diharapkan adalah obligatory zakat system bukan voluntary zakat system. Disamping itu ada juga instrumen sejenis yang bersifat sukarela (voluntary) yaitu infak, shadaqah, wakaf, dan hadiah yang terimplementasi dalam bangunan sosial masyarakat. Prinsip ini sebagaimana diisyaratkan dalam surah at-Taubah ayat 60 dan 103.
Keempat, penghapusan/pelarangan Riba atau Bunga (prohibition of riba), Gharar dan Maisir. Untuk itu perlu menjadikan sistem bagi hasil (profit-loss sharing) dengan instrument mudharabah dan musyarakah sebagai pengganti sistem kredit (credit system) berikut instrumen bunganya (interest rate) dan membersihkan ekonomi dari segala prilaku buruk yang merusak sistem, seperti prilaku menipu, spekulasi atau judi. Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an.
úïÏ%©!$# cqà)ÏÿYã Oßgs9ºuqøBr& È@ø©9$$Î/ Í$yg¨Z9$#ur #vÅ ZpuÏRxtãur óOßgn=sù öNèdãô_r& yYÏã öNÎgÎn/u wur êöqyz óOÎgøn=tæ wur öNèd cqçRtóst ÇËÐÍÈ
orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan terang-terangan, Maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Keempat prinsip utama ini tentu bukan hanya memberi batasan-batasan moral saja dalam aktifitas dan sistem ekonomi Islam, tetapi juga memiliki konsekwensi-konsekwensi yang menciptakan bangunan ekonomi Islam. Konsekwensi yang jelas sekali misalnya adalah eksistensi lembaga Baitul Mal sebagai respon langsung dari ketentuan implementasi sistem zakat dalam kebijakan fiskal Negara. Atau dominasi konsep bagi hasil dalam dunia keuangan dan investasi sebagai konsekwensi pelarangan bunga (riba).
Juga adanya lembaga al-Hisbah untuk mengawasi pasar. Prinsip-prinsip ini tamanya dimaksudkan agar segala aktifitas manusia betul-betul dapat mencapai sebuah kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan dunia-akhirat (falah). Prinsip-prinsip ini menjadi pedoman dari prilaku individual dan juga kolektif yang akan mengarah pada kesejahteraan masyarakat secara luas.
Dalam ekonomi Islam motif dalam aktifitas ekonomi adalah ibadah. Motif badah inilah yang kemudian mempengaruhi segala prilaku konsumsi, produksi dan interaksi ekonomi lainnya. Secara spesifik ada tiga motif utama dalam prilaku ekonomi Islam, yaitu mashlahah (public interest), kebutuhan (needs) dan kewajiban (obligation).
Mashlahah merupakan motif yang dominan diantara ketiga motif yang ada, Dr. Akram han menjelaskan bahwa mashlahah adalah parameter prilaku yang bernuansa altruisme (kepentingan bersama). Berikutnya, motif kebutuhan merupakan sebuah motif dasar (fitrah), dimana manusia memang memiliki kebutuhan dasar yang harus dipenuhi. Sedangkan motif kewajiban merupakan representasi entitas utama motif ekonomi yaitu ibadah. Ketiga motif ini saling menguatkan dan memantapkan peran motif ibadah dalam
perekonomian.
Dalam paradigma ekonomi Islam harta bukanlah tujuan, ia hanya sekedar alat untuk mencapai falah. Seluruh kekayaan adalah milik Allah SWT, sehingga pada hakikatnya apa yang dimiliki manusia itu hanyalah sebuah amanah. Dan nilai amanah itulah yang menuntut manusia untuk menyikapinya dengan benar. Sedangkan dari perspektif konvensional, harta merupakan kekayaan yang menjadi hak milik pribadi seseorang. Islam cenderung melihat harta berdasarkan flow concept, yang sebaiknya mengalir. Sedangkan ekonomi konvensional cenderung memandangnya berdasarkan stock concept, yang mendorong prilaku penumpukan dan penimbunan.[11]
Dr. Muhammad Arif[12] menjelaskan bahwa ekonomi konvensional lebih mengedepankan pasar sebagai paradigmanya. Orientasi pasar pada ekonomi konvensional sejalan dengan landasan filosofinya yang menjadikan kelimpahan materi sebagai parameter. Hal ini yang menjadi alasan utama mengapa kecenderungan pelaku pasar dalam sistem konvensional begitu konsumtif, hedonis, materialistis dan individualistis.
2. Prilaku Konsumsi dan Distribusi Individu dan Masyarakat
Beberapa ahli ekonomi Islam telah membuat kesimpulan menarik berkaitan dengan hubungan antara prilaku ekonomi (economic behavior) dan tingkat keyakinan atau keimanan individu atau masyarakat. Dalam pandangan tersebut disimpulkan, pada tingkatan realitas atau kenyataan, prilaku ekonomi sangat ditentukan oleh tingkat keimanan seseorang atau masyarakat. Prilaku ini kemudian membentuk kecenderungan prilaku konsumsi dan produksi di pasar. Kesimpulan tersebut menjelaskan tiga arakteristik prilaku ekonomi dengan menggunakan tingkat keimanan sebagai asumsi.[13] Pertama, ketika keimanan ada pada tingkat yang cukup baik, maka motif berkonsumsi atau berproduksi akan didominasi oleh motif mashlahah (public interest), kebutuhan (needs) dan kewajiban (obligation).
Kedua, ketika keimanan ada pada tingkat yang kurang baik, maka motifnya tidak didominasi hanya oleh tiga hal tadi tapi juga kemudian akan dipengaruhi secara signifikan oleh ego, rasionalisme (materialisme) dan keinginan-keinganan yang bersifat individualistis.
Ketiga, ketika keimanan ada pada tingkat yang buruk, maka motif berekonomi individu atau masyarakat tentu saja akan didominasi oleh nilai-nilai individualistis (selfishness); ego, keinginan dan rasionalisme. Dalam prilaku konsumsipun tak terlepas dari perspektif tersebut.
Sesunguhnya motif berkonsumsi atau berproduksi individu atau masyarakat muslim seharusnya akan didominasi oleh tiga motif utama tadi; mashlahah, kebutuhan dan kewajiban.[14] Sementara itu Dr. Qardhawi [15] menyebutkan beberapa variabel moral dalam berkonsumsi, diantaranya; konsumsi atas alasan dan pada barang-barang yang baik (halal), berhemat, tidak bermewah-mewah, menjauhi hutang, menjauhi kebakhilan dan kekikiran. Sedangkan pada perspektif konvensional, aktifitas konsumsi seseorang sangat erat kaitannya dengan pemaksimalan kepuasan (utility). John Hicks (1904-1989)[16] memberikan penjelasan tentang konsumsi ini menggunakan parameter kepuasan melalui konsep kepuasan (utility) yang tergambar dalam kurva indifference (tingkat kepuasan yang sama). Hicks mengungkapkan bahwa individu berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya melalui aktifitas konsumsi pada tingkat kepuasan yang maksimal menggunakan tingkat pendapatannya (budget constraint).
Tingkat pendapatannya akan dioptimalkan untuk memaksimalkan konsumsi barang/jasa, tabungan dan investasi untuk kepuasannya sendiri. Pemaksimalan kepuasan ini dipengaruhi oleh dorongan yang didominasi nilainilai individualisme, ego, keinginan dan rasionalisme. Jauh dari nilai altruisme. Bagi individu atau masyarakat muslim, pendapatan (income) merupakan alat untuk memaksimalkan pencapaian kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan duniaakherat (falah). Dr. Monzer Kahf35 melakukan analisis tajam mengenai ‘pengeluaran akhir’ (final spending/FS) sebagai variabel standard dalam melihat kepuasan maksimum yang diperoleh seorang konsumen muslim. Dalam konsep tersebut, beliau memasukan komponen zakat sebagai variabel yang menjadi keharusan dalam prilaku konsumsi individu muslim (bagi yang mampu). Sehingga secara lengkap ‘pengeluaran akhir (FS)’ dari penghasilan yang didapat seorang muslim meliputi; konsumsi barang/jasa, tabungan, investasi, zakat, infak-shadaqah, serta wakaf bagi yang mampu. Hal ini didasari oleh semangat kemaslahatan bersama dan tumbuh suburnya nilai-nilai altruisme yang mengakar dalam individu dan masyarakat.
Hal ini tentu berbeda dengan teori ekonomi konvensional yang hanya memasukan pengeluaran akhir individu kapitalis yang hanya mencakup; konsumsi barang/jasa dan maksimalisasi tabungan dan investasi saja. Selain itu terdapat konsep yang fundamental dalam paradigma konsumsi menurut Islam. Dalam konsepsi Islam; kebutuhan (need) berbeda dengan keinginan (want) dan syahwat (desire). Dalam lingkungan mayarakat yang kapitalis dan konsumeris tentu akan sangat sulit membedakan hal ini. Tetapi bagi individu atau masyarakat yang memiliki keimanan yang tinggi akan mudah membedakan hal ini. Kebutuhan (need) adalah sesuatu yang diperlukan oleh manusia sehingga dapat hidup normal. Bila ada diantara kebutuhan tersebut yang tidak terpenuhi maka manusia dalam kondisi sengsara dan tidak dapat hidup normal.
Dapat dikatakan bahwa kebutuhan adalah suatu hal yang harus ada. Sedang keinginan (want) yaitu sesuatu tambahan-tambahan yang diharapkan dapat dipenuhi sehingga manusia tersebut merasa lebih puas. Meski kepuasan sangat relative bagi setiap orang, namun yang pasti, bila keinginan tidak terpenuhi maka kelayakan hidup tidak akan berkurang. Sedangkan syahwat (desire) merupakan dorongan dalam diri manusia yang diakibatkan oleh sifat-sifat buruk. Seperti dorongan kedengkian, iri hati, tamak, rakus, sombong, ingin dihormati dll. Syahwat inilah yang biasanya memunculkan keinginan yang tidak sehat pada diri manusia. Membuat tidak rasional dalam keputusankeputusan finansial.
Kemampuan membedakan antara kebutuhan, keinginan dan syahwat adalah bagian penting dalam panduan prilaku konsumsi dalam ekonomi Islam. Karena kalau tidak dapat membedakan yang mana pengeluaran sebagai kebutuhan dan yang mana sebenarnya sebagai keinginan dan syahwat konsumsi, maka individu atau masyarakat akan menjadi boros dan konsumeris. Boros dalam padangan Islam sebagai bentuk kemubadziran. Tidak bisa membedakan antara syahwat, keinginan dan kebutuhan juga bias membuat individu atau masyarakat tidak bisa menentukan dengan baik prioritas dalam melakukan pengeluaran. Malah, bisa jadi akan mengorbankan suatu kebutuhan untuk memenuhi keinginan dan syahwat. Kesimpulan penting dari pandangan Islam untuk panduan konsumsi adalah meletakan motif utama dalam prilaku ekonomi Islam, yaitu mashlahah, kebutuhan dan ibadah. Selain itu tujuan aktivitas ekonomi individu muslim adalah untuk mencapai sebuah kesejahteraan, kedamaian dan kebahagiaan dunia-akhirat (falah). Sehingga dengan motif dan tujuan ini prilaku ekonomi manusia yang diharapkan juga akan berorientasi pada semangat kesejahteraan bersama (altruisme). Individu dan Masyarakat akan mencapai kepuasan manakala ‘pengeluaran akhir’ dari penghasilan mereka juga optimal untuk kedermawanan atau kesejahteraan bersama seperti zakat, infak-shadaqah, serta wakaf dan bentuk kebaikan lainnya.
D. Konstribusi Ekonomi Islam untuk Ekonomi Modern
Dalam tiga dekade belakangan ini, kajian dan penelitian ekonomi Islam kembali berkembang. Berbagai forum internasional tentang ekonomi Islam sering dan banyak digelar di berbagai negara, seperti konferensi, seminar, simposium, dan workshop. Puluhan para doktor dan profesor ekonomi Islam yang ahli dalam ekonomi konvensional dan syari’ah, tampil sebagai pembicara dalam forum-forum tersebut.
Dari kajian mereka ditemukan bahwa teori ekonomi Islam, sebenarnya bukan ilmu baru ataupun ilmu yang diturunkan secara mendasar dari teori ekonomi modern yang berkembang saat ini. Fakta historis menunjukkan bahwa para ilmuwan Islam zaman klasik, adalah penemu dan peletak dasar semua bidang keilmuan, termasuk ilmu ekonomi.
Dari kajian mereka ditemukan bahwa teori ekonomi Islam, sebenarnya bukan ilmu baru ataupun ilmu yang diturunkan secara mendasar dari teori ekonomi modern yang berkembang saat ini. Fakta historis menunjukkan bahwa para ilmuwan Islam zaman klasik, adalah penemu dan peletak dasar semua bidang keilmuan, termasuk ilmu ekonomi.
Karena itu adalah logis, bila Adiwarman Azwar karim, mengatakan bahwa teori-teori ekonomi modern yang saat ini dipelajari di seluruh dunia, merupakan pencurian dari teori-teori yang ditulis oleh para ekonom Barat yang melakukan plagiat tanpa menyebut rujukan yang berasal dari kitab-kitab klasik tentang ekonomi Islam.
Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy, dalam bukunya Muslim Economic Thingking atau dalam artikelnya History of Islamic Economics Thought belum menjelaskan adanya benang merah antara pemikiran ekonomi Islam yang demikian maju dengan kebangkitan pemikiran ekonomi Barat. Karena itu tulisan ini perlu menunjukkan adanya benang merah tersebut.
Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqy, dalam bukunya Muslim Economic Thingking atau dalam artikelnya History of Islamic Economics Thought belum menjelaskan adanya benang merah antara pemikiran ekonomi Islam yang demikian maju dengan kebangkitan pemikiran ekonomi Barat. Karena itu tulisan ini perlu menunjukkan adanya benang merah tersebut.
Dalam Ensiklokipaedia Britania, Jerome Ravetz berkata, ”Eropa masih berada dalam kegelapan, sehingga tahun 1000 Masehi di mana ia dapat dikatakan kosong dari segala ilmu dan pemikiran, kemudian pada abad ke 12 Masehi, Eropa mulai bangkit. Kebangkitan ini disebabkan oleh adanya persinggungan Eropa dengan dunia Islam yang sangat tinggi di Spanyol dan Palestina. , serta juga disebabkan oleh perkembangan kota-kota tempat berkumpul beberapa orang kaya yang terpelajar
Joseph Schumpeter dalam buku History of Economics Analysis, Oxford University, 1954, mengatakaan, adanya great gap dalam sejarah pemikiran ekonomi selama 500 tahun, yaitu masa yang dikenal sebagai dark ages . Masa kegelapan Barat tersebut sebenarnya adalah masa kegemilangan Islam. Ketika Barat dalam suasana kegelapan dan keterbelakangan itu, Islam sedang jaya dan gemilang dalam ilmu pengetahuan dan peradaban. The dark ages dan kegemilangan Islam dalam ilmu pengetahuan adalah suatu masa yang sengaja ditutup-tutupi barat, karena pada masa inilah pemikiran-pemikiran ekonomi Islam dicuri oleh ekonom Barat. Proses pencurian itu diawali sejak peristiwa perang salib yang berlangsung selama 200 tahun, yakni dari kegiatan belajarnya para mahasiswa Eropa di dunia Islam.
Joseph Schumpeter dalam buku History of Economics Analysis, Oxford University, 1954, mengatakaan, adanya great gap dalam sejarah pemikiran ekonomi selama 500 tahun, yaitu masa yang dikenal sebagai dark ages . Masa kegelapan Barat tersebut sebenarnya adalah masa kegemilangan Islam. Ketika Barat dalam suasana kegelapan dan keterbelakangan itu, Islam sedang jaya dan gemilang dalam ilmu pengetahuan dan peradaban. The dark ages dan kegemilangan Islam dalam ilmu pengetahuan adalah suatu masa yang sengaja ditutup-tutupi barat, karena pada masa inilah pemikiran-pemikiran ekonomi Islam dicuri oleh ekonom Barat. Proses pencurian itu diawali sejak peristiwa perang salib yang berlangsung selama 200 tahun, yakni dari kegiatan belajarnya para mahasiswa Eropa di dunia Islam.
Transmisi ilmu pengetahuan dan filsafat Islam ke Barat telah dicatat dalam sejarah. Dalam hal ini Abbas Mirakhor menulis, The transmission mechanism of Islamic sciences and philosophy to the Eoropeans has been recorded in the history of thought of these disciplines. It took a variaty of forms. First, during the late elevent and early twelfth centuries, a band of western scholars such as Constantine the African and Adelard of Bath, travel to Muslim countries, learned Arabic and made studies and brought what they could of the newly acquired knowledge with them back to Eorope. For example, one such student Leonardo Fibonacci or leonardo of Pisa (d.1240) who traveled and studied in Bougie in Algeria in the twelfth century , learned arithmatic and mathematic of Al-Khawarizmi and upon his return he wrote his book Liber Abaci in 1202.
Di sinilah terjadi pencurian ilmu ekonomi Islam oleh Barat. Hal ini telah banyak dikupas oleh para sejarahwan. Dari teks di atas dapat diketahuai bahwa dalam abad 11 dan 12 M, sejumlah pemikir Barat seperti Constantine the African dan delard of Bath melakukan perjalanan ke Timur Tengah, belajar bahasa Arab dan melakukan studi serta membawa ilmu-ilmu baru ke Erofa. Leonardo Fibonacci atau Leonardo of Pisa (d.1240), belajar di Bougioe, Aljazair pada abad ke 12. Ia juga belajar aritmatika dan matematikanya Al-Khawarizmi. Sekembalinya dari Arab, ia menulis buku Liber Abaci pada tahun 1202.
Selanjutnya Abbas Mirakhor menyimpulkan, “The importance of this work is noted by Harro Bernardelli) who make a case for dating the beginning of economic analysis in Europe to Leonardo’s Liber Abaci” .
Kemudian banyak pula mahasiswa dari Itali, Spanyol, dan Prancis Selatan yang belajar di pusat kuliah Islam untuk belajar matematika, filsafat, kedokteran, kosmografi, dan ekonomi. Setelah pulang ke negerinya, mereka menjadi guru besar di universitas-universitas Barat. Pola pengajaran yang dipergunakan adalah persis seperti kuliah Islam, termasuk kurikulum serta metodologi ajar-mengajarnya. Universitas Naples, Padua, Salero, Toulouse, Salamaca, Oxford, Monsptellier dan Paris adalah beberapa universitas yang meniru pusat kuliah Islam.
Sejarah juga mencatat bahwa ilmuwan terkemuka Raymond Lily (1223-1315 M), belajar di universitas Islam. Sepulangnya ke Erofa ia banyak menulis tentang kekayaan khazanah keilmuan Islam dan selanjutnya mendirikan The Council of Vienna (1311) dengan lima buah fakultas yang mengajarkan bahasa Arab sebagai mata kuliah utama. Dengan pengusaan bahasa Arab, mereka menerjemahkan karya-kaarya Islam ke bahasa latin.
Salah satu materi yang diterjemahkan adalah berkenaan dengan ilmu ekonomi Islam. Beberapa penerjemah tersebut antara lain, Michael Scot, Hermaan the German, Dominic Gusdislavi, Adelard Bath, Constantine the African, John of Seville, Williem of Luna Gerard of Cremona, Theodorus of Antioch. Alfred of Sareshel dan banyak lagi deretan penerjemah Barat yang tak bisa disebutkan di sini. Tapi, beberapa penerjemah Yahudi perlu juga dipaparkan. Mereka antara lain, Jacob of Anatolio, Jacon ben Macher, Kalanymus ben kalonymus, Moses ben Salomon, Shem Tob ben Isac of Tortosa, Salomon Ibn Ayyub, Todros Todrosi, Zerahoyah Gracian, Faraj ben Salim dan Yacub ben Abbob Marie.
Karya-karya intelektual muslim yang diterjemahkan adalah karya-karya Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Ghazali, Ibnu Rusydi, Al-Khawarizmi, Ibnu Haytam, Ibnu Hazam, Jabir Ibnu Hayyan, Ibnu Bajja, Ar-Razi, Abu ‘Ubaid, Ibnu Khaldun, Ibnu Taymiyah, dan sebagainya.
Schumpeter menyebut dua kontribusi ekonom scholastic, Pertama, penemuan kembali tulisan-tulisan Aristoteles tentang ekonomi. Kedua, towering achievement (capaian hebat) St.Thomas Aquinas. Scumpeter menulis dalam catatan kakinya nama Ibnu Sina dan Ibnu Rusydi yang berjasa menjembatani pemikiran Aristoteles ke St. Thomas . Artinya, tanpa peranan Ibnu Sina dan Ibnu Rusydi, St.Thomas tak pernah mengetahui konsep konsep Aristoteles. Karena itu tidak aneh, jika pemikiran St.Thomas sendiri banyak yang bertentangan dengan dogma-dogma gereja sehingga para sejarawan menduga St.Thomas mencuri ide-ide itu dari ekonomi Islam.
Dugaan kuat itu sesuai dengan analisa Capleston dalam bukunya “A History of Medieval Philosofy”, New York , 1972, “Fakta bahwa St.Thomas Aquinas memetik ide dan dorongan dari sumber-sumber yang beragam, cenderung menunjukkan bahwa ia bersifat eklektif dan kurang orisinil. Sebab kalau kita melihat doktrin dan teorinya, ia sering mengatakan, “ini sudah disebut Ibnu Sina” (Avicenna), atau “ini berasal langsung dari Aristoteles. Berdasarkan realitas ini kita dapat mengatakan bahwa tak ada sesungguhnya yang orisinil atau istimewa dari St. Thomas tersebut. Berkaitan dengan itu Harris dalam bukunya “The Humanities”, 1959, menulis, “Tanpa pengaruh peripatetisisme orang Arab, teologi Thomas Aquinas dan pemikiran filsafatnya tak bisa dipahami”
Beberapa pemikiran ekonomi Islam yang disadur ilmuwan Barat antara lain, teori invisible hands yang berasal dari Nabi Saw dan sangat populer di kalangan ulama. Teori ini berasal dari hadits Nabi Saw. sebagaimana disampaikan oleh Anas RA, sehubungan dengan adanya kenaikan harga-harga barang di kota Madinah. Dalam hadits tersebut diriwayatkan sebagai berikut :
عن انس بن مالك قال الناس: يارسول الله غلا اسعرفسعرلنا فقال رسول الله: ان الله هوالمسعرالقابض الباسط الرزاق وانى لارجو ان القى الله وليس احدمنكم يطالبنى بمظلمة فى دم ولا مال (رواه ابو داود)
Dari Anas bin Malik, para manusia (sahabat) berkata: Wahai Rasulullah telah terjadi lonjakan harga, maka tetapkanlah harga bagi kami. Rasulullah menjawab: Sesungguhnya Allah-lah penentu harga, penahan, yang memudahkan dan yang memberi rizki. Aku berharap dapat bertemu dengan Allah dan tidak seorangpun dari kalian (boleh) menuntutku karena kedzaliman dalam persoalan jiwa dan harta.[17]
Dengan hadits ini terlihat dengan jelas bahwa Islam jauh lebih dahulu (lebih 1160 tahun) mengajarkan konsep invisible hand atau mekanisme pasar dari pada Adam Smith. Inilah yang mendasasari teori ekonomi Islam mengenai harga. Rasulullah SAW dalam hadits tersebut tidak menentukan harga. Ini menunjukkan bahwa ketentuan harga itu diserahkan kepada mekanisme pasar yang alamiah impersonal. Rasulullah menolak tawaran itu dan mengatakan bahwa harga di pasar tidak boleh ditetapkan, karena Allah-lah yang menentukannya.
Selanjutnya ilmuwan Barat bernama Gresham telah mengadopsi teori Ibnu Taymiyah tentang mata uang (curency) berkulitas buruk dan berkualitas baik. Menurut Ibnu Taymiyah, uang berkualitas buruk akan menendang keluar uang yang berkualitas baik, contohnya fulus (mata uang tembaga) akan menendang keluar mata uang emas dan perak. Inilah yang disadur oleh Gresham dalam teorinya Gresham Law dan Oresme treatise.
St. Thomas menyalin banyak bab dari Al-Farabi. St. Thomas juga belajar di Ordo Dominican mempelajari ide-ide Al-Gazhali. Teori pareto optimum diambil dari kitab Nahjul balaghah, karya Imam Ali. Bar Hebraeus, pendeta Syriac Jacobite Church, menyalin beberapa bab dari kitab Ihya Ulumuddin, karya al-Gahazali. Pendeta Spanyol Ordo Dominican bernama Raymond Martini, menyalin banyak bab dari tahafut al-falasifa, dan Ihya al-Ghazali. Bahkan Bapak ekonomi Barat, Adam Smith (1776) dengan bukunya The Wealth of Nation diduga keras banyak mendapat inspirasi dari buku Al-Amwalnya Abu ‘Ubaid (838). Judul buku Adam Smith saja persis sama dengan judul buku Abu ‘Ubaid yang berjudul Al-Amwal. Hiwalah yang dipraktekkan sejak zaman Nabi, baru dikenal oleh praktisi perbankan konvensional tahun 1980-an dengan nama anjak piutang.
Menurut Dr Sami Hamond, seorang ahli perbankkan dari Yordan, cek pertama ditarik di dunia ini bukan oleh tukang besi Inggris tahun 1675 di London sebagaimana disebutkan dalam textbook Barat, tetapi dilakukan oleh Saifudawlah Al-Hamdani, putra mahkota Aleppo yang berkunjung ke Bagdad pada abad X Masehi. Penukaran mata uang mengakui keabsahan cek yang dikeluarkan putera mahkota karena ia mengenal tanda tangannya. Dalam Encyclopedia of Literates, menurut Hamond, juga diceritakan seorang penyair bernama Jahtha menerima selembar cek yang ia gagal menguangkannya. Ini terjadi juga pada abad ke 10 Masehi. Sejarah itu menunjukkan bahwa pada abad ke 10 yang lalu cek sudah dikenal dalam ekonomi Islam. Seorang pengelana Persia Naser Kashro yang pergi ke kota Bashrah pada abad ke 10 M menceritakan, bahwa uang yang dibawanya diserahkan pada penukar mata uang dan ia menerima kertas berharga, semacam traveller cheques yang dipakai dalam berbelanja.
Indikasi-indikasi lain yang menunjukkan pengaruh ekonomi Islam terhadap ekonomi modern ialah diadopsinya kata credit yang dalam ekonomi konvensional dikatakan berasal dari credo (pinjaman atas dasar kepercayaan). Credo sebenarnya berasal dari bahasa Arab “qa-ra-do” yang secara fikih berarti meminjamkan uang atas dasar kepercayaan.
Paparan di atas menunjukkan peran ilmuwan muslim sangat signifikan terhadap kebangkitan intelektualisme Eropa, termasuk dalam pemikiran ekonomi. Demikian sekelumit uraian tentang kontribusi pemikiran ekonomi Islam terhadap ekonomi modern.
D. Prospek Perkembangan dan Tantangan Perbankan Syariah
1. Faktor Pendorong Perkembangan Perbankan Syariah
Krisis berkepanjangan yang menimpa sejumlah negara besar masih meninggalkan sejumlah persoalan yang sangat serius bagi semua bangsa di dunia. Dalam bahasa ekonom FEM IPB, Iman Sugema, ada tiga kiamat (trio doom) yang menimpa perekonomian dunia akibat krisis finansial yang bermula dari AS, yang boleh jadi menjadi penyebab turning pointatau titik balik perekonomian nasional pada 2009. Kiamat pertama adalah property doom atau kiamat properti, yang ditandai dengan jatuhnya harga properti di AS. Kemudian, financial doom atau kiamat finansial, yang ditandai dengan menurunnya indeks bursa dunia pascakrisis dan belum menunjukkan tanda akan pulih sepenuhnya dalam waktu dekat. Beberapa bursa mengalami penurunan indeks lebih dari 30 persen, seperti Cina (62,9%), Jepang (38,3%), dan Jerman (35,6%). Kiamat yang ketiga adalah commodity doom, di mana harga sejumlah komoditas mengalami penurunan, seperti turunnya harga CPO dan kopi robusta sejak Juli 2008, masing-masing sebesar 61,9 persen dan 15 persen.
Kondisi ini mengakibatkan terjadinya dry up pada likuiditas global, di mana banyak perusahaan keuangan besar dunia menarik likuiditasnya demi mengatasi kerugian yang terjadi. Tidak hanya itu, perusahaan-perusahaan di sektor riil pun terganggu.
Diperkirakan memasuki semester pertama 2009 akan terjadi gelombang PHK besar-besaran, sebagaimana yang diprediksi Aviliani, akibat berakhirnya kontrak ekspor sejumlah perusahaan Indonesia. Jika ini terjadi, angka pengangguran diperkirakan akan naik. Sudah pasti keadaan ini akan mengundang demonstrasi buruh dalam skala yang lebih besar. Dipastikan kondisi sosial ekonomi bangsa ini akan semakin berat
Kinerja perbankan konvensional dinilai masih rentan. Hal ini menjadi momentum bagi bank syariah untuk menunjukkan bahwa fondasinya lebih kokoh dalam menghadapi krisis global. Bank Indonesia (BI) optimistis bank syariah punya prospek cerah di tanah air. Perkembangan perbankan syariah di Indonesia makin pesat dan berkembang secara fantastis. Krisis keuagan global di satu sisi telah membawa hikmah bagi perkembangan perbankan syariah. Hal ini dikarenakan masyarakat dunia, para pakar dan pengambil kebijakan ekonomi, tidak saja melirik tetapi lebih dari itu mereka ingin menerapkan konsep syariah ini secara serius, seperti di Singapura dan London. Di Indonesia prospek perbankan syariah makin cerah dan menjanjikan. Bank syariah di negeri ini, diyakini akan terus tumbuh dan berkembang di masa depan. Perkembangan industri lembaga syariah ini semakin menunjukkan keunggulannya dalam memperkuat stabilitas sistem keuangan nasional. Apalagi dengan pertumbuhan industri yang rata-rata mencapai 60% dalam lima tahun belakangan ini.
Ada beberapa faktor pendukung prospek lajunya sistem ekonomi syariah di negeri ini, yaitu:
Pertama, hancurnya sosialisme beberapa waktu lalu seiring dengan runtuhnya Uni Sovyet dan sejumlah negara komunis lainnya di penghujung tahun 80-an, dan makin loyonya kapitalisme seperti ditunjukkan dengan terjadinya krisis di berbagai negara. Di Indonesia misalnya, krisis ekonomi yang telah berlangsung lebih dari tiga tahun betul-betul membawa pengaruh yang sangat buruk bagi kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Puluhan juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan dan belasan juta kehilangan pekerjaan. Jutaan anak harus putus sekolah. Dan jutaan lagi lainnya mengalami malnutrisi. Hidup semakin tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekadar mencari sesuap nasi. Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan. Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan yang dihadapi itu dengan mudah mendorongnya untuk melakukan tindak kejahatan. Berbagai bentuk kriminalitas mulai dari pencopetan, perampokan maupun pencurian dengan pemberatan serta pembunuhan dan perbuatan tindak asusila, budaya permisif, pornografi dengan dalih kebutuhan ekonomi terasa semakin meningkat tajam.
Selama ini terbukti di tengah-tengah masyarakat, termasuk dalam penataan kehidupan bermasyarakat dan bernegara, banyak sekali kemaksiyatan dilakukan. Dalam sistem sekuler, aturan-aturan Islam memang tidak pernah secara sengaja diterapkan. Islam, sebagaimana agama dalam pengertian barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja. Sementara dalam urusan sosial kemasyarakatan, agama (Islam) ditinggalkan. Maka, di tengah-tengah sistem sekularistik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai agama. Yakni tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik, budaya hedonistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta paradigma pendidikan yang materialistik.
Dalam tatanan ekonomi kapitalistik, kegiatan ekonomi digerakkan sekadar demi meraih perolehan materi tanpa memandang apakah kegiatan itu sesuai dengan aturan Islam atau tidak. Aturan Islam yang sempurna dirasakan justru menghambat.
Kedua, tumbuhnya berbagai institusi keuangan Islam di berbagai negara. Di Indonesia, BMI yang berdiri pada tahun 1992 bisa disebut sebagai perintis lembaga keuangan syariah. Cukup lama BMI menjadi pemain tunggal dalam dunia perbankan syariah, sekalipun sebenarnya tergolong terlambat bila dibanding dengan perkembangan bank syariah di negara lain. Islamic Rural Bank di desa Mit Ghamr, Kairo, Mesir, misalnya sudah berdiri tahun 1963. Lalu IDB berdiri tahun 1970. Berturut-turut setelah itu bank-bank syariah berdiri di Sudan, Pakistan, Iran, Malaysia, Bangladesh dan Turki.
Kini, setelah terbitnya UU Perbankan No 10 tahun 1998 dan tebitnya UU Nomor 21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah. yang menyebut secara tegas eksistensi bank syariah sebagai salah satu bentuk bank yang boleh berdiri di Indonesia , tumbuh bank-bank syariah. Yaitu Bank Syariah Mandiri (BSM), Bank BNI Syariah, Bank IFI Syariah dan Bank Mega Syariah. Menyusul segera berdiri adalah Bank BRI Syariah dan Bank Niaga Syariah. Sekalipun demikian, bank syariah (dalam hal ini BMI) terbukti mampu bertahan menghadapi krismon. Di saat bank-bank konvensional mengalami defisit diterpa badai krisis, bahkan puluhan diantaranya terpaksa harus dilikuidasi, bank syariah tetap tegak berdiri. Memang BMI pada puncak krisis tahun 1998 menderita rugi Rp 72 miliar, tapi tahun 1999 sudah pulih dan meraih untung Rp 2 miliar. Kenyataan ini menunjukkan bahwa dengan sistem syariah, dunia perbankan akan terhindar dari momok yang sangat ditakuti yaitu negative spread.
Disamping bank syariah, juga telah berdiri lembaga keuangan Islam lainnya seperti Takaful, Reksadana Syariah, Pegadaian Syariah, dan sebagainy dan yang dalam rintisan adalah Lembaga Tabung Haji. Mengenai yang terakhir, diilhami oleh sukses lembaga serupa di Malaysia . Didirikan tiga puluh tahun lalu, LTH di sana kini telah menjadi lembaga keuangan paling terkemuka. Assetnya lebih dari Rp 20 triliun, dengan return yang diberikan paling tinggi dibanding dengan bank syariah apalagi bank konvensional manapun di Malaysia. LTH juga menjadi simbol keberhasilan lembaga keuangan syariah di tengah persaingan dengan lembaga keuangan yang kapitalistik. Kenyataan-kenyataan di atas setidaknya mampu mendongkrak kepercayaan diri ummat bahwa ekonomi Islam memang benar-benar ada, dapat dipraktekkan secara nyata, dan sepanjang dikelola secara professional dengan dukungan SDM yang memadai serta perlindungan regulasi dari pemerintah, dapat berhasil dengan baik.
Ketiga, tumbuhnya lembaga-lembaga pendidikan dan wacana ekonomi Islam. Di Indonesia, kian hari makin bertambah banyak lembaga pendidikan yang membuka program studi, jurusan bahkan sekolah tinggi ekonomi Islam. Hal ini disamping dipengaruhi oleh kegairahan dalam pengkajian ekonomi Islam secara ilmiah juga didorong yang semakin banyak diperlukan SDM yang mumpuni guna menunjang pertumbuhan lembaga-lembaga keuangan atau praktek ekonomi Islam.
Di luar Indonesia, pertumbuhan seperti itu malah sudah lebih dulu terjadi, termasuk juga di universitas-universitas Barat yang notabene sekuler, seperti Louborough University dan University of Durhem yang termasuk dua perguruan tinggi bergengsi di Inggris. London School of Economics dan Harvard School of Law sudah sering meminta ceramah ilmiah dari pakar-pakar ekonomi Islam seperti Dr. Umar Chapra, Dr. Khursid Ahmad dan lain-lain.
Berbagai kajian baik melalui media cetak maupun elektronik, konferensi dan seminar baik dalam skala lokal, regional, nasional maupun internasional telah dilakukan, serta penerbitan buku-buku tentang ekonomi Islam makin mendorong kesadaran dan minat masyarakat pada ekonomi Islam.
Keempat, meningkatnya kesadaran ummat seiring dengan berkembangnya wacana tentang ekonomi Islam melalui berbagai saluran. Faktor ini sangat penting oleh karena apapun yang akan menjadi aktor utama baik berperanan sebabai subyek maupun obyek dalam ekonomi Islam tetap saja ummat. Tanpa kesadaran, maka ekonomi Islam akan mengalami stagnasi, bahkan tertolak.
2. Tantangan Perbankan Syari’ah
Meskipun Perbankan Syariah mengalami high growth, namun industri perbankan syariah masih harus mengatasi beberapa tantangan, agar dapat mempertahankan pertumbuhan yang tinggi tersebut secara lebih berkesinambungan. Ada sejumlah tantangan yang kemungkinan menghadang prospek perkembangan, yakni
Pertama, sumber daya manusia (SDM). Dengan semakin meningkatnya kapasitas ekspansi BUS dan UUS di masa depan, maka semakin menuntut penambahan SDM berkualitas dalam jumlah yang memadai. Selanjutnya, kegiatan operasional perbankan syariah yang dekat kepada sektor riil memberikan konsekuensi kebutuhan bank syariah untuk lebih memiliki sumber daya yang kuat dalam aspek-aspek yang berkaitan dengan sektor riil seperti kemampuan penilaian proyek dari berbagai aspek, misalnya industri manufaktur, perdagangan, agribisnis dan sebagainya. Hal ini sangat penting agar resiko kredit dapat diminimalisir sekecil mungkin, sehingga dapat mengecilkan tingkat NPF (Non Performing Financing) Perbankan Syariah.
Selain itu juga, harus tetap diperhatikan keahlian perbankan syariah yang profesional seperti keahlian legal aspect, risk management dan service exellence Skills ini menjadi sebuah keniscayaan mutlak bagi praktisi perbankan syariah tanpa mengesampingkan nilai-nilai moral yang cukup kental dalam bisnis syariah.
Selain itu juga, harus tetap diperhatikan keahlian perbankan syariah yang profesional seperti keahlian legal aspect, risk management dan service exellence Skills ini menjadi sebuah keniscayaan mutlak bagi praktisi perbankan syariah tanpa mengesampingkan nilai-nilai moral yang cukup kental dalam bisnis syariah.
Selain itu juga, harus tetap diperhatikan keahlian perbankan syariah yang profesional seperti keahlian legal aspect, risk management dan service exellence Skills ini menjadi sebuah keniscayaan mutlak bagi praktisi perbankan syariah tanpa mengesampingkan nilai-nilai moral yang cukup kental dalam bisnis syariah.
Kedua, masalah permodalan. Dengan kecenderungan semakin bertumbuhnya DPK hingga saat ini, perbankan syari’ah dituntut untuk menambah permodalannya di masa depan. Artinya perbankan syariah akan membutuhkan suntikan modal yang cukup besar agar tetap dapat beroperasi sesuai dengan koridor kehati-hatian dalam aspek permodalan. Pada saat ini tingkat rata-rata CAR (Capital Adequacy Ratio), bank syariah cenderung menurun sejalan dengan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) Hal tersebut menunjukkan bahwa industri perbankan syariah berada hampir pada kapasitas maximum ekspansinya. Dengan demikian, jika tidak dilakukan tindakan penguatan modal, pada gilirannya nanti permasalahan permodalan ini akan menghambat laju pertumbuhan perbankan syari’ah.
Ketiga, aspek regulasi. Pengembangan perbankan syariah tidak terlepas dari aspek regulasi. Jika ketentuan perundang-undangan tidak kondusif bisa menghambat pertumbuhan perbankan syariah, karena itu dukungan dari aspek hukum saat ini sangat mendesak untuk dipenuhi, seperti amandemen UU Perpajakan, UU Perbankan Syariah, dan UU SBSN (sukuk). Untuk itu Masyarakat Ekonomi Syariah dan Ikatan Ahli Ekonomi islam Indonesia (IAEI) serta MUI harus mengawal dan mendesak terus janji pemerintah untuk segera mengelaurkan beberapa UU yang terkait.
Keempat optimalisasi jaringan pelayanan. Kebijakan pembukaan office channeling bank syariah yang dimulai bulan maret 2006, sepanjang tahun 2007 ini mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Bank BNI syari’ah telah membuka 600-an kantor pelayanan office channeling tersebut, luar biasa. Hal yang sama juga dilakukan oleh bank UUS lainnya, seperti Bank Permata Syariah dan sejumlah Bank Pembangunan Daerah (PT.Bank Sumut, Bank DKI, Bank Sumsel, dll). Kebijakan office channeling pada dasarnya terfokus untuk menjawab masalah cakupan pelayanan perbankan syariah yang terbatas. Namun sangat di sayangkan pembukaan office channeling tersebut tidak diimbangi dengan program edukasi dan sosialisasi, sehingga terjadi kesenjangan hebat antara supply bank syariah dan demand dari sisi masyarakat. Artinya, masyarakat dibiarkan kurang faham tentang perbankan syariah. Padahal jika bank-bank syariah melakukan edukasi secara intensif, niscaya terjadi ledakan hebat dalam pertumbuhan asset perbankan syariah. Kebijakan office channeling juga harus sejalan dengan peningkatan kualitas SDM. Jangan sampai peluasan cakupan pelayanan perbankan syariah melalui office channeling harus mengorbankan aspek kualitas pelayanan, yang pada akhirnya akan mempengaruhi reputasi industri perbankan syariah secara umum.
Kelima, Inovasi produk, keberhasilan sistem perbankan syari’ah di masa depan akan banyak tergantung kepada kemampuan bank-bank syari’ah menyajikan produk-produk yang menarik, kompetitif, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, tetapi tetap sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah, karena itu perbankan syariah harus lebih kreatif dan inovatif dalam mendesig produk-produknya. Produk-produk bank syari’ah yang ada sekarang harus dikembangkan variasi dan kombinasinya, sehingga menambah daya tarik bank syari’ah. Hal itu akan meningkatkan dinamisme perbankan syari’ah. Untuk mengembangkan produk-produk yang bervariasi dan menarik, bank syari’ah di Indonesia dapat membangun hubungan kerjasama atau berafiliasi dengan lembaga-lembaga keuangan internasional. Kerjasama itu akan bermanfaat dalam mengembangkan produk-produk bank syari’ah Iklim persaingan yang sangat ketat dalam memperebutkan sumber pendanaan dari masyarakat di tengah kondisi penurunan suku bunga, menuntut penyesuaian strategis penetrasi bank-bank syariah yang out of the box, keluar dari zona kenyamanannya saat ini.
Selain lima tantangan tersebut, sesungguhnya masih banyakmtantantagn lainnya, seperti tingkat pemahaman msyarakat yang masih rendah tentang perbankan syariah, dan metode pamasaran perbankan syariah yang kurang tepat. Dari gambaran dan persyaratan perkembangan perbankan syariah seperti yang telah dikemukakan diatas, maka prospek dan poternsi perbankan syariah diera globalisasi dapat semakin berperan dan diyakini dapat memenuhi seluruh kriteria yang telah ditetapkan oleh Bank Indonesia. Asalkan harus didukung dengan kemampuan SDM dan sarana prasarana informasi yang memadai.
3. Kebijakan pro-ekonomi syariah
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kondisi perekonomian. Pertama, memperkuat industri keuangan syariah secara umum yang lebih prosektor riil. Penguatan ini antara lain bisa dilakukan dengan meningkatkan volume aset perbankan syariah, antara lain melalui pendirian BUS baru (seperti Bank Bukopin Syariah), memperbesar volume UUS, serta menempatkan dana pemerintah di perbankan syariah. Kemudian, memperkuat posisi lembaga keuangan mikro syariah dan BPRS dengan konsolidasi dan pembentukan jaringan LKMS dan BPRS di tingkat nasional.
Selanjutnya, penguatan pasar modal syariah. Ada kecenderungan pada jangka panjang peran pasar modal akan semakin dominan. Namun, pelajaran yang dapat diambil dari krisis ini adalah ketika transaksi di lantai bursa dilakukan dengan tanpa adanya kejelasan underlying asset, yang terjadi adalah penggelembungan-penggelembungan nilai aset yang pada akhirnya justru merugikan. Bubble economy yang sangat rentan ini harus diatasi dengan penguatan pasar keuangan syariah.
Kedua, sukuk dapat dijadikan sebagai alat investasi untuk pembangunan sarana infrastruktur. Kita menyambut baik penerbitan perdana sukuk negara beberapa waktu lalu. Namun, jika dana sukuk digunakan untuk menutup defisit APBN pada pos-pos yang kurang produktif, dampaknya terhadap perekonomian kurang terasa.
Seharusnya pemerintah menerbitkan sukuk yang digunakan untuk membangun pelabuhan, bandara, jalan raya, pembangkit listrik, dan sarana infrastruktur lainnya. Ini akan menciptakan multiplier effect yang sangat baik bagi perekonomian.
Ketiga, optimalisasi potensi zakat dan wakaf. Zakat harus dijadikan instrumen perlindungan hak-hak ekonomi kaum dhuafa, sekaligus sebagai alat mempertahankan daya beli kelompok miskin. Beban kemiskinan pun dapat dikurangi dengan memanfaatkan dana zakat melalui program-program karitatif, seperti layanan kesehatan gratis dan beasiswa pendidikan.
Peningkatan produktivitas kelompok miskin dapat difasilitasi melalui program pendayagunaan zakat produktif, seperti pembiayaan dan pendampingan usaha kecil dan mikro. Secara makro, proses people to people transfer diyakini akan banyak membantu meningkatkan kondisi perekonomian.
Selama ini kebijakan yang dilaksanakan berbasis pada konsep government to people transfer, yang dananya bersumber dari pajak dan utang luar negeri. Yang menjadi masalah, ketika utang luar negeri digunakan untuk pos bantuan sosial, beban APBN yang notabene beban rakyat, akan bertambah. Karena itu, zakat merupakan jalan keluar terbaik sehingga beban defisit APBN akan dapat dikurangi secara signifikan.
Wakaf, baik wakaf barang maupun uang, dapat dimanfaatkan sebagai engine of growth. Selama hampir empat abad sejarah mencatat wakaf uang mampu menjadi mesin pertumbuhan ekonomi dunia, yaitu pada zaman Khilafah Turki Usmani yang menguasai sepertiga dunia. Penulis yakin insya Allah dengan menerapkan kebijakan ekonomi syariah secara serius, kepentingan ekonomi rakyat akan terangkat.
Hans
DAFTAR PUSTAKA
Ah Shadr, Islam and Scholl and Economic, Edisi terjamah, Jakarta, Pustaka Zahra, 2002
Muhammad, Paradigma, Metodologi dan Aplikasinya Ekonomi Syari’ah, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2008
M. Umar Chapra, “The Future of Economics; an Islamic Perspective”, Edisi terjemah, Jakarta: SEBI, 2001
Danah Zohar dan Ian Marshall, Spritual Capital Memberdayakan SC di Dunia Bisnis, Terj. Helmi Mustofa, Bandung Mizan,
Triyuwono, Teori Akutansi Berhadapan Nilai-nilai Keislaman, Ulumul Qur’an No. 5 Vo. VI, 1996
Republika, 6/1/2009
Antara, 21/12/2008
Robert Kaplan dalam The Atlantik Montly, 1997 sebagaimana dikutip laporan special IPG
Khursid Ahmad, “Pembangunan Ekonomi dalam Perspektif Islam”, dalam Ainur R. Sophian (Ed), “Etika Ekonomi Politik; Elemen-elemen Strategis Pembangunan Masyarakat Islam”, Surabaya: Risalah Gusti, 1997
Hamid Fahmy Zarkasyi, “Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam”, Islamia Tahun II No. 5, 2005
17 Ali Sakti, “Pengantar Ekonomi Islam”, Jakarta: Modul Kuliah STEI SEBI, 2003, hal. 16
Anwar Ibrahim, Islam dan Pembangunan Ekonomi Umma, dalam Ainur R. Sophian (Ed) Ibid, hal. 63
Muhammad Najatullah Siddiqi, “Islamizing Economics Toward Islamization of Disciplines”, The International Institute of Islamic Thought (IIIT) USA , Herndon , Virginia , 1995
Hamid Fahmy Zarkasyi, “Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam”, Islamia Tahun II No. 5, 2005
Ali Sakti, “Pengantar Ekonomi Islam”, Jakarta: Modul Kuliah STEI SEBI, 2003.
Muhammad Najatullah Siddiqi, “Islamizing Economics Toward Islamization of Disciplines”, The International Institute of Islamic Thought (IIIT) USA , Herndon , Virginia , 1995
Lihat Adiwarman Azwar Karim, “Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro”, The International Institute of Islamic Thought Indonesia (IIIT Indonesia), 2002, hal. 19 – 22.
Muhammad Arif, “Towards the Syari’ah Paradigm of Islamic Economics: The beginning of Scientific Revolution”, Journal of Research in Islamic Economics, Vol. 2, No. 4, July 1985.
Lihat paper Amartya K. Sen, “Rational Fool: A Critique of the Behavioural Foundations of Economic Theory”, dalam buku “Philosophy and Economic Theory”, yang dieditori oleh Frank Hahn and Martin Hollis, Oxford University Press (1979), hal. 87-109. Lihat juga F.Y Edgeworth, “Mathematical Psychic: An Essay on the Application of Mathematics to the Moral Sciences” (London , 1881).
Yusuf Qardhawi, “Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,” Jakarta: Rabbani Press, 1995.
pemikiran John Hicks dalam Steven Pressman, “Fifty Major Economists”. Edisi terj. “Lima Puluh Pemikir Ekonomi Dunia”, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000, hal. 196-202
[1] Lihat tulisan Robert Kaplan dalam The Atlantik Montly, 1997 sebagaimana dikutip laporan special IPG, Ibid
14 Laporan World Bank, 2004.
[4] Khursid Ahmad, “Pembangunan Ekonomi dalam Perspektif Islam”, dalam Ainur R. Sophian (Ed), “Etika Ekonomi Politik; Elemen-elemen Strategis Pembangunan Masyarakat Islam”, Surabaya: Risalah Gusti, 1997, hal. 1
[5] Hamid Fahmy Zarkasyi, “Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam”, Islamia Tahun II No. 5, 2005, hal. 11
17 Ali Sakti, “Pengantar Ekonomi Islam”, Jakarta: Modul Kuliah STEI SEBI, 2003, hal. 16.
[9] Muhammad Najatullah Siddiqi, “Islamizing Economics Toward Islamization of Disciplines”, The International Institute of Islamic Thought (IIIT) USA, Herndon, Virginia, 1995, hal. 255
21 Ali Sakti (2003), Op., Cit., hal. 20
[11] Lihat Adiwarman Azwar Karim, “Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi Makro”, The International Institute of Islamic Thought Indonesia (IIIT Indonesia), 2002, hal. 19 – 22.
23 Muhammad Arif, “Towards the Syari’ah Paradigm of Islamic Economics: The beginning of Scientific Revolution”, Journal of Research in Islamic Economics, Vol. 2, No. 4, July 1985.
25 Lihat paper Amartya K. Sen, “Rational Fool: A Critique of the Behavioural Foundations of Economic Theory”, dalam buku “Philosophy and Economic Theory”, yang dieditori oleh Frank Hahn and Martin Hollis, Oxford University Press (1979), hal. 87-109. Lihat juga F.Y Edgeworth, “Mathematical Psychic: An Essay on the Application of Mathematics to the Moral Sciences” (London, 1881).
26 Yusuf Qardhawi, “Peran Nilai dan Moral dalam Perekonomian Islam,” Jakarta: Rabbani Press,
1995.
[16] Lihat pemikiran John Hicks dalam Steven Pressman, “Fifty Major Economists”. Edisi terj. “Lima Puluh Pemikir Ekonomi Dunia”, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000, hal. 196-202
Tidak ada komentar:
Posting Komentar