ISLAM DAN KEMISKINAN
(Studi pemberdayaan Fakir Miskin dan Anak Yatim)
By Moh. Subhan
ABSTRAK
Kemiskinan merupakan masalah global, sering dihubungkan dengan kebutuhan, kesulitan dan kekurangan dalam berbagai keadaan hidup. Sebagian orang memahami istilah ini secara subyektif dan komparatif, sementara yang lainnya melihatnya dari segi moral dan evaluatif, dan yang lainnya lagi memahaminya dari sudut ilmiah yang telah mapan. Sehingga istilah kemiskinan mempunyai banyak makna, melihat darimana seseorang menakar dan melihat kemiskinan. Islam memandang bahwa kemiskinan adalah suatu kondisi di mana seseorang tidak mampu memenuhi kebutuhan jasmaniyah (materi) dan rohaniyah (non materi) secara layak. Terdapat beberapa faktor yang menjadi penyebab terjadinya kemiskinan, yaitu: Pertama, faktor internal manusia. Kedua, faktor non individual, dan ketiga, faktor visi teologi yang represif. Sedangkan Pembagian kemiskinan akan bervariasi sesuai dengan pijakan yang dijadikan patokan. Ditinjau dari sisi pendapatan, soejatmoko membagi kemiskinan menjadi dua, yaitu: kemiskinan relatif dan kemiskinan Absolut. Sementara bentuk kemiskinan bila ditinjau dari penyebabnya, kemiskinan terbagi menjadi tiga, yaitu: kemiskinan natural, kemiskinan kultural, dan kemiskinan struktural.
Dari kriteria dan faktor yang menyebabkan terjadinya kemiskinan sebagaimana diungkap di atas, betapa kompleks dan rumitnya persoalan kemiskinan yang melanda sebagian umat manusia, termasuk di dalamnya anak yatim dan fakir miskin. Islam memandang bahwa kemiskinan bukanlah sesuatu yang tidak bisa dirubah, oleh karena itu perlu adanya langkah taktis untuk melakukan perubahan dari kondisi miskin tersebut. Islam menawarkan dua pendekatan, yaitu: Pertama, pendekatan parsial-kontinu, dan kedua, pendekatan struktural. Kedua pendekatan tersebut diejawantahkan dalam tiga tahap; Pertama, rekonstruksi tahap etika psikologis dari nilai pasif ke nilai aktif, kedua, memberikan pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), stimulan, informasi, dan keteladanan, dan ketiga melakukan perubahan status melalui komitmen kemitraan dan injeksi dana (zakat, infaq dan shadaqah) secara struktural.
Meskipun pada kenyataannya manusia dilahirkan sama, tetapi dalam perkembangannya mereka bisa berbeda baik dalam kehidupan sosial maupun strata ekonominya. Perbedaan itu disebabkan oleh beberapa faktor, seperti bakat, ketrampilan (skill), pengalaman hidup dan sebagainya. Bakat dan ketrampilan manusia akan berimplikasi pada adanya kemampuan yang berbeda, dan kemampuan yang berbeda akan berimplikasi pada pembagian kerja dalam masyarakat, sementara pembagian kerja yang berbeda akan berakibat pada bidang kerja dan usaha yang berbeda, dan pada gilirannya akan menimbulkan perbedaan pendapatan dan penghasilan bagi setiap orang.
Dengan demikian, perbedaan antara manusia bisa terjadi dalam bentuk vertikal dan bisa juga dalam bentuk horisontal. Meskipun keduanya merupakan ”Sunnatullah”. Secara vertikal orang dapat berbeda dalam tingkat kemampuan teknis maupun kemampuan manajerial. Sedangkan secara horisontal setiap orang berbeda dalam kesempatan, baik karena waktu maupun karena kemampuan yang dimiliki, sehingga berakibat pada perbedaan rezeki yang diterima seseorang.
Realita inilah yang menimbulkan adanya kelompok kaya dan miskin. Kemiskinan merupakan problem kemanusiaan yang terbesar sepanjang sejarah.[1] Kemiskinan telah melanda sebagian besar umat manusia. Bahkan dalam realita, tidak ada satupun negara yang terlepas dari masalah kemiskian, termasuk Indonesia. Menurut data SUSENAS (Survey Sensus Ekonomi Nasional) dan Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia berfluktuasi., periode 2000-2005 jumlah penduduk miskin cenderung menurun dari 38,70 juta (19,14 %) pada tahun 2000 menjadi 35,10 juta (15,97 %) pada tahun 2005. Namun pada tahun 2006, terjadi kenaikan jumlah penduduk miskin yang cukup drastis, yaitu dari 35,10 juta orang (15,97 persen) pada bulan Februari 2005 menjadi 39,30 juta (17,75 persen) pada bulan Maret 2006.
Pada tahun 2007 tingkat kemiskinan di Indonesia mencapai 37,17 juta orang (16,58 %) dari populasi. Berarti jumlah penduduk miskin turun sebesar 2,13 juta. “Alasan utama penurunan tingkat kemiskinan dalam periode 2006-2007 adalah peningkatan daya beli masyarakat yang mencapai 6,36 persen.[2] Namun beberapa bulan terakhir tahun 2007 akibat harga minyak mentah dunia melonjak drastis bahkan mendekati angka 100 dolar per barel telah menambah jumlah angka kemiskinan di Indonesia. Sehingga pada tahun 2008 jumlah penduduk miskin naik menjadi 39,05 juta (17,75%) dari total penduduk Indonesia yang berjumlah ± 222 juta jiwa. Sementara jumlah penduduk miskin di Jawa Timur, menurut data BPS Jatim pada tahun 2005 terdapat 10 juta warga miskin, tahun 2006 kemiskinan turun menjadi 7,455 Juta dan Tahun 2007 menjadi 7,130 Juta.
Kemiskinan telah membuat jutaan anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan yang berkualitas, kesulitan membiayai kesehatan, kurangnya akses ke pelayanan publik, kurangnya lapangan pekerjaan, kurangnya jaminan sosial dan perlindungan terhadap keluarga, menguatnya arus urbanisasi ke kota, dan yang lebih parah, kemiskinan menyebabkan jutaan rakyat tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan, sandang dan papan secara layak. Kemiskinan telah membatasi hak seseorang untuk (1) memperoleh pekerjaan yang layak; (2) Hak untuk memperoleh perlindungan hukum; (3) Hak untuk memperoleh rasa aman; (4) Hak untuk memperoleh akses atas kebutuhan hidup (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau; (5) Hak untuk memperoleh akses atas kebutuhan pendidikan; (6) Hak untuk memperoleh akses atas kebutuhan kesehatan; (7) Hak untuk memperoleh keadilan; (8) Hak r untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan publik dan pemerintahan; (9) Hak untuk berinovasi; (10) Hak menjalankan hubungan spiritualnya dengan Tuhan; dan (11) Hak untuk berpartisipasi dalam menata dan mengelola pemerintahan dengan baik.
Inilah sebabnya masalah kaya dan miskin dalam masyarakat kadang-kadang dipandang sebagai masalah yang rawan, sebab kemiskinan dapat menimbulkan dampak yang luas terhadap kehidupan seseorang maupun masyarakat. dalam tulisan Tajuddin Noer Efendi, kemiskinan membawa dampak pada perilaku sosial, politik dan beragama.[3]
Pengaruh dalam perilaku sosial, orang yang miskin sulit beradaptasi, memilki prasangka yang berlebihan dan sulit mengakses sumber-sumber ekonomi. Di bidang politik, orang yang miskin lebih banyak menjadi objek daripada subjek, lebih mudah dikendalikan daripada mengendalikan, seringkali dijadikan sasaran kepentingan kekuasaan daripada terlibat dalam pembagian kekuasaan. Sedangkan dalam bidang keagamaan, orang miskin sulit untuk beribadah dengan tenang, baik disebabkan karena alokasi waktu yang sangat sempit atau karena ketidakmampuannya dalam memahami ajaran agama secara baik.
B. Kemiskinan Versi al Qur’an dan Hadits
1. Fakir Miskin dan Anak Yatim
Dalam literatur Islam, ada banyak kata untuk menyebut keberadaan kondisi umat yang tidak berdaya secara ekonomi. Kata-kata tersebut antara lain adalah al-sail, al-mahrum, al-fakir, dan al-miskin. Secara etimologis-sintaksis, kata tersebut bermakna meminta-minta, orang yang dihalangi kepemilikan harta, orang yang butuh dan orang yang diam tidak punya apa-apa. Terkadang, pengertian dari salah satu kata tersebut dimaksud sebagai pengertian kata yang lain. Hanya saja, meskipun secara redaksional berbeda, tetapi kata-kata tersebut menunjuk satu kondisi, yaitu ketidakberdayaan ekonomi.
Dilihat dari akar katanya miskin merupakan bentuk tunggal dari kata masakin (bentuk jamak) serta maskanah (bentuk masdar). Kata dasar miskin adalah sakana, yaskunu, sukunan yang berarti tetap dan tak bergerak. Al Ashfahani dan Ibnu Manzur mengartikan miskin, sebagai tetapnya sesuatu setelah ia bergerak.[4] Sedangkan Mohammad Rasyid Ridha menagartikan orang miskin sebagai orang-orang yang berdiam diri, jauh dari kebutuhan, sehingga jiwanya menerima keadaan yang serba sedikit.[5] Di dalam al Qur'an terdapat beberapa ayat yang menggunakan kata miskin dan kata yang seakar dengan miskin, seperti:
Surat al-Kahfi ayat 79
أَمَّا السَّفِينَةُ فَكَانَتْ لِمَسَاكِينَ يَعْمَلُونَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُذُ كُلَّ سَفِينَةٍ غَصْبًا
Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.
Surat Ali Imran ayat 112
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوا إِلَّا بِحَبْلٍ مِنَ اللَّهِ وَحَبْلٍ مِنَ النَّاسِ وَبَاءُوا بِغَضَبٍ مِنَ اللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ الْمَسْكَنَةُ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الْأَنْبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ ذَلِكَ بِمَا عَصَوْا وَكَانُوا يَعْتَدُونَ
Mereka diliputi kehinaan di mana saja mereka berada, kecuali jika mereka berpegang kepada tali (agama) Allah dan tali (perjanjian) dengan manusia, dan mereka kembali mendapat kemurkaan dari Allah dan mereka diliputi kerendahan. Yang demikian itu karena mereka kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi tanpa alasan yang benar. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan melampaui batas.
Selain menggunakan kata miskin, al-Qur’an juga memakai kata al-Sail yang terkadang disambung dengan kata al-mahrum, dalam mengungkapkan kondisi miskin. Al Sail (pengemis) bermakna orang yang meminta-minta dengan menengadahkan tangan untuk mendapatkan harta sebagai usaha untuk mencukupi kebutuhan hidupnya.
Pada sisi lain penggabungan dengan lafadz al-mahrum diasumsikan ada perbedaan kondisi peminta-minta. Kata yang pertama diperuntukkan untuk orang yang dalam kondisi tidak punya dan melakukan usaha meminta-minta sedangkan kata kedua diperuntukkan untuk kondisi lemah tetapi tidak meminta-minta.
Dalam al Qur'an terdapat beberapa ayat yg menggunakan kata al sail,
diantaranya: Surat al-Baqarah ayat 177,
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi Sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari Kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. mereka Itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka Itulah orang-orang yang bertakwa.
Surat al-Dhariyat: 19,
وَفِي أَمْوالِهِمْ حَقٌّ لِلسَّائِلِ وَالْمَحْرُومِ
Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan
orang miskin yang tidak mendapat bagian [Maksudnya ialah orang miskin
yang tidak meminta-minta].
Dalam ayat-ayat itu dijelaskan, bahwa al-Sail adalah termasuk dari kelompok orang yang berhak menerima pemberian, tetapi dengan syarat permintaan itu tidak dilaksanakan dengan cara paksa dan dilakukan dengan cara yang terhormat.
Dalam prakteknya miskin sering digandengkan dengan kata fuqara’. Keduanya dipergunakan al-Qur’an dalam arti orang-orang yang berhak memperoleh bagian zakat. Berikut adalah ayat al-Quran yang berkaitan dengan fakir.
Surat Muhammad 38
ها أَنْتُمْ هؤُلاءِ تُدْعَوْنَ لِتُنْفِقُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَمِنْكُمْ مَنْ يَبْخَلُ وَمَنْ يَبْخَلْ فَإِنَّما يَبْخَلُ عَنْ نَفْسِهِ وَاللَّهُ الْغَنِيُّ وَأَنْتُمُ الْفُقَراءُ وَإِنْ تَتَوَلَّوْا يَسْتَبْدِلْ قَوْماً غَيْرَكُمْ ثُمَّ لا يَكُونُوا أَمْثالَكُمْ
Ingatlah, kamu ini orang-orang yang diajak untuk menafkahkan (hartamu) pada jalan Allah. Maka di antara kamu ada yang kikir, dan siapa yang kikir Sesungguhnya Dia hanyalah kikir terhadap dirinya sendiri. dan Allah-lah yang Maha Kaya sedangkan kamulah orang-orang yang berkehendak (kepada-Nya); dan jika kamu berpaling niscaya Dia akan mengganti (kamu) dengan kaum yang lain; dan mereka tidak akan seperti kamu ini.
Dalam al hadits terdapat beberapa riwayat yang menyatakan tentang kondisi kemiskinan.
Ø Hadith diriwayatkan oleh Imam Bukhari
عن ابى هريرة رضى ا لله عنه ان رسول ا لله صلى ا لله عليه وسلم قال: ليس المسكين الذى يطوف على الناس تردهالقمة و اللقمتان و التمرة وا لتمرتان ولكن المسكين الذى لا يجد غنى يغنيه ولا يعطى به فيتصدق عليه ولا يقوم فيسأ ل االناس [6]
Dari Abu Hurairah ra. Ia berkata: Bahwa Rasulullah bersabda: ”Yang dinamakan miskin itu bukanlah orang yang berkeliling dengan meminta-meminta sesuap atau dua suap makanan, sebiji atau dua biji kurma, tetapi yang dinamakan orang miskin adalah orang yang tidak mempunyai pengahasilan yang mencukupi dan tidak diperdulikan orang, sehingga tidak memperoleh sedekah dan tidak suka berkeliling meminta-minta kepada orang lain.
Ø Hadith diriwayatkan oleh at Tirmidzi
عن انس ان رسو ل ا لله قال: اللهم احيينى مسكينا وامتنى مسكينا وخشرنى فى زمرة المساكين يوم القيا مة فقا لت عا ئشة لم يا رسول ا لله قال انهم يد خلون الجنة قيل اغنيا ئهم با ربعين خريفا. يا عائشة لاتردى المسكين ولو بشق تمرة. يا عائشة أحى المسا كين وقربيهم فا ن ا لله يقربك يوم ا لقيامة [7]
Dari Anas ra, Rasulullah bersabda, Ya Allah hidupkan dan matikan aku dalam keadaan miskin dan masukkan aku kedalam surga bersama orang-orang miskin di hari Qiyamat nanti. Kemudian Aisyah berkata, mengapa demikian wahai Rasulullah ? Rasulullah berkata, mereka masuk surga sebelum orang kaya dengan 40 kesengsaraan, wahai Aisyah jangan menolak orang miskin walaupun hanya dengan satu buah kurma, wahai Aisyah ! hidupkanlah orang-orang miskin dan dekatilah mereka. Karena sesungguhnya Allah akan mendekat padamu pada hari Qiyamat nanti.
Ø Hadith diriwayatkan oleh Ibn Majah
عن سلمان بن عامر الضبى قال قال رسول ا لله صلى ا لله عليه وسلم اصدقة على المسكين
Dari Salman ra berkata, Rasulullah bersabda shadaqah pada orag miskin adalah sadaqah yang sebenarnya dan shadaqah kepada saudara dekatnya adalah merupakan shadaqah waslah.
Ø Hadith diriwayatkan oleh Abu Dawud
عن عبد الرحمن بن بجيد عن جدته أم بجيد وكانت ممن بايع يارسول ا لله صلى عليك ان المسكين ليقوم على با ب فما اجد له شيئا أعطيه اياه فقال لها رسول ا لله صلى ا لله عليه وسلم ان لم تجدى له شيئا تعطينه اياه الا ظلفا محرفافادفعيه له فى يده [9]
Dari Abdur Rahman Ibn Bujaid, dari neneknya Ummu Bujaid, dan dia adalah orang yang berbaiat pada Rasulullah, Ya Rasulullah ada orang miskin yang telah berdiri di depan pintu, namun saya tidak menemukan sesuatu apapun yang akan saya berikan padanya, maka Rasulullah bersabda: Jika kamu tidak mendapatkan apapapun maka mintalah maaf padanya
Menurut sebagian ulama’ bahwa keadaan ekonomi fakir adalah lebih baik dibandingkan dengan miskin. Mereka mendefinisikan fakir adalah orang yang mempunyai bekal untuk mencukupi kebutuhannya saat itu tidak lebih, sedangkan miskin didefinisikan sebagai orang yang tidak punya apa-apa.
Al-Tabari menyatakan bahwa fakir adalah orang yang sangat membutuhkan bantuan dari pihak lain, tetapi dapat menjaga diri dari meminta-minta, sedangkan miskin berasal dari kata sukun yang berarti berdiam diri saja; menahan penderitaan dalam hidupnya.
Dari perbedaan pendapat mengenai definisi fakir dan miskin yang telah dipaparkan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa fakir dan miskin adalah "orang-orang yang memerlukan pertolongan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya.”
Sementara itu al Qur’an memberikan perhatian yang cukup besar terhadap nasib anak yatim. Terdapat 22 ayat yang menyebutkan tentang keberadaan anak yatim, diantaranya Surat al Ma’un, ayat 1-3.
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (1) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3)
1. Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?
2. Itulah orang yang menghardik anak yatim,
3. Dan tidak menganjurkan memberi Makan orang miskin.
Anak yatim sangat lemah dari segi fisik dan mental, maupun dari segi material untuk kelangsungan hidupnya. Bahkan sebagaimana dikatakan oleh al Farmawi, bahwa anak yatim bukan saja ia lemah karena ia masih kecil, akan tetapi hari depannya sendiri suram disebabkan oleh ketidakmampuannya mempersiapkan masa depannya karena tiada kehadiran orang tua.[10] Oleh karena itu, maka wajarlah jika al Qur’an memberikan perhatian khsus agar masyarakat dan negara untuk menyantuni mereka. Dengan demikian antara fakir, miskin dan anak yatim terdapat benang merah yang menghubungkannya, yaitu sama-sama lemah baik dari sudut mental maupun dari sudut material.
2. Kemiskinan Menurut Imam Madzhab
Fakir dan miskin adalah orang-orang yang sangat membutuhkan; yang tiada memiliki kemampuan ekonomi yang cukup. Dalam Kamus al Marbawi halaman 99, disebutkan bahwa fakir adalah orang yang sangat kesempitan. Sedangkan menurut Al-Raghib Al-Asfahaniy, fakir adalah ketiadaan harta-benda.
Fakir, menurut 3 Imam Madzhab (Malik, Syafi'i, dan Ahmad), adalah orang yang tiada memiliki harta, pekerjaan yang layak dalam pemenuhan kebutuhan makan, pakaian, perumahan, dan seluruh kebutuhan primer (dharuriyah) dan sekundernya (hajiyah). Sedangkan menurut Abu Hanifah, fakir adalah orang yang memiliki harta sebagai kelebihan dari kebutuhan dasarnya akan tetapi jumlahnya tidak mencapai nishab zakat. Maka, fakir menurut ketiga imam madzhab berputar pada pemilikan harta dalam kategori cukup. Sedangkan menurut Abu Hanifah menggunakan standar nishab.
Sedangkan miskin menurut makna etimologi (bahasa) diambil dari kata al-sukun yang artinya kurang gerak atau kurang getar. Kata miskin digunakan bagi orang yang membutuhkan, sebab kebutuhan itulah yang menyebabkan kekurang leluasaan geraknya. Menurut ketiga Imam Madzhab, miskin didefinisikan dengan orang yang memiliki harta yang halal atau orang yang memiliki pekerjaan layak yang bisa mencukupi kebutuhannya akan tetapi tidak optimal. Batasannya adalah memiliki harta lebih dari nishab akan tetapi kurang dari pemenuhan kebutuhan “cukup” secara sempurna. Sedangkan bagi Abu Hanifah, miskin adalah orang yang tidak punya apa-apa. Adapun definisi fakir-miskin yang holistik adalah definisi yang dikemukakan oleh jumhur ulama (mayoritas).
C. Parameter Kemiskinan
Para ulama berbeda pandangan tentang parameter (batas) fakir dan miskin serta perbedaan di antara keduanya; apakah fakir miskin merupakan satu
bentuk atau dua bentuk yang berbeda. Abu Yusuf (murid Abu Hanifah), Ibn Al-Qashim (murid Maliki) mengatakan fakir miskin adalah hal yang satu.[11]
Ulama Jumhur (mayoritas ulama), menyatakan bahwa fakir dan miskin adalah dua hal akan tetapi satu jenis, yaitu orang-orang yang lemah lagi papa, adapun yang mengatakan fakir miskin adalah satu hal, maka ini kurang tepat. Sebab Allah menggandengkan kata fakir dengan kata miskin merupakan bukti adanya perbedaan diantara keduanya. Yang menguatkan hal ini, adalah sabda Rasulullah: Sesungguhnya Allah memilahnya (zakat) menjadi 8 bagian. Maka, jika kita katakan fakir dan miskin adalah hal yang satu, maka tentu hanya 7 bagian bukan delapan, walaupun para ulama berbeda pandangan tentang batasan makna dari masing-masing fakir atau miskin, akan tetapi mereka sepakat bahwa keduanya merupakan satu konteks.
Sebagian ulama mengatakan: Fakir adalah orang yang lemah dan papa, akan tetapi ia menghalangi dirinya dari meminta-minta. Dan miskin adalah orang yang lemah dan papa dan meminta-minta. Ini adalah ungkapannya Ibn Abbas, Mujahid, Hasan Al-Bashri.
Sebagian ulama yang lain mengatakan: Fakir adalah orang yang lemah dan papa akan tetapi menderita sakit yang menahun, adapun miskin adalah orang yang secara ekonomi lemah dan papa akan tetapi badannya sehat. Ini adalah ungkapannya Qatadah ibn Da’amah Al-bashri.
Sebagian ulama lainnya mengatakan: Fuqara adalah orang-orang fakir dari kalangan para pendatang/urban. Adapun miskin adalah orang yang memang lemah ekonomi akan tetapi bukan pendatang, melainkan pribumi. Ini adalah ungkapan Ad-Dhahak ibn Muzahim dan Sa’id ibn Jubair.
Sebagian ulama lain mengatakan: Miskin adalah orang yang pendapatan/pencahariannya lemah. Sebagian lain mengatakan: Fakir itu lafadz untuk orang muslimin yang lemah ekonominya, sedangkan miskin adalah lafadz untuk ahli kitab (Yahudi dan Kristen).
Ikrimah ibn Abdullah Al-Madaniy Al-Hasyimiy, maula Ibn Abbas, Ibn Jarir, mengatakan: Yang dimaksud dengan fakir adalah orang yang lemah ekonominya tapi tidak meminta-minta, sedangkan miskin adalah orang yang lemah ekonominya yang juga meminta-minta.[12] Juga dalam hadits: “Miskin bukanlah orang yang meminta-minta, lalu diberi 1 atau 2 kurma, 1 atau 2 suapan makanan, akan tetapi miskin adalah orang yang menahan diri dari meminta-minta, padahal ia tidak berpunya. Bacalah --jika kalian mau-- ayat Allah: (Mereka tiada meminta-minta kepada manusia. (Q.S. Al-Baqarah: 273).
Para ulama mengatakan: Makna hadits bahwasannya miskin yang sangat (kemiskinan absolut) adalah yang tidak meminta-minta kepada manusia dan tidak menampakkan lemahnya keadaan ekonominya. Dan ini tidak berarti bahwa ia tidak meminta-minta, melainkan keadaan ekonominya tidak lemah sama sekali. Para ulama berdalil dengan keumuman penggunaan lafadz maskanah terhadap orang yang meminta-minta, dalam sebuah hadits: Berilah orang miskin yang memintamu walaupun dengan dhulf muharraq (HR. Ahmad, Nasa’i, dengan sanad hasan).[13]
Para ulama sepakat bahwasannya peminta-minta yang tidak punya adalah orang miskin. Dan ini menunjukkan bahwasannya lafadz miskin adalah kata yang mencakup ketiadaan harta dan ketiadaan pemberian dari masyarakat, karena masyarakat menilai orang tersebut tidak kekurangan dikarenakan ia tidak meminta-minta. Oleh karena itu, Imam Al-Khaththabi menjelaskan dalam “Ma’alim Al-Sunan”-nya, “Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwasannya miskin menurut masyarakat secara kasat-mata adalah yang merekasebut dengan peminta-minta, dan Rasulullah menafikan kata miskin darinya karena dengan ia meminta-minta akan terpenuhi kebutuhannya. Dan terkadang apa yang ia terima bertambah, maka bertambah pula kebutuhannya. Maka, hilanglah dari orang tersebut gelar miskin. Dan senantiasanya digunakannya kata “tidak berpunya dan melarat” adalah kepada orang yang tidak meminta-minta dan tidak ada perhatian dari masyarakat yang mau memberi kepadanya.
Para ulama berbeda pandangan tentang mana yang lebih parah kondisinya: fakir ataukah miskin? Para ulama syafi’iyah dan hanabilah mengatakan: Fakir lebih parah kondisinya daripada miskin. Yaitu orang yang tidak punya harta dan tidak punya pekerjaan yang bisa memenuhi kebutuhannya, sebagaimana sudah kami kemukakan di awal. Sedangkan miskin, adalah orang yang masih bisa memenuhi kebutuhan hidupnya akan tetapi tidak sempurna. Oleh karena itu, fakir lebih parah kondisinya daripada miskin.
Sebagian orang mengatakan: Tidak ada perbedaan antara fakir dengan miskin. Ini adalah ungkapannya Ibn Qashim, salah seorang sahabat Imam Malik. Demikian juga ungkapan Imam Abu Yusuf. Mereka mengatakan: yang demikian karena kehinaan itu sifat melekat yang ada para fakir.
Sementara Sayogyo memberikan batas garis kemiskinan untuk masyarakat pedesaan setara dengan 20 kg beras per kapita per bulan dan bagi masyarakat perkotaan sama dengan 30 kg beras per kapita per bulan. Sebelum menetapkan ukuran beras per kapita per bulan sebagaimana disebutkan di atas, ukuran yang digunakan Sayogyo untuk kategori penduduk miskin adalah pengeluaran per kapita per tahun kurang dari 320 kg beras untuk penduduk pedesaan dan 480 kg beras untuk penduduk perkotaan. Sedangkan pengeluaran setara atau kurang dari 180 kg beras bagi penduduk pedesaan dan 270 kg beras bagi penduduk perkotaan dijadikan batas bagi kelompok penduduk paling miskin.
Badan Pusat Statistik menetapkan garis kemiskinan berdasarkan tingkat kecukupan konsumsi kalori yaitu 2.100 kalori per kapita per hari atau pendapatan senilai Rp. 150.000,- per orang per bulan (menurut tingkat harga tahun 1990). Kemudian BPS (2000) memberikan batas kemiskinan dengan nilai konsumsi yang setara dengan beras sebanyak 320 kg per kapita per tahun di pedesaan dan 480 kg per kapita per tahun di daerah perkotaan. Saat ini BPS menggunakan batas garis kemiskinan berdasarkan data konsumsi dan pengeluaran untuk komoditas pangan dan nonpangan. Komoditas pangan terdiri dari 52 macam, sedangkan komoditas nonpangan 27 jenis untuk kota dan 26 jenis untuk desa. Dalam nilai uang garis kemiskinan yang ditetapkan BPS itu adalah Rp. 96.956,untuk penduduk kota dan Rp 72.780; untuk penduduk desa per kapita per bulan.
Bank Dunia menetapkan ukuran garis kemiskinan tultuk Indonesia berdasarkan pendapatan per kapita. Penduduk yang pendapatan per kapitanya kurang dari sepertiga rata-rata pendapatan per kapita nasional termasuk dalam kategori miskin. Secara umum Bank Dunia menetapkan garis batas kemiskinan sebesar US$ 1 per hari bagi negara-negara berkembang dan US$ 2 bagi negara-negara maju.
D. Bentuk-Bentuk Kemiskinan
Pembagian kemiskinan akan bervariasi sesuai dengan pijakan yang dijadikan patokan. Ditinjau dari sisi pendapatan, Soejatmoko membagi kemiskinan menjadi dua, yaitu: kemiskinan relatif dan kemiskinan Absolut.[14] Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat antara satu tingkatan pendapatan dengan tingkat pendapatan lainnya. Sehingga seseorang bisa disebut kaya dalam komunitas tertentu, akan tetapi bila dilihat dalam komunitas lain maka ia termasuk miskin. Sedangkan kemiskinan Absolut adalah suatu keadaan kemiskinan yang ditentukan terlebih dahulu garis tingkat pendapatan di atas tingkat pendapatan minimum yang dikategorikan sebagai bukan orang miskin.
Adapun bila ditinjau dari penyebabnya, kemiskinan terbagi menjadi tiga, yaitu: kemiskinan natural, kemiskinan kultural, dan kemiskinan struktural.[15] Kemiskinan natural adalah bentuk kemiskinan disebabkan oleh faktor alam seperti adanya bencana alam; banjir, tanah longsor, gunung meletus, dan sebagainya. Karena faktor alam tersebut seseorang menjadi tidak mampu untuk memenuhi kebutuhannya. Adapun kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktor budaya seperti malas (pengemis), bodoh, boros, atau merasa sudah cukup dan tidak kekurangan. Sedangkan kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh sistem pembangunan yang tidak adil dan faktor rekayasa manusia, seperti kebijakan yang kurang berpihak kepada masyarakat kecil.
E. Penyebab Kemiskinan
Kemiskinan tidak secara langsung disimpulkan sebagai takdir Allah atas sebagian manusia. Akan tetapi memiliki faktor penyebab sehingga terjadi keadaan miskin pada seseorang. Terdapat beberapa faktor yang menyebabkan kemiskinan, yaitu:
1. Faktor Internal
Penyebab kemiskinan yang utama adalah faktor internal, yaitu faktor yang muncul dari dalam diri manusia itu sendiri, seperti; (1) Rendahnya etos kerja, yang terlihat dari sikap malas, kerja tidak teratur, dan tidak bersemangat. (2) Kurangnya disiplin dan kurang mampu memenejemen waktu. Faktor ini kemudian melemahkan tingkat produktifitas seseorang, yang pada akhirnya mengakibatkan rendahnya income (pendapatan).[16]
2. Faktor Non Individual
Faktor non-individual bisa juga disebut dengan faktor eksternal, yaitu faktor-faktor yang berasal dari luar diri manusia, seperti faktor alam; banjir, tanah longsor, gunung meletus, atau faktor yang disebabkan oleh penyelenggaraan pemerintahan yang korup dan kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat alit (kecil). Kemiskinan ini juga sering dikaitkan dengan kecerobohan manusia, sehingga menyebabkan rusaknya tatanan alam atau tatanan sosial masyarakat. Sebagai contoh sistem kapitalis yang hanya berorientasi pada keuntungan pemilik kapital (modal) saja. Sebab dalam sistem semacam ini rakyat banyak didominasi dan dieksploitasi.
3. Faktor Visi Teologi yang Represif
Faktor ini terlihat banyak berkembang luas di tengah masyarakat beragama, yaitu adanya kecenderungan sebagian umat beragama yang memberlakukan kemiskinan sebagai sesuatu yang sudah menjadi suratan takdir dan kepastian yang datang dari tuhan. Kecenderungan semacam ini diperkuat dengan ayat-ayat yang dipahami begitu saja tanpa analisis kontesktual. Ayat-ayat yang sering dijadikan pedoman antara lain:
وَمِنْ آيَاتِهِ الْجَوَارِ فِي الْبَحْرِ كَالأَعْلاَمِ . إِنْ يَشَأْ يُسْكِنِ الرِّيحَ فَيَظْلَلْنَ رَوَاكِدَ عَلَى ظَهْرِهِ إِنَّ فِي ذَلِكَ لآيَاتٍ لِّكُلِّ صَبَّارٍ شَكُورٍ. أَوْ يُوبِقْهُنَّ بِمَا كَسَبُوا وَيَعْفُ عَنْ كَثِيرٍ
32. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah kapal-kapal di tengah (yang berlayar) di laut seperti gunung-gunung.
33. Jika Dia menghendaki, Dia akan menenangkan angin, Maka jadilah kapal-kapal itu terhenti di permukaan laut. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaannya) bagi Setiap orang yang banyak bersabar dan banyak bersyukur,
34. Atau kapal-kapal itu dibinasakan-Nya karena perbuatan mereka atau Dia memberi maaf sebagian besar (dari mereka).
F. Pemberdayaan Fakir Miskin dan Anak Yatim
Dari kriteria dan faktor yang menyebabkan terjadinya kemiskinan sebagaimana yang diurai di atas, terlihat dengan jelas betapa kompleks dan rumitnya persoalan kemiskinan yang telah menimpa sebagian umat manusia. Itulah sebabnya bagaimana geramnya Sayyidina Ali, ra sampai dia menyatakan: ”Seandainya kata miskin itu berwujud laki-laki, tentu dia akan kubunuh.”
Salah satu penyebab manusia jatuh dalam kemiskinan adalah ketidak mampuannya baik secara jasmani maupun rohani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, termasuk fakir miskin dan anak yatim. Fakir miskin dan anak yatim terdapat benang merah yang menghubungkannya, yaitu sama-sama lemah baik dari sudut mental maupun dari sudut material. Oleh karena itu perlu adanya upaya dan metode untuk mengangkat harkat dan martabat mereka dengan cara memberdayakannya.
bagi setiap manusia yang beriman dan negara secara bersama-sama[18]. Ada dua pendekatan (approach) dalam memberdayakan fakir, miskin dan anak yatim, yaitu:
1. Pendekatan Parsial-kontinu, yaitu pemberian pertolongan kepada fakir miskin dan anak yatim yang dilakukan secara langsung dan diberikan secara insidentil. Artinya, pemberian tersebut sifatnya konsumtif karitatif dan temporary relief (peringanan beban sesaat). Pertolongan ini diberikan kepada mereka yang benar-benar tidak sanggup bekerja sendiri karena kondisi fisik atau psikis yang kurang memungkinkan, seperti orang yang cacat abadi, kerentanan (vulnerability), orang lumpuh (physical weakness), dan lain sebagainya.[19]
Islam memberikan perintah kepada pihak kaya untuk berempati kepada fakir miskin dan anak yatim dengan mendorong dan memerintahkan mereka untuk mengeluarkan infaq, shadaqah, dan membayar zakat. Menyikapi hal ini negara telah melakukan langkah taktis dalam membantu masyarakat untuk mengurangi beban pengeluaran akibat kenaikan harga BBM dengan memberikan bantuan kepada rakyat miskin melalui BLT (Bantuan Langsung Tunai).
2. Pendekatan Struktural, yaitu pendekatan yang lebih dilakukan secara berencana yang dimaksudkan untuk menciptakan perubahan status pada fakir miskin dan anak yatim. Pendekatan ini berupaya untuk menemukan penyebab kemiskinan dan keterbelakangan, sehingga fakir miskin dan anak yatim pada akhirnya mampu untuk membantu dirinya sendiri keluar dari kemiskinan. Dan lebih jauh lagi, pada beberapa periode mereka akan mampu menjadi orang yang membantu pada golongan yang lemah lainnya. Pertolongan ini diberikan kepada mereka yang memiliki skill untuk dikembangkan.
Secara kongkrit dua pendekatan tadi dapat dilihat sebagai upaya pemberdayaan fakir miskin dan anak yatim melalui tiga tahapan dengan real action (perbuatan nyata), yaitu:
Ø Tahap pertama, rekonstruksi tahap etika psikologis dari nilai pasif ke nilai aktif terhadap masyarakat miskin dengan pola pandangan tradisional mengenai kemiskinan. Jadi fakir miskin dan anak yatim diberi penjelasan dan pemahaman (awarenes), menarik minat (interest), mencoba (trial), dan mempertimbangkan (evaluation) bahwa kemiskinan itu harus dientaskan. Jadi, tidak menerima begitu saja posisi kemiskinan itu.
Upaya ini diharapkan akan melahirkan perubahan sikap positip dari fakir miskin dan anak yatim untuk bersemangat dengan memacu diri untuk tidak terpuruk dalam kondisi kemiskinan. Allah berfirman dalam surat al An'am; 34 dan sabda Rasulullah "bahwa tangan di atas (pihak yang memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (pihak yang diberi). [20]
Ø Tahap kedua, memberikan pendidikan, ketrampilan (skill), stimulan, informasi, pengetahuan dan keteladanan terhadap fakir miskin dan anak yatim yang sudah mempunyai kesadaran, pemahaman dan semangat. Sehingga mereka mampu mengatur (manage) dan menggunakan waktu secara efesien, sehingga hidupnya penuh dengan makna dan bermanfaat.[21] Pemberdayaan pada level ini telah mencapai tahap parsipatoris.
Ø Tahap ketiga, mengupayakan perubahan status melalui komitmen kemitraan dan injeksi dana (zakat, infaq dan shadaqah) secara struktural terhadap fakir miskin dan anak yatim yang aktif dan terampil tersebut.
Tahap ketiga ini merupakan aplikasi kepedulian dari pihak kaya terhadap fakir miskin dan anak yatim, sehingga tercipta iklim yang kondusif bagi fakir miskin dan anak yatim untuk mengembangkan diri agar terbebas dari kemiskinan. Pada tahap ini diharapkan dapat mengantarkan fakir miskin dan anak yatim menjadi muslim yang berkualitas baik secara ekonomi (materi) maupun secara rohani (spirituali). Pada level ini pemberdayaan telah mencapai tahap emansipatif. [22]
==0o0==
DAFTAR PUSTAKA
Amsyari, Fuad, Islam Kaffah, Tantangan Sosial dan upaya Solosinya di Indoensia, Gema Pers Insani, Jakarta, 1995
Al-Jarullah ,Abdullah ibn Jarullah ibn Ibrahim, Masharif al-Zakah, 1402 H/1982
Al-maliki, Abdurrahman, As-Siyasah al-Iqtishodiyah al-Mustla, 1963
An-Nabhani, Taqiyuddin, Nidhomul Iqtishody fil Islam, Darul Umah: Beirut 2004, cet ke 6,
Al-qurthubi, muhammad bin ahmad al-anshori, Tafsir al-jami’ lil Ahkam al Qur’an ,Dar al Fikr, Beirut, 1987
As-syaukani, Nailul Authar, Dar jayl, Beirut, IV, 1973
Bps, dalam WWW. Nagasundari. Blongsome.com
Batavia, September 24, 2004, hal 1, http// WWW.Kompas.Org/info html
Kutub as Sittah, dalam CD
Muhammad dan Ridwan Mas’ud, 2005, Zakat dan Kemiskinan, Uli Press: Yogyakarta.
Mimbar Ulama, No. 107 tahun X (Juli 1986),
Rosyadi, Imran, Islam; Konsep dan Implementasi Pemberdayaan, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1999,
Suyanto, Bagong, Perangkap Kemiskinan; Problem dan Strategi Pengentasannya, Aditya Media, Yogjakarta, 1966
Seabrook, Jeremy, Kemiskinan Global, Langit Aksara, Yogjakarta, 2006
Soejatmoko, Dimensi manusia dalam Pembangunan, 1995, jakarta, LP3ES
Qordhowi, Yusuf, Hukum Zakat, (Terj), Mizan, Bandung, 1999
==o0o==
[1] Syahrin Harahap, Islam: Konsep dan Implementasi pemberdayaan, Taiara Wacana, Yogyakarta, 1999, hlm. 82
[2] Jawa Pos, 29/11/2007
[3] Tajuddin Noer Efendi, Sumber Daya Manusia, Peluang Kerja dan Kemiskinan, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1995, hlm. 251
[4] Raghib al Ashfihani, Al Mufradat fi Gharib al Qur’an, Lihat Ibnu Mundzir, Lisanul Araby.
[5] Muhammad Rasyid Ridla, Tafsir al Manar
[6] CD Kutubus Sittah, Shahih Bukhari, hadits No. 1385
[7] CD Kutubus Sittah, Sunan at Turmudzi, hadits No. 2275
[8] CD Kutubus Sittah, Sunan Ibn Majah, hadits No. 1834
[9] CD Kutubus Sittah, Sunan Abu Dawud, hadits No. 1419
[10] Al Farmawi, Al Bidayah fi al Tafsir al Maudlu’y, Cet. II, 1977, hlm. 81
[11] Yusuf al Qardawi, Fiqh al Zakat, II, hlm. 544, Lihat Hasiyah al Dasuqy, I, hlm. 492
[12] Lihat Tafsir At-Thabariy 14/305-309, Fiqh Zakat Qardhawiy 2/545, Tafsir Ayat al Ahkam Manna’ Al-Qathan 3/352).
[13] Al jami’us Shaghir, 2/24
[15] Muhammad dan Ridwan Mas’ud, Zakat dan Kemiskinan, UlI Press: Yogyakarta, 2005, hlm. 39
[17] Pemberdayaan dimaknai sebagai upaya untuk memberi kemampuan atau keberdayaan kepada seseorang melalui pengembangan kemampuan diri.
[18] Ibnu Hazm, Al Muhalla,
[19] Lihat Economic Security in Islam, Yusuf al Qardhawi
[20] Lihat Shahih Bukhari, hadits 760
[21] Lihat al Qur'an, Surat al Ashr, 1-3
[22] Imron Rosyidi, Islam; Konsep dan Implementasi Pemberdayaan, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1999, 92-93