Perkembangan hukum Islam di Indonesia mengalami
pasang surut. Sejak masuknya Islam ke wilayah nusantara hingga masa
reformasi sekarang ini, hukum Islam mampu bertahan dan mewarnai sistem hukum
yang berlaku di Indonesia.
Berdasarkan corak dan karakteristiknya, sejarah perkembangan hukum Islam di
Indonesia dapat dibagi dalam empat periode, yaitu :
periode
akulturasi, represi dan eliminasi, formatisasi, serta aktualisasi.
Fase akulturasi terjadi sejak
kedatangan Islam hingga menguatnya kekuasaan kolonialisme Belanda di Indonesia.
Pada masa ini hukum Islam berlaku sepenuhnya bagi umat Islam.
Corak hukumnya akulturatif, yaitu perpaduan antara mazhab Syafi’i dengan
kebudayaan lokal. Bukti ini terlihat dalam hasil karya ulama yang berupa kitab-kitab
fiqh yang menjadi pegangan bagi kerajaan-kerajaan Islam dan yang
diajarkan di masyarakat. Fase represi dan eliminasi terjadi mulai masa
penjajahan Belanda hingga masa kemerdekaan. Pemerintah kolonial menekan
berlakunya hukum Islam dan mengeliminasi kekuasaan Pengadilan Agama. Hukum
Islam selalu dikontradiktifkan dan disubordinatkan dengan hukum adat. Kondisi
ini menjadikan hukum Islam terbatas cakupannya, yaitu hanya berlaku dalam
bidang hukum keluarga. Periode formatisasi terjadi setelah Indonesia
merdeka hingga masa orde baru. Pada masa ini muncul upaya melegislasikan hukum
Islam dalam perundang-undangan. Formatisasi hukum Islam terjadi dalam dua
bentuk, yaitu menjadi hukum nasional yang berlaku umum dan menjadi hukum khusus
yang hanya berlaku bagi umat Islam. Fase terakhir adalah aktualisasi, yang
terjadi sejak masa reformasi. Aktualisasi hukum Islam berakar dari
ditetapkannya Undang-undang Otonomi Daerah. Sejak itu, umat Islam di berbagai
wilayah mengaktualisasikan hukum Islam, baik melalui otonomi khusus meupun melalui
peraturan daerah.
A. Pendahuluan
Hukum Islam masuk ke Indonesia
bersamaan dengan masuknya Islam ke nusantara. Sejak agama Islam dianut oleh
penduduk, hukum Islampun mulai diberlakukan dalam tata kehidupan bermasyarakat.
Norma atau kaidah hukum dijadikan sebagai pedoman kehidupan
setelah terlebih dahulu mengalami institusionalisasi dan internalisasi. Dari
proses interaksi sosial inilah hukum Islam mulai mengakar dan menjadi sistem
hukum dalam masyarakat.
Penyebaran Islam di Indonesia yang berlangsung secara bertahap menyebabkan
pemberlakuan hukum Islam pun mengalami pentahapan. Di sisi lain setiap
masyarakat pada umumnya sudah memiliki aturan atau adat istiadat sendiri,
sehingga ketika Islam datang terjadi akulturasi antara hukum Islam dengan hukum
adat. Hal ini juga mengakibatkan variasi hukum Islam di kalangan masyarakat
Islam di Indonesia.
Perkembangan hukum Islam juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintahan kolonial
Belanda, yang berusaha menghambat berlakunya hukum Islam dengan berbagai cara. Segala
kebijakan, terutama di bidang politik dan hukum, dibuat untuk mengebiri
keberadaan hukum Islam. Di bidang politik misalnya, Belanda menjalankan
kristeningpolitiek,[1] yaitu upaya mendukung misi zending dan penyebaran agama
Kristen ke dalam masyarakat Hindia Belanda. Di bidang hukum, pemerintah Belanda
berusaha mengkonfrontir hukum Islam dengan hukum adat dan mereduksi dalam
pemberlakuannya.
Kedudukan hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia mengalami pasang surut.
Hukum Islam bukan satu-satunya sistem hukum yang berlaku, tetapi terdapat
sistem hukum lain, yaitu hukum adat dan hukum Barat. Ketiga sistem hukum ini
saling pengaruh mempengaruhi dalam upaya pembentukan sistem hukum nasional di
Indonesia. Hal ini terlihat ketika menjelang kemerdekaan, para founding fathers
berbeda pendapat tentang bentuk dan dasar negara serta hukum yang akan berlaku
di Indonesia.
Ketika Indonesia merdeka,
kedudukan hukum Islam mulai diperhitungkan dan diakui keberadaannya sebagai
salah satu sistem hukum yang berlaku. Pada masa berikutnya hukum Islam mulai
mewarnai hukum nasional. Banyak peraturan perundang-undangan yang disusun
berdasarkan ketentuan hukum Islam, baik yang berlaku nasional maupun khusus
bagi umat Islam. Gejala mutakhir perkembangan hukum Islam adalah munculnya
gerakan otonomisasi hukum Islam di sejumlah daerah di Indonesia. Hal ini
ditandai dengan banyaknya aturan perundangan yang ditetapkan oleh pemerintah
daerah terkait dengan penerapan hukum Islam.
Tulisan ini menjelaskan bagaimana perkembangan hukum Islam di Indonesia sejak
masa penetrasi atau kedatangan Islam hingga masa reformasi sekarang ini.
Tujuannya adalah untuk memetakan bagaimana corak dan karakter hukum Islam dalam
setiap periodisasinya. Disamping itu juga untuk menemukan faktor pendukung dan penghambat
berlakunya hukum Islam, sehingga menimbulkan sustainsi dan resistensi dalam
implementasinya.
B. Fase Perkembangan Hukum Islam
Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia, jika dirunut dari mulai masuknya
agama Islam hingga era reformasi dapat dibagi dalam empat tahap. Tahapan
perkembangannya dimulai dari fase akulturasi, represi dan eliminasi,
formatisasi, dan aktualisasi. Pembagian ke dalam empat periode ini didasarkan
pada corak, karakter, dan bentuk implementasinya dalam realitas hukum yang
berlaku. Kebijakan politik pemerintah yang berkuasa dan keinginan umat
islam menjadi faktor penentu corak dan karakter hukum Islam yang berlaku. Kedua
faktor tersebut mempengaruhi pasang surutnya implementasi hukum Islam dalam
sejarah pekembangannya di Indonesia.
1. Fase Akulturasi (Abad XII – XVIII M)
Fase ini terjadi sejak masa
penetrasi atau masuknya Islam ke Indonesia hingga masa kolonialisasi Belanda.
Berdasarkan data sejarah, Islam mulai menampakkan pengaruhnya sekitar Abad XII
hingga XIII M. Disebut fase akulturasi karena pada masa ini hukum Islam
mengalami adaptasi dengan budaya lokal nusantara. Secara sosio-kultural, hukum
Islam telah menyatu dan menjadi living law dalam masyarakat muslim Indonesia.
Hal ini terlihat dari akulturasi yang terjadi antara Islam, sebagai agama,
dengan kebudayaan lokal. Di beberapa daerah seperti Aceh, Makassar,
Minangkabau, Riau, dan Padang, hukum Islam diterima tanpa reserve, sederajat
dengan hukum adat. Hal ini dibuktikan dengan adanya pepatah adat basandi syara’,
syara’ basandi Kitabullah, syara’ mengata adapt memakai. Ungkapan ini
menggambarkan bagaima kentalnya hubungan antara hukum adapt dan hukum
Islam.[2]
Catatan sejarah tentang berlakunya hukum Islam pada masa ini tidak banyak
diketahui. Hanya ada beberapa naskah, khususnya naskah Jawa, yang dapat
digunakan untuk mengungkap bagaimana pemberlakuan hukum Islam di masyarakat.[3]
Namun demikian terdapat kemiripan pelaksanaan hukum Islam di berbagai kerajaan
Islam di Indonesia. Hal ini dipengaruhi oleh hukum tata negara Islam yang
dianut oleh kerajaan-kerajaan tersebut. Ciri tata negara Islam adalah urusan
agama merupakan bagian tak terpisahkan dari negara.[4] Di Jawa, ciri ini
termanifestasi dalam gelar Raja Mataram yaitu: Ingkang Sinuhun (Yang dipertuan)
Senopati Ing Ngalogo (Panglima Perang) Sayidin Panotogomo Kalipatullah
(Pengatur Urusan Agama sebagai Pengganti Rasulullah).
Pengaruh terkuat Islam di Indonesia dalam aspek hukum adalah dalam bidang hukum
keluarga, khususnya perkawinan. Fungsi pemeliharaan dan penyelesaian hukum ini
ditugaskan kepada para hakim atau qadhi, dan penghulu dengan para pegawainya.
Para hakim atau qadhi diangkat langsung oleh para sultan dan peradilannya
disebut dengan Peradilan Swapraja. Mereka memperoleh tanah jabatan (ambsterven)
di belakang masjid besar yang disebut kampung kauman. Tugas mereka adalah
melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang
termasuk dalam hukum keluarga. Di tingkat terendah (pemerintahan desa) jabatan
ini dipegang oleh modin, lebai, amil, kayim, kaum dan merbot. Kalau di Jawa
disebut kaum, maka di Makassar disebut para mukim, di Sumatera dikenal dengan
teuku meunasah, labai, malin, dan sebagainya.
Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, sebelum kedatangan VOC, telah memberlakukan
hukum Islam yang pada umumnya menganut mazhab Syafi’i. Kerajaan-kerajaan
tersebut antara lain Kerajaan Samudera Pasai, Kesultanan Demak, Kesultanan
Mataram, Kesultanan Cirebon, Banten, Ternate, Buton, Sumbawa, Kalimantan
Selatan, Kutai, Pontianak, dan Palembang. Kerajaan-kerajaan Islam tersebut
memberikan wewenang penegakan hukum Islam pada kekuasaan pengadilan. Lembaga
pengadilan ini didirikan untuk tujuan penegakan hukum Islam dan sebagai wadah
pelayanan ulama terhadap umat. Beberapa nama peradilan yang didirikan
menggunakan nama yang berbeda seperti Mahkamah Syar’iyah di Sumatera,
Kerapatan Qadhi di Banjar dan Pontianak, dan Pengadilan Serambi di Jawa.[5]
Bentuk peradilan pada masa kerajaan Islam memang tidak begitu jelas. Sewaktu
Marcopolo singgah di Perlak pada tahun 1292 M, ia mendapatkan bahwa Perlak
merupakan sebuah kota Islam, tetapi tidak disebut-sebut tentang bentuk
pelaksanaan hukum Islam. Di Samudera Pasai, menurut catatan Ibnu Batutah –yang
dalam perjalanannya ke Cina pada tahun 1345/1346 M melewati samudra- mendapati
penguasanya seorang pengikut mazhab Syafi’i. Sultan Malik al-Salih (w. 1297 M),
raja Samudera Pasai, menunjuk para hakim/qadhi dalam pelaksanaan hukum Islam.
Di Kerajaan Islam Demak terdapat pertanda yang jelas tentang pelaksanaan hukum
Islam. Sultan Demak memiliki gelar “Sayidin Panatagama” serta adanya jabatan
penghulu yang menangani tugas-tugas di bidang agama.[6]
Di Kasultanan Yogyakarta, terdapat peradilan yang menangani masalah keagamaan
yang disebut Pengadilan Serambi. Pengadilan ini diperkirakan telah ada sejak
tahun 1737 (masa pemerintahan Sunan Pakubuwono II). Pada awalnya kewenangan
pengadilan ini adalah menangani masalah perkawinan, warisan dan juga perkara
pidana.[7] Sumber hukum yang digunakan sebagai dasar dalam memutuskan
perkara adalah Kitab Angger-Angger[8] dan kitab-kitab Fiqh. Kitab-kitab fiqh
tersebut adalah: Al-Muharror, Al-Mahalli, Tuhfah, Fathul Mu’in, dan Fathul
Wahab.[9]
Pengadilan Serambi dipimpin oleh penghulu keraton yang berkedudukan sebagai penghulu
hakim. Dalam menjalankan kewenangannya, penghulu hakim dibantu oleh Penghulu
Pathok Negara yang juga bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Pengadilan
Serambi khususnya di wilayah negaragung. Pelaksanaannya bertempat di serambi
Masjid Agung Kasultanan Yogyakarta. Hal ini diperkuat dengan adanya prasasti di
dalam masjid yang menyebutkan bahwa serambi ini disebut Al-Mahkamah Al-Kabirah.
Pengadilan ini tetap berfungsi hingga tahun 1940-an meskipun dengan wewenang
yang terbatas. Jika awalnya pengadilan ini berkompetensi memutus perkara pidana
dan perdata, namun akibat inetrvensi kolonial akhirnya pengadilan ini hanya
berwenang memutuskan perkara yang berkaitan dengan nikah, talak, rujuk, sesuai
dengan hukum Islam.[10]
Corak hukum Islam pada masa ini adalah Syafi’iyah. Hal ini dikarenakan
dasar dari pemberlakuan hukum Islam adalah kitab-kitab fiqh yang bermazhab
Syafi’i, seperti Al-Muharror, Al-Mahalli, Tuhfah, Fathul Mu’in, dan Fathul
Wahab. Namun demikian, corak Syafi’iyah hukum Islam di Indonesia memiliki ciri
khusus karena mengalami akulturasi dengan kebudayaan masyarakat. Kondisi ini
memunculkan adanya karakter hukum yang berbeda dan khas di setiap kerajaan
Islam. Para ulama menjadi tokoh penting dalam upaya mengakulturasikan kitab
fiqh dengan adat istiadat masyarakat. Hasil akulturasi hukum Islam dengan adat
lokal tersebut terekam dalam sejumlah karya fiqh mereka.
Diantara kitab fiqh yang
merupakan bukti akulturasi adalah kitab Siratal Mustaqim yang ditulis mulai
tahun 1634 M hingga 1644 M oleh Nuruddin Ar-Raniry (w. 1068H/1658M). Nuruddin
Ar-Raniry adalah mufti kerajaan pada masa pemerintahan Sultan Iskandar II
dari Kerajaan Samudera Pasai. Kitab Sirat al-Mustaqim bercorak Syafi’iyah. Hal
ini dapat dilihat dari referensi yang dia gunakan dalam penyusunannya.
Kitab-kitab rujukannya adalah Kitab Fiqh Syafi’iyah standar, seperti Minhaj
at-Talibin karya Nawawi ad-Dimaski, Fath al-Wahab bi Syarhi Minhaj at-Tullab
karya Zakariya al-Ansari, Hidayat al-Muhtaj Syarh al-Mukhtasar karya Ibnu
Hajar, dan Nihayat al-Muhtaj karya ar-Ramli. Metode
istimbatnya menganut pola bermazhab qauli dan manhaji ala Syafi’i.
Ar-Raniry berusaha menjadikan fiqh sebagai sarana social engineering. Contoh
ketetapan hukum dalam kitabnya adalah: tidak sah salat seseorang yang bermakmum
kepada kaum panteisme, penyembelihan hewan kaum wujudiyah juga tidak sah,
nilainya sama dengan sembelihan orang musyrik. Dalam banyak hal fatwa Ar-Raniry
terkesan provokatif, sehingga mengundang reaksi keras dari masyarakat Aceh
sendiri. Karel Steenbrink menilai ar-Raniry sebagai tokoh yang keras dan
kasar.[11]
Kitab lain adalah Mir’at at-Tullab fi Tasyi’ al-Ma’rifah al-Ahkam as-Syar’iyah
li al-Malik al-Wahhab karya Abdur Rauf as-Sinkili (1024-1105 H). Kitab ini
ditulis atas permintaan Sultan Aceh, yaitu Sayyidat ad-Din.[12] Pemikiran Hukum
as-Sinkili lebih fleksibel dan akomodatif. Hal ini berbeda dengan pemikiran
ar-Raniry. Kitabnya menjangkau pembahasan yang lebih luas, yaitu seluruh ajaran
fiqh. Dalam bidang muamalah bahasannya melipitu: jual beli, riba, khiyar,
syirkah, qirad, sulh, hiwalah, wakalah, dan iqrar.[13]
Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M) menulis kitab Sabil al-Muhtadin li
at-Tafaqquh fi Amr ad-Din. Kitab ini ditulis pada tahun 1193 H/1779 M sampai
1195H/1781 M. Tahun ini bertepatan dengan pemerintahan Tahmidullah bin Sultan
Tamjidullah dari Kesultanan Banjar. Corak pemikiran hukumnya adalah syafi’iyah.
Hal ini terlihat dari rujukan yang digunakan dalam menyusun kitabnya, yaitu
Syarh Minhaj karya Zakariya al-Ansari dan Tuhfah karya Ibnu Hajar al-Haitami.
Karya ini merupakan anotasi (syarah) dari Kitab Siratal Mustaqimnya ar-Raniry.
Meskipun kitab syarah, tetapi banyak perbedaan di dalamnya. Disamping itu juga
terdapat beberapa pemikiran yang futuristik, spekulatif, dan dalam beberapa hal
tidak berangkat dari realitas masyarakat Banjar.[14] Pemikiran fiqhnya berupaya
menyantuni aspek lokal, seperti ketika dia mensahkan pembagia waris berdasarkan
adat perpantangan. Dalam tradisi ini harta waris terlebih dahulu dibagi dua
antara suami istri, setelah itu barulah hasil parohan itu dibagi kepada ahli
waris. Hal ini merupakan pengembangan dari konsep fiqh klasik, bahkan keluar
dari diktum tektual al-Qur’an.[15]
Ulama lain yang menulis kitab fiqh akulturatif adalah Abdul Malik bin Abdullah
Trengganu (1138-1146 H/1725-1733 M). Kitab-kitab yang disusun adalah Risalah
an-Naql, Risalat Kaifiyat an-Niyat, dan al-Kifayat. Ahmad Rifai Kalisasak
(1786-1876 M) menulis kitab Tarjuman, Tasyrihat al-Muhtaj, Nazham at-Tasfiyah,
Abyan al-hawaij, dan Tabyin al-Islah. Nawawi al-Bantani (1230-1316 H/1813-1898
M) menyusun Kitab ‘Uqud al-Lujain, yang menjadi bacaan wajib di berbagai
Pesantren Jawa. Karya lain adalah kitab Syarah atau komentar, yaitu: Syarah
Fath al-Qarib karya Qasim al-Ghazi, Nihayat az-Zein syarah Kitab Qurrat al-‘Ain
karya al-Malibari, Safinat an-Najah syarah kitab Safinah as-Salat karya
Abdullah Umar al-Hadrami, dan Kasifatus Saja’ syarah kitab Safinatun Najah
karya Salim bin Abdullah bin Samir.
Kitab-kitab fiqh tersebut ada yang dijadikan sebagai undang-undang kerajaan dan
ada pula yang ditulis untuk konsumsi masyarakat umum. Kitab Siratal Mustaqim
dijadikan sebagai qanun resmi Kerajaan Samudera Pasai di Aceh, sedangkan Kitab
Sabilal Muhtadin menjadi pegangan remi Kerajaan Banjar di Kalimantan. Kitab-kitab
fiqh selainnya disusun oleh penulisnya sebagai jawaban bagi kebutuhan hukum di
kalangan masyarakat. Kitab-kitab ini diajarkan di pesantren-pesantren maupun
dalam pengajian-pengajian umum.
2. Fase Represi dan Eliminasi (Abad XVIII-pertengahan
Abad XX)
Fase ini berlangsung sejak
Belanda secara de facto menancapkan kolonialismenya di Indonesia, yaitu sekitar
abad ke XIX M hingga pertengahan abad XX, yaitu ketika Indonesia memperoleh
kemerdekaannya. Dengan demikian tidak seluruh masa kolonialisasi mengakibatkan
dampak negatif terhadap hukum Islam. Pada awal kedatangan bangsa-bangsa Eropa
di Indonesia, yaitu abad ke 17, mereka berkepentingan mengembangkan usaha
perdagangan, terutama rempah-rempah. Dari niat berdagang ini lambat laun muncul
keinginan untuk menguasai wilayah yang menjadi pusat rempah-rempah.
Hingga pertengahan abad ke 20 bangsa-bangsa asing yang berkepentingan menguasai
nusantara adalah Portugis, Belanda, Inggris dan terakhir Jepang. Dari
keempatnya, Belanda yang paling lama dan memberikan pengaruh yang cukup besar
dalam berbagai sistem kehidupan masyarakat, termasuk sistem hukum.
Sejarah perkembangan hukum Islam pada masa kolonial dapat dibagi dalam dua
periode, yaitu periode receptio in complexu dan periode receptie. Periode pertama
diimplementasikan pada fase pertama pemerintahan Belanda, yaitu awal abad ke-17
hingga akhir abad 18. Periode ini disebut juga dengan pemberlakuan hukum Islam
sepenuhnya bagi orang Islam. VOC tidak turut campur dengan institusi hukum
Islam. Hukum keluarga Islam, terutama yang menyangkut perkawinan dan kewarisan
diaplikasikan sepenuhnya.[16]
Belanda tidak ikut campur dalam urusan hukum Islam. Bahkan pada tanggal 25 Mei
1670 Belanda memberikan pengakuan atas kedudukan hukum Islam sebagai hukum yang
berlaku. Melalui Kantor Dagang Belanda VOC dikeluarkanlah Resolute de Indeshe
Regeering yang berisi pemberlakuan hukum waris dan hukum perkawinan Islam pada
pengadilan VOC bagi orang Indonesia. Resolusi ini dikenal dengan nama Copendium
Freijer, yang merupakan legislasi hukum Islam pertama di Indonesia.[17]
Legislasi lainnya adalah diterbitkannya Compendium der Voornaamste Javaansche
Wetten nauwkeurig getrokken uit het Mohammedaansche Wetboek Mogharraer.
Peraturan ini merupakan koleksi hukum Jawa primer yang diambil dari kitab Al
Muharrar dan diberlakukan untuk Landraad (pengadilan umum) di Semarang pada
tahun 1750.[18] Di Karisedenan Cirebon disusun Pepakem Cirebon, yang dibuat
atas usul residen Cirebon, Mr. P.C. Hosselaar (1757-1765).[19] Aturan ini
merupakan kompilasi kitab hukum Jawa Kuno, seperti: Kitab Hukum Jawa Niscaya,
Undang-Undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa, dan Adilulah.[20] Aturan
ini dipakai oleh enam menteri pelaksana kekuasaan peradilan yang mewakili
tiga sultan Cirebon (Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon),
sebagai pedoman dalam memutuskan perkara perdata dan pidana di wilayah
Kesultanan Cirebon. Pepakem ini kemudian diadopsi oleh Sultan Bone dan Goa
untuk dijadikan undang-undang dan diberi nama Compendium Indianche Wetten bij
de Hoven van Bone en Goa.
Kebijakan adopsi terhadap hukum Islam berlangsung hingga masa pemerintahan
Gubernur Jendral Daendels (1808-1811). Hal ini tidak terlepas dari peran para
ahli hukum Belanda, khususnya yang menulis tentang Islam di Indonesia.
Diantaranya adalah J.E.W. van Nes (1850) yang menerbitkan buku
Boedelsscheidingen of Java volgens de kitab Saphi’i. A. Meurenge juga
mengeluarkan saduran Hanboek van het Mohammedansche Recht pada tahun 1844. Ahli
hukum yang paling berjasa dalam hal ini adalah Lodewijk Willem Christian van
den Berg (1845-1927) dengan teorinya yang bernama receptio in complexu. Dia
juga mengkonsepkan Statsblaad 1882 No.152 yang berisi ketentuan bahwa yang
berlaku bagi rakyat jajahan yang beragama Islam adalah hukum Islam.[21]
Peraturan lain yang menguatkan
berlakunya hukum Islam sepenuhnya bagi umat Islam adalah Reglement of het
Beleid der Regering ven Nederlandsch Indie atau disingkat regeringsreglement
(RR). Peraturan ini dikeluarkan tanggal 2 September 1854 dan termuat dalam
Stbl. 1854/2. RR ini berisi tentang peraturan tata pemerintahan daerah jajahan.
Dalam Stbl. 1885 No.2 terutama pasal 75 yang menegaskan bahwa bagi hakim
Indonesia hendaklah memberlakukan hukum agama dan kebiasaan penduduk
Indonesia.[22]
Periode kedua ditandai dengan munculnya kebijakan yang sifatnya intervensionis
terhadap hukum Islam dan hukum adat. Masa inilah terjadi represi dan eliminasi
terhadap pemberlakuan hukum Islam. Periode ini dimulai ketika terjadi transfer
kekuasaan dari VOC kepada pemerintah kerajaan Belanda. Pemerintah Belanda
melakukan represi terhadap hukum Islam dengan mengkonfrontasikannya dengan
hukum adat, yakni hukum asli penduduk Indonesia sebelum kedatangan Islam.
Kebijakan-kebijakan hukum pemerintah Belanda ditujukan untuk meminimalisir dan
mengeliminir peran hukum Islam. Pada masa ini muncul peraturan-peraturan
(staatsblad) yang mensubordinasikan hukum Islam di bawah hukum adat.
Upaya pertama Belanda untuk mengurangi fungsi dan peran sistem hukum Islam
adalah dengan memperlemah institusi peradilannya. Pada tahun 1824 fungsi
penghulu sebagai penasehat hukum Islam dihapus. Hal ini kemudian dipertegas
dengan keluarnya Stbl 1835 No. 56 yang menentukan kompetensi penghulu.
Perselisihan tentang perkawinan, kewarisan yang terjadi diantara orang-orang
Islam di Jawa dan Madura harus diselesaikan oleh penghulu. Sementara
kasus-kasus yang berhubungan dengan masalah pembayaran (uang) menjadi wewenang
pengadilan umum.
Pada tanggal 24 Januari 1882 Belanda mengeluarkan Stbl 1882 No.152 tentang
berdirinya peradilan agama di Jawa dan Madura (Bepaling Betreffende de
Priesterraden op Java en Madoera).[23] Pembentukan priesterrad ini berdasarkan
Koninkelijk Besluit (Keputusan Raja Belanda) No. 19 tahun 1882.[24] Pengadilan
ini dipimpin oleh seorang penghulu dan dibantu para ulama sebagai anggotanya.
Kompetensinya meliputi segala jenis perkara yang terjadi diantara orang Islam
Indonesia.
Berdirinya lembaga ini menunjukkan adanya pengakuan yuridis pemerintah Belanda
terhadap keberadaan hukum Islam. Namun di sisi lain mengindikasikan bahwa
pemerintah kolonial ingin menguasai kontrol administrasi hukum Islam. Nama
priesterrad yang berarti pengadilan pendeta, menunjukkan bahwa Belanda tidak
memahami tradisi hukum Islam. Pada awalnya lembaga ini dipahami sebagai
suatu bentuk formalisasi dari adanya institusi Islam, namun secara langsung
justru bertentangan dengan praktek Islam yang memberi penghulu jurisdiksi
tunggal dalam perkara-perkara perkawinan, perceraian dan kewarisan.[25]
Akibat dari pelembagaan peradilan Islam adalah bahwa setiap keputusan
priesterrad harus diratifikasikan kepada pengadilan umum sebelum
diimplementasikan. Hal ini jelas merugikan penghulu, karena pada kenyataannya
nasehat-nasehat dari penghulu sering dikesampingkan oleh pengadilan umum.
Akibatnya terjadi ketegangan antara umat Islam dengan pemerintahan kolonial.
Menyadari situasi ini pada tahun 1889 dibentuk Kantor Urusan Pribumi (Kantoor
voor Inlandsche Zaken). Lembaga ini diharapkan mampu meningkatkan saling
pengertian antara penjajah dengan masyarakat negeri jajahan.
Direktur pertama dari kantor ini adalah Dr. Christian Snouck Hurgronje
(1867-1936). Inilah titik awal di mana studi ilmiah terhadap Islam di Hindia
Belanda mulai semarak. Tugas dari lembaga ini adalah memberikan advis kepada
pemerintah Belanda dalam merumuskan kebijakan terhadap umat Islam. Berdasarkan
penelitiannya Snouck menemukan metode yang menjadi dasar kebijakan pemerintah
yaitu toleransi dalam kehidupan agama dan kehati-hatian dalam menghadapi
perluasan kontrol politik Islam.[26] Nasehat-nasehat Snouck menghasilkan
beberapa peraturan. Diantaranya peraturan tentang administrasi peradilan Islam
diratifikasikan menjadi undang-undang pada periode antara tahun 1929 dan 1938.
Namun pengundangan peraturan ini sebenarnya justru mengurangi jurisdiksi
pengadilan agama.
Menurut Snouck, hukum Islam baru berlaku bila diterima atau dikehendaki oleh
hukum adat. Pendapat ini kemudian diberi dasar hukum dalam undang-undang dasar
Hindia Belanda yang disebut Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie,
disingkat Indische Staatsregeling (IS). IS merupakan pengganti
regeringsreglement (RR) dan berisi peraturan ketatanegaraan Indonesia.
Peraturan ini dikeluarkan tanggal 23 Juni 1925 dan termuat dalam Stbl. 1925/415
dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1926.[27] Dalam Stbl. No.212 tahun 1929,
hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Pasal 134 ayat
(2) IS disebutkan, “dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam
akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka
menghendakinya dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan suatu
ordonansi”.[28]
Upaya mengontrol operasionalisasi hukum Islam juga dilakukan Belanda. Pada
tahun 1929 muncul undang-undang perkawinan yang menempatkan penghulu sebagai
pemerintah yang berada di bawah kontrol bupati. Dengan keadaan seperti ini
memudahkan Belanda untuk menguasai dan mengintervensi pelaksanaan hukum Islam.
Pada tahun 1931 keluar Stbl No. 53 tahun 1931 yang berisi tiga hal, yaitu: (1)
priesterrad akan dihapuskan dan diganti dengan pengadilan penghulu, di mana
seorang hakim tunggal memecahkan kasus-kasus dalam masalah hukum Islam, (2)
penghulu berstatus sebagai abdi pemerintah dan mendapatkan gaji tetap, (3)
pengadilan banding akan dibentuk untuk mereview keputusan-keputusan dari
pengadilan penghulu. Namun peraturan ini tidak pernah dilaksanakan karena
Belanda mengalami kesulitan keuangan. Untuk mengobati kekecewaan umat Islam,
pada tahun 1937 dikeluarkan Stbl. No. 610 tentang pembentukan Hof voor Islamietische
Zaken atau Mahkamah Islam Tinggi untuk menerima perkara banding.
Pengebirian terhadap kewenangan lembaga peradilan Islam diupayakan
pemerintah Belanda dengan mengkonfrontasikannya dengan hukum adat. Melalui
Stbl. No. 116 tahun 1937, yang merupakan pelaksanaan pasal 134 ayat (2) IS,
pemerintah memindahkan penyelesaian masalah kewarisan dari peradilan Islam ke
peradilan umum (landraad), di mana perkara tersebut diselesaikan dengan hukum
adat.[29] Alasannya hukum Islam belum sepenuhnya diterima oleh hukum adat. Di
sini terjadi perebutan supremasi hukum antara hukum adat yang diunggulkan
Belanda dengan hukum Islam.
Reaksi pihak Islam terhadap campur tangan Belanda dalam masalah hukum Islam
banyak ditulis dalam buku dan surat kabar waktu itu.[30] Jelas bahwa politik
hukum yang menjauhkan umat Islam dari ketentuan-ketentuan agamanya adalah
taktik Belanda untuk meneguhkan kekuasaannya di Indonesia. Tahun 1937 Belanda
juga mengeluarkan ordonansi mengenai catatan perkawinan yang mengusulkan
tentang penghapusan poligami. Tetapi peraturan ini ditarik kembali karena
mendapat perlawanan yang besar dari umat Islam.
Di luar Jawa lembaga peradilan agama juga dibentuk oleh Belanda. Stbl. No. 638
tahun 1937 menyebutkan pendirian Pengadilan Kadhi untuk tingkat pertama di
wilayah bagian selatan dan timur pulau Kalimantan. Di susul kemudian terbitnya
Stbl. No 639 tentang pembentukan Kerapatan Kadhi Besar yang merupakan
pengadilan tingkat banding di Kalimantan Selatan. Di wilayah lain, umat Islam
mendirikan peradilan agama sendiri, seperti di Palembang dan Jambi untuk
Sumatera, dan juga kota-kota pesisir di kepulauan Kalimantan dan Ternate.[31]
Meskipun pengadilan Islam banyak didirikan, kekuatan judisialnya sangat
dibatasi. Institusi ini hanya mengurus permasalahan yang berhubungan dengan
perkawinan, kewarisan, dan hal-hal yang menyangkut wasiat saja. Hal inipun
masih harus diresipir dengan hukum adat. Inilah wujud dari adatrecht politiek
Belanda, sehingga apapun dilakukan untuk menguatkan posisi hukum adat dan melemahkan
kedudukan hukum Islam.
Pada masa Jepang tidak ada perubahan substantif terhadap peradilan Islam dan
hukum Islam. Jepang hanya mengubah nama lembaga peradilan Islam dari
priesterrad menjadi Sooryoo Hooin dan pengadilan Banding dari Hof voor Islamietsche
Zaken menjadi Kaikyoo Kootoo Hooin.[32] Di Jawa dan Madura, lembaga ini
menjalankan tugas menangani kasus-kasus perkawinan, dan kadang memberi nasehat
dalam bidang kewarisan.
3. Fase Formatisasi (1945 – 1998)
Berakhirnya kolonialisme di
Indonesia sekaligus juga mengakhiri fase represi dan eliminasi terhadap
pemberlakuan hukum Islam. Kedudukan hukum Islam pada masa kemerdekaan mengalami
kemajuan yang berarti. Namun hal itu tidak berarti bahwa hukum Islam kembali
pada kondisi reception in complexu. Lamanya Belanda menjajah mengakibatkan
perubahan struktur politik dan sosial bangsa Indonesia. Meskipun mayoritas
masyarakat Indonesia adalah muslim, tetapi bukan hal yang mudah untuk
memberlakukan hukum Islam di Indonesia. Pelan tapi pasti, terjadi upaya
formatisasi terhadap hukum Islam, sebagai konsekuensi dipilihnya Pancasila
sebagai ideologi negara.
Sejak masa menjelang kemerdekaan keinginan kaum nasionalis Islam untuk
memberlakukan hukum Islam begitu kuat. Meskipun untuk tujuan itu mereka harus
berhadapan dengan kaum nasionalis sekuler. Hal ini terlihat dalam perdebatan di
sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia)
maupun sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Perdebatan
tersebut terjadi ketika para foundingfathers berusaha merumuskan dasar negara
Indonesia.
Pada fase ini hukum Islam mengalami dua periode, yaitu periode
persuasive-sources dan authoritative source. Periode persuasive adalah periode
penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasive, yaitu sumber yang terhadapnya
orang harus yakin dan menerimanya.[33] Masa ini berlangsung selama empat belas
tahun, yakni sejak diterimanya Piagam Jakarta sebagai salah satu hasil sidang
BPUPKI hingga keluarnya dekrit presiden Republik Indonesia tanggal 5 Juli 1959.
Semua hasil sidang BPUPKI adalah sumber persuasive bagi grondwetinterpretatie
UUD 1945, sehingga Piagam Jakarta juga merupakan persuasive-source UUD 1945.
Meskipun dalam UUD 1945 tidak dimuat tujuh kata Piagam Jakarta,[34] namun hukum
Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam berdasarkan pasal 29
ayat (1) dan (2).[35] Berdasarkan pasal ini pula, maka dibentuklah departemen
agama pada tanggal 3 Januari 1946.[36]
Periode kedua, authoritative source dimulai ketika Piagam Jakarta ditempatkan
dalam Dekrit Presiden RI tanggal 5 Julu 1959. Dalam konsiderans Dekrit Presiden
disebutkan: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni
1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam
konstitusi tersebut”. Dekrit Presiden selain menetapkan Piagam Jakarta di dalam
konsiderans, juga menetapkan dictum tentang berlakunya kembali UUD 1945. Dengan
demikian dasar hukum Piagam Jakarta dan UUD 1945 ditetapkan dalam satu
peraturan perundangan yaitu Dekrit Presiden. Menurut hukum tata negara
Indonesia, keduanya memiliki kedudukan hukum yang sama.[37] Hal ini berarti
Piagam Jakarta, termasuk ketujuh katanya, menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu
rangkaian kesatuan dalam UUD 1945.
Ketentuan di atas kemudian diwujudkan dalam politik hukum sebagaimana
dirumuskan dalam Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960. Ketetapan itu berbunyi bahwa
penyempurnaan hukum perkawinan dan hukum waris hendaknya juga memperhatikan
faktor-faktor agama. Namun hingga tahun 1968, batas waktu berlakunya Ketetapan
MPRS No. II/MPRS/1960, tidak satupun muncul undang-undang dalam bidang hukum
perkawinan dan kewarisan.
Memasuki masa orde baru, pembangunan nasional dalam berbagai bidang terus
diupayakan, termasuk dalam bidang hukum. Dalam rumusan Garis-Garis Besar Haluan
Negara[38] yang merupakan haluan pembanguan nasional menghendaki terciptanya
hukum baru Indonesia. Hukum tersebut harus sesuai dengan cita-cita hukum
Pancasila dan UUD 1945 serta mengabdi kepada kepentingan nasional. Hukum baru
Indonesia harus memuat ketentuan-ketentuan hukum yang menampung dan memasukkan
hukum agama (termasuk hukum Islam) sebagi umsur utamanya. Inilah dasar yuridis
bagi upaya formatisasi hukum Islam dalam hukum nasional.
Formatisasi hukum Islam dilakukan dengan upaya mentransformasikan hukum Islam
ke dalam aturan perudangan. Dalam peraturan perundang-undangan kedudukan hukum
Islam semakin jelas. Dari sinilah kemudian muncul legislasi hukum Islam yang
bersifat nasional, yaitu UU No.1/1974 tentang Perkawinan dan Peraturan pemerintah
No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Undang-undang ini berlaku efektif
mulai tanggal 1 Oktober 1975. Sebagai produk politik, undang-undang perkawinan
ini merupakan kompromi berbagai kekuatan politik dengan aspirasi hukumnya
masing-masing. Pasal 2 ayat (2) UU no.1/1974 menetapkan bahwa perkawinan adalah
sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing. Dengan ketentuan
ini berarti terjadi perubahan hukum dari yang rasial etnis (pada masa kolonial)
kepada hukum yang berdasar keyakinan agama.
Institusi peradilan Islam juga menempati posisi yang kuat berdasarkan
Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10
ayat (1) ditetapkan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh
Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer
dan peradilan tata usaha negara. Jenis peradilan tersebut meliputi peradilan
tingkat pertama dan tingkat banding. Penjelasan pasal 10 UU No. 14
tahun 1970 menetapkan bahwa peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan
tata usaha negara merupakan peradilan khusus. Kompetensinya
menangani perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan-golongan tertentu.
Dengan demikian peradilan agama merupakan peradilan negara, yaitu peradilan
resmi yang dibentuk oleh pemerintah dan berlaku khusus untuk umat Islam.[39]
Keberadaan Peradilan Agama semakin jelas dengan ditetapkannya Undang-Undang
No.7 tahun 1989 tentang kekuasaan Peradilan Agama. Kompetensi Peradilan Agama
memiliki dua ukuran, yaitu asas personalitas dan bidang hukum perkara
tertentu.[40] Dalam Bab III pasal 49-53 kewenangan Peradilan Agama meliputi
bidang-bidang hukum perdata antara lain: perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah,
serta wakaf dan sadakah. Dari bidang-bidang tersebut dapat dikatakan bahwa
jurisdiksi Peradilan Agama adalah bidang hukum keluarga (ahwal al-syakhsiyah).
Berdasarkan kompetensinya, maka diperlukan hukum materiil sebagai pedoman bagi
para hakim Peradilan Agama dalam menjalankan tugasnya. Dalam menangani perkara,
hakim Peradilan Agama menggunakan kitab fikih klasik sebagai dasar
putusannya.[41] Kitab fikih yang digunakan antara satu peradilan agama dengan
peradilan agama yang lain tidak sama. Hal ini mengakibatkan adanya putusan yang
berbeda dalam masalah yang sama. Kondisi ini memunculkan pemikiran untuk
menyusun kodifikasi hukum Islam sebagai panduan dalam menangani perkara.
Berdasarkan pertimbangan di atas, dikeluarkanlah putusan bersama Ketua Mahkamah
Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No.07/KMA/1985 dan No.25 tahun
1985 tentang Penunjukan Pelaksanaan Pengembangan Hukum Islam. Proyek ini
dikenal dengan Kompilasi hukum Islam di Indonesia. Pelaksanaannya dilakukan
melalui empat jalur, yaitu jalur kitab fikih, wawancara, jurisprudensi dan
studi komparatif ke negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam. Hal ini
dimaksudkan untuk mengkaji kitab-kitab fikih yang digunakan sebagai dasar
putusan hakim dan menyesuaikannya dengan perkembangan masyarakat Indonesia
menuju hukum nasional. Setelah draft disetujui, maka dikeluarkanlah Instruksi
Presiden Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 sebagai dasar
penyebarluasannya. Inpres ini kemudian ditindak lanjuti dengan Keputusan
Menteri Agama nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991. Format KHI teragi ke
dalam tiga buku. Buku satu berisi tentang hukum perkawinan, buku dua tentang
hukum kewarisan, dan buku tiga tentang hukum perwakafan.
Keinginan umat Islam untuk memberlakukan hukum Islam semakin menguat dan
melebar ke berbagai bidang. Dalam hal obat dan makanan diwajibkan memiliki
sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Produk Obat dan
Makanan (LPPOM) Majlis Ulama Indonesia. Di samping itu juga muncul aksi-aksi
sosial untuk menegakkan hukum Islam, seperti pelarangan SDSB, kebebasan
berjilbab di sekolah dan kantor dan lain-lain. Disamping itu muncul
perundang-undangan yang mendukung terlaksananya hukum Islam, seperti UU No.17
tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji dan UU No. 38 tahun 1999 tentang
pengelolaan zakat.
Berdasarkan deskripsi diatas, formatisasi hukum agama Islam dalam hukum
nasional dapat berupa hukum umum yang berlaku nasional atau menjadi hukum
khusus yang berlaku bagi umat Islam saja. Hukum Islam yang berlaku nasional
tercermin dalam UU No. 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan, PP No. 28 Tahun 1977
Tentang Perwakafan, dan UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, di mana di
dalamnya diakui keberadaan Bank Islam). Formatisasi yang berupa hukum khusus
terlihat dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, UU No.17
tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji, dan UU No. 38 tahun 1999 tentang
pengelolaan zakat.
4. Fase Aktualisasi (1998 – sekarang)
Ketika masa reformasi
menggantikan orde baru (tahun 1998), keinginan mempositifkan hukum Islam
semakin kuat. Pada awalnya muncul pemikiran untuk menghidupkan lagi Piagam
Jakarta. Hal ini didasarkan kenyataan bahwa umat Islam adalah mayoritas di
Indonesia, sehingga wajar jika hukum agamanya diberlakukan. Kondisi ini terjadi
terutama di daerah-daerah yang kuat Islamnya, seperti Nangroe Aceh Darussalam
dan Makassar.
Perkembangan hukum Islam pada masa ini mengalami kemajuan. Secara riil hukum
Islam mulai teraktualisasikan dalam kehidupan sosial. Wilayah cakupannya
menjadi sangat luas, tidak hanya dalam masalah hukum privat atau perdata tetapi
masuk dalam ranah hukum publik. Hal ini dipengaruhi oleh munculnya
undang-undang tentang Otonomi daerah. Undang-undang otonomi daerah di Indonesia
pada mulanya adalah UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah, yang
kemudian diamandemen melalui UU No. 31 tahun 2004 tentang otonomi daerah.
Menurut ketentuan Undang-undang ini setiap daerah memiliki kewenangan untuk
mengatur wilayahnya sendiri termasuk dalam bidang hukum.
Akibatnya bagi perkembangan hukum Islam adalah banyak daerah menerapkan hukum
Islam. Secara garis besar, pemberlakuan hukum Islam di berbagai wilayah
Indonesia dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu penegakan sepenuhnya dan
penegakan sebagian. Penegakan hukum Islam sepenuhya dapat dilihat di provinsi
Nangroe Aceh Darussalam. Provinsi ini memiliki otonomi khusus dalam menyusun
dan memberlakukan hukum Islam di wilayahnya.[42] Penegakan model ini bersifat
menyeluruh, karena bukan hanya menetapkan materi hukumnya, tetapi juga
menstruktur lembaga penegak hukumnya. Daerah lain yang sedang mempersiapkan
adalah Sulawesi Selatan (Makassar) yang sudah membentuk Komite Persiapan
Penegakan Syari’at Islam (KPPSI), dan Kabupaten Garut yang membentuk Lembaga
Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI).[43]
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah terdepan dalam pelaksanaan
hukum Islam di Indonesia. Dasar hukumnya adalah Undang-Undang nomor 44 tahun
1999 tentang Keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Keistimewaan
tersebut meliputi empat hal, (1) penerapan syari’at Islam di seluruh aspek kehidupan
beragama, (2) penggunaan kurikulum pendidikan berdasarkan syari’at Islam tanpa
mengabaikan kurikulum umum, (3) pemasukan unsur adat dalam sistem pemerintahan
desa, dan (4) pengakuan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.[44]
Tindak lanjut dari undang-undang di atas adalah ditetapkannya Undang-undang
Nomor 18/tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam. Pemerintah
Aceh kemudian menindaklanjuti dengan membuat peraturan daerah guna merinci
pelaksanaan dari undang-undang ini. Maka lahirlah empat perda, yaitu (1) Perda
nomor 3 tahun 2000 tentang organisasi dan tata kerja Majelis Permusyawaratan
Ulama, (2) Perda nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh,
(3) Perda nomor 6 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, dan (4) Perda
nomor 7 tahun 2000 tentang penyelenggaraan kehidupan adat.
Fenomena pelaksanaan hukum Islam juga merambah daerah-daerah lain di Indonesia,
meskipun polanya berbeda dengan Aceh. Berdasarkan prinsip otonomi daerah maka
muncullah perda-perda bernuansa syari’at Islam di wilayah tingkat I maupun
tingkat II. Daerah-daerah tersebut antara lain: Provinsi Sumatera Barat, Kota
Solok, Padang Pariaman, Bengkulu, Riau, Pangkal Pinang, Banten, Tangerang,
Cianjur, Gresik, Jember, Banjarmasin, Gorontalo, Bulukumba, dan masih banyak
lagi. [45] Pada umumnya perda-perda syari’ah yang ditetapkan oleh pemda
mengatur tiga aspek, yaitu: (1) menghapus kejahatan sosial seperti prostitusi
dan perjudian, (2) menegakkan ibadah ritual di kalangan muslim, seperti membaca
Al-Qur’an, salat jum’at, dan puasa Ramadan, dan (3) mengatur tata cara
berpakaian muslim/muslimah, khususnya penggunaan jilbab dalam wilayah
publik.[46].
Materi perda syari’at Islam tidak bersifat menyeluruh, tetapi hanya menyangkut
masalah-masalah luar saja. Jika dikelompokkan berdasarkan aturan yang tercantum
dalam perda-perda syari’at tersebut, maka isinya mencakup masalah: kesusilaan,
pengelolaan Zakat, Infaq dan Sadaqah, penggunaan busana muslimah, pelarangan
peredaran dan penjualan minuman keras, pelarangan pelacuran, dan sebagainya.
Fenomena munculnya perda-perda syari’at di satu sisi menunjukkan arah baru
perkembangan hukum Islam di Indonesia. Namun di sisi lain banyak ekses yang
ditimbulkan terkait dengan munculnya perda-perda ini. Menurut Muhyar Fanani,
keberadaan perda-perda syari’at ini tidak akan berlangsung lama. Hal ini
dikarenakan oleh tiga hal, Pertama, perda-perda tersebut tidak menyentuh
langsung kebutuhan mendesak masyarakat seperti pemberantasan kemiskinan,
penyediaan lapangan kerja, dan sebagainya. Kedua, perda-perda tersebut belum
tampak efektif terutama menyangkut perilaku para pengelola pemerintahan.
Ketiga, perda-perda tersebut tidak didukung oleh nalar publik. Aturan dalam
perda lebih mengedepankan kulit dan tidak menyentuh substansi syari’at. Karena
terjebak pada kulit sehingga menimbulkan polemik, termasuk di kalangan umat
Islam sendiri.[47]
C. Sustainsi dan Resistensi Pemberlakuan Hukum Islam di
Indonesia
Membaca sejarah perkembangan
hukum Islam di atas, memunculkan satu pertanyaan tentang bagaimana masa depan
kedudukan dan keberlakuannya di Indonesia. Jawaban pertanyaan ini tentu tidak
mudah, karena harus melihat berbagai faktor yang mendukung adanya penerimaan
(sustainsi) dan juga faktor yang menghambat atau melakukan resistensi. Kedua
faktor ini perlu dipertimbangkan mengingat dua hal, yaitu bentuk negara dan
kemajemukan masyarakat Indonesia. Bentuk negara Indonesia sudah diangap final,
dan pluralitas masyarakat juga sebuah kenyataan sosial. Dengan demikian yang
dapat dilakukan adalah membaca berbagai peluang atau prospek sekaligus melihat
penghambat bagi implementasi hukum Islam di Indonesia.
Secara politis maupun
sosiologis terdapat faktor-faktor yang dianggap sebagai peluang bagi
pemberlakua hukum Islam di Indonesia. Faktor-faktor tersebut adalah: kedudukan
hukum Islam, penganut yang mayoritas, ruang lingkup hukum Islam yang luas,
serta dukungan aktif organisasi kemasyarakatan Islam. Kedudukan hukum Islam
sejajar dengan sistem hukum yang lain, dalam arti mempunyai kesempatan yang
sama dalam pembentukan hukum nasional. Namun, hukum Islam mempunyai prospek
yang lebih cerah berdasarkan berbagai alasan, baik alasan historis, yuridis
maupun sosiologis. Nilai-nilai hukum Islam mempunyai lingkup yang lebih luas,
bahkan sebagian nilai-nilai tersebut sudah menjadi bagian dari kebudayaan
nasional. Sedangkan hukum adalah bagian dari kebudayaan. Hukum merupakan
penjelmaan dari struktur ruhaniyah suatu masyarakat atau sebagai penjelmaan
dari nilai-nilai sosial budaya dari golongan yang membentuk hukum tersebut.[48]
Di sisi lain, kenyataan bahwa Islam merupakan agama dengan penganut mayoritas
merupakan aset yang menjanjikan. Dengan modal mayoritas ini, umat Islam bisa
masuk dalam berbagai lembaga pemerintahan, baik eksekutif, legislatif maupun
yudikatif, yang mempunyai kewenangan menetapkan politik hukum. Logikanya
semakin banyak populasi muslim, maka semakin banyak aspirasi yang masuk dan
terwakili. Namun realitas ini tidak serta merta menjadi niscaya, karena sangat
tergantung pada bagaimana keinginan dan upaya umat Islam
mengimplementasikannya. Perdebatan pada saat menentukan bentuk negara dapat
menjadi cermin bagaimana menyatukan umat Islam dalam visi dan misi yang sama
tentang pemberlakuan hukum Islam di Indonesia.
Faktor pendukung lain terletak pada cakupan bidang hukum yang luas. Dengan
keluasan bidangnya, hukum Islam merupakan alternatif utama dalam pembentukan
tata hukum, karena mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan hukum masyarakat.
Nilai, asas dan karakteristiknya dapat menjadi landasan dan sumber hukum.
Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan mengabil nilai-nilai Islam yang bersifat
universal (sebagai norma abstrak) untuk dijadikan sebagai konsep teoritis untuk
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Penuangannya dapat melibatkan
nilai-nilai budaya lokal yang telah berlaku dalam masyarakat, sehingga warna
Indonesia sebagai identitas budaya tetap terwujud.[49]
Faktor keempat yang juga penting adalah peran aktif lembaga atau organisasi
Islam. Secara struktural keberadaan organisasi-organisasi Islam dalam sistem
politk Indonesia menjadi pengimbang bagi kebijakan pemerintah. Kontribusi nyata
dari berbagai organisasi Islam setidaknya dapat menjadi daya tawar dalam
pengambilan berbagai keputusan yang menyangkut kepentingan umum. Dengan daya
tawarnya organisasi Islam dapat menyalurkan aspirasi anggotanya dan
berpartisipasi aktif dalam pembangunan politik.
Keempat faktor di atas memberikan gambaran betapa hukum Islam memiliki peluang
yang besar untuk menjadi hukum nasional. Namun semua itu tergntung bagaimana
umat Islam mengelola potensi tersebut. Hal yang terpenting adalah menyatukan
visi tentang Islam, terutama diantara kalangan yang disebut fundamentalis
dengan meeka yang modernis atau liberalis. Tanpa kesatuan visi, maka cita-cita
untuk mengimplementasikan hukum Islam hanya akan menjadi angan-angan, atau
hanya tampil dalam wacana diskusi-diskusi di kalangan umat Islam.
Di samping peluang atau prospek positif di atas, perlu dicermati juga sejumlah
hambatan yang menjadi penghalang bagi berlakunya hukum Islam di Indonesia.
Secara sederhana faktor yang kurang mendukung prospek hukum Islam di Indonesia
terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari kurang
‘kafahnya’ institusionalisasi dan pandangan dikotomis terhadap hukum Islam.
Sedangkan faktor eksternalnya adalah pengaruh politik hukum pemerintah terhadap
bidang-bidang hukum tertentu.
Belum kaafaahnya pelembagaan hukum Islam di Indonesia terlihat dari pandangan
dikhotomis dalam implementasinya. Hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah
perdata atau hubungan antar pribadi hampir sepenuhnya mendapatkan perhatian
khusus. Namun hukum-hukum selainnya seperti hukum pidana dan ketatanegaraan
belum tersentuh atau minim perhatian. Sehingga penetapan peraturan-peraturan
atau hukum yang berkaitan dengan masalah tersebut belum ada campur tangan yang
serius.[50] Hal ini tidak lepas dari peran kolonial Belanda yang melakukan
represi dan eliminasi terhadap hukum Islam. Pada masa kerajaan Islam, hukum
Islam berlaku sepenuhnya, dalam arti menjadi pegangan para hakim/qadhi untuk
memutuskan semua jenis perkara, baik perdata maupun pidana. Intervensi penjajah
dengan kekuatan politiknya menyebabkan terjadinya dikhotomis, di mana hukum
pidana dan tata negara digantikan dengan sistem hukum Barat/Eropa.
Pola dikhotomi hukum privat dan publik ini berlanjut setelah Indonesia merdeka.
Pemerintah yang baru hanya memberikan kewenangan pemberlakuan hukum perdata
Islam. Hukum publik tetap menjadi monopoli pemerintah, yang masih tetap
memberlakukan hukum peninggalan Belanda. Pengadilan Agama, sebagai institusi
resmi, hanya berwenang menangani perkara-perkara yang terjadi diantara
orang-orang yang beragama Islam, dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan
hibah, wakaf serta sodaqoh yang dilaksanakan menurut hukum Islam.[51]
Kurang melembaganya hukum publik Islam ini juga dipengaruhi oleh faktor
politik hukum. Negara Indonesia bukanlah negara agama, permasalahan penetapan
hukum adalah kekuasaan negara, termasuk masalah agama menjadi wewenang negara.
Sehingga dalam hal ini umat Islam sepenuhnya tunduk kepada undang-undang yang
diberlakukan oleh negara. Menyikapi hal ini perlu adanya penegasan kaidah agama
dengan cara penegakan diri agar para penganutnya tidak melanggar ajaran agamanya.
Pola penegakan hukum preventif dari kaidah agama tersebut sangat efektif dalam
membantu menetapkan pola penegakan hukum negara secara prefentif-represif, agar
masyarakat memahami dan mentaati kaidah hukum negara dan kaidah agama. Dengan
demikian syariat Islam tidak hanya didakwahkan tetapi diaktualisasikan dan
disosialisasikan guna membatasi kelemahan dan kekurangan hukum positif.
D. Penutup
Perkembangan hukum Islam di
Indonesia pada dasarnya ditentukan oleh dua hal, yaitu keinginan umat Islam
sendiri serta kebijakan pemerintah yang berkuasa. Ketika kedua hal
tersebut bergayut, maka pemberlakuan hukum Islam menjadi mudah. Namun
sebaliknya, jika kedua hal tersebut bertentangan orientasinya, maka pemerintah
menjadi pihak yang menentukan kedudukan hukum Islam. Kondisi inilah yang
mewarnai sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia sejak masa awal hingga
masa kontemporer sekarang. Seberapa besar keinginan umat Islam dan seberapa
kuat bargaining powernya menjadi faktor yang menentukan eksistensi hukum Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Adurrahman, Kompilasi Hukum Islam
di Indonesia, Jakarta: Akademika Presindo, 1991
Ahmad Azhar Basyir, “Nilai-nilai Dasar Hukum Nasional”, dalam Artidjo Al-Kostar
(ed), Identitas Hukum Nasional, Yogyakarta: FH UII, 1997
Amrullah Ahmad et.al., Dimensi
Hukum Islam dalam Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Pers, 1996
Aqib Suminto, Politik Islam
Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1985
Ario Sosroatmojo dan Wasit
Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1988
Bolland, BJ., Pergumulan Islam di
Indonesia, Jakarta: Graffiti Press, 1995.
C.S.T. Kansil, Pengantar Hukum
Indonesia, Julid II, Jakarta: Balai Pustaka, 1993
Daniel S. Lev, Islamic Courts in
Indonesia, Berkeley: University of California Press, 1972
Deliar Noer, Administrasi Islam
di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1983
Dewi Candraningrum, “Unquestioned
Gender Lens in Contemporary Indonesian Shari’ah-Ordinances (Perda Syari’ah)”,
dalam Al-Jami’ah, Journal of Islamic Studies, vol. 45, no. 2, 2007 M/1428 H,
hlm. 294
Eddi Rudiana Arief dkk., Hukum
Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan, Bandung: Remaja Rosdakarya,
1994
Faozi Barkah, “Implementasi
Penegakan Syari’at Islam di Garut, Studi Atas Gerakan Lembaga Pengkajian,
Penegakan, dan Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI)”, dalam Jurnal Penelitian
Agama, vol. XV, No. 2 Mei-Agustus 2006
Harry J. Benda, The Crescent and The
Rising Sun, The Hague and Bandung: W. Van Hoeve Ltd., 1958
H.J. de Graaf/Th. Pigeaud,
Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Jakarta:
Grafiti Press, 1986
Muhyar Fanani, Membumikan Hukum
Langit, Nasionalisasi Hukum Islam dan Islamisasi Hukum Nasional, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009.
Nur A. fadhil Lubis, Hukum Islam dalam
Kerangka Teori Fikih dan Tata Hukum Indonesia,
Medan: Pustaka
Widyasarana, 1995
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin Dan
Peradaban, Jakarta:
Paramadina, 1995.
Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum
Islam dan Adat di Indonesia, Seri XXXV, Jakarta: INIS, 1998
Riswinarno, “Pengadilan dan Peradilan
di Kasultanan Yogyakarta”, dalam jurnal
Thaqafiyyat, Vol.5, No.1 Januari-Juni 2004
Roihan A Rasyid, Hukum Acara
Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 1991
Supriatna, dkk., Perkembangan
Berlakunya Hukum Islam di Yogyakarta, Yogyakarta: Balai Penelitian P3M IAIN
Sunan Kalijaga, 1991
Soepomo dan Djokosutono, Sejarah
Politik Hukum Adat, 1609-1848, Jakarta: Djambatan, 1955
Soepomo, Sistim Hukum Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke-II, Jakarta: Pradnja
Paramita, 1972
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat,
Jakarta: Rajawali, 1987.
Taufiq Abdullah (ed), Sejarah dan
Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus,
1987.
Topo Santoso, Membumikan Hukum
Pidana Islam: Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda, Jakarta: Gema Insani
Press, 2003.
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika
Tata Negara Indonesia, Jakarta: Gema Insani Pers, 1996
Zulfran Sabrie (ed), Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila, Jakarta:
Pustaka Antara, 1992
Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit
Adnan, Sejarah Singkat Pengadilan Agama di Indonesia, Surabaya: PT. Bina Ilmu,
1983
Kompas, 12 April 2007.
Footnote
[1] Kristeningspolitiek merupakan
sebutan dari kalangan umat Islam Indonesia tentang kebijaksanaan
pemerintah Belanda yang menunjang usaha kristenisasi. Lihat Aqib Suminto,
Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 23
[2] Taufik Abdullah, “Adat dan Islam: Suatu Tinjauan tentang Konflik di
Minangkabau”, dalam Taufiq Abdullah (ed), Sejarah dan Masyarakat: Lintasan
Historis Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hl. 104-127.
[3] Diantara naskah tersebut adalah: Buku Peringatan 1000 hari Wafatnya Kanjeng
Pengulu Tapsir Anom V, Pengulu Ageng Kerajaan Surakarta Hadiningrat. Lihat
Zaini Ahmad Noeh, “Kepustakaan Jawa sebagai Sumber Sejarah Perkembangan Hukum
Islam”, dalam Amrullah Ahmad et.al., Dimensi Hukum Islam dalam Hukum Nasional
(Jakarta: Gema Insani Pers, 1996), hlm. 69
[4] Ibid., hlm. 70.
[5] Ichtianto, “Pengembangan Teori
Berlakunya Hukum Islam di Indonesia” dalam Eddi Rudiana Arief dkk., Hukum Islam
di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994),
hlm. 118
[6] H.J. de Graaf/Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa (Jakarta:
Grafiti Press, 1986), hlm.94
[7] Riswinarno, “Pengadilan dan Peradilan di Kasultanan Yogyakarta”,
dalam jurnal Thaqafiyyat, Vol.5, No.1 Januari-Juni 2004, hlm. 45
[8] Dalam beberapa manuskrip kitab ini disebut juga Serat Angger-Angger. Isinya
adalah kumpulan sumber hukum yang dipakai sebagi pedoman dalam menjalankan roda
peradilan tradisional di Kasultanan Yogyakarta.
Kitab ini terdiri dari enam bagian yaitu: Angger Arubiru, Angger Sadasa,
AnggerRedi atau Gunung, Angger Nawala Pradata Dalem, Angger Pradata Akhir, dan
Angger Ageng. Selengkapnya lihat Ibid., hlm. 38-41
[9] Supriatna, dkk., Perkembangan Berlakunya Hukum Islam di Yogyakarta
(Yogyakarta: Balai Penelitian P3M IAIN Sunan Kalijaga, 1991), hlm. 75-76
[10] Riswinarno, Pengadilan dan Peradilan…, hlm. 47
[11] Karel Stenbrink, Kitab Suci atau Kertas Toilet? Nuruddin
Ar-Raniry dan Agama Kristen (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hlm.
5.
[12] A Hasjmi, 50 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu (Jakarta: Bulan
Bintang, 1977), hlm. 109.
[13] Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Umat Islam di Nusantara, Sejarah dan
Perkembangannya Hingga Abd ke-19 (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka,
1990), hlm. 127.
[14] Karel Stenbrink, Beberapa Aspek Islam Indonesia Abad ke -19 (Jakarta:
Bulan Bintang, 1983), hlm. 100.
[15] Abdurrahman Wahid, “Pengembangan Fiqh yang Kontekstual”, dalam Pesantren,
No. 2/Vol. II/ Tahun 1985, hlm. 4.
[16] Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia,
Seri XXXV, (Jakarta: INIS, 1998), hlm. 30
[17] Idris Ramulyo, Azas-azas Hukum Islam: Sejarah Timbul dan Berkembangnya
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 145-146.
[18] Supomo dan Djokosutono, Sejarah Politik Hukum Adat, 1609-1848 (Jakarta:
Djambatan, 1955), hlm. 30
[19] Ichtianto, Pengembangan Teori…,hlm. 119
[20] Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1998), hlm. 108.
[21] Karya van den Berg dalam bidang hukum Islam antara lain Mohammedaansch
Recht, yang berisi tentang asas-asas hukum Islam menurut ajaran Syafi’i dan
Hanafi (1882), dan tentang hukum famili dan hukum waris Islam di Jawa dan
Madura (1892). Dia juga menerjemahkan kitab Fathu al-Qarib dan Minhaaj
at-Thalibin ke dalam bahasa Perancis. Lihat dalam Ichtianto, Pengembangan
Teori…, hlm. 121
[22] Ismail Sunny, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan
Indonesia” dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam…, hlm. 131
[23] Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali, 1983),
hlm. 84
[24] A. Wasit Aulawi, “Sejarah Perkembangan Hukum Islam”, dalam Amrullah Ahmad,
Dimensi Hukum Islam…, hlm. 55
[25] Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia (Berkeley: University of
California Press, 1972), hlm. 18-19
[26] Harry J. Benda, The Crescent and The Rising Sun (The Hague and Bandung: W.
Van Hoeve Ltd., 1958), hlm. 20-26
[27] C.S.T. Kansil, Pengantar Hukum Indonesia, Julid II (Jakarta: Balai
Pustaka, 1993), hlm.6
[28] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam…, hlm. 132
[29] R. Soepomo, Sistim Hukum Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke-II (Jakarta:
Pradnja Paramita, 1972), hlm. 85
[30] Aqib Suminto, Politik Islam…, hlm30-31
[31] Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam…, hlm. 37
[32] Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Pengadilan Agama
di Indonesia (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983), hlm. 44
[33] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam…, hlm. 133
[34] Tujuh kata tersebut berbunyi: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
[35] Pasal 29 ayat (1) berbunyi: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ayat (2) berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya
itu.
[36] Deliar Noer, Administrasi Islam…, hlm. 13-14
[37] Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia (Jakarta: Gema Insani
Pers, 1996), hlm 27
[38] Berdasarkan Tap MPR No. II/MPR/1973, No. II/MPR/1978, No.IV/MPR/1982 dan
No.II/MPR/1988.
[39] Yusril Ihza Mahendra, “Kedaulatan Negara dan Peradilan Agama”, dalam
Zulfran Sabrie (ed), Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila (Jakarta:
Pustaka Antara, 1992), hlm. 41
[40] Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Rajawali Pers,
1991), hlm. 25-27
[41] Diantara kitab-kitab fikih yang digunakan adalah: Kifayat al-Ahyar, Fathu
al-Mu’in, Syarh al-Tahrir, Syarh Kanz al-Raghibin, Fathu al-Wahab, Tuhfat
al-Muhtaj, Targhib al-Mustaq, Qawanin as-Syar’iyah, Al-Faraid, Bughyat
al-Mustarsyidin, Kitab al-Fiqh Ala al-Mazahib al-Arba’ah, dan Mughni al-Muhtaj.
Lihat dalam Nur A. Fadhil Lubis, Hukum Islam dalam Keranghka Teori Fikih dan
Tata Hukum Indonesia (Medan: Pustaka Widyasarana, 1995), hlm. 135
[42] Dasar pelaksanaannya adalah UU No. 44 tahun 1999 tentang kewenangan Aceh
memberlakukan syari’at Islam.
[43] Tentang LP3SyI baca Faozi Barkah, “Implementasi Penegakan Syari’at Islam
di Garut, Studi Atas Gerakan Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan
Syari’at Islam (LP3SyI”, dalam Jurnal Penelitian Agama, vol. xv, no. 2
Mei-Agustus 2006, hlm. 309
[44] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari’at dalam
Wacana dan Agenda (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 109.
[45] Kompas, 12 April 2007.
[46] Lihat dalam Dewi Candraningrum, “Unquestioned Gender Lens in Contemporary
Indonesian Shari’ah-Ordinances (Perda Syari’ah)”, dalam Al-Jami’ah, Journal of
Islamic Studies, vol. 45, no. 2, 2007 M/1428 H, hlm. 294
[47] Fanani, Membumikan Hukum Langit, Nasionalisasi Hukum Islam dan Islamisasi
Hukum Nasional (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009), hlm. 167.
[48] Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat
(Jakarta: Rajawali, 1987) , hlm. 33
[49] Dalam hukum Islam dikenal kaidah al-adat al-muhakkamah, adat itu
dihukumkan. Artinya adat atau kebiasaan masyarakat (budaya lokal) adalah sumber
hukum dalam Islam. Hal ini menunjukkan kemungkinan akulturasi timbal balik
antara Islam dan budaya lokal. Unsur budaya lokal yang bisa digunakan sebagai
sumber hukum adalah tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Lihat
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm.
150.
[50] Pada masa-masa menjelang proklamasi kemerdekaan memang ada usaha untuk
menjadikan hukum Islam sebagai ideologi atau dasar negara. Tetapi usaha ini
gagal karena tidak didukung oleh golongan nasionalis yang anggotanya sebagian
besar beragama Islam dan golongan non muslim. Kemudian muncul berbagai pemberontakan
yang bertujuan mendirikan negara Islam seperti gerakan DI/TII. Namun usaha ini
juga tidak berhasil. Setelah Indonesia merdeka belum ada perhatian yang khusus
mengenai bidang hukum pidana dan ketatanegaraan. Hal ini disebabkan karena umat
Islam sudah menerima konstitusi yang ada, di samping juga mulai mundur dari
arena politik untuk lebih konsentrasi dibidang sosial budaya. Lihat BJ Bolland,
Pergumulan Islam di Indonesia (Jakarta: Graffiti Press, 1995), hlm. 170-172.
[51] Mengenai kekuatan absolute PA selengkapnya terdapat pada
pasal 49 dan 50 UU No.7/1989
[sumber;adia-adab.org]