Kamis, 02 Januari 2014

Renungan

RENUNGAN PERALIHAN TAHUN

Manusia di berbagai negeri sangat antusias menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun ini. Beberapa saat lagi, Kalender 2013 akan segera digantikan dengan kalender baru Tahun 2014. Bagi sebagian orang, pergantian tahun hanyalah hal biasa yang datang silih berganti seiring waktu, tetapi manusia lainnya ada yang memandang bahwa pergantian tahun merupakan momentum yang tepat melakukan instrospeksi diri.
Namun sebagian manusia lainnya malah menjadikannya sebagai momentum yang perlu dirayakan dengan aneka kenikmatan dan kebahagiaan.
Budaya perayaan berakhirnya satu tahun dan menandai akan berganti dengan hitungan tahun selanjutnya, terjadi di banyak komunitas manusia. Setiap bangsa dan umat yang mempunyai sistem kalender (penanggalan), sebagian besar mereka juga memiliki budaya perayaan yang beragam. Beberapa referensi menyebutkan, setidaknya perayaan tahun baru dilakukan oleh orang Yahudi, bangsa Cina, bangsa Persia, bangsa Romawi kuno, serta umat Kristen.
 Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? 

Sejarah Tahun Baru Masehi
Orang Yahudi merayakan tahun baru mereka tidak pada hari ke-1 bulan ke-1 kalender Ibrani (bulan Nisan), tetapi pada hari ke-1 bulan ke-7 kalendar Ibrani (bulan Tishrei). Mereka menyebut perayaan tahun barunya itu dengan nama Rosh Hashanah, yang berarti “kepala tahun”. Mereka merayakannya dengan cara berdoa di Sinagog, mendengar bunyi shofar (tanduk). Menyediakan makanan pesta berupa roti challah yang bundar dan apel yang dicelupkan ke dalam madu, juga kepala ikan dan buah delima. Buah-buahan baru disajikan pada malam kedua. Pada perayaan tahun baru ini mereka beristirahat dari aktivitas kerja.
Bangsa Cina perayaan tahun baru mereka, dilakukan pada malam bulan baru musim dingin (antara akhir Januari hingga awal Februari), atau jika memakai kalender Gregorian tahun baru ini terletak antara 21 Januari hingga 20 Februari. Mereka menyebutnya dengan nama Imlek. Perayaan ini dimulai di hari ke-1 bulan pertama di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal ke-15 (pada saat bulan purnama). Malam Tahun Baru Imlek dikenal sebagai Chux, yang berarti “malam pergantian tahun”.
Di belahan bumi lain, masyarakat Persia menamakan perayaan tahun baru mereka dengan nama Norouz, yaitu perayaan (hari pertama) musim semi dan awal kalender Persia. Orang Persia punya kalender Persia yang didasarkan dari musim dan pergerakan matahari. Kata norouz berasal dari bahasa Avesta yang berarti “hari baru”, yang dirayakan pada 21 Maret jika memakai kalender Gregorian. Sejak Kekaisaran Dinasti Arsacid/Parthian, yang memerintah Iran pada 248 SM-224 M, Norouz dijadikan hari libur. Mereka merayakannya dengan mempersembahkan hadiah telur sebagai lambang produktivitas.
Dalam peradaban bangsa Romawi kuno, sejak abad ke-7 SM, mereka telah memiliki kalender tradisional yang kacau dan mengalami beberapa kali revisi. Sistem kalendar ini dibuat berdasarkan pengamatan terhadap munculnya bulan dan matahari, dan menempatkan bulan Martius (Maret) sebagai awal tahunnya. Pada tahun 45 SM Kaisar Julius Caesar mengganti kalender tradisional ini dengan Kalender Julian. Urutan bulan menjadi: 1. Januarius, 2. Februarius, 3. Martius, 4. Aprilis, 5. Maius, 6. Iunius, 7. Quintilis, 8. Sextilis, 9. September, 10. October, 11. November, 12. December.
Di tahun 44 SM, Julius Caesar mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius (Juli). Sementara pengganti Julius Caesar, yaitu Kaisar Augustus, mengganti nama bulan Sextilis dengan nama bulan Agustus. Sehingga setelah Junius, masuk Julius, kemudian Agustus. Kalender Julian ini kemudian digunakan secara resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M ketika muncul Kalender Gregorian. Sejak saat itu tahun baru orang Romawi tidak lagi dirayakan pada 1 Maret, tapi pada 1 Januari yang pertama kali dirayakan pada 1 Januari 45 SM.
Umat Kristen menggunakan penghitungan tahun dan bulan kalender Julian, namun menetapkan tahun kelahiran Yesus atau Isa sebagai tahun permulaan (tahun 1 Masehi), walaupun sejarah menempatkan kelahiran Yesus pada waktu antara tahun 6 dan 4 SM.
Setelah meninggalkan abad pertengahan, pada 1582 M kalender Julian diganti dengan kalender Gregorian. Tanggal 5 hingga 14 Oktober 1582 tidak pernah ada dalam sejarah kalender Gregorian. Sejak saat itu, titik balik surya bisa kembali ditandai dengan tanggal 21 Maret tiap tahun, dan tabel bulan purnama yang baru disahkan untuk menentukan perayaan Paskah di seluruh dunia.
Sedangkan kaum Protestan tidak menyetujui reformasi Gregorian ini. Baru pada abad berikutnya kalender itu diikuti. Dalam tubuh Katolik sendiri, kalangan gereja ortodox juga bersikeras untuk tetap mengikuti Kalender Julian sehingga perayaan Natal dan Tahun Baru mereka berbeda dengan gereja Katolik Roma. Pada 1582 M Paus Gregorius XIII juga mengubah perayaan tahun baru umat Kristen dari 25 Maret menjadi 1 Januari yang mereka rayakan sampai sekarang.

Bagaimana Islam?
Bagaimana dengan umat Islam? Ternyata dalam tradisi umat Islam juga ditemukan adanya perayaan tahun baru. Di beberapa negara muslim termasuk Indonesia, tahun baru Hijriyah dengan sistem penanggalan bulan --yang dibuat pada masa Khalifah Umar-- dirayakan pada 1 Muharram setiap tahunnya. Terlepas dari beragam budaya perayaan tahun baru di seluruh dunia, jika ditelisik dari kacamata netral, lalu apa yang seharusnya kita lakukan ketika momentum pergantian tahun tersebut? Jawabannya hanya satu, ber-muhasabah (instrospeksi) diri yang seharusnya menjadi hal yang harus diprioritaskan. Bukankah orang yang beruntung itu adalah orang yang dari hari demi hari semakin bertambah baik? Bukankah semakin berlalu tahun demi tahun, maka umur dan segala yang ada di jagat raya ini semakin mendekati titik akhir?
Di era modern dan serba instan sekarang ini, ketika kompetisi hidup terjadi dalam segala bidang, dunia yang terasa begitu sempitnya, serta jarak dan waktu yang menjadi tak berarti, maka jiwa alamiah manusia membutuhkan waktu untuk berhenti sejenak dari semua gegap gempita dunia luar. Berhenti dalam artian menyendiri sembari melakukan evaluasi terhadap apa yang sudah dilakukan selama kurun waktu tertentu, sekaligus mempersiapkan perencanaan terbaik untuk hari-hari selanjutnya. Sebelum Tuhan memberhentikan semuanya, dan yang tersisa hanyalah penyesalan demi penyesalan.
Momentum pergantian tahun merupakan saat yang tepat melakukan evaluasi dan instrospeksi untuk kembali ke fitrah kemanusiaan. Atas waktu yang selama ini kita habiskan untuk Tuhan dan sesama makhluk Tuhan secara bijak, atau justru dihabiskan hanya untuk memuaskan kerakusan pribadi, mengejar harta dan jabatan.
Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah, bukan dengan menerjang larangan Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala berfirman:
 أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ
  (yang artinya), “Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (QS. Fathir: 37).
Qotadah mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.”







Tidak ada komentar:

Posting Komentar