RENUNGAN PERALIHAN TAHUN
Manusia di berbagai negeri sangat antusias menyambut perhelatan yang
hanya setahun sekali ini. Hingga sampai lembur pun, mereka
dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun ini. Beberapa saat lagi, Kalender 2013 akan segera digantikan
dengan kalender baru Tahun 2014. Bagi sebagian orang,
pergantian tahun hanyalah hal biasa yang datang silih berganti seiring
waktu, tetapi manusia lainnya ada yang memandang bahwa pergantian tahun
merupakan momentum yang tepat melakukan instrospeksi diri.
Namun
sebagian manusia lainnya malah menjadikannya sebagai momentum yang perlu
dirayakan dengan aneka kenikmatan dan kebahagiaan.
Budaya perayaan berakhirnya satu tahun dan menandai
akan berganti dengan hitungan tahun selanjutnya, terjadi di banyak
komunitas manusia. Setiap bangsa dan umat yang mempunyai sistem kalender
(penanggalan), sebagian besar mereka juga memiliki budaya perayaan yang
beragam. Beberapa referensi menyebutkan, setidaknya perayaan tahun baru
dilakukan oleh orang Yahudi, bangsa Cina, bangsa Persia, bangsa Romawi
kuno, serta umat Kristen.
Namun bagaimanakah
pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan tersebut? Apakah
mengikuti dan merayakannya diperbolehkan?
Orang Yahudi merayakan tahun baru mereka tidak pada hari ke-1 bulan
ke-1 kalender Ibrani (bulan Nisan), tetapi pada hari ke-1 bulan ke-7
kalendar Ibrani (bulan Tishrei). Mereka menyebut perayaan tahun barunya
itu dengan nama Rosh Hashanah, yang berarti “kepala tahun”. Mereka
merayakannya dengan cara berdoa di Sinagog, mendengar bunyi shofar
(tanduk). Menyediakan makanan pesta berupa roti challah yang bundar dan
apel yang dicelupkan ke dalam madu, juga kepala ikan dan buah delima.
Buah-buahan baru disajikan pada malam kedua. Pada perayaan tahun baru
ini mereka beristirahat dari aktivitas kerja.
Bangsa
Cina perayaan tahun baru mereka, dilakukan pada malam bulan baru musim
dingin (antara akhir Januari hingga awal Februari), atau jika memakai
kalender Gregorian tahun baru ini terletak antara 21 Januari hingga 20
Februari. Mereka menyebutnya dengan nama Imlek. Perayaan ini dimulai di
hari ke-1 bulan pertama di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap
Go Meh di tanggal ke-15 (pada saat bulan purnama). Malam Tahun Baru
Imlek dikenal sebagai Chux, yang berarti “malam pergantian tahun”.
Di
belahan bumi lain, masyarakat Persia menamakan perayaan tahun baru
mereka dengan nama Norouz, yaitu perayaan (hari pertama) musim semi dan
awal kalender Persia. Orang Persia punya kalender Persia yang didasarkan
dari musim dan pergerakan matahari. Kata norouz berasal dari bahasa
Avesta yang berarti “hari baru”, yang dirayakan pada 21 Maret jika
memakai kalender Gregorian. Sejak Kekaisaran Dinasti Arsacid/Parthian,
yang memerintah Iran pada 248 SM-224 M, Norouz dijadikan hari libur.
Mereka merayakannya dengan mempersembahkan hadiah telur sebagai lambang
produktivitas.
Dalam peradaban bangsa Romawi kuno, sejak abad ke-7
SM, mereka telah memiliki kalender tradisional yang kacau dan mengalami
beberapa kali revisi. Sistem kalendar ini dibuat berdasarkan pengamatan
terhadap munculnya bulan dan matahari, dan menempatkan bulan Martius
(Maret) sebagai awal tahunnya. Pada tahun 45 SM Kaisar Julius Caesar
mengganti kalender tradisional ini dengan Kalender Julian. Urutan bulan
menjadi: 1. Januarius, 2. Februarius, 3. Martius, 4. Aprilis, 5. Maius,
6. Iunius, 7. Quintilis, 8. Sextilis, 9. September, 10. October, 11.
November, 12. December.
Di tahun 44 SM, Julius Caesar mengubah
nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius (Juli). Sementara
pengganti Julius Caesar, yaitu Kaisar Augustus, mengganti nama bulan
Sextilis dengan nama bulan Agustus. Sehingga setelah Junius, masuk
Julius, kemudian Agustus. Kalender Julian ini kemudian digunakan secara
resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M ketika muncul Kalender
Gregorian. Sejak saat itu tahun baru orang Romawi tidak lagi dirayakan
pada 1 Maret, tapi pada 1 Januari yang pertama kali dirayakan pada 1
Januari 45 SM.
Umat Kristen menggunakan penghitungan tahun dan bulan
kalender Julian, namun menetapkan tahun kelahiran Yesus atau Isa sebagai
tahun permulaan (tahun 1 Masehi), walaupun sejarah menempatkan
kelahiran Yesus pada waktu antara tahun 6 dan 4 SM.
Setelah
meninggalkan abad pertengahan, pada 1582 M kalender Julian diganti
dengan kalender Gregorian. Tanggal 5 hingga 14 Oktober 1582 tidak pernah
ada dalam sejarah kalender Gregorian. Sejak saat itu, titik balik surya
bisa kembali ditandai dengan tanggal 21 Maret tiap tahun, dan tabel
bulan purnama yang baru disahkan untuk menentukan perayaan Paskah di
seluruh dunia.
Sedangkan kaum Protestan tidak menyetujui
reformasi Gregorian ini. Baru pada abad berikutnya kalender itu diikuti.
Dalam tubuh Katolik sendiri, kalangan gereja ortodox juga bersikeras
untuk tetap mengikuti Kalender Julian sehingga perayaan Natal dan Tahun
Baru mereka berbeda dengan gereja Katolik Roma. Pada 1582 M Paus
Gregorius XIII juga mengubah perayaan tahun baru umat Kristen dari 25
Maret menjadi 1 Januari yang mereka rayakan sampai sekarang.
Bagaimana Islam?
Bagaimana dengan umat Islam? Ternyata dalam tradisi umat Islam juga ditemukan adanya perayaan tahun baru. Di beberapa negara muslim termasuk Indonesia, tahun baru Hijriyah dengan sistem penanggalan bulan --yang dibuat pada masa Khalifah Umar-- dirayakan pada 1 Muharram setiap tahunnya. Terlepas dari beragam budaya perayaan tahun baru di seluruh dunia, jika ditelisik dari kacamata netral, lalu apa yang seharusnya kita lakukan ketika momentum pergantian tahun tersebut? Jawabannya hanya satu, ber-muhasabah (instrospeksi) diri yang seharusnya menjadi hal yang harus diprioritaskan. Bukankah orang yang beruntung itu adalah orang yang dari hari demi hari semakin bertambah baik? Bukankah semakin berlalu tahun demi tahun, maka umur dan segala yang ada di jagat raya ini semakin mendekati titik akhir?
Di era modern dan serba instan sekarang ini, ketika kompetisi hidup terjadi dalam segala bidang, dunia yang terasa begitu sempitnya, serta jarak dan waktu yang menjadi tak berarti, maka jiwa alamiah manusia membutuhkan waktu untuk berhenti sejenak dari semua gegap gempita dunia luar. Berhenti dalam artian menyendiri sembari melakukan evaluasi terhadap apa yang sudah dilakukan selama kurun waktu tertentu, sekaligus mempersiapkan perencanaan terbaik untuk hari-hari selanjutnya. Sebelum Tuhan memberhentikan semuanya, dan yang tersisa hanyalah penyesalan demi penyesalan.
Momentum pergantian tahun merupakan saat yang tepat melakukan evaluasi dan instrospeksi untuk kembali ke fitrah kemanusiaan. Atas waktu yang selama ini kita habiskan untuk Tuhan dan sesama makhluk Tuhan secara bijak, atau justru dihabiskan hanya untuk memuaskan kerakusan pribadi, mengejar harta dan jabatan.
Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah, bukan dengan menerjang larangan Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala berfirman:
Qotadah mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.”
Bagaimana dengan umat Islam? Ternyata dalam tradisi umat Islam juga ditemukan adanya perayaan tahun baru. Di beberapa negara muslim termasuk Indonesia, tahun baru Hijriyah dengan sistem penanggalan bulan --yang dibuat pada masa Khalifah Umar-- dirayakan pada 1 Muharram setiap tahunnya. Terlepas dari beragam budaya perayaan tahun baru di seluruh dunia, jika ditelisik dari kacamata netral, lalu apa yang seharusnya kita lakukan ketika momentum pergantian tahun tersebut? Jawabannya hanya satu, ber-muhasabah (instrospeksi) diri yang seharusnya menjadi hal yang harus diprioritaskan. Bukankah orang yang beruntung itu adalah orang yang dari hari demi hari semakin bertambah baik? Bukankah semakin berlalu tahun demi tahun, maka umur dan segala yang ada di jagat raya ini semakin mendekati titik akhir?
Di era modern dan serba instan sekarang ini, ketika kompetisi hidup terjadi dalam segala bidang, dunia yang terasa begitu sempitnya, serta jarak dan waktu yang menjadi tak berarti, maka jiwa alamiah manusia membutuhkan waktu untuk berhenti sejenak dari semua gegap gempita dunia luar. Berhenti dalam artian menyendiri sembari melakukan evaluasi terhadap apa yang sudah dilakukan selama kurun waktu tertentu, sekaligus mempersiapkan perencanaan terbaik untuk hari-hari selanjutnya. Sebelum Tuhan memberhentikan semuanya, dan yang tersisa hanyalah penyesalan demi penyesalan.
Momentum pergantian tahun merupakan saat yang tepat melakukan evaluasi dan instrospeksi untuk kembali ke fitrah kemanusiaan. Atas waktu yang selama ini kita habiskan untuk Tuhan dan sesama makhluk Tuhan secara bijak, atau justru dihabiskan hanya untuk memuaskan kerakusan pribadi, mengejar harta dan jabatan.
Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah, bukan dengan menerjang larangan Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala berfirman:
أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ
(yang artinya), “Dan
apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk
berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada
kamu pemberi peringatan?” (QS. Fathir: 37).Qotadah mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar