Kamis, 02 Januari 2014

JERITAN PERAWAN TUA
RENUNGAN BAGI KAUM HAWA



Fenomena bertambahnya jumlah wanita yang terlambat menikah (perawan tua) menjadi satu perkara yang menakutkan saat ini, mengancam kebanyakan pemudi-pemudi di masyarakat kita yang Islami, bahkan di seluruh dunia.
Majalah Al-Usrah edisi 80 Dzulqa’dah 1420 H menuliskan jeritan seorang perawan tua dari Madinah Munawaroh,”Semula saya sangat bimbang sebelum menulis untuk kalian karena ketakutan terhadap kaum wanita karena saya tahu bahwasanya mereka akan mengatakan bahwa aku ini sudah gila, atau kesurupan. Akan tetapi, realita yang aku alami dan dialami pula oleh sejumlah besar perawan-perawan tua, yang tidak seorang pun mengetahuinya, membuatku memberanikan diri. Saya akan menuliskan kisahku ini dengan ringkas.
Ketika umurku mulai mendekati 20 tahun, saya seperti gadis lainnya memimpikan seorang pemuda yang multazim dan berakhlak mulia. Dahulu saya membangun pemikiran serta harapan-harapan; bagaimana kami hidup nanti dan bagaimana kami mendidik anak-anak kami… dan.. dan…
Saya adalah salah seorang yang sangat memerangi ta’adud (poligami). Hanya semata mendengar orang berkata kepadaku, “Fulan menikah lagi yang kedua”, tanpa sadar saya mendoakan agar ia celaka. Saya berkata, “Kalau saya adalah istrinya -yang pertama- pastilah saya akan mencampakkannya, sebagaimana ia telah mencampakkanku’. Saya sering berdiskusi dengan saudaraku dan terkadang dengan pamanku mengenai masalah ta’addud. Mereka berusaha agar saya mau menerima ta’addud, sementara saya tetap keras kepala tidak mau menerima syari’at ta’addud. Saya katakan kepada mereka, ‘Mustahil wanita lain akan bersama denganku mendampingi suamiku”. Terkadang saya menjadi penyebab munculnya problema-problema antara suami-istri karena ia ingin memadu istri pertamanya; saya menghasutnya sehingga ia melawan kepada suaminya.
Begitulah, hari terus berlalu sedangkan saya masih menanti pemuda impian. Saya menanti… akan tetapi ia belum juga datang dan saya masih terus menanti. Hampir 30 tahun umur saya dalam penantian. Telah lewat 30 tahun… oh Illahi, apa yang harus saya perbuat? Apakah saya harus keluar untuk mencari pengantin laki-laki? Saya tidak sanggup, orang-orang akan berkata wanita ini tidak punya malu. Jadi, apa yang akan saya kerjakan? Tidak ada yang bisa saya perbuat, selain dari menunggu.
Pada suatu hari ketika saya sedang duduk-duduk, saya mendengar salah seorang dari wanita berkata, ‘Fulanah jadi perawan tua”. Saya berkata kepada diri sendiri, “Kasihan Fulanah jadi perawan tua”, akan tetapi, Fulanah yang dimaksud itu ternyata saya. Ya Illahi! Sesungguhnya itu adalah nama saya. Saya telah menjadi perawan tua. Bagaimanapun saya melukiskannya kepada kalian, kalian tidak akan bisa merasakannya. Saya dihadapkan pada sebuah kenyataan sebagai perawan tua. Saya mulai mengulang kembali perhitungan-perhitungan, apa yang saya kerjakan?
Waktu terus berlalu, hari silih berganti, dan saya ingin menjerit. Saya ingin seorang suami, seorang laki-laki tempat saya bernaung di bawah naungannya, membantu saya menyelesaikan problema-problema. Saudaraku yang laki-laki memang tidak melalaikanku sedikit pun, tetapi dia bukan seperti seorang suami. Saya ingin hidup; ingin melahirkan, dan menikmati kehidupan. Akan tetapi, saya tidak sanggup mengucapkan perkataan ini kepada kaum laki-laki. Mereka akan mengatakan, “Wanita ini tidak malu”. Tidak ada yang bisa saya lakukan selain daripada diam. Saya tertawa, akan tetapi bukan dari hati. Apakah kalian ingin saya tertawa, sedangkan tangan menggenggam bara api? Saya tidak sanggup.
Suatu hari, saudara saya yang paling besar mendatangi dan berkata, “Hari ini telah datang calon pengantin, tapi saya menolaknya…” Tanpa terasa saya berkata, “Kenapa kamu lakukan? Itu tidak boleh!” Ia berkata kepadaku, “Dikarenakan ia menginginkanmu sebagai istri kedua, dan saya tahu kalau kamu sangat memerangi ta’addud (poligami)”. Hampir saja saya berteriak di hadapannya, “Kenapa kamu tidak menyetujuinya?” Saya rela menjadi istri kedua, atau ketiga, atau keempat. Kedua tangan saya di dalam api. Saya setuju, ya saya yang dulu memerangi ta’addud, sekarang menerimanya. Saudara saya berkata, “Sudah terlambat”
Sekarang saya mengetahui hikmah dalam ta’addud. Satu hikmah ini telah membuat saya menerima, bagaimana dengan hikmah-hikmah yang lain? Ya Allah, ampunilah dosaku. Sesungguhnya saya dahulu tidak mengetahui. Kata-kata ini saya tujukan untuk kaum laki-laki, “Berta’addud-lah, nikahilah satu, dua, tiga, atau empat dengan syarat mampu dan adil. Saya ingatkan kalian dengan firman-Nya, “..Maka nikahilah olehmu apa yang baik bagimu dari wanita, dua, atau tiga, atau empat, maka jika kalian takut tidak mampu berlaku adil, maka satu..” Selamatkanlah kami. Kami adalah manusia seperti kalian, merasakan juga kepedihan. Tutupilah kami, kasihanilah kami.”
Dan kata-kata berikut saya tujukan kepada saudariku muslimah yang telah bersuami, “Syukurilah nikmat ini karena kamu tidak merasakan panasnya api menjadi perawan tua. Saya harap kamu tidak marah apabila suamimu ingin menikah lagi dengan wanita lain. Janganlah kamu mencegahnya, akan tetapi doronglah ia. Saya tahu bahwa ini sangat berat atasmu. Akan tetapi, harapkanlah pahala di sisi Allah. Lihatlah keadaan suadarimu yang menjadi perawan tua, wanita yang dicerai, dan janda yang ditinggal mati; siapa yang akan mengayomi mereka? Anggaplah ia saudarimu, kamu pasti akan mendapatkan pahala yang sangat besar dengan kesabaranmu”
Engkau mungkin mengatakan kepadaku, “Akan datang seorang bujangan yang akan menikahinya”. Saya katakan kepadamu, “Lihatlah sensus penduduk. Sesungguhnya jumlah wanita lebih banyak daripada laki-laki. Jika setiap laki-laki menikah dengan satu wanita, niscaya banyak dari wanita-wanita kita yang menjadi perawan tua. Jangan hanya memikirkan diri sendiri saja. Akan tetapi, pikirkan juga saudarimu. Anggaplah dirimu berada dalam posisinya”.
Engkau mungkin juga mengatakan, “Semua itu tidak penting bagiku, yang penting suamiku tidak menikah lagi.” Saya katakan kepadamu, “Tangan yang berada di air tidak seperti tangan yang berada di bara api. Ini mungkin terjadi. Jika suamimu menikah lagi dengan wanita lain, ketahuilah bahwasanya dunia ini adalah fana, akhiratlah yang kekal. Janganlah kamu egois, dan janganlah kamu halangi saudarimu dari nikmat ini. Tidak akan sempurna keimanan seseorang sehingga ia mencintai untuk saudaranya apa yang ia cintai untuk dirinya sendiri”. (1)
Demi ALlah, kalau kamu merasakan api menjadi perawan tua, kemudian kamu menikah, kamu pasti akan berkata kepada suamimu “Menikahlah dengan saudariku dan jagalah ia”. Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepadamu kemuliaan, kesucian, dan suami yang shalih”
Alloh memuat aturan tentang apapun PASTI ada hikmahnya, hanya saja kemampuan nalar dan logika kita terkadang tidak mampu menjangkau kedalaman hikmah itu. hal ini disebabkan karena keterbatasan dan kedangkalan logika dan nalar kita sebagai manusia.
Oleh karena itu, ketika ada perintah atau ayat Alloh yang menurut logika nalar kita yang tidak MATCH maka jangan langsung membantah apalagi menentang dengan membabi buta. hal yang harus kita lakukan adalah ketika nalar logika kita belum mapu menyelami rahasia atas perintah atau kewajiban tersebut, selayaknya kita bermohon kepada Alloh untuk membuka rahasia hikmah dari ayat atau perintah Nya kepada kita.
Kesadaran meski terlambat tetaplah BAIK, tetapi penentangan dan pembantahan yng membabi BUTA menjadikan diri kita semakin jauh dari tuntutan ALLOH.

Disadur dari A.A.N, Madinah
1. HR. Bukhari dalam kitan Iman no 13 dan Muslim no 45.
Disalin oleh Jilbab Online dari buku “Istriku Menikahkanku”, As-Sayid bin Abdul Aziz As-Sa’dani, Darul Falah,

Renungan

RENUNGAN PERALIHAN TAHUN

Manusia di berbagai negeri sangat antusias menyambut perhelatan yang hanya setahun sekali ini. Hingga sampai lembur pun, mereka dengan rela dan sabar menunggu pergantian tahun ini. Beberapa saat lagi, Kalender 2013 akan segera digantikan dengan kalender baru Tahun 2014. Bagi sebagian orang, pergantian tahun hanyalah hal biasa yang datang silih berganti seiring waktu, tetapi manusia lainnya ada yang memandang bahwa pergantian tahun merupakan momentum yang tepat melakukan instrospeksi diri.
Namun sebagian manusia lainnya malah menjadikannya sebagai momentum yang perlu dirayakan dengan aneka kenikmatan dan kebahagiaan.
Budaya perayaan berakhirnya satu tahun dan menandai akan berganti dengan hitungan tahun selanjutnya, terjadi di banyak komunitas manusia. Setiap bangsa dan umat yang mempunyai sistem kalender (penanggalan), sebagian besar mereka juga memiliki budaya perayaan yang beragam. Beberapa referensi menyebutkan, setidaknya perayaan tahun baru dilakukan oleh orang Yahudi, bangsa Cina, bangsa Persia, bangsa Romawi kuno, serta umat Kristen.
 Namun bagaimanakah pandangan Islam -agama yang hanif- mengenai perayaan tersebut? Apakah mengikuti dan merayakannya diperbolehkan? 

Sejarah Tahun Baru Masehi
Orang Yahudi merayakan tahun baru mereka tidak pada hari ke-1 bulan ke-1 kalender Ibrani (bulan Nisan), tetapi pada hari ke-1 bulan ke-7 kalendar Ibrani (bulan Tishrei). Mereka menyebut perayaan tahun barunya itu dengan nama Rosh Hashanah, yang berarti “kepala tahun”. Mereka merayakannya dengan cara berdoa di Sinagog, mendengar bunyi shofar (tanduk). Menyediakan makanan pesta berupa roti challah yang bundar dan apel yang dicelupkan ke dalam madu, juga kepala ikan dan buah delima. Buah-buahan baru disajikan pada malam kedua. Pada perayaan tahun baru ini mereka beristirahat dari aktivitas kerja.
Bangsa Cina perayaan tahun baru mereka, dilakukan pada malam bulan baru musim dingin (antara akhir Januari hingga awal Februari), atau jika memakai kalender Gregorian tahun baru ini terletak antara 21 Januari hingga 20 Februari. Mereka menyebutnya dengan nama Imlek. Perayaan ini dimulai di hari ke-1 bulan pertama di penanggalan Tionghoa dan berakhir dengan Cap Go Meh di tanggal ke-15 (pada saat bulan purnama). Malam Tahun Baru Imlek dikenal sebagai Chux, yang berarti “malam pergantian tahun”.
Di belahan bumi lain, masyarakat Persia menamakan perayaan tahun baru mereka dengan nama Norouz, yaitu perayaan (hari pertama) musim semi dan awal kalender Persia. Orang Persia punya kalender Persia yang didasarkan dari musim dan pergerakan matahari. Kata norouz berasal dari bahasa Avesta yang berarti “hari baru”, yang dirayakan pada 21 Maret jika memakai kalender Gregorian. Sejak Kekaisaran Dinasti Arsacid/Parthian, yang memerintah Iran pada 248 SM-224 M, Norouz dijadikan hari libur. Mereka merayakannya dengan mempersembahkan hadiah telur sebagai lambang produktivitas.
Dalam peradaban bangsa Romawi kuno, sejak abad ke-7 SM, mereka telah memiliki kalender tradisional yang kacau dan mengalami beberapa kali revisi. Sistem kalendar ini dibuat berdasarkan pengamatan terhadap munculnya bulan dan matahari, dan menempatkan bulan Martius (Maret) sebagai awal tahunnya. Pada tahun 45 SM Kaisar Julius Caesar mengganti kalender tradisional ini dengan Kalender Julian. Urutan bulan menjadi: 1. Januarius, 2. Februarius, 3. Martius, 4. Aprilis, 5. Maius, 6. Iunius, 7. Quintilis, 8. Sextilis, 9. September, 10. October, 11. November, 12. December.
Di tahun 44 SM, Julius Caesar mengubah nama bulan Quintilis dengan namanya, yaitu Julius (Juli). Sementara pengganti Julius Caesar, yaitu Kaisar Augustus, mengganti nama bulan Sextilis dengan nama bulan Agustus. Sehingga setelah Junius, masuk Julius, kemudian Agustus. Kalender Julian ini kemudian digunakan secara resmi di seluruh Eropa hingga tahun 1582 M ketika muncul Kalender Gregorian. Sejak saat itu tahun baru orang Romawi tidak lagi dirayakan pada 1 Maret, tapi pada 1 Januari yang pertama kali dirayakan pada 1 Januari 45 SM.
Umat Kristen menggunakan penghitungan tahun dan bulan kalender Julian, namun menetapkan tahun kelahiran Yesus atau Isa sebagai tahun permulaan (tahun 1 Masehi), walaupun sejarah menempatkan kelahiran Yesus pada waktu antara tahun 6 dan 4 SM.
Setelah meninggalkan abad pertengahan, pada 1582 M kalender Julian diganti dengan kalender Gregorian. Tanggal 5 hingga 14 Oktober 1582 tidak pernah ada dalam sejarah kalender Gregorian. Sejak saat itu, titik balik surya bisa kembali ditandai dengan tanggal 21 Maret tiap tahun, dan tabel bulan purnama yang baru disahkan untuk menentukan perayaan Paskah di seluruh dunia.
Sedangkan kaum Protestan tidak menyetujui reformasi Gregorian ini. Baru pada abad berikutnya kalender itu diikuti. Dalam tubuh Katolik sendiri, kalangan gereja ortodox juga bersikeras untuk tetap mengikuti Kalender Julian sehingga perayaan Natal dan Tahun Baru mereka berbeda dengan gereja Katolik Roma. Pada 1582 M Paus Gregorius XIII juga mengubah perayaan tahun baru umat Kristen dari 25 Maret menjadi 1 Januari yang mereka rayakan sampai sekarang.

Bagaimana Islam?
Bagaimana dengan umat Islam? Ternyata dalam tradisi umat Islam juga ditemukan adanya perayaan tahun baru. Di beberapa negara muslim termasuk Indonesia, tahun baru Hijriyah dengan sistem penanggalan bulan --yang dibuat pada masa Khalifah Umar-- dirayakan pada 1 Muharram setiap tahunnya. Terlepas dari beragam budaya perayaan tahun baru di seluruh dunia, jika ditelisik dari kacamata netral, lalu apa yang seharusnya kita lakukan ketika momentum pergantian tahun tersebut? Jawabannya hanya satu, ber-muhasabah (instrospeksi) diri yang seharusnya menjadi hal yang harus diprioritaskan. Bukankah orang yang beruntung itu adalah orang yang dari hari demi hari semakin bertambah baik? Bukankah semakin berlalu tahun demi tahun, maka umur dan segala yang ada di jagat raya ini semakin mendekati titik akhir?
Di era modern dan serba instan sekarang ini, ketika kompetisi hidup terjadi dalam segala bidang, dunia yang terasa begitu sempitnya, serta jarak dan waktu yang menjadi tak berarti, maka jiwa alamiah manusia membutuhkan waktu untuk berhenti sejenak dari semua gegap gempita dunia luar. Berhenti dalam artian menyendiri sembari melakukan evaluasi terhadap apa yang sudah dilakukan selama kurun waktu tertentu, sekaligus mempersiapkan perencanaan terbaik untuk hari-hari selanjutnya. Sebelum Tuhan memberhentikan semuanya, dan yang tersisa hanyalah penyesalan demi penyesalan.
Momentum pergantian tahun merupakan saat yang tepat melakukan evaluasi dan instrospeksi untuk kembali ke fitrah kemanusiaan. Atas waktu yang selama ini kita habiskan untuk Tuhan dan sesama makhluk Tuhan secara bijak, atau justru dihabiskan hanya untuk memuaskan kerakusan pribadi, mengejar harta dan jabatan.
Seharusnya seseorang bersyukur kepada Allah dengan nikmat waktu yang telah Dia berikan. Mensyukuri nikmat waktu bukanlah dengan merayakan tahun baru. Namun mensyukuri nikmat waktu adalah dengan melakukan ketaatan dan ibadah kepada Allah, bukan dengan menerjang larangan Allah. Itulah hakekat syukur yang sebenarnya. Orang-orang yang menyia-nyiakan nikmat waktu seperti inilah yang Allah cela. Allah Ta’ala berfirman:
 أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُمْ مَا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَنْ تَذَكَّرَ وَجَاءَكُمُ النَّذِيرُ
  (yang artinya), “Dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepada kamu pemberi peringatan?” (QS. Fathir: 37).
Qotadah mengatakan, “Beramallah karena umur yang panjang itu akan sebagai dalil yang bisa menjatuhkanmu. Marilah kita berlindung kepada Allah dari menyia-nyiakan umur yang panjang untuk hal yang sia-sia.”