Senin, 24 Maret 2014

Dinasti Abbasiyah



DINASTI ABBASIYAH
(Kebangkitan Sunni, Perkembangan Filsafat, Sains dan Tasawuf)
By. Moh. Subhan


A. PENDAHULUAN
Kekuasaan dinasti Abbasiyah diperoleh bukan sebagai akibat komplotan kaum istana, melainkan hasil koalisi dari beberapa kelompok yang berbeda (Persia, Turki dan Bani Abbas) yang dipimpin oleh Abdullah al Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas.[1] Koalisi terjadi karena dilatar belakangi oleh persamaan nasib yang sama, yaitu sama-sama tertindas oleh penguasa dinasti Umayyah. Persamaan nasib inilah yang akhirnya memunculkan sebuah gerakan untuk  menumbangkan kekuasaan dinasti Umayyah yang dianggapnya dlalim. Usaha mereka tidak sia-sia, sehingga pada tahun 750 M dinasti Umayyah dapat digulingkan. Sejak saat itulah, kekuasaan dinasti Umayyah digantikan oleh dinasti Abbasiyah. Kekuasaan dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, mulai tahun 132 – 656 H / 750 – 1258 M. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya.
Pada periode awal kekuasaan dinasti Abbasiyah, umat Islam mencapai masa keemasan dalam Peradaban, politik dan kebudayaan. Bahkan, periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan sains dalam Islam. Perkembangan sains dan filsafat pada periode ini tidak bisa lepas dari peran para khalifah yang sangat interes terhadap ilmu pengetahuan dan menghargai kepada para ilmuawan, sehingga muncul beberapa tempat yang dijadikan sebagai basis pengkajian ilmu pengetahuan, seperti kota Baghdad di Irak, kota Moru dan Nasabur di Persia, kota Mesir, kota Kairawan di Afrika, dsb.[2]  Maka muncullah beberapa pakar ilmu; filsafat, teolog dan hukum. Begitu pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan pada waktu itu, sehingga dikenal sebagai kebangkitan terbesar pemikiran dan kebudayaan dalam Islam. Popularitas dinasti Abbasiyah mencapai puncaknya pada era khalifah Harun al Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Makmun (813-833 M). Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. Transliterasi buku-buku asing yang dilakukan oleh khalifah Al Makmun, terutama buku-buku filsafat Yunani membawa pengaruh yang signifikan terhadap kebebasan berpikir umat Islam, terutama kelompok Mu’tazila. Namun, kebebasan berpikir yang bercorak rasional ini segera meredup sejak al Ghazali melontarkan kritik tajam terhadap pemikiran filsafat yang dianggap sudah kelewat batas. Al Ghazali tidak hanya menyerang pemikiran filsafat pada masanya, tetapi juga menghidupkan ajaran tasawuf.[3]
Berangkat dari uraian di atas, maka penulis ingin mengupas lebih jauh tentang Kebangkitan Sunni, Perkembangan Filsafat, Sains dan Tasawuf di era dinasti Abbasiyah dalam makalah ini. Dengan harapan mudah-mudahan kajian yang sederhana ini menambah cakrawala berpikir kita dan yang terpenting adalah bagaimana kita mampu berkiprah untuk izzul Islam wal muslimin.

B. PEMBAHASAN
1.   Kebangkitan Sunni
Periode pertama dinasti Abbasiyah 132 – 232 H / 750 – 847 M) mencapai masa keemasan. Karena khalifah pada waktu itu adalah sosok yang kuat perhatian terhadap perkembangan agama dan ilmu pengetahuan. Para ulama dan pakar pengetahuan pada masa dinasti Umayyah yang kurang mendapat tempat,  pada masa dinasti Abbasiyah ini mereka dihargai dan dimulyakan. Maka sangat wajar, jika pada waktu itu berkembang dengan cepat dan pesat berbagai disiplin ilmu; ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu kimia, fisika, dsb. Perkembangan dan kemajuan dinasti Abbasiyah mencapai puncaknya pada era Harun al Rasyid dan puteranya, al Makmun.
Pada era kekuasaan Harun al Rasyid, rakyat benar-benar merasakan kemajuan di segala bidang, kebebasan berpikir benar-benar dijunjung tinggi. Tetapi kondisi seperti itu berubah, ketika al Makmun menjabat sebagai khalifah. Dia seorang khalifah yang sangat gandrung terhadap gaya pemikiran orang-orang Yunani yang bebas dan rasional. Mu’tazilah sebagai salah satu aliran dalam Islam yang banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani, terkenal dengan rasionalis. Oleh karena itulah maka ia menjadikan Mu’tazilah sebagai madzhab negara. Dan memaksa kepada rakyat agar mengikuti madzhab tersebut. Bahkan ia akan menghukum siapa saja yang menentang. Dan hal tersebut dibuktikan, dengan memenjarakan Ahmad bin Hambal yang dinyatakan telah menentang terhadap ajaran Mu’tazilah. 
Tetapi setelah kekuasaan al Makmun usai dan digantikan oleh Al Mutawakkil, maka keadaan menjadi berubah. Di mana al Mutawakkil adalah sosok khalifah yang tidak senang terhadap aliran Mu’tazilah.  Tindakan yang pertama kali dilakukan adalah membebaskan Ahmad bin Hambal dari penjara. Tindakan khalifah al Mutawakkil ini disambut hangat oleh kalangan Sunni, terutama kalangan Ahlu Hadits (al muhadistin) yang ingin memurnikan ajaran tauhid kembali kedalam bentuk kesederhanaannya tanpa pembahasan-pembahasan yang logis dan rasional.[4]
Sejalan dengan tindakan itu khalifah al Mutawakkil memulihkan kembali kedudukan aliran Sunni dan mengumumkan larangan terhadap aliran Mu’tazilah. Berlangsung demonstrasi-demontrasi di ibukota mendukung kebijakan tersebut, di bawah komando Ahmad bin Hambal.
Gerakan sunni yang berada di bawah pimpinan Ahmad bin Hambal (164 242 H / 780 -855 M) makin memperlihatkan pengaruhnya yang bertambah kuat terhadap khalifah al Mutawakkil. Gerakan sunni ini bertujuan “memurnikan” kembali ajaran islam agar terbebas dari campur aduk akal dan filsafat, seperti yang dianut oleh kaum salaf.
Tapi pengaruh yang begitu kuat tersebut sampai kelewat batas, ekstrim.  Sehingga pada tahun 851 M keluar dekrit dari khalifah, yang memerintahkan menghancurkan dan perataan terhadap seluruh bangunan yang dimuliakan kaum Syi’ah. Termasuk makam Hasan dan Husain di Karbala. Dekrti ini membangkitkan reaksi dan ketegangan yang tiada terkira pada masa-masa berikutnya. Tetapi segala tantangan yang menghambat telah disingkirkan.[5]

2.   Perkembangan Sain dan Filsafat
Gerakan penerjemahan secara besar-besaran ke dalam bahasa Arab terjadi pada masa dinasti abbasiyah. Gerakan ini terdiri dari dua fase. Pertama, dimulai pada awal berdirinya dinasti Abbasiyah, dan kedua pada era pemerintahan al makmun dan khalifah sesudahnya.
Khalifah Al manshur yang dikenal sangat menyukai filsafat, hukum dan astronomi, mendirikan kota Baghdad pada tahun 148 H / 765 M. Pada masa pemerintahannya penerjemahan dilakukan oleh para penerjemah, meliputi filsafat dan sains Yunani. Dan ia memberi imbalan yang besar kepada para penerjemahnya. Kemajuan yang sangat besar juga dicapai pada era khalifah Harun al rasyid (786 – 809).  Pada era kekuasaanya banyak karya astronomi yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Sekitar tahun 773 M, seorang pendatang dari India membawa naskah aritmatika dan astronomi ke baghdad. Naskah astronomi itu adalah Shiddanta, yang lebih dikenal dengan nama Sindhind. Buku yang diterkemahkan oleh ibrahim al farazi ini merangsang minat baru terhadap kajian astronomi di Persia. Beberapa saat seteleh itu Muhammad bin Musa ak Khawarizmi menggabungkan sistem astronomi Yunani dan India. Sejak saat itu, astronomi mendapat posisi yang penting dalam dunia keilmuan Arab.
Salah satu astronom Arab terkemuka dari generasi berikutnya adalah, Abu Ma’shar salah seorang murid al Kindi. Dalam sejarah peradabah Eropah ia dikenal dengan nama Abumazar. [6]
Selain buku Aritmatika, astronomi dan kedokteran diterjemahkan pula buku filsafat dan logika. Kegemaran pada karya filsafat ini sebenarnya baru nampak pada masa pemerintahan al Makmun (813-833 M).[7] Al Makmun merupakan sosok khalifah yang rasionalis yang berusaha menanamkan pandangan keagamaan kepada rakyatnya melalui mekanisme otoritas negara dan ia sangat cinta kepada ilmu pengetahuan. Hal tersebut dibuktikan, pada masa pemerintahannya penerjemahan buku-buku non Arab kedalam bahasa Arab, terutama  buku-buku filsafat dan kedokteran terjadi secara besar-besaran.[8] Dan puncaknya, ketika didirikannya Bait al Hikmah (House of Wisdom) sebagai perpustakaan, observatorium dan pusat penerjemahan Pendirian Bait al Hikmah merupakan karya monumental Al Makmun yang dimaksudkan untuk memasukkan hal-hal positip dari kebudayaan Yunani ke dalam Islam. Bait al Hikmah merupakan pusat pengkajian dan penelitian berbagai macam ilmu sekaligus sebagai perpustakaan yang lengkap dengan team penerjemah. Team ini bertugas menerjemahkan teks-teks asli Yunani, Persia, Suryani dan bahasa lainnya ke dalam bahasa Arab. Para penerjemah yang terdiri dari kaum Nasrani, Yahudi dan Majusi (sabaean) digaji oleh khalifah dengan gaji yang tinggi. Pada masa inilah Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.[9]
Buku-buku yang diterjemahkan pada saat itu terdiri dari berbagai macam bahasa; Persia, Latin, Suryani, Yunani, Ibrani, India, Qibti dan Nibti. Keragaman karya yang diterjemahkan inilah yang pada akhirnya membentuk corak tersendiri filsafat Islam. Orang yang dianggap berjasa besar pada waktu itu adalah, Abu zaid Hunain bin Ishak al Ibadi (w. 263 H / 876 M). Dia yang menerjemahkan buku karya Plato seperti Republik, Laws dan Timaeus dan menerjemahkan juga karya Aristoteles seperti Categories, Physic dan Magna Moralia. Disamping Abu Zaid, di lembaga Bait al Hikam masih banyak penerjemah-penerjemah lain, seperti Qusta bin Luqa seorang Kristen Suria, yang menerjemahkan karya filsafat, astronomi dan geometri, Abu Bisr Matta bin Yunus (w. 328 H/ 939 M) seorang dari kalangan Nestorian menerjemahkan karya Aristoteles; Analytica Posteriora dan komentar Alexander dari Aphrodisias tentang De Generatione et de Corruptione yang berbahasa Suria ke dalam bahasa Arab. Cukup banyak di antara buku-buku itu yang penting sekali artinya dari segi pengembangan filsafat di lingkungan dunia pemikiran Arab-Islam.[10] Maka tampillah abad ke-4 H adalah abad yang paling subur dalam usaha penerjemahan karya intelektual Yunani ke dalam bahasa Arab.
Dengan diterjemahkannya buku-buku karya filosof Yunani yang dikembangkan oleh Plotinus dan Agustine kedalam bahasa Arab, banyak melahirkan filosof-filosof  Islam eperti; Ibnu Rusy (w. 1198 M), al Farabi (w. 950 M), al Biruni (w. 973-1048 M), Ibnu Sina (w. 1037 M) dan tokoh-tokoh yang lain. Lahirnya sejumlah filosof tadi, telah mengakibatkan lahirnya sejumlah pemikiran yang sangat luar biasa, bukan saja untuk jamannya, bahkan dikenal sampai sekarang. Ide-ide Plotanian tentang dasar asasi dari realita, yakni ide keesaan dari Socrates dan Plotinus telah banyak mempengaruhi doktrin keesaan Tuhan kaum Mu’tazilah (kelompok Islam Rasional). Tuhan didefinisikan sebagai dzat yang mengetahui terhadap hal-hal yang dapat diketahui, kehendak-Nya sebagai ketidak mungkinan keterpaksaan bagi wujudnya, aktvitas kreatif-Nya sebagai emanasi benda-benda dan hal-hal dari pada-Nya. Tuhan dengan demikian tidak mengetahui persoalan secara rinci. Hak-hak yang terperinci dapat dan harus dijelaskan dan dilakukan oleh manusia.[11]

C.    Kebangkitan Sufi
Pengaruh penerjemahan buku-buku asing terutama filsafat Yunani membawa dampak yang sangat signifikan terhadap tata cara berpikir umat Islam. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh Islam yang sangat gandrung dengan tata berpikir filsafat, seperti Ibnu Rusy (w. 1198 M), al Farabi (w. 950 M), al Biruni (w. 973-1048 M), Ibnu Sina (w. 1037 M), dan sebagainya. Cara berpikir dan cara pandang tokoh-tokoh tersebut dinilai oleh al Ghazali dianggap telah kelewat batas. Sehingga al ghazali mengkritik pemikiran filsafat yang tertuang dalam kitabnya “Tahafut al Falasifah” (Kekacauan Para Filosof). Kritik al Ghazali ini mendapat sanggahan dari filosof besar islam, Ibnu Rusyd, balam kitabnya “ Tahafut al tahafut (Kekacauan buku kekacauan). Tetapi nampaknya kritik al Ghazali jauh lebih populer  dan berpengaruh daripada bantahan Ibnu rusyd.
Bahkan al Ghazali tidak hanya mengkritik dan menyerang filsafat pada masanya, tetapi juga menghidupkan ajaran tasawuf dalam Islam. Sehingga ajaran ini berkembang pesat setelah al Ghazali. Di antara ajaran tasawuf adalah tawakkal, zuhud, sabar, dan sebagainya. Dalam tasawuf kehidupan ukhrawi jauh lebih diutamakan daripada kehidupan duniawi.

D.  Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan:
1.   Dinasti Abbasiyah dibangun di atas koalisi dari elemen bangsa yang berbeda, dengan misi yang sama yaitu menumbangkan kekuasaan dinasti Umayyah, dan selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya.
      2.   Puncak keemasan Dinasti Abbasiyah tercapai pada periode awal kekuasaan, banyak buku-buku karya Yunani, India, dsb. yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dan hal ini membawa pengaruh terhadap perkembangan ilmu dan filsafat.
      3.   Penerjemahan buku-buku non Arab kedalam bahasa Arab terjadi sejak awal pemerintahan dinasti Abbasiyah dan mencapai puncaknya pada era kekuasaan al makmun.
      4.   Penerjemahan buku-buku filsafat Yunani membawa pengaruh yang signifikan terhadap cara berpikir umat islam saat itu (rasional), sehingga lahirlah beberapa filosof Islam seperti ibnu Rusyd, al Kindi. Tetapi di satu sisi hal ini dianggap telah merusak agama, maka terjadilah saling kritik antara para filosof dengan mereka yang tidak suka pada filsafat. (Ibnu Rusyd VS al Ghazali).
      5.   Akibat dari kebijakan khalifah al makmun yang menjadikan Mu’tazilah sebagai madzhab negara membawa reaksi keras dari ummat saat itu, sehingga pada era kekuasaan al mutawakkil aliran Mu’tazilah harus dilenyapkan.


DAFTAR PUSTAKA

Badri Yatim, SejarahbPeradaban islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet. XII, 2000
Watt, W. Montgomery, The Influence of Islam on Medieval Europe, Endiburgh University Press, 1972
Joesoef Sou’yb, Sejarah daulah Abbasiyah II, Bulan Bintang, Jakarta, 1977
Nur Cholis Majid, Khazanah Intelektual islam , Jakarta, Bulan Bintang, 1994
Majid Fahry, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis, mizan, Bandung, 2002
Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2006
Syalabi, A, Sejarah Kebudayaan Islam, Pustaka Al Husna Baru, Jakarta, 2003
Syed Mahmudunnasir, islam dan konseopsinya, Rosyda, Bandung, 1988






[1] Badri Yatim, SejarahbPeradaban islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet. XII, hlm. 49
[2] Watt, W. Montgomery, The Influence of Islam on Medieval Europe, Endiburgh University Press, 1972, hlm. 124
[3] Badri Yatim, op.cit, hlm. 152
[4] Joesoef Sou’yb, Sejarah daulah Abbasiyah II, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, hlm. 10
[5] Ibid, hlm. 14
[6] Syed Mahmudunnasir, islam dan konseopsinya, Rosyda, Bandung, hlm. 104
[7] Ibid, hlm. 52
[8] Nur Cholis Majid, Khazanah Intelektual islam , Jakarta, Bulan Bintang, 1994, hlm. 56- 57
[9] Watt, W. Montgomery, op. cit, hlm. 68
[10] Majid Fahry, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis, mizan, Bandung, 2002, hlm. 45
[11] Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2006, hlm. 17

Kamis, 06 Maret 2014

Kekuasaan Kehakiman



             <COMP NAME=bentuk>        UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU)</COMP>
                  <COMP NAME=nomor>NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004)</COMP>
                            TENTANG
                      <COMP NAME=tentang>KEKUASAAN KEHAKIMAN</COMP>
                  <COMP NAME=dasar>PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


Menimbang :
a.bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan;
b.bahwa perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sehingga Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 perlu dilakukan penyesuaian dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c.bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman;

Mengingat:
Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, Pasal 24C, dan Pasal 25 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;</COMP>

                  <COMP NAME=teks>Dengan Persetujuan Bersama
          DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
                              dan
                  PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
                          MEMUTUSKAN:

Menetapkan:
UNDANG-UNDANG TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN.

                             BAB I
                        KETENTUAN UMUM

                            Pasal 1

Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

                            Pasal 2

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.

                            Pasal 3

(1)Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang.
(2)Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila.

                            Pasal 4

(1)Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA".
(2)Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan.
(3)Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(4)Setiap orang yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipidana.

                            Pasal 5

(1)Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang.
(2)Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

                            Pasal 6

(1)Tidak seorangpun dapat dihadapkan di depan pengadilan selain daripada yang ditentukan oleh undang-undang.
(2)Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan, karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.

                            Pasal 7

Tidak seorang pun dapat dikenakan penangkapan, penahanan, penggeladahan, dan penyitaan, selain atas perintah tertulis oleh kekuasaan yang sah dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang.

                            Pasal 8

Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

                            Pasal 9

(1)Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.
(2)Pejabat yang dengan sengaja melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana.
(3)Ketentuan mengenai tata cara penuntutan ganti kerugian, rehabilitasi dan pembebanan ganti kerugian diatur dalam undang-undang.

                            BAB II
                  BADAN PERADILAN DAN ASASNYA

                           Pasal 10

(1)Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi
(2)Badan peradilan yang berada dibawah Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.

                           Pasal 11

(1)Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2).
(2)Mahkamah Agung mempunyai kewenangan:
     a.mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung;

     b.menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang; dan

     c.kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.
(3)Pernyataan tidak berlaku peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dapat diambil baik dalam pemeriksaan tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung kepada Mahkamah Agung.
(4)Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan dalam lingkungan peradilan yang berada di bawahnya berdasarkan ketentuan undang-undang.

                           Pasal 12

(1)Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk :
     a.menguji undang‑undang terhadap Undang‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
     b.memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
     c.memutus pembubaran partai politik; dan
     d.memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
(2)Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

                           Pasal 13

(1)Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
(2)Organisasi, administrasi, dan finansial Mahkamah Konstitusi berada di bawah kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Konstitusi.
(3)Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk masing‑masing lingkungan peradilan diatur dalam undang‑undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan masing‑masing.

                           Pasal 14

(1)Susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 diatur dengan undang-undang tersendiri.
(2)Susunan, kekuasaan, dan hukum acara Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 diatur dengan undang-undang.

                           Pasal 15

(1)Pengadilan khusus hanya dapat dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang diatur dengan undang‑undang.
(2)Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan agama sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama, dan merupakan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.

                           Pasal 16

(1)Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya.
(2)Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menutup usaha penyelesaian perkara perdata secara perdamaian.

                           Pasal 17

(1)Semua pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus dengan    sekurang‑kurangnya 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang‑undang menentukan lain.
(2)Di antara hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang bertindak sebagai ketua dan lainnya sebagai hakim anggota sidang.
(3)Sidang dibantu oleh seorang panitera atau seorang yang ditugaskan melakukan pekerjaan panitera.
(4)Dalam perkara pidana wajib hadir pula seorang penuntut umum, kecuali undang‑undang menentukan lain.

                           Pasal 18

(1)Pengadilan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana dengan hadirnya terdakwa, kecuali undang‑undang menentukan lain.
(2)Dalam hal tidak hadirnya terdakwa, sedangkan pemeriksaan dinyatakan telah selesai, putusan dapat diucapkan tanpa dihadiri terdakwa.

                           Pasal 19

(1)Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang‑undang menentukan lain.
(2)Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(3)Rapat permusyawaratan hakim bersifat rahasia.
(4)Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
(5)Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
(6)Pelaksanaan lebih lanjut ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5) diatur oleh Mahkamah Agung.

                           Pasal 20

Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

                           Pasal 21

(1)Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak‑pihak yang bersangkutan, kecuali undang‑undang menentukan lain.
(2)Terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasan dari dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum, dapat dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak‑pihak yang bersangkutan, kecuali undang‑undang menentukan lain.

                           Pasal 22

Terhadap putusan pengadilan dalam tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung oleh pihak‑pihak yang bersangkutan, kecuali undang‑undang menentukan lain.

                           Pasal 23

(1)Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, pihak‑pihak yang bersangkutan dapat mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung, apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan dalam undang‑undang.
(2)Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan peninjauan kembali.

                           Pasal 24

Tindak pidana yang dilakukan bersama‑sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.

                           Pasal 25

(1)Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang‑undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
(2)Tiap putusan pengadilan ditandatangani oleh ketua serta hakim yang memutus dan panitera yang ikut serta bersidang.
(3)Penetapan, ikhtisar rapat permusyawaratan, dan berita acara pemeriksaan sidang ditandatangani oleh ketua majelis hakim dan panitera sidang.

                           Pasal 26

Untuk kepentingan peradilan semua pengadilan wajib saling memberi bantuan yang diminta.

                            BAB III
      HUBUNGAN PENGADILAN DAN LEMBAGA NEGARA LAINNYA

                           Pasal 27

Mahkamah Agung dapat memberi keterangan, pertimbangan, dan nasihat masalah hukum kepada lembaga negara dan lembaga pemerintahan apabila diminta.

                            BAB IV
                    HAKIM DAN KEWAJIBANNYA

                           Pasal 28

(1)Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai‑nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.
(2)Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa.

                           Pasal 29

(1)Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap hakim yang mengadili perkaranya.
(2)Hak ingkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim yang mengadili perkaranya.
(3)Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.
(4)Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau advokat.
(5)Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara.
(6)Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana berdasarkan peraturan perundang‑undangan.

                           Pasal 30

(1)Sebelum memangku jabatannya, hakim, panitera, panitera pengganti, dan juru sita untuk masing‑masing lingkungan peradilan wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agamanya.
(2)Sumpah atau janji hakim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berbunyi sebagai berikut:
     Sumpah:
"Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik‑baiknya dan seadil‑adilnya, memegang teguh Undang‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang‑undangan dengan selurus‑lurusnya menurut Undang‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa.
     Janji:
"Saya berjanji bahwa saya dengan sungguh‑sungguh akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik‑baiknya dan seadil‑adilnya, memegang teguh Undang‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang‑undangan dengan selurus‑lurusnya menurut  Undang‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa."
(3)Lafal sumpah atau janji panitera, panitera pengganti, atau juru sita adalah sebagaimana yang diatur dalam peraturan perundang‑undangan.

                             BAB V
             KEDUDUKAN HAKIM DAN PEJABAT PERADILAN

                           Pasal 31

Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang‑undang.

                           Pasal 32

Hakim harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, dan berpengalaman di bidang hukum.

                           Pasal 33

Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.

                           Pasal 34

(1)Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan hakim agung dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dengan undang‑undang.
(2)Ketentuan mengenai syarat dan tata cara pengangkatan dan pemberhentian hakim diatur dalam undang‑undang.
(3)Dalam rangka menjaga kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim agung dan hakim, pengawasan dilakukan oleh Komisi Yudisial yang diatur dalam undang‑undang.

                           Pasal 35

Panitera, panitera pengganti, dan juru sita adalah pejabat peradilan yang pengangkatan dan pemberhentiannya serta tugas pokoknya diatur dalam undang‑undang.

                            BAB VI
                PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN

                           Pasal 36

(1)Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana dilakukan oleh jaksa.
(2)Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh ketua pengadilan yang bersangkutan berdasarkan undang‑undang.
(3)Pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.
(4)Putusan pengadilan dilaksanakan dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan.

                            BAB VII
                         BANTUAN HUKUM

                           Pasal 37

Setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum.

                           Pasal 38

Dalam perkara pidana seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan/atau penahanan berhak menghubungi dan meminta bantuan advokat.

                           Pasal 39

Dalam memberi bantuan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37, advokat wajib membantu penyelesaian perkara dengan menjunjung tinggi hukum dan keadilan.

                           Pasal 40

Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 dan Pasal 38 diatur dalam undang‑undang.

                           BAB VIII
                        KETENTUAN LAIN

                           Pasal 41

Badan‑badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman meliputi Kepolisian Negara Republik Indonesia, Kejaksaan Republik Indonesia, dan badan‑badan lain diatur dalam undang‑undang.

                            BAB IX
                      KETENTUAN PERALIHAN

                           Pasal 42

(1)Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan tata usaha negara selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 31 Maret 2004.
(2)Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan agama selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004.
(3)Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial dalam lingkungan peradilan militer selesai dilaksanakan paling lambat tanggal 30 Juni 2004.
(4)Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
(5)Keputusan Presiden sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan paling lambat:
     a.30 (tiga puluh) hari sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berakhir;
     b.60 (enam puluh) hari sebelum jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) berakhir.

                           Pasal 43

Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1):
a.semua pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan tinggi tata usaha negara, menjadi pegawai pada Mahkamah Agung;
b.semua pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan tinggi tata usaha negara, tetap menduduki jabatannya dan tetap menerima tunjangan jabatan pada Mahkamah Agung;
c.semua aset milik/barang inventaris di lingkungan pengadilan negeri dan pengadilan tinggi serta pengadilan tata usaha negara dan pengadilan tinggi tata usaha negara beralih ke Mahkamah Agung.

                           Pasal 44

Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (2):
a.semua pegawai Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menjadi pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, serta pegawai pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama menjadi pegawai Mahkamah Agung;
b.semua pegawai yang menduduki jabatan struktural pada Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menduduki jabatan pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, sesuai dengan peraturan perundang‑undangan;
c.semua aset milik/barang inventaris pada pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama beralih menjadi aset milik/barang inventaris Mahkamah Agung.

                           Pasal 45

Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (3):
a.pembinaan personel militer di lingkungan peradilan militer dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang‑undangan yang mengatur personel militer;
b.semua pegawai negeri sipil di lingkungan peradilan militer beralih menjadi pegawai negeri sipil pada Mahkamah Agung.

                           Pasal 46

Mahkamah Agung menyusun organisasi dan tata kerja yang baru di lingkungan Mahkamah Agung paling lambat 12 (dua belas) bulan sejak Undang‑Undang ini diundangkan.

                             BAB X
                       KETENTUAN PENUTUP

                           Pasal 47

Ketentuan dalam peraturan perundang‑undangan yang mengatur kekuasaan kehakiman masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum dibentuk yang baru berdasarkan Undang‑Undang ini.

                           Pasal 48

Pada saat mulai berlakunya Undang‑Undang ini, maka Undang‑Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan‑ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 74 Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2951) sebagaimana telah diubah dengan Undang‑Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang‑Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan‑ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 147, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3879) dinyatakan tidak berlaku.

                           Pasal 49

Undang‑Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang‑Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.</COMP>

                                  <COMP NAME=tanggal>Disahkan di Jakarta
     pada tanggal 15 Januari 2004</COMP>
     <COMP NAME=akhir>PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

                                            ttd.

                                     MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 15 Januari 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

           ttd.

      BAMBANG KESOWO


LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 8</COMP>

                          <COMP NAME=penjelasan>PENJELASAN
                             ATAS
               UNDANG‑UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                      NOMOR 4 TAHUN 2004
                            TENTANG
                      KEKUASAAN KEHAKIMAN

I.UMUM

     Undang‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya jaminan penyelengaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
     Dalam usaha memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka, sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum telah dilakukan perubahan terhadap Undang‑Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan‑ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dengan Undang‑Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang   Perubahan Atas Undang‑Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang      Ketentuan‑ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
     Melalui perubahan Undang‑Undang Nomor 14 Tahun 1970 tersebut telah diletakkan kebijakan bahwa segala urusan mengenai peradilan baik yang menyangkut teknis yudisial maupun urusan organisasi, administrasi, dan finansial berada di bawah satu atap di bawah kekuasaan Mahkamah Agung.
     Kebijakan ini sudah harus dilaksanakan paling lambat 5 (lima) tahun sejak diundangkannya Undang‑Undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang Perubahan Atas Undang‑Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan‑ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
     Dengan berlakunya Undang‑Undang ini, pembinaan badan peradilan umum, badan peradilan agama, badan peradilan militer, dan badan peradilan tata usaha negara berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. Mengingat sejarah perkembangan peradilan agama yang spesifik dalam sistem peradilan nasional, pembinaan terhadap badan peradilan agama dilakukan dengan memperhatikan saran dan pendapat Menteri Agama dan Majelis Ulama Indonesia.
     Perubahan Undang‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan ketatanegaraan khususnya dalam pelaksanaan kekuasaan kehakiman. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
     Ketentuan Pasal 24C ayat (1) Undang‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai wewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang‑undang terhadap Undang‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Selain itu Mahkamah Konstitusi mempunyai kewajiban memberi putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau wakil Presiden menurut Undang‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
     Disamping perubahan yang menyangkut kelembagaan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman sebagaimana dikemukakan di atas, Undang‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengintroduksi pula suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu Komisi Yudisial. Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
     Mengingat perubahan mendasar yang dilakukan dalam Undang‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya mengenai penyelengaraan kekuasaan kehakiman, maka Undang‑Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan‑ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang‑Undang Nomor 35 Tahun 1999 perlu dilakukan perubahan secara komprehensif.
     Dalam Undang‑Undang ini diatur mengenai badan‑badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas‑asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Selain itu dalam Undang‑Undang ini diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan badan‑badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan  kehakiman. Untuk memberikan kepastian dalam proses pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dalam Undang‑Undang ini diatur pula ketentuan peralihan.

II.PASAL DEMI PASAL

     Pasal 1
     Kekuasaan Kehakiman yang merdeka dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial, kecuali dalam hal‑hal sebagaimana disebut dalam Undang‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
     Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.

     Pasal 2
          Cukup jelas.

     Pasal 3
          Ayat (1)
          Ketentuan ini tidak menutup kemungkinan menyelesaian perkara dilakukan di luar peradilan negara melalui perdamaian atau arbitrase.

          Ayat (2)
              Cukup jelas.

     Pasal 4
          Ayat (1)
          Ketentuan yang menentukan bahwa peradilan     dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA" adalah sesuai dengan Pasal 29 Undang‑Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan:
              1.Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa;
              2.Negara menjamin kemerdekaan tiap‑tiap penduduk untuk memeluk agama masing‑masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan      kepercayaannya itu.

          Ayat (2)
          Ketentuan ini dimaksudkan untuk memenuhi harapan para pencari keadilan.
          Yang dimaksud dengan "sederhana" adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan acara yang efisien dan efektif.
          Yang dimaksud dengan "biaya ringan" adalah biaya perkara yang dapat terpikul oleh rakyat.
          Namun demikian, dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak mengorbankan ketelitian dalam mencari kebenaran dan keadilan.

          Ayat (3)
              Cukup jelas.

          Ayat (4)
          Yang dimaksud "dipidana" dalam ayat ini adalah    bahwa unsur‑unsur tindak pidana dan pidananya ditentukan dalam undang‑undang.

     Pasal 5
          Cukup jelas.

     Pasal 6
          Cukup jelas.

     Pasal 7
          Cukup jelas.

     Pasal 8
          Cukup jelas.

     Pasal 9
          Ayat (1)
          Yang dimaksud dengan "rehabilitasi" adalah     pemulihan hak seseorang berdasarkan putusan pengadilan pada kedudukan semula yang menyangkut kehormatan, nama baik, atau hak‑hak lain.

          Ayat (2)
          Lihat penjelasan Pasal 4 ayat (4).

          Ayat (3)
              Cukup jelas.

     Pasal 10
          Cukup jelas.

     Pasal 11
          Ayat (1)
              Cukup jelas.

          Ayat (2)
              Huruf a
                   Cukup jelas.

              Huruf b
              Ketentuan ini mengatur tentang hak uji Mahkamah Agung terhadap peraturan perundang‑undangan yang lebih rendah dari     undang‑undang. Hak uji tersebut dapat dilakukan baik terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari peraturan perundang‑undangan tersebut yang bertentangan dengan peraturan perundang‑undangan yang lebih tinggi maupun terhadap pembentukan peraturan perundang‑undangan tersebut.

              Huruf c
                   Cukup jelas.
          Ayat (3)
              Cukup jelas.

          Ayat (4)
          Yang dimaksud dengan "pengawasan tertinggi" dalam ketentuan ayat ini meliputi pengawasan internal Mahkamah Agung terhadap semua badan peradilan dibawahnya.

     Pasal 12
          Cukup jelas.

     Pasal 13
          Cukup jelas.

Pasal 14
          Cukup jelas.

     Pasal 15
          Ayat (1)
          Yang dimaksud dengan "pengadilan khusus" dalam ketentuan ini, antara lain, adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan umum, dan pengadilan pajak di lingkungan peradilan tata usaha negara.

          Ayat (2)
          Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nanggroe Aceh Darrussalam yang terdiri atas Mahkamah Syariah untuk tingkat pertama dan Mahkamah Syariah Provinsi untuk tingkat banding adalah sebagaimana  diatur dalam Undang‑Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4134).

     Pasal 16
          Cukup jelas.

     Pasal 17
          Cukup jelas.

     Pasal 18
     Ketentuan ayat (1) berlaku bagi pengadilan tingkat pertama.

     Pasal 19
          Cukup jelas.

     Pasal 20
          Cukup jelas.

     Pasal 21
          Cukup jelas.

     Pasal 22
          Cukup jelas.

     Pasal 23
          Ayat (1)
          Yang dimaksud dengan "hal atau keadaan tertentu" dalam ketentuan ini antara lain adalah ditemukannya bukti baru (novum) dan/atau adanya kekhilafan/kekeliruan hakim dalam menerapkan hukumnya.

          Ayat (2)
          Cukup jelas.

     Pasal 24
     Yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" adalah dilihat dari titik berat kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tersebut. Jika titik berat kerugian tersebut terletak pada kepentingan militer, perkara tersebut diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer. Jika titik berat kerugian tersebut terletak pada kepentingan umum, maka perkara tersebut diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum.

     Pasal 25
          Cukup jelas.

     Pasal 26
          Cukup jelas.

     Pasal 27
          Cukup jelas.

     Pasal 28
          Ayat (1)
          Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.

          Ayat (2)
          Berdasarkan ketentuan ini maka dalam menentukan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan hakim wajib memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan yang dijatuhkan setimpal dan adil sesuai dengan kesalahannya.

     Pasal 29
          Ayat (1)
              Cukup jelas.

          Ayat (2)
              Cukup jelas.

          Ayat (3)
          Yang dimaksud dengan "derajat ketiga" dalam ketentuan ini adalah sesuai dengan peraturan perundang‑undangan.

          Ayat (4)
              Cukup jelas.

          Ayat (5)
          Yang dimaksud dengan "kepentingan langsung atau  tidak langsung" adalah termasuk apabila hakim atau panitera atau pihak lain pernah menangani perkara tersebut atau perkara tersebut pernah terkait dengan pekerjaan atau jabatan yang bersangkutan sebelumnya.

          Ayat (6)
              Cukup jelas.

     Pasal 30
          Cukup jelas.

     Pasal 31
          Cukup jelas.

     Pasal 32
          Cukup jelas.

     Pasal 33
          Cukup jelas.

     Pasal 34
          Cukup jelas.

     Pasal 35
          Cukup jelas.

     Pasal 36
          Ayat (1)
              Cukup jelas.

          Ayat (2)
              Cukup jelas.

          Ayat (3)
          Yang dimaksud dengan "dipimpin" dalam ketentuan ini mencakup pengawasan dan tanggung jawab sejak diterimanya permohonan sampai dengan selesainya pelaksanaan putusan.

          Ayat (4)
              Cukup jelas.

     Pasal 37
          Cukup jelas.

     Pasal 38
     Sejalan dengan asas bahwa seseorang selama belum terbukti kesalahannya harus dianggap tidak bersalah, maka ia harus dibolehkan untuk berhubungan dengan keluarga atau advokat sejak ditangkap dan/atau ditahan. Tetapi hubungan ini tidak boleh merugikan kepentingan pemeriksaan, yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan dalam Hukum Acara Pidana.

     Pasal 39
          Cukup jelas.

     Pasal 40
          Cukup jelas.

     Pasal 41
          Cukup jelas.

     Pasal 42
          Ayat (1)
              Cukup jelas.

          Ayat (2)
              Cukup jelas.

          Ayat (3)
          Yang dimaksud dengan organisasi, administrasi,  dan finansial pada ayat ini adalah organisasi, administrasi, dan finansial pada mahkamah militer agung atau pengadilan militer utama, mahkamah militer tinggi atau pengadilan militer tinggi, dan mahkamah militer atau pengadilan militer.

          Ayat (4)
              Cukup jelas.

          Ayat (5)
              Cukup jelas.

     Pasal 43
          Huruf a
              Cukup jelas.

          Huruf b
              Cukup jelas.

          Huruf c
          Ketentuan ini masih tetap membolehkan penggunaan aset/barang inventaris yang ada selama aset/barang inventaris tersebut belum tersedia di Mahkamah Agung.

     Pasal 44
          Huruf a
              Cukup jelas.

          Huruf b
              Cukup jelas.

          Huruf c
              Lihat penjelasan Pasal 43 huruf c.

     Pasal 45
          Huruf a
              Cukup jelas.

          Huruf b
              Cukup jelas.

     Pasal 46
          Cukup jelas.

     Pasal 47
          Cukup jelas.

     Pasal 48
          Cukup jelas.

     Pasal 49
          Cukup jelas.


      TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4358</COMP>