Kamis, 19 April 2012

BAB  I
PENDAHULUAN

A.    Konteks Penelitian
Perkawinan yang suci berarti mempunyai dimensi agama. Secara umum, perikatan itu mempunyai dasar terbentuknya satu unit berdasar Mawaddah dan Rahmah karena Allah. Berarti ada batasan-batasan yang membuat perikatan perkawinan itu mempunyai pijakan yang kuat baik dilihat dari dimensi moral maupun dimensi sosial.
Perkawinan tersebut dimaksudkan dalam rangka mewujudkan kebahagiaan berkeluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan cara yang diridhoi oleh Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT :
ô`ÏBur ÿ¾ÏmÏG»tƒ#uä ÷br& t,n=y{ /ä3s9 ô`ÏiB öNä3Å¡àÿRr& %[`ºurør& (#þqãZä3ó¡tFÏj9 $ygøŠs9Î) Ÿ@yèy_ur Nà6uZ÷t/ Zo¨Šuq¨B ºpyJômuur 4 ¨bÎ) Îû y7Ï9ºsŒ ;M»tƒUy 5Qöqs)Ïj9 tbr㍩3xÿtGtƒ ÇËÊÈ

Dan diantara tanda-tanda (Kemaha Besaran)-Nya adalah bahwa dia menciptakan jodoh-jodohmu sendiri agar merasa tenang bersama mereka dan Dia menciptakan rasa cinta kasih diantara kamu. Sesungguhnya di dalam hal itu terdapat tanda-tanda kemaha besaran Allah SWT bagi orang-orang yang mau berfikir. [1]

 Kehidupan berkeluarga tidak selalu harmonis seperti yang diangankan. Memelihara kelestarian dan keseimbangan hidup bersama suami isteri bukanlah perkara yang mudah dilaksanakan. Bahkan tidak jarang kehidupan harmonis antara suami isteri tidak dapat diwujudkan.  Kadangkala pihak suami isteri tidak mampu menanggulangi kesulitan-kesulitan sehingga perkawinan yang didambakan tidak tercapai dan berakhir dengan perceraian. 
Menurut Khoiruddin Nasution, al-Quran menyerukan bahwa laki-laki dan perempuan tidak dibeda-bedakan, laki-laki dan perempuan memiliki kesamaan tanggung jawab dan balasan amal, ada keseimbangan (timbal balik) antara hak dan kewajiban suami dan isteri.[2] Meskipun demikian, ada kesan seruan keseimbangan ini diikuti dengan adanya diskriminasi terhadap perempuan, misalnya disebutkan bahwa suami memiliki kelebihan satu derajat dibanding isteri, dan suami mempunyai status pemimpin. Sedangkan perempuan tidak cocok memegang kekuasaan ataupun memiliki kemampuan yang dimiliki laki-laki.[3]
Masalah perceraian seorang suami mempunyai hak talak sepihak secara mutlak. Artinya, tanpa alasan yang jelaspun seorang suami boleh melakukan perceraian  tanpa persetujuan isteri, sebab diyakini bahwa talak merupakan hak mutlak suami.[4] 
Suatu perkawinan dapat putus dan berakhir karena beberapa hal, disebabkan karena terjadinya talak yang dijatuhkan oleh suami terhadap istrinya atau karena perceraian yang terjadi karena keduanya, dan karena sebab-sebab lain.[5]
 Hal-hal yang menyebabkan putusnya perkawinan adalah sebagai berikut:
a.     Talak Atau Perceraian
Talak diambil dari kata “Ithlaq” yang menurut bahasa berarti “melepaskan atau meninggalkan”.[6] Sedangkan menurut istilah syara’, talak adalah :
حَلُّ رَا بِطَةِ الزَّوَاجِ وَإِنْهَاءُ الْعَلَقَةِ الزَّوْجِيَّةِ
“Melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”.[7]
Suatu perkawinan menjadi putus antara lain karena perceraian. Dalam hukum Islam, perceraian terjadi karena terjadinya khulu’, zhihār, ilā’ dan li’ān.[8]
b.    Sebab-Sebab Lain
Menurut Abd. Rohman Ghazali dalam buku fiqih munakahatnya mengatakan bahwa :
Perkawinan bisa menjadi putus dikarenakan sebab-sebab yang lain seperti:
1.      Syiqāq, merupakan krisis memuncak yang terjadi antara suami istri sedemikian rupa, sehingga antara suami istri terjadi pertentangan pendapat dan pertengkaran.
2.      Pembatalan, jika suatu akad perkawinan telah dilaksanakan dan dalam pelaksanaannya ternyata terdapat larangan perkawinan antara suami istri semisal karena pertalian darah dan lain sebagainya, maka perkawinan menjadi batal.
3.      Fasakh, para fuqohā’ menetapkan bahwa jika dalam kehidupan suami istri terjadi keadaan, sifat atau sikap yang menimbulkan kemudharatan pada salah satu pihak, maka yang menderita mudharat dapat mengambil prakarsa untuk putusnya perkawinan, kemudian hakim memfasakhkan perkawinan atas dasar pengaduan pihak yang menderita tersebut.[9] Hal tersebut sebagaimana firman Allah SWT.

#sŒÎ)ur ãLäêø)¯=sÛ uä!$|¡ÏiY9$# z`øón=t6sù £`ßgn=y_r&  Æèdqä3Å¡øBr'sù >$rá÷èoÿÏ3 ÷rr& £`èdqãmÎhŽ|  7$rã÷èoÿÏ3 4 Ÿwur £`èdqä3Å¡÷IäC #Y#uŽÅÑ (#rßtF÷ètGÏj9 4 `tBur ö@yèøÿtƒ y7Ï9ºsŒ ôs)sù zOn=sß ¼çm|¡øÿtR 4 Ÿwur (#ÿräÏ­Fs? ÏM»tƒ#uä «!$# #Yrâèd 4 (#rãä.øŒ$#ur |MyJ÷èÏR «!$# öNä3øn=tæ !$tBur tAtRr& Nä3øn=tæ z`ÏiB É=»tGÅ3ø9$# ÏpyJõ3Åsø9$#ur /ä3ÝàÏètƒ ¾ÏmÎ/ 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# (#þqãKn=ôã$#ur ¨br& ©!$# Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÌÊÈ
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, Karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al Kitab dan Al hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta Ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.[10]

Fasakh bisa dilakukan dengan beberapa alasan, diantaranya adanya ‘aib-‘aib pernikahan (‘uyūbun nikāh) seperti gila, kusta (judām), belang (abrōsh), impoten (‘unnah).[11]
Menurut Muhammad Jawād Mughniyah, impoten adalah penyakit yang menyebabkan seorang laki-laki yang menyandangnya tidak mampu melaksanakan tugas seksualnya.[12] Dalam keadaan seperti ini, menurut pendapat seluruh madzhab, istri dapat membatalkan pekawinan. Akan tetapi masih terdapat perbedaan pendapat tentang, suami impoten terhadap istrinya, tapi tidak terhadap wanita lain.
Imam Rofi’iy berkata dan diikuti oleh beberapa Ulamā’
تَعَذُّرُ اْلجِمَاعِ قَدْيَكُوْنُ لِعَارِضِ حَرَارَةٍ فَتَزُوْلُ فِي الشِّتَاءِ اَوْ بُرُوْدَةٍ فَتَزُوْلُ فِي الصَّيْفِ اَوْيَبُوْسَةٍ فَتَزُوْلُ فِي الرَّبِيْعِ اَوْ رُطُوْبَةٍ فَتَزُوْلُ فِي اْلخَرِيْفِ
Udzurnnya melakuaka jimā’ kadang-kadang karena cuaca sangat panas, maka bisa hilang dalam musim dingin atau cuaca sangat dingin, maka bisa hilang dalam musim kemarau atau musim kekeringan, maka bisa hilang pada musim bunga atau udara lembab, maka bias hilang pada musim sederhana.[13]

Oleh karena itu seorang istri yang melapor kepada hakim bahwa suaminya impoten harus sabar menunggu selama satu tahun, karena dalam satu tahun ada musim panas, dingin, kemarau, kekeringan, dan musim bunga yang dimumkinkan penyakit impotein itu bisa sembuh.
4.      Meninggal dunia, jika salah satu suami istri atau keduanya meninggal dunia, seperti kecelakaan kapal terbang yang ditumpangi bersama dan lain sebagainya, maka menjadi putuslah perkawinan mereka.
Setelah mengadakan observasi awal sebelumnya di Desa Pancor Kecamatan Ketapang Kabupaten Sampang, penulis menemukan suatu kasus perceraian yang disebabkan adanya penyakit impoten pada suami, sebagaimana dituturkan kepada penulis oleh Kepala Desa Pancor,[14] dan modin[15] pada studi pendahuluan yang penulis lakukan.
Berangkat dari permasalahan di atas, maka penulis sangat tertarik untuk mengkaji lebih lanjut tentang perceraian dengan alasan impoten. Untuk itu penulis mengambil judul : “IMPOTENSI SEBAGAI ALASAN PERCERAIAN MENURUT PERSPEKTIF HUKUM ISLAM (Studi Kasus di Desa Pancor Kecamatan Ketapang Kabupaten Sampang)”. 

B.     Fokus Penelitian
Berangkat dari gambaran umum di atas maka dapat diketengahkan sejumlah permasalahan yang timbul berkaitan dengan hal tersebut. Sebagai berikut:
1.     Bagaimana deskripsi perceraian yang disebabakan impotensi  di Desa Pancor Kecamatan Ketapang Kabupaten Sampang?
2.     Apa faktor-faktor yang menyebabkan tejadinya impoten?
3.     Bagaimana hukum perceraian dengan alasan impoten munurut perspektif hukum Islam?

C.    Tujuan Penelitian 
Agar tidak menyimpang dari rumusan masalah yang diutarakan di atas, maka penulis mempunyai tujuan :
1.    Untuk mengetahui deskripsi perceraian yang disebabakan impotensi  di Desa Pancor Kecamatan Ketapang Kabupaten Sampang.
2.    Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan tejadinya impoten.
3.    Untuk mengetahui hukum perceraian dengan alasan impoten menurut perspektif hukum Islam.

D.    Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian sebagai berikut :
1.      Teoritis
Penelitian ini dimaksudkan agar hasil penelitian bisa dijadikan bahan masukan untuk mengembangkan wacana di bidang hukum Islam khususnya tentang problematika perceraian dengan alasan impoten.
2.      Praktis
a.       Sebagai sumbangan pemikiran dalam mencari solusi alternatif untuk memperkecil terjadinya perceraian dengan alasan impoten.
b.      Dapat dijadikan pedoman sekaligus sebagai bahan perbandingan untuk memperdalam hukum Islam terutama tentang problematika perceraian dengan alasan impoten.
c.       Sebagai bahan informasi pendahuluan yang penting bagi penelitian yang mirip di masa yang akan datang.
d.      Sebagai salah satu pengembangan keilmuan yang telah didapat secara teoritis dari Perguruan Tinggi kemudian diaplikasikan secara konkrit dengan persoalan yang berkembang di masyarakat.
e.       Sebagai masukan untuk menambah wawasan pemikiran mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Miftahul Ulum Pamekasan khususnya jurusan Syari’ah,

E.     Alasan Pemilihan Judul
a)      Objektif
1.         Pandangan hukum Islam terhadap terjadinya praktik perceraian di Desa Pancor Kecamatan Ketapang Kabupaten Sampang.
2.      Adanya perceraian yang terjadi dengan alasan impoten.
3.      Ingin mengetahui faktor-faktor terjadinya impoten
b)     Subjektif
1.      Adanya rasa tanggung jawab moral untuk mensosialisasikan hukum Islam.
2.      Sehubungan dengan keterbatasan waktu, tenaga dan biaya, judul ini memudahkan bagi peneliti dalam pengumpulan data, karena peneliti berdomisili dan tumbuh besar dilokasi yang diteliti.
3.      Rasa ingin tahu dan rasa penasaran terhadap faktor-faktor terjadinya impoten sehingga  terjadi perceraian.


F.     Batasan Istilah Dalam Judul
Agar tidak terjadi kesalah pahaman terhadap istilah yang digunakan dalam judul penelitian ini, maka peneliti perlu memberikan batasan-batasan definisi dari istilah yang ada.
a)      Impotensi adalah tidak mempunyai daya kekuatan untuk melakukan hubungan seksual.[16] Zakariyā al-Anshārī dalam kitab Syarqowi, memberikan definisi impoten, عَجْزُ الزَّوْجِ عَنِ اْلوَطْءِ فِي اْلقُبُلِ   “lemahnya seorang suami dari melakukan wathi’ dalam farji’”.[17]
b)      Perceraian adalah pekerjaan yang dapat menghilangkan ikatan perkawinan sehingga setelah hilangnya ikatan perkawinan itu istri tidak halal lagi bagi suaminya,[18]
c)      Hukum Islam  adalah peraturan-peraturan yang diambil dari wahyu dan hadits diformulasikan dalam keempat produk pemikiran hukum fiqih, fatwā, keputusan  pengadilan, dan undang-undang yang dipedomani dan diberlakukan bagi umat Islam di Indonesia.[19]




G.    Sistematika Pembahasan
Sebagai upaya untuk membahas pokok permasalahan dalam skripsi digunakan lima bab diawali uraian, bab pertama yang berisi pendahuluan dan diakhiri bab lima adalah penutup. 
BAB I :   Berisi tentang : konteks penelitian, fokus penelitian, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, alasan pemilihan judul, batasan istilah dalam judul, serta sitematika pembahasan.
BAB II : Dalam bab ini membahas tentang impoten sebagai alasan perceraian yang diambil dari bahan-bahan pustaka sebagai literatur. Dalam hal ini meliputi: pengertian impoten, jenis-jenis impoten, faktor-faktor penyebab impoten, pengertia cerai, pemabagian cerai, serta pengertian hukum islam.
BAB III : Dalam bab ini berisi tentang metodologi penelitian yang membahas tentang teori-teori dalam penyusunan skripsi ini. Adapun format bahasannya sebagai berikut : pendekatan dan jenis penelitian, kehadiran peneliti pada lapangan, lokasi penelitian, sumber data, prosedur pengumpulan data, analisis data, pengecekan keabsahan temuan serta tahap-tahap penelitian.
BAB IV : Dalam bab ini menjabarkan tentang paparan data dan temuan penelitian serta pembahasannya.
BAB V :  Adapun bab yang kelima ini termasuk bab terakhir/penutup yang isinya adalah kesimpulan, saran-saran, daftar pustaka, dan lampira-lampiran



[1] Depag RI., Al-Qur’an dan Terjemah, (Jakarta: Bumi Restu, 1975), hal. 644
[2] Khoirudin Nasution, Status Wanita di Asia Tenggara, Studi terhadap perundang-undangan perkawinan muslim perkawinan kontemporer di Indonesia dan Malesia (Jakarta: 2002), hal. 1.
[3]Asghar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam Mazhab, Terj.Farid Wajidi dan Cici Farkha  Assegraf (Yogyakarta: LSSPA, 2000), hal. 63.
[4]Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Perpustakaan Fak. Hukum, UII (Yogyakarta: Januari 1995), hal. 39.
[5] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Bogor: Perdana Media, 2003), hal. 191.
[6] Ibid.
[7] Abi, bakar, I,ānatut thōlibīn, Vol, IV, (Surabaya: Nurul huda, t.t), hal. 6.
[8] Abd. Rahman Ghazaly,  Fiqh Munakahat…, hal. 220.
[9] Ibid, hal. 241-244.
[10] Depag RI., Al-Qur’an dan Terjemah…, hal. 147.
[11] Zakariyā al-Anshōri, Tuhfatu at-Thullāb,(Semarang: Pustaka Alawiyah, 1977), hal. 98.
[12] Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Lima Madzhab (Jakarta: Lentera Basritama, 2002), hal, 351.
[13] Zakariya al-Anshori, Tuhfatu at-Thullab…,  hal. 99.
[14] Abd. Salim, Kepala Desa Pancor, wawancara, pancor, Selasa, 15 November 2011.
[15] Moh. Raji, Modin Desa Pancor, wawancara, pancor, Selasa, 15 November 2011.
[16]Tim Reality, Kamus Terbaru Bahasa Indonesia (Surabaya: Reality Publiser, 2008), hal. 300.
[17]Zakariya al-Anshori, Tuhfatu at-Thullab…,  hal. 98.
[18]Abd. Rahman Ghazaly, Fikih Munakahat…, hal. 220.
[19]Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 9.