Rabu, 07 November 2012

KAIDAH FIQHIYAH

AL-QOIDAH AL-KULLIYAH

Kaidah fiqh adalah salah satu metode pengambilan hukum yang di rancang sebagai landasan filosofi dari semua rumusan hukum yang di lakukan para ulama’di manapun mereka berada, sehinga setiap ulama’ yang menguasai dan mendalami kaidah-kaidah fiqh akan mendapati kemudahan di dalam menjalani ketentuan-ketentuan yang di tetapkan Alloh di muka bumi ini serta mampu memberikan solusi dan inovasi-inivasi baru bagi masyarakat dalam menjawab setiap perubahan dan tantangan yang ada.

Lantas sudahkah ulama’-ulama’ kita serta para santri -sebagai penerus para ulama’- secara intens mendalami ilmu ini? Kalau jawapanya “ya” lantas mengapa keadaan masyarakat kita masih seperti ini. Penulis pikir pertanyaan ini tidaklah penting untuk dijawab, karena dengan melihat kondisi masyarakat indonesia saat ini kita bisa menyimpulkan sendiri jawabanya, akan tetapi yang sangat diperlukan saat ini adalah adanya tindakan konkrit bagi para ulama’ serta kita sebagai santri sebagai penangung jawab dari kontrol moral masyarakat, untuk melakukan sebuah gerakan bermazdhab secara manhaji. Salah satu langkah awal dari keseriusan kita dalam permasalahan ini adalah dengan mendalami kaidah fiqh

Sebagai tindak lanjut, penulis akan sedikit memaparkan beberapa kaidah yang sangat penting untuk di fahami. Karena kaidah ini membahas tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan ritual keagamaan dan interaksi sosial kemasyarakatan. Kaidah-kaidah tersebut adalah:



الْخُرُوجُ مِنْ الْخِلَافِ مُسْتَحَبّ

ما ثبت على خلاف القياس لا يقاس عليه

لا حجة مع الإحتمال

دليل الشيء في الأمور الباطنة يقوم مقامه


(" الْخُرُوجُ مِنْ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ ")
“keluar dari perbedaan disunahkan”

a. Uraian Kaidah
Kaidah ini memotivasi umat islam agar selalu menjaga persatuan dan mencari solusi dari setiap perbedaan yang ada, walaupun sebenarnya perbedaan itu adalah sunnatulloh. Kaidah ini juga menekankan kepada kita agar selalu berhati-hati dalam menyikapi segala perbedaan yang ada . pengertian khilaf (perbedaan) adalah ketidaksamaan dalam memahami sesuatu, tetapi masih mengacu pada satu pokok, sebagaimana perbedaan dikalangan pemikir islam.

Berbeda dengan pengertian tanaqudh (pertentangan), yaitu ketidaksamaan pendapat terhadap isi pokok dari suatu permasalahan serta unsur-unsur yang melingkupinya, sebagaimana perbedaan prinsipil antara orang-orang muslim dan non muslim.

b. Dasar Kaidah

Kaidah ini menurut imam as Suyuthy berasal dari firman Alloh:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“ wahai orang-orang yang beriman jauhilah prasangka-prasangka, karena sebagian dari prasangka adalah (menyebabkan) dosa”.(al hujarat 11)

Hadis nabi:

قَالَ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ( حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ)

Dari pemahaman Hadist yang diriwayatkan dari cucu nabi di atas kita bisa menyadari bahwa dalam diri manusia, sebenarnya memiliki potensi untuk mengetahui atau merasakan hal-hal baik atau buruk. Serta kita diperintahkan untuk mengunakan argumentasi yang meyakinkan dalam setiap keputusan dan tindakan. Sebagaimana kaidah di atas

c. Analisis Kaidah Serta Syarat-Syarat Aplikasinya
Contoh kongkrit dari kaidah ini adalah di sunahkan membasuh seluruh rambut kepala saat wudhu’, agar terbebas dari perbedaan pendapat dengan maliki dan hanafi yang mewajibkan tidak hanya sebagian dari rambut kepala, tetapi separo atau keseluruhan.

Dalam mengunakan kaidah di atas ulama’ memberikan beberapa ketentuan, sejauh manakah perbedaan itu bisa dikompromikan agar dalam implementasinya tidak menyebabkan kebimbangan dan kerancuan. Adapun syarat-syaratnya adalah:

 Pendapat yang lain tidak bisa dipertahankan keabsahanya. Contoh: melakukan sholat witir tiga rokaat, apakah dengan satu kali salam atau dua kali. Dalam permasalahan ini pendapat yang mengatakan satu kali salam tidak bisa dipertahankan, karena sudah jelas bahwa pendapat abu hanifah tentang satu kali salam bertentangan dengan Hadist nabi yang berbunyi:

حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْفَارِسِىُّ حَدَّثَنَا مِقْدَامُ بْنُ دَاوُدَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ يَزِيدَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلاَلٍ عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْفَضْلِ عَنْ أَبِى سَلَمَةَ وَعَنِ الأَعْرَجِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تُوتِرُوا بِثَلاَثٍ وَأَوْتِرُوا بِخَمْسٍ أَوْ سَبْعٍ وَلاَ تُشَبِّهُوا بِصَلاَةِ الْمَغْرِبِ ».

عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِى حَازِمٍ قَالَ رَأَيْتُ سَعْدًا صَلَّى بَعْدَ الْعِشَاءِ رَكْعَةً فَقُلْتُ مَا هَذِهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُوتِرُ بِرَكْعَةٍ.

Perbedaan pendapat tidak berbenturan dengan Hadist yang shohih atau hasan. Contoh: seperti dalam masalah Imam Hanafi yang melarang mengangkat tangan saat sholat, karena bisa membatalkan sholat. Pendapat ini bertentangan dengan hadis mutawatir dan shohih yang berbunyi:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ وَسَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ كُلُّهُمْ عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى قَالَ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ مَنْكِبَيْهِ وَقَبْلَ أَنْ يَرْكَعَ وَإِذَا رَفَعَ مِنْ الرُّكُوعِ وَلَا يَرْفَعُهُمَا بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ

“aku melihat Nabi,S.A.W ketika memulai sholat mengangkat kedua tangan sama dengan pundaknya, serta sebelum ruku’ dan saat berdiri dari ruku’ (juga) dan beliau tidak mengangkatnya ketika di antara dua sujud.

 Dalil yang di gunakan untuk bisa dikomparasikan harus memeiliki dalil yang sama-sama kuat. Sebagaimana contoh kasus wudhu’ di atas


ما ثبت على خلاف القياس لا يقاس عليه
“Segala ketentuan hukum yang yang tidak sesuai dengan qiyas maka tidak boleh untuk mengunakan qiyas”

a. uraian kaidah.
Segala ketentuan hukum yang telah jelas ada dalam nash tidak boleh dilakukan atau dikatakan qiyas terhadapnya. Qiyas adalah membuat keputusan hukum sebagaimana ketentuan tersurat dalam nash yang jelas, dikarenakan ada kesamaan sebab. Qiyas adalah salah satu dari landasan hukum islam. Adapun syarat daripada qiyas, secara umum adalah, tidak ditemukanya hukum yang jelas dalam nash mengenai suatu permasalahan. Qiyas adalah salah satu dari metode pengambilan hukum, yang hanya boleh dilakukan pada saat-saat dibutuhkan.

Qiyas bukanlah suatu metode yang bersandarkan pada kecenderungan (dhon) yang lemah, akan tetapi qiyas adalah kecenderungan yang telah mencapai klimaksnya serta sebuah pemikiran yang telah matang dan mantap, sehinga pantas untuk di gunakan sebagai sarana pengambilan hukum.

b. Dalil kaidah
Kaidah ini bersumber dari ijma’, ulama bahwa tidak diperkenankan bagi seseorang mengunakan nalarnya ketika permasalahan sudah jelas diterangkan dalam nash. Sebagaimana kaidah (لا مساغ للإجتهاد في مورد التص)

c. Analisis Kaidah
Ketentuan potong tangan bagi orang yang terbukti mencuri, adalah tidak bisa ditawar-tawar lagi, jadi pemenjaraan dan hukuman-hukuman lain tidak bisa dikatakan sebagai qiyas dari potong tangan.
Transaksi sewa menyewa adalah transaksi yang tidak mengunakan barang untuk dimiliki, akan tetapi hanya memangfaatkanya. Transaksi dalam bentuk yang tidak jelas dan abstrak seperti ini dilarang dalam islam. Hukum di perbolehkanya akad ini adalah bertendensi pada kebutuhan mendesak masyarakat, sehinga para ulama’ sepakat memperbolehkan transaksi model ini. Jadi bolehnya transaksi ini tidak di qiyaskan dari dalil jual beli.


لا حجة مع الإحتمال
“tidak diterima argumentasi yang bias”

a. Uraian Kaidah
Setiap argumentasi yang belum jelas tidak bisa di pakai sebagai dalil. Dan setiap dalil atau argumentasi haruslah terbebas dari kemungkinan-kemungkinan, yaitu kemungkinan yang timbul dari dalil itu sendiri.

b. Dasar Kaidah
ياا يُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“wahai orang-orang yang beriman jauhilah prasangka-prasangka, karena sebagian dari prasangka adalah (menyebabkan) dosa”.(al hujarat 11)

c. Analisis Kaidah
Apabila ada orang tua yang menderita sakit parah menyerahkah semua hartanya kepada salah satu ahli waris, maka traksaksinya tidak sah kecuali dengan persetujuan ahli waris yang lain. Hal ini karena dimungkinkan adanya kesengajaan bagi orang tua tersebut untuk memberikan warisanya hanya kepada satu orang saja (hirmanu al warist ila ghoirihi) hal ini tidak di benarkan dalam islam..

Apabila ada salah satu ahli waris yang mengaku memiliki harta yang di hutang orang tuanya yang meningal dan ia tidak mempunyai bukti, maka hal ini tidak dibenarkan, karena ada kemungkinan ia hanya ingin mendapat bagian lebih banyak.


(دليل الشيء في الأمور الباطنة يقوم مقامه)
“petunjuk atas hal-hal yang samar adalah sebagaimana adanya”

a. Uraian Kaidah
Maksud dari kaidah ini adalah ketetapan atau keputusan atas suatu yang masih samar disesuaikan dengan argumentasi dilapangan, dan segala hal yang sulit untuk dilihat atau masih samar disebut perkara yang batin. Yang dikkehendaki dengan dalil disini adalah petunjuk.

Kaidah ini menjadi motivasi bagi seseorang untuk berlaku adil dan menjadikan setiap tindakan yang dilakukan harus berdasarkan hal-hal yang rasional

b. Dalil Kaidah
Dalil dari kaidah ini adalah adalah dalil akal, yaitu segala pengetahuan yang di peroleh dari hasil pengamatan empiris tidak akan jauh beda dengan kenyataan yang ada. Sebagaimana firman Alloh yang berbunyi;

فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَار

“Ambilah i’tibar wahai orang-orang yang mempunyai akal sempurna” ( al hasyr: 2)

kita diperintah untuk selalu I’tibar dari apa yang telah kita fahami dan ketahui, sehingga kita bisa melakukan hipotesa terhadap petunjuk-petunjuk yang terjadi untuk mengambil keputusan.

c. Analisis kaidah
dari pemahaman kaidah di atas kita bisa menconhtohkan sebuah kasus, apabila si A membeli HP pada si B, dan si B menunjukan adanya kekurangan pada HPnya, tapi kemudian si A tetap membelinya (dalil al-batin), maka berpijak dari kaidah ini berarti si A sejutu dengan segala kekurangan yang ada pada HP tersebut walaupun tanpa ucapan yang jelas, dan akad ini di hukumi sah.

Apabila ada seorang karyawan yang tidak konsisten dengan jam kerjanya serta ada indikasi ia tidak membawa kemajuan terhadap perusahaan, bahkan ia terkesan membawa pengaruh buruk terhadap karyawan yang lain. Maka sang majikan boleh memecatnya secara tidak hormat. Karena melihat indikasi-indikasi di atas menunjukan bahwa ia telah menghianati segala amanat yang telah diberikan kepadanya dan kepada sang juragan

Apabila ada seseorang yang membunuh pencuri di rumahnya dikarenakan ia membela diri dari pencuri tersebut yang akan membunuhnya. Berdasarkan kaidah di atas pemilik rumah dibenarkan apabila pencuri tersebut terbukti membawa senjata yang mematikan, namun apabila terbukti bahwa pencuri tersebut tidak membawa apa-apa maka ia terkena hukuman pembunuhan

d. pengecualian kaidah
dikecualikan dari kaidah ini adalah apabila ada seorang wanita yang memasukan putting susunya kemulut bayi yang masih menyusui, dan tidak diketahui apakah ada air susu yang masuk ditelan bayi atau tidak, maka hukumnya adalah bayi tersebut tidak bisa dihukumi muhrim.

KESIMPULAN


Kaidah fiqh adalah metode pengambilan hukum yang menekanan adanya prinsip keadilan dan kemaslahatan bagi umat. Akan tetapi kaidah-kaidah tersebut ibarat pisau analisis yang bermata dua, apabila jatuh ditangan yang tidak kreatif dan tidak memiliki kapasitas yang mumpuni, akan menjadi sesuatu yang kering akan inovasi, atau bahkan menjadi jastifikasi dari pendapat-pendapatnya yang sebenarnya sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi masyarakat. Oleh karena itu untuk mengoptimalkan fungsi dari kaidah-kaidah tersebut diperlukan seseorang yang memiliki kapabilitas dan kredibilitas keilmuan yang dibarengi dengan kemampuan dalam memotret dan menganalisis permasalahan-permasalahan sosial yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Dengan kata lain Seorang mujtahid haruslah memiliki kepekaan sosial yang tinggi.

WAllohu a’lam bi as-showaab


DAFTAR PUSTAKA`
As-Suyuti Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakar, ,al-Asybah wa an-Nadzair, alhidayah surabaya tt
az-zarqo Ahmad bin shaikh muhammad. Sarkh a lqowaid al fiqhiyah. Dar al qolam damaskus. tt. Cet 3
al ahdhory Abdurahman. Taqrirat Nadhom sulam al munawwaroq. MHM lirboyo Kediri .
al ‘ubady.Abdullah bin said Idhohu alqowaid al fiqhiyah. Al hidayah surabaya 1410 .H cet 3
al-Hajjaj bin Abdulloh muslim. shohih muslim. Hadist no: 568 Dar al fikr bairut 1989 cet 4
Abdul Hamid Hakim. As-sulam. Sa’adiyah putra Jakarta. tt.

Senin, 29 Oktober 2012

                                 MENG-OPTIMALKAN POTENSI OTAK
                                                      By. Moh. Subhan


A. Potensi Otak Anda untuk meraih kehidupan yang lebih produktif, sukses dan bahagia.

Telah lama diteliti bahwa selama hidupnya, manusia hanya menggunakan kurang dari 10% potensi otak yang mereka miliki. Bahkan
sebagian besar manusia menggunakannya dibawah bilangan 5%. Lalu kemana yang 90% ? Jawabannya adalah potensi tersebut
menunggu untuk digali. Dua dekade terakhir, penelitian tentang potensi otak manusia mengalami peningkatan yang signifikan dan
semakin menggembirakan. Semakin banyak metode-metode mutakhir dan hasil penelitian yang menguak potensi dan pengembangan
potensi otak manusia.

Bagaimanakah hubungan antara potensi otak ini dengan kehidupan anda? tentunya anda akan setuju jika kita katakan, erat sekali
hubungannya. Kemampuan anda untuk mengoptimalkan penggunaan otak anda akan sangat membantu anda untuk meraih target
kesuksesan anda.


B. Cara tercepat untuk mengembangkan potensi otak anda.

Banyak metode untuk mengembangkan potensi otak anda, dan bisa dikatakan semuanya memiliki tingkat keberhasilan masing
masing. Teknik Accelerated Learning yang dipelopori oleh Tony Buzan adalah salah satu metode yang paling populer hingga saat ini.

Selain Accelerated Learning, dikembangkan juga penelitian yang melibatkan perangkat elektronis sebagai piranti pengukur kinerja
otak. Telah diteliti dan disepakati oleh dunia sains otak, bahwa otak manusia dan primata memiliki fase gelombang otak yang mewakili
kondisi otak dan tubuh seseorang. Berdasarkan pengukuran melalui alat yang dinamakan Electro-encepalograph, dan perangkat
eletronis pengukur kinerja otak lainnya, pada dasarnya Otak memiliki 4 Fase Gelombang yaitu Beta, Alpha, Theta, dan Delta.
Inilah metode tercepat untuk mengembangkan potensi otak anda.

Beta - Fase gelombang otak disaat anda sangat aktif seperti mengobrol, mengerjakan sesuatu, gugup/gelisah atau keadaan aktif
lainnya. Beta sangat diperlukan jika kita harus memikirkan beberapa hal sekaligus, tapi tidak jika kita ingin menyerap informasi secara
cepat.

Alpha - Fase otak kreatif dimana otak dalam keadaan yang lebih rileks, fase ini sangat baik untuk belajar, menyerap informasi,
melakukan terapi, mempercepat proses penyembuhan, meningkatkan kekebalan tubuh, juga mengurangi stess mental-emosional dan
fisik. Sering disebut sebagai keadaan Meditasi Dasar.
Theta - Fase otak yang lebih dalam, yaitu saat anda tidur atau trance. Fase ini sangat bagus untuk proses
auto-sugesti/auto-hypnosis. Pada fase inilah mimpi terjadi, sehingga dengan teknolgi yang mampu mengontrol fase ini, anda dapat
memperoleh mimpi "Extra-Sensory Perception" atau biasa disebut kewaskitaan/wangsit.

Delta - Fase otak yang terakhir dan paling dalam, saat anda tidur nyenyak atau keadaan koma. Dengan mampu mengontrol fase ini,
anda dapat memperoleh kondisi tidur yang nyenyak dan berkualitas. Dengan teknik tertentu, fase ini dapat menghubungkan anda
dengan Energi Kesadaran Astral yang diberikan Tuhan. Melalui fase ini pulalah anda dapat mewujudkan energi pikiran menjadi materi.

dinukil dari: mind sound

Jumat, 26 Oktober 2012

Tasawuf

BIOGRAFI AZ-ZAMAKHSYARI
By. Moh. Subhan

Riwayat Hidupnya
Dia adalah Abul Qasim Mahmud Bin Umar Al-Khawarizmi Az-Zamakhsyari. Di lahirkan pada 27 Rajab 467 H. Di Zamakhsyar, sebuah perkampungan besar di kawasan khawarizmi (Turkistan). Dia mulai belajar di negeri sendiri, kemudian di Bukhara, dan belajar sastra kepada Syeih Mansyur Abi Mudhar. Kemudian pergi ke Mekkah dan menetap cukup lama sehingga memperoleh julukan Jarullah (Tetangga Allah). Dan selama tinggan di kota Mekkah itulah dia menulis Al-Kasysyaf ‘An Haqa’iqit Tanzil Wa ‘Unuyil Aqawil Fi Wujuhit Ta’wil. Dia wafat pada 538 H, di Jurjaniah Khawarizm setelah kembali dari Mekkah.
Beliau termasuk tokoh aliran Muktazilah yang membela mati-matian madzhabnya. Ia memperkuatnya dengan kekuatan hujjah yang dimilikinya.
Dalam hal ini, imam adz-Dzahabi di dalam kitabnya “al-Miizaan” (IV:78) berkata, “Ia seorang yang layak (diambil) haditsnya, tetapi ia seorang penyeru kepada aliran muktazilah, semoga Allah melindungi kita. Karena itu, berhati-hatilah terhadap kitab Kasysyaaf karyanya.”

Keilmuan Dan Karyanya
Zamakhsyari adalah salah seorang imam dalam bidang ilmu bahasa, ma’anai dan bayan. Dia juga merupakan ulama yang genius dan sangat ahli dalam bidang ilmu nahwu, bahasa, sastra dan tafsir. Pendapat-pendapatnya tentang ilmu bahasa arab diakui dan dipedomani oleh para ahli bahasa karena keorisinilan dan kecermatannya.
Bagi orang yang membaca kitab-kitab ilmu nahwu dan balaghah tentu sering menemukan keterangan-keterangan yang di kutip dari Zamakhsyari sebagai hujjah. Misalnya mereka mengatakan “Zamakhsyari telah berkata dalam kitab al-kasysyaf atau dalam asasul balaghah...” Ia adalah orang yang mempunyai pendapat dan hujjah sendiri dalam banyak masalah bahasa arab, bukan tipe orang yang suka mengikuti langkah orang lain yang hanya menghimpun atau mengutip saja, tetapi dia mempunyai pendapat orisinil yang jejaknya di tiru dan diikuti oleh banyak orang. Dia menpunyai banyak karya dalam bidang hadits, tafsir, nahwu, bahasa, ma’ani dan lain sebagainya. Diantara karangannya adalah :
• Al-Khasysyaf, tentang Tafsir Al-Qur’an
• Al-Fa’iq, tentang Tafsir Hadits
• Al-Minhaj, tentang Ushul
• Al-Mufassal, tentang Nahwu
• Asasul Balaghah, tentang Bahasa
• Ru’usul Masailil Fiqhiyah, tentang Fiqh
Kitab al-khasysyaf karya az-Zamakhsyari adalah sebuah kitab tafsir paling masyhur diantara sekian banyak tafsir yang disusun oleh mufassir bir-ra’-yi yang mahir dalam bidang bahasa. Al-alusi, Abus Su’ud, an-Nasafi dan para mufassir lain banyak mengutib dari kitab tersebut, tetapi tanpa menyebut sumbernya

Mazhab Fiqih Dan Aqidahnya
Zamakhsyari bermazhab Hanafi dan beraqidah paham Mu’tazilah. Ia menakwilkan ayat-ayat al-qur’an sesuai dengan mazhab dan aqidah yang dianutnya dengan cara yang hanya di ketahui oleh orang yang ahli, dan menamakan kaum mu’tazilah sebagai “saudara seagama dan golongan utama yang selamat dan adil ”.
Kitab Karangannya, Al-Kasysyaf ‘An Haqa’iqit Tanzil Wa ‘Unuyil Aqawil Fi Wujuhit Ta’wil
Kitab tafsir ini disusun oleh Az-Zamakhsyari selama tiga tahun, mulai dari tahun 526 H sampai dengan tahun 528 H, di Makkah al-Mukarramah, ketika ia berada di sana untuk melakukan ibadah haji yang kedua kalinya. Hal itu diketahui dari pengakuannya sendiri yang dituangkan pada muqaddimah tafsirnya. Dalam hal ini, ia mengatakan bahwa lama penyusunan kitabnya sama dengan lama masa pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq.
Tafsir al-Kasysyaf adalah salah satu kitab tafsir bi al-ra’yi yang terkenal, yang dalam pembahasannya menggunakan pendekatan bahasa dan sastra. Penafsirannya kadang ditinjau dari arti mufradat yang mungkin, dengan merujuk kepada ucapan-ucapan orang Arab terhadap syair-syairnya atau definisi istilah-istilah yang populer. Kadang penafsirannya juga didasarkan pada tinjauan gramatika atau nahwu.
Kitab tafsir ini merupakan salah satu kitab tafsir yang banyak beredar di dunia Islam, termasuk di Indonesia. Sebagai salah satu kitab tafsir yang penafsirannya didasarkan atas pandangan mu'tazilah, ia dijadikan corong oleh kalangan Mu’tazilah untuk menyuarakan fatwa-fatwa rasionalnya. Al-Fadhil Ibnu ‘Asyur berpendapat bahwa al-Kasysyaf ditulis antara lain untuk menaikkan pamor Mu’tazilah sebagai kelompok yang menguasai balaghah dan ta’wil.
Namun demikian, kitab ini telah diakui dan beredar luas secara umum di berbagai kalangan, tidak hanya di kalangan non-Ahlussunnah wal Jama’ah, tetapi juga di kalangan Ahlusunnah wal Jama’ah. Ibnu Khaldun misalnya, ia mengakui keistimewaan al-Kasysyaf dari segi pendekatan sastra (balaghah)-nya dibandingkan dengan sejumlah karya tafsir ulama mutaqaddimin lainnya. Menurut Muhammad Zuhaili, kitab tafsir ini yang pertama mengungkap rahasia balaghah al-Qur'an, aspek-aspek kemukjizatannya, dan kedalaman makna lafal-lafalnya, di mana dalam hal inilah orang-orang Arab tidak mampu untuk menentang dan mendatangkan bentuk yang sama dengan al-Qur’an. Lebih jauh, Ibnu ‘Asyur menegaskan bahwa mayoritas pembahasan ulama Sunni mengenai tafsir al-Qur’an didasarkan pada tafsir az-Zamakhsyari. Al-Alusi, Abu al-Su’ud, al-Nasafi, dan para mufassir lain merujuk kepada tafsirnya.
Di samping itu, ada juga beberapa kitab yang menyoroti aspek-aspek kitab tafsir ini, di antaranya: Al-Kafi asy-Syafi fi Takhrij Ahadis al-Kasysyaf (Uraian Lengkap Mengenai Takhrij Hadis pada Tafsir Al-Kasysyaf) oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani, Al-Inshaf fi ma Taqaddamahu al-Kasysyaf min I’tizal (Menyingkap pandangan-pandangan Mu'tazilah dalam Tafsir Al-Kasysyaf) oleh Imam Nashiruddin Ahmad bin Muhammad dan Ibnu Munir al-Iskandari, Syarh Syawahid al-Kasysyaf (penjelasan mengenai syair-syair dalam tafsir al-Kasysyaf) oleh Muhbibuddin Affandi.
Tafsir al-Kasysyaf yang beredar sekarang ini terdiri atas empat jilid disertai dengan tambahan tahqiq oleh ulama. Jilid pertama mencakup uraian mengenai muqaddimah yang oleh az-Zamakhsyari disebut sebagai khutbah al-Kitab yang berisi beberapa penjelasan penting tentang penyusunan kitab tafsir ini. Jilid ini pula yang memuat tafsir mulai dari surah al-Fatihah sampai surah an-Nisa (surah kelima). Jilid kedua berisi penafsiran yang terdapat pada surah al-An’am sampai pada surah al-Anbiya (surah ke-21), jilid ketiga berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah al-Hajj sampai dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam surah al-Hujurat (surah ke-49), dan jilid keempat berisi penafsiran ayat-ayat yang terdapat dalam surah Qaf sampai dengan ayat-ayat yang terdapat di dalam surah an-Nas (surah ke-114).
Az-Zamakhsyari melakukan penafsiran secara lengkap terhadap seluruh ayat Al-Qur'an, dimulai ayat pertama surah al-Fatihah sampai dengan ayat terakhir surah an-Nas. Dari sisi ini dapat dikatakan bahwa penyusunan kitab tafsir ini dilakukan dengan menggunakan metode tahlili, yaitu suatu metode tafsir yang menyoroti ayat-ayat Al-Qur'an dengan memaparkan segala makna dan aspek yang terkandung di dalamnya sesuai urutan bacaan dalam mushaf Utsmani. Az-Zamakhsyari sebenarnya tidak melaksanakan semua kriteria tafsir dengan metode tahlili, tetapi karena penafsirannya melakukan sebagian langkah-langkah itu, maka tafsir ini dianggap menggunakan metode tafsir tahlili.
Aspek lain yang dapat dilihat, penafsiran Al-Kasysyaf juga menggunakan metode dialog, di mana ketika Az-Zamakhsyari ingin menjelaskan makna satu kata, kalimat, atau kandungan satu ayat, ia selalu menggunakan kata in qulta (jika engkau bertanya). Kemudian, ia menjelaskan makna kata atau frase itu dengan ungkapan qultu (saya menjawab). Kata ini selalu digunakan seakan-akan ia berhadapan dan berdialog dengan seseorang atau dengan kata lain penafsirannya merupakan jawaban atas pertanyaan yang dikemukakan. Metode ini digunakan karena lahirnya kitab Al-Kasysyaf dilatarbelakangi oleh dorongan para murid Az-Zamakhsyari dan ulama-ulama yang saat itu membutuhkan penafsiran ayat dari sudut pandang kebahasaan, sebagaimana diungkapkan sendiri dalam muqaddimah tafsirnya:
"Sesungguhnya aku telah melihat saudara-saudara kita seagama yang telah memadukan ilmu bahasa Arab dan dasar-dasar keagamaan. Setiap kali mereka kembali kepadaku untuk menafsirkan ayat al-Qur'an, aku mengemukakan kepada mereka sebagian hakikat-hakikat yang ada di balik hijab. Mereka bertambah kagum dan tertarik, serta mereka merindukan seorang penyusun yang mampu menghimpun beberapa aspek dari hakikat-hakikat itu. Mereka datang kepadaku dengan satu usulan agar aku dapat menuliskan buat mereka penyingkap tabir tentang hakikat-hakikat ayat yang diturunkan, inti-inti yang terkandung di dalam firman Allah dengan berbagai aspek takwilannya. Aku lalu menulis buat mereka (pada awalnya) uraian yang berkaitan dengan persoalan kata-kata pembuka surat (al-fawatih) dan sebagian hakikat-hakikat yang terdapat dalam surah al-Baqarah. Pembahasan ini rupanya menjadi pembahasan yang panjang, mengundang banyak pertanyaan dan jawaban, serta menimbulkan persoalan-persoalan yang panjang".
Penyusunan kitab tafsir al-Kasysyaf tidak dapat dilepaskan dari atau merujuk kepada kitab-kitab tafsir yang pernah disusun oleh para mufassir sebelumnya, baik dalam bidang tafsir, hadis, qira’at, maupun bahasa dan sastra.
Pada sisi lain karya az-Zamakhsyari ini banyak dijadikan sebagai obyek kajian para ulama, baik ulama mutaakhirin maupun para ulama mutaqaddimin, yang ditujukan terhadap berbagai aspeknya. Dari berbagai kajian tersebut diketahui bahwa di antara para ulama ada juga yang memberikan penilaian negatif, di samping yang positif. Komentar-komentar tersebut dapat dilihat antara lain di dalam kitab-kitab yang secara lengkap membahas mengenai hal itu, antara lain: Manhaj az-Zamakhsyari fi Tafsir al-Qur'an wa Bayan I’jazi karya Musthafa Juwaini, At-Tafsir wa al-Mufassirun karya Adz-Dzahabi, Manahil al-'Irfan fi ‘Ulum al-Quran karya Muhammad Abdul Adzim az-Zarqani, Balaghah al-Qur’aniyyah fi Tafsir az-Zamakhsyari wa Atsaruhu fi Dirasat al-Balaghiyyah karya Muhammad Abu Musa.
Dari kajian yang dilakukan oleh Musthafa al-Juwaini terhadap kitab tafsir Al-Kasysyaf tergambar delapan aspek pokok yang dapat ditarik dari kitab tafsir itu, yaitu:
1. Az-Zamakhsyari telah menampilkan dirinya sebagai seorang pemikir Mu’tazilah;
2. Penampilan dirinya sebagai penafsir atsari, yang berdasarkan atas hadis Nabi;
3. Penampilan dirinya sebagai ahli bahasa;
4. Penampilan dirinya sebagai ahli nahwu;
5. Penampilan dirinya sebagai ahli qira’at,
6. Penampilan dirinya sebagai seorang ahli fiqh,
7. Penampilan dirinya sebagai seorang sastrawan, dan
8. Penampilan dirinya sebagai seorang pendidik spiritual.
Dari kedelapan aspek itu, menurut al-Juwaini, aspek penampilannya sebagai seorang Mu’tazilah dianggap paling dominan. Apa yang diungkapkan oleh al-Juwaini di atas menggambarkan bahwa uraian-uraian yang dilakukan oleh az-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya banyak mengambarkan berbagai pandangan yang mendukung dan mengarah pada pandangan-pandangan Mu'tazilah.
Begitu juga halnya dengan az-Zarqani yang menguatkan asumsi itu. Namun demikian, ia juga mencatat beberapa keistimewaan yang dimiliki tafsir Al-Kasysyaf, antara lain: Pertama, terhindar dari cerita-cerita israiliyyat; Kedua, terhindar dari uraian yang panjang; Ketiga, dalam menerangkan pengertian kata berdasarkan atas penggunaan bahasa Arab dan gaya bahasa yang mereka gunakan; Keempat, memberikan penekanan pada aspek-aspek balaghiyyah, baik yang berkaitan dengan gaya bahasa ma’aniyyah maupun bayaniyyah; dan Kelima, dalam melakukan penafsiran ia menempuh metode dialog.
Zamakhsyari adalah seorang penganut paham dan bermazhab Hanafi, ia menulis al-khasysaf untuk mendukung akidah dan mazhabnya. Paham kemu’tazilahan dalam tafsirnya itu telah diungkapkan dan diteliti oleh ‘Allamah Ahmad Annayyir yang di tuangkan dalam bukunya al-Intisaf.
Di dalam kitab ini an-Nayyir menyerang az-zamakhsyari dengan mendiskusikan masalah akidah mazhab Mu’tazilah yang dikemukakannya dan mengemukakan pandangan yang berlawanan dengannya, dia juga mendiskusikan masalah-masalah kebahasaan.
Paham kemu’tazilahan Zamakhsyari dalam tafsirnya membuktikan kecerdasan, kecemerlangan dan kemahirannya. Ia mampu mengungkapkan isyarat-isyarat yang jauh agar terkandung di dalam makna ayat guna membela kaum Mu’tazilah dan menyanggah lawan-lawannya. Tetapi dari aspek kebahasaan ia berjasa telah menyingkap keindahan al-qur’an dan daya tarik balaghahnya. Hal ini karena dia memiliki pengetahuan yang sangat luas tentang ilmu balaghah, Bayan, nahwu dan sharaf.
Dia pernah menyatakan bahwa orang yang menaruh perhatian terhadap tafsir tidak akan dapat menyelami hakikatnya sendirikecuali jika dia telah menguasai dua ilmu khusus bagi al-qur’an yaitu, ilmu ma’ani dan ilmu bayan. Zamakhsyari telah cukup lama menyelami keduanya, bersusah payah dalam menggalinya, menderita karenannya serta di dorong oleh cita-cita luhur untuk memakahi kelembutan-kelembutan hujjah Allah dan oleh hasrat ingin mengetahui mukjizat Rasulullah.
Ibnu Khaldun memberikan analisa dan penilaian terhadap Al-Khasysyaf karya Zamakhsyari tersebut di saat membicarakan tentang rujukan tafsir mengenai pengetahuan tentang bahasa, I’rab, dan balaghah. Dia mengatakan :
Di antara kitab tafsir paling baik yang mencakup bidang tersebut ialah kitab Al-Khasysyaf karya Zamakhsyari, seorang penduduk khawarizm di Irak.hanya saja pengarangnya termasuk pengikut fanatic mu’tazilah. Karena itulah ia senantiasa mendatangkan argementasi-argumentasi untuk membela mazhabnya yang rusak setiap ia menerangkan ayat-ayat Alqur’an dari segi balaghah. Cara demikian bagi para penyelidik dari kaum ahli sunnah di pandang sebagai penyimpangan dan, bagi jumhur, merupakan manipulasi terhadap rahasia dan kedudukan al-Quran. Namun demikian mereka tetap mengakui kekokohan langkahnya dalam hal berkaitan dengan bahasa dan balaghah. Tetapi jika orang membacanyatetap berpijak pada mazhab sunni dan menguasai hujah-hujahnya, tentu ia akan selamat dari perangkap-perangkapnya. Oleh karena itu, kitab tersebut perlu di baca mengingatkeindahan dan keunikan seni bahasanya.
Belakangan ini munculsebuah karya salah seorang bangsa Irak, Syafruddi at-Tayyibi, penduduk Tauriz Irak ‘ajam. Di dalam karya tersebut ia mensyarahkan kitab zamakhsyari, meneliti lafaz-lafaznyam membeberkan mazhab mu’tazilahnyadengan mengemukakan dalil-dalil yang membuktian kepalsuannya dan menjelaskan bahwa aspek balaghah itu hanya terletak pada ayat menurut pandangan ahli sunnah, bukan menurut pandangan kaum mu’tazilah. Sungguh sebemnarnya dia telah berbuat baik dalam hal tersebut sesuai dengan kemampuannya serta mencukupi pula seni-seni balaghahnya. Ya, kita tahu benar bahwa bagaimanapun di atas orang pandai masih ada yang lebih pandai.
Al-Maktabah at-Tajariyah Mesir telah menerbitkan al-Khasysyaf cetakan terakhir yang diterbitkan oleh Mustafa Husein Ahmad dan di beri lampiran empat buah kitab.
• Al-Intisaf oleh an-Nayyir
• Asy-Syafi fi Takhriji Ahaadisil Khasysyaf oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar Al’asqalani
• Hasyifah Tafsir al-Khasysyaf oleh Syaikh Muhammad ‘Ulyan al-Marzuki, dan
• Masyahidul Insaf ‘ala Syawahidil khasysyaf juga oleh al-Marzuki
Kitab terakhir inilah yang menunjukkan bahwa tafsir az-Zamakhsyari mengandung banyak akidah Mu’tazilah yang diungkapkan secara tersirat.

KESIMPULAN

Dari hasil kajian terhadap karya-karya Az-Zamakhsyari, para pengkaji dapat menarik kesimpulan-kesimpulan tersendiri, baik tentang kepribadiannya maupun tentang kedalaman ilmu dan keistimewaan karya itu sendiri. As-Sam’ani misalnya, berkata: “Az-Zamakhsyari adalah orang yang dapat dijadikan contoh karena kedalaman ilmu pengetahuannya mengenai sastra dan tata bahasa Arab”. Pujian ini sangat berkaitan dengan kedalaman ilmu beliau dalam bidang bahasa dan sastra. Pernyataan itu wajar ditujukan kepadanya, karena memang para ulama mengakui kapabilitas tokoh ini dalam ilmu bahasa. Hal yang sama juga telah dikemukakan oleh Ibnu al-Anbari, dengan menyatakan bahwa az-Zamkhsyari adalah pakar nahwu. Kemudian, Ibnu Kalikan memuji kedalaman ilmu yang dimiliki oleh az-Zamkhsyari seraya mengatakan bahwa ia adalah ulama besar pada masanya. Ia menjadi tempat bertanya dan menjadi rujukan, sehingga ia selalu didatangi oleh para ulama untuk menimba ilmu pengetahuan. Begitulah pujian yang menempatkan Az-Zamakhsyari sebagai narasumber pada masanya, bahkan pada masa sesudahnya.

Demikian, Wallahu A’lam Bisshawaf
ILMU PENGETAHUAN DAN FILSAFAT
(Sketsa dalam Memahami Filsafat Ilmu untuk Mengembangkan Ilmu)
By MOH. SUBHAN, MEI
A. Pendahuluan
Ada beberapa pendekatan yang dilakukan manusia untuk memahami, meneliti dan mengola dunia beserta isinya ini. Penedekatan-pendekatan tersebut seperti filsafat, seni, agama dan ilmu pengetahuan.
Berbicara tentang filsafat maka kita tidak bisa terlepas dengan ilmu. Sebab antara filsafat dan ilmu terdapat hubungan yang saling terkait. Bahkan ada yang menyatakan bahwa filsafat sebagai “induk” atau “ibu” ilmu pengetahuan atau mater scientiarum. (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2003; 25). Sehinga boleh disebut antara ilmu dengan filsafat tidak ada bedanya. Seorang filosof pasti menguasai semua ilmu. Tetapi perkembangan daya pikir manusia yang mengembangkan filsafat pada tingkat praktis, berujung pada tingginya loncatan ilmu pengetahuan dibanding dengan bidang filsafat. Meski ilmu lahir dari filsafat, tetapi dalam perkembangan berikut, ilmu pengetahuan yang didukung oleh kecanggihan tehnologi telah mengalahkan perkembangan filsafat. Wilayah kajian filsafat menjadi lebih sempit dibanding dengan masa awal perkembangannya. Dan kajian ilmu pengetahuan semakin luas. Sehingga dalam perkembangannya masing-masing ilmu memisahkan diri dari filsafat. Hal ini tidak berarti bahwa hubungan ilmu-ilmu khusus dengan filsafat terputus.
Ada hubungan timbal balik antara ilmu dengan filsafat. Banyak masalah filsafat yang memerlukan landasan pada pengetahuan ilmiah apabila pembahasannya tidak ingin dikatakan dangkal dan keliru. Ilmu pada dewasa ini dapat menyediakan sejumlah besar bahan yang berupa fakta-fakta yang sangat penting bagi perkembangan ide-ide falsafati yang tepat sehingga sejalan dengan pengetahuan ilmiah. Kebenaran filsafat tidak dapat dibuktikan oleh filsafat itu sendiri, tapi hanya dapat dibuktikan oleh teori-teori keilmuwan melalui observasi dan eksperimen atau melalui justifikasi kewahyuan. (Cecep Sumarna, 2006; 44).
Setiap ilmu memiliki konsep-konsep dan asumsi-asumsi yang bagi ilmu itu sendiri tidak perlu dipersoalkan lagi. Konsep dan asumsi itu diterima begitu saja tanpa dinilai dan dikritik. Terhadap ilmu-ilmu khusus, filsafat, khususnya filsafat ilmu, secara kritis menganalisa konsep-konsep dasar dan memeriksa asumsi-asumsi dari ilmu-ilmu tersebut untuk mendapatkan arti dan validitasnya. Ilmu diperkirakan valid bila hasilnya sesuai dengan prosedur (metodologi). Metodologi meletakkan prosedur yang dipergunakan untuk menguji konsep-konsep dan asumsi-asumsi (preposisi). Prosedur ini dijustifikasi maknanya dengan argumen filosofis. Metodologi adalah produk filsafat dan ilmu-ilmu adalah realisasi dari metodologi. (Barry Hindes, 1977; 5).
B. Pengertian Ilmu Pengetahuan
Kata ilmu berasal dari Bahasa Arab (‘Ilm). Arti dasar dari kata ini adalah kejelasan. Jadi, segala bentuk kata yang terambil dari akar kata ‘ilm seperti kata ‘alam (bendera/gunung), ‘ulmat (bibir sumbing), mengandung objek pengetahuan. Dengan demikian dapat diartikan bahwa ilmu sebagai pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. (Quraish Shihab, 1992; 171). Kata tersebut sering disejajarkan dengan kata science (bahasa Inggris) yang berarti pengetahuan, atau scire dan scientia (bahasa Latin) yang berarti pengetahuan dan aktivitas mengetahui. (Sidi Ghazalba, 1973; 41).
Menurut S. Hornby mengartikan ilmu adalah susunan atau kumpulan pengetahuan yang diperoleh melalui penelitiann dan percobaan dari fakta-fakta. Dalam kamus bahasa Indonesia ilmu adalah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu pula.
Sedangkan menurut Athur Thomson ilmu sebagai pelukisan fakta-fakta, pengalaman secara lengkap dan konsisten meski dalam perwujudan istilah yang sederhana.
Dari beberapa difinisi ilmu di atas, maka ilmu berisi tentang hipotesa, teori, dalil-dalil dan hukum. Hakikat ilmu bersifat koherensi sistematik. Artinya, ilmu harus terbuka kepada siapa saja yang mencarinya. Ilmu berbeda dengan pengetahuan. Ilmu tidak pernah mengartikan kepingan-kepingan pengetahuan berdasarkan satu putusan tersendiri, ilmu justru menandakan adanya stu keseluruhan ide yang mengacu pada objek yang sama dan saling berkaitan secara objektif. Oleh karena itu ilmu membutuhkan metodologi, sebab dan kaitan logfis. Ilmu menuntut pengamatan dan kerangka berfikir metodik.
C. SUMBER ILMU PENGETAHUAN
Sumber Ilmu pengetahuan yang dimaksud dalam bab ini adalah aspek-aspek yang mendasari lahirnya ilmu pengetahuan yang berkembang dan mungkin muncul di tengah kehidupan umat manusia masa lalu dan masa kini. Hal ini dirasa amat penting karena: 1). Adanya perbedaan pandangan di kalangan filosof dan saintis tentang apa yang menjadi sumber ilmu; dan 2). Perbedaan itu ternyata membawa konsekwensi terhadap perbedaan paradigma yang dianut oleh masing-masing komunitas dalam memandang dan mengaplikasikan ilmu pengetahuan.
Di kalangan filosof dan saintis muslim berkembang sebuah pemikiran bahwa sumber utama ilmu pengetahuan adalah wahyu yang termanifestasi dalam bentuk al Qur’an dan sunnah Nabi, intuisi, empiris yang faktual –induktif -- dan rasional –deduktif--. Jika ada perbedaan pandangan di kalangan masyarakat Muslim, pada dasarnya hanya pada segi prioritas dalam memposisikan fungsi wahyu, yakni apakah wahyu menjadi alat konfirmasi (pembenar) atas penemuan fakta empiris rasional, maka wahyu berperan hanya sebagai pendukung atau justru menjadi alat informasi terhadap lahirnya dan jalannya ilmu pengetahuan, di sini wahyu sebagai sumber utama.
Berbeda dengan sumber ilmu dalam Islam, di kalangan filosof dan saintis Barat, sumber ilmu pengetahuan dibatasi hanya pada dua sumber. Yaitu pengetahuan yang lahir atas dasar pertimbangan rasio (akal/deduksi) dan pengetahuan yang dihasilkan melalui pertimbangan empirikal / pengalaman yang bersifat faktual (empiris/induksi). Sumber pengetahuan yang dibangun atas kebenaran pada pengalaman (empiris) diistilahkan dengan empirisme, yang dikomandani oleh John Lock, sedangkan pengetahuan yang dibangun atas pertimbangan akal (rasio) dikenal dengan istilah rasionalisme yang diprakarsai oleh David Hume. Dua tokoh ini menjadi peletak dasar teori empirisme dan rasioanlisme yang menjadi bangunan ilmu pengetahuan modern. Jadi sesuatu yang berada di luar dua jangkauan tadi, harus ditolak. Sebab eksistensi sesuatu itu harus dapat dibuktikan secara empirik dan dapat diterima secara akal. (Cecep Sumarna, 2006; 52).
D. URGENSI KAJIAN FILSAFAT ILMU
Filsafat ilmu merupakan cabang dari ilmu filsafat. Ilmu ini lahir sebagai pengembangan dari filsafat pengetahuan (theori of knowledge), di mana logika, filsafat bahasa, matematika, metodologi, merupakan komponen-komponen pendudungnya. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya pada ilmu. Filsafat ilmu hendak mengkaji ilmu dari sisi kefilsafatan, yakni untuk memberikan jawaban terhadap sejumlah pertanyaan menyangkut apa itu ilmu (dijawab oleh ontologi/hakikat), bagaimana ilmu itu diperoleh (dijawab oleh epistimologi) dan untuk apa ilmu itu diciptakan (dijawab oleh aksiologi).
Dalam perkembangannya filsafat ilmu juga mengarahkan pandangannya pada strategi pengembangan ilmu, yang menyangkut etik dan heuristik. Bahkan sampai pada dimensi kebudayaan untuk menangkap tidak saja pada kegunaan atau manfaat ilmu, tapi jauh dari itu apa manfaatnya ilmu bagi kehidupan manusia.
diarahkan pada komponen-komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmuFilsafat ilmu. pada abad ke 18. Kini terasa adanya kekaburan mengenai batas-batas antara (cabang) ilmu yang satu dengan yang lain, sehingga interdepedensi dan interrali ilmu menjadi terasa pula. Oleh karena itu diperlukan suatu “overview” untuk meletakkan jaringan interaksi untuk saling menyapa menuju hakikat ilmu yang integral dan integratif.
Semenjak Immanuel Kant (1724-1804) menyatakan bahwa Filsaat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia dengan tepat
dapat diambil sebagai pelukisan fakta-fakta, pengalaman secara lengkap dan konsisten adalah
yang berarti pengetahuan. Kata ini sering disejajarkan dengan kata science dalam bahasa Inggris. Tetapi ada juga yang menyebut bahwaq kata ilmu berasal dari bahasa Latin scire dan scienta yang berarti pengetahuan dan aktivitas mengetahui. (Sidi Ghazalba, 1973; 41).

Selasa, 02 Oktober 2012

Periodesasi Hukum Islam di Indonesia



Perkembangan hukum Islam di Indonesia mengalami pasang surut. Sejak masuknya Islam ke wilayah nusantara hingga masa reformasi sekarang ini, hukum Islam mampu bertahan dan mewarnai sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan corak dan karakteristiknya, sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia dapat dibagi dalam empat periode, yaitu :
periode akulturasi, represi dan eliminasi, formatisasi, serta aktualisasi

Fase akulturasi terjadi sejak kedatangan Islam hingga menguatnya kekuasaan kolonialisme Belanda di Indonesia. Pada masa ini hukum Islam berlaku sepenuhnya bagi umat Islam.

Corak hukumnya akulturatif, yaitu perpaduan antara mazhab Syafi’i dengan kebudayaan lokal. Bukti ini terlihat dalam hasil karya ulama yang berupa kitab-kitab fiqh yang menjadi pegangan bagi kerajaan-kerajaan Islam dan yang diajarkan di masyarakat. Fase represi dan eliminasi terjadi mulai masa penjajahan Belanda hingga masa kemerdekaan. Pemerintah kolonial menekan berlakunya hukum Islam dan mengeliminasi kekuasaan Pengadilan Agama. Hukum Islam selalu dikontradiktifkan dan disubordinatkan dengan hukum adat. Kondisi ini menjadikan hukum Islam terbatas cakupannya, yaitu hanya berlaku dalam bidang hukum keluarga. Periode formatisasi terjadi setelah Indonesia merdeka hingga masa orde baru. Pada masa ini muncul upaya melegislasikan hukum Islam dalam perundang-undangan. Formatisasi hukum Islam terjadi dalam dua bentuk, yaitu menjadi hukum nasional yang berlaku umum dan menjadi hukum khusus yang hanya berlaku bagi umat Islam. Fase terakhir adalah aktualisasi, yang terjadi sejak masa reformasi. Aktualisasi hukum Islam berakar dari ditetapkannya Undang-undang Otonomi Daerah. Sejak itu, umat Islam di berbagai wilayah mengaktualisasikan hukum Islam, baik melalui otonomi khusus meupun melalui peraturan daerah.


A.     Pendahuluan
Hukum Islam masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke nusantara. Sejak agama Islam dianut oleh penduduk, hukum Islampun mulai diberlakukan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Norma atau kaidah hukum dijadikan sebagai pedoman kehidupan setelah terlebih dahulu mengalami institusionalisasi dan internalisasi. Dari proses interaksi sosial inilah hukum Islam mulai mengakar dan menjadi sistem hukum dalam masyarakat.

Penyebaran Islam di Indonesia yang berlangsung secara bertahap menyebabkan pemberlakuan hukum Islam pun mengalami pentahapan. Di sisi lain setiap masyarakat pada umumnya sudah memiliki aturan atau adat istiadat sendiri, sehingga ketika Islam datang terjadi akulturasi antara hukum Islam dengan hukum adat. Hal ini juga mengakibatkan variasi hukum Islam di kalangan masyarakat Islam di Indonesia.

Perkembangan hukum Islam juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintahan kolonial Belanda, yang berusaha menghambat berlakunya hukum Islam dengan berbagai cara. Segala kebijakan, terutama di bidang politik dan hukum, dibuat untuk mengebiri keberadaan hukum Islam. Di bidang politik misalnya, Belanda menjalankan kristeningpolitiek,[1] yaitu upaya mendukung misi zending dan penyebaran agama Kristen ke dalam masyarakat Hindia Belanda. Di bidang hukum, pemerintah Belanda berusaha mengkonfrontir hukum Islam dengan hukum adat dan mereduksi dalam pemberlakuannya.

Kedudukan hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia mengalami pasang surut. Hukum Islam bukan satu-satunya sistem hukum yang berlaku, tetapi terdapat sistem hukum lain, yaitu hukum adat dan hukum Barat. Ketiga sistem hukum ini saling pengaruh mempengaruhi dalam upaya pembentukan sistem hukum nasional di Indonesia. Hal ini terlihat ketika menjelang kemerdekaan, para founding fathers berbeda pendapat tentang bentuk dan dasar negara serta hukum yang akan berlaku di Indonesia.
Ketika Indonesia merdeka, kedudukan hukum Islam mulai diperhitungkan dan diakui keberadaannya sebagai salah satu sistem hukum yang berlaku. Pada masa berikutnya hukum Islam mulai mewarnai hukum nasional. Banyak peraturan perundang-undangan yang disusun berdasarkan ketentuan hukum Islam, baik yang berlaku nasional maupun khusus bagi umat Islam. Gejala mutakhir perkembangan hukum Islam adalah munculnya gerakan otonomisasi hukum Islam di sejumlah daerah di Indonesia. Hal ini ditandai dengan banyaknya aturan perundangan yang ditetapkan oleh pemerintah daerah terkait dengan penerapan hukum Islam.

Tulisan ini menjelaskan bagaimana perkembangan hukum Islam di Indonesia sejak masa penetrasi atau kedatangan Islam hingga masa reformasi sekarang ini. Tujuannya adalah untuk memetakan bagaimana corak dan karakter hukum Islam dalam setiap periodisasinya. Disamping itu juga untuk menemukan faktor pendukung dan penghambat berlakunya hukum Islam, sehingga menimbulkan sustainsi dan resistensi dalam implementasinya.



B.     Fase Perkembangan Hukum Islam

Sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia, jika dirunut dari mulai masuknya agama Islam hingga era reformasi dapat dibagi dalam empat tahap. Tahapan perkembangannya dimulai dari fase akulturasi, represi dan eliminasi, formatisasi, dan aktualisasi. Pembagian ke dalam empat periode ini didasarkan pada corak, karakter, dan bentuk implementasinya dalam realitas hukum yang berlaku.  Kebijakan politik pemerintah yang berkuasa dan keinginan umat islam menjadi faktor penentu corak dan karakter hukum Islam yang berlaku. Kedua faktor tersebut mempengaruhi pasang surutnya implementasi hukum Islam dalam sejarah pekembangannya di Indonesia.

1.      Fase Akulturasi (Abad XII – XVIII M)
Fase ini terjadi sejak masa penetrasi atau masuknya Islam ke Indonesia hingga masa kolonialisasi Belanda. Berdasarkan data sejarah, Islam mulai menampakkan pengaruhnya sekitar Abad XII hingga XIII M. Disebut fase akulturasi karena pada masa ini hukum Islam mengalami adaptasi dengan budaya lokal nusantara. Secara sosio-kultural, hukum Islam telah menyatu dan menjadi living law dalam masyarakat muslim Indonesia. Hal ini terlihat dari akulturasi yang terjadi antara Islam, sebagai agama, dengan kebudayaan lokal. Di beberapa daerah seperti Aceh, Makassar, Minangkabau, Riau, dan Padang, hukum Islam diterima tanpa reserve, sederajat dengan hukum adat. Hal ini dibuktikan dengan adanya pepatah adat basandi syara’, syara’ basandi Kitabullah, syara’ mengata adapt memakai. Ungkapan ini menggambarkan bagaima  kentalnya hubungan antara hukum adapt dan hukum Islam.[2]

Catatan sejarah tentang berlakunya hukum Islam pada masa ini tidak banyak diketahui. Hanya ada beberapa naskah, khususnya naskah Jawa, yang dapat digunakan untuk mengungkap bagaimana pemberlakuan hukum Islam di masyarakat.[3] Namun demikian terdapat kemiripan pelaksanaan hukum Islam di berbagai kerajaan Islam di Indonesia. Hal ini dipengaruhi oleh hukum tata negara Islam yang dianut oleh kerajaan-kerajaan tersebut. Ciri tata negara Islam adalah urusan agama merupakan bagian tak terpisahkan dari negara.[4] Di Jawa, ciri ini termanifestasi dalam gelar Raja Mataram yaitu: Ingkang Sinuhun (Yang dipertuan) Senopati Ing Ngalogo (Panglima Perang) Sayidin Panotogomo Kalipatullah (Pengatur Urusan Agama sebagai Pengganti Rasulullah).

Pengaruh terkuat Islam di Indonesia dalam aspek hukum adalah dalam bidang hukum keluarga, khususnya perkawinan. Fungsi pemeliharaan dan penyelesaian hukum ini ditugaskan kepada para hakim atau qadhi, dan penghulu dengan para pegawainya. Para hakim atau qadhi diangkat langsung oleh para sultan dan peradilannya disebut dengan Peradilan Swapraja. Mereka memperoleh tanah jabatan (ambsterven) di belakang masjid besar yang disebut kampung kauman. Tugas mereka adalah melayani kebutuhan masyarakat dalam bidang peribadatan dan segala urusan yang termasuk dalam hukum keluarga. Di tingkat terendah (pemerintahan desa) jabatan ini dipegang oleh modin, lebai, amil, kayim, kaum dan merbot. Kalau di Jawa disebut kaum, maka di Makassar disebut para mukim, di Sumatera dikenal dengan teuku meunasah, labai, malin, dan sebagainya.

Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, sebelum kedatangan VOC, telah memberlakukan hukum Islam yang pada umumnya menganut mazhab Syafi’i. Kerajaan-kerajaan tersebut antara lain Kerajaan Samudera Pasai, Kesultanan Demak, Kesultanan Mataram, Kesultanan Cirebon, Banten, Ternate, Buton, Sumbawa, Kalimantan Selatan, Kutai, Pontianak, dan Palembang. Kerajaan-kerajaan Islam tersebut memberikan wewenang penegakan hukum Islam pada kekuasaan pengadilan. Lembaga pengadilan ini didirikan untuk tujuan penegakan hukum Islam dan sebagai wadah pelayanan ulama terhadap umat. Beberapa nama peradilan yang didirikan menggunakan nama yang berbeda seperti Mahkamah  Syar’iyah di Sumatera, Kerapatan Qadhi di Banjar dan Pontianak, dan Pengadilan Serambi di Jawa.[5]

Bentuk peradilan pada masa kerajaan Islam memang tidak begitu jelas. Sewaktu Marcopolo singgah di Perlak pada tahun 1292 M, ia mendapatkan bahwa Perlak merupakan sebuah kota Islam, tetapi tidak disebut-sebut tentang bentuk pelaksanaan hukum Islam. Di Samudera Pasai, menurut catatan Ibnu Batutah –yang dalam perjalanannya ke Cina pada tahun 1345/1346 M melewati samudra- mendapati penguasanya seorang pengikut mazhab Syafi’i. Sultan Malik al-Salih (w. 1297 M), raja Samudera Pasai, menunjuk para hakim/qadhi dalam pelaksanaan hukum Islam. Di Kerajaan Islam Demak terdapat pertanda yang jelas tentang pelaksanaan hukum Islam. Sultan Demak memiliki gelar “Sayidin Panatagama” serta adanya jabatan penghulu yang menangani tugas-tugas di bidang agama.[6]

Di Kasultanan Yogyakarta, terdapat peradilan yang menangani masalah keagamaan yang disebut Pengadilan Serambi. Pengadilan ini diperkirakan telah ada sejak tahun 1737 (masa pemerintahan Sunan Pakubuwono II). Pada awalnya kewenangan pengadilan ini adalah menangani masalah perkawinan, warisan dan juga perkara pidana.[7]  Sumber hukum yang digunakan sebagai dasar dalam memutuskan perkara adalah Kitab Angger-Angger[8] dan kitab-kitab Fiqh. Kitab-kitab fiqh tersebut adalah: Al-Muharror, Al-Mahalli, Tuhfah, Fathul Mu’in, dan Fathul Wahab.[9]

Pengadilan Serambi dipimpin oleh penghulu keraton yang berkedudukan sebagai penghulu hakim. Dalam menjalankan kewenangannya, penghulu hakim dibantu oleh Penghulu Pathok Negara yang juga bertanggung jawab terhadap pelaksanaan Pengadilan Serambi khususnya di wilayah negaragung. Pelaksanaannya bertempat di serambi Masjid Agung Kasultanan Yogyakarta. Hal ini diperkuat dengan adanya prasasti di dalam masjid yang menyebutkan bahwa serambi ini disebut Al-Mahkamah Al-Kabirah. Pengadilan ini tetap berfungsi hingga tahun 1940-an meskipun dengan wewenang yang terbatas. Jika awalnya pengadilan ini berkompetensi memutus perkara pidana dan perdata, namun akibat inetrvensi kolonial akhirnya pengadilan ini hanya berwenang memutuskan perkara yang berkaitan dengan nikah, talak, rujuk, sesuai dengan hukum Islam.[10]

Corak hukum Islam pada masa ini adalah Syafi’iyah. Hal ini dikarenakan dasar dari pemberlakuan hukum Islam adalah kitab-kitab fiqh yang bermazhab Syafi’i, seperti Al-Muharror, Al-Mahalli, Tuhfah, Fathul Mu’in, dan Fathul Wahab. Namun demikian, corak Syafi’iyah hukum Islam di Indonesia memiliki ciri khusus karena mengalami akulturasi dengan kebudayaan masyarakat. Kondisi ini memunculkan adanya karakter hukum yang berbeda dan khas di setiap kerajaan Islam. Para ulama menjadi tokoh penting dalam upaya mengakulturasikan kitab fiqh dengan adat istiadat masyarakat. Hasil akulturasi hukum Islam dengan adat lokal tersebut terekam dalam sejumlah karya fiqh mereka.
Diantara kitab fiqh yang merupakan bukti akulturasi adalah kitab Siratal Mustaqim yang ditulis mulai tahun 1634 M hingga 1644 M oleh Nuruddin Ar-Raniry (w. 1068H/1658M). Nuruddin Ar-Raniry adalah mufti kerajaan  pada masa pemerintahan Sultan Iskandar II dari Kerajaan Samudera Pasai. Kitab Sirat al-Mustaqim bercorak Syafi’iyah. Hal ini dapat dilihat dari referensi yang dia gunakan dalam penyusunannya. Kitab-kitab rujukannya adalah Kitab Fiqh Syafi’iyah standar, seperti Minhaj at-Talibin karya Nawawi ad-Dimaski, Fath al-Wahab bi Syarhi Minhaj at-Tullab karya Zakariya al-Ansari, Hidayat al-Muhtaj Syarh al-Mukhtasar karya Ibnu Hajar, dan Nihayat al-Muhtaj karya ar-Ramli. Metode istimbatnya menganut pola bermazhab qauli dan manhaji ala Syafi’i.

Ar-Raniry berusaha menjadikan fiqh sebagai sarana social engineering. Contoh ketetapan hukum dalam kitabnya adalah: tidak sah salat seseorang yang bermakmum kepada kaum panteisme, penyembelihan hewan kaum wujudiyah juga tidak sah, nilainya sama dengan sembelihan orang musyrik. Dalam banyak hal fatwa Ar-Raniry terkesan provokatif, sehingga mengundang reaksi keras dari masyarakat Aceh sendiri. Karel Steenbrink menilai ar-Raniry sebagai tokoh yang keras dan kasar.[11]

Kitab lain adalah Mir’at at-Tullab fi Tasyi’ al-Ma’rifah al-Ahkam as-Syar’iyah li al-Malik al-Wahhab karya Abdur Rauf as-Sinkili (1024-1105 H). Kitab ini ditulis atas permintaan Sultan Aceh, yaitu Sayyidat ad-Din.[12] Pemikiran Hukum as-Sinkili lebih fleksibel dan akomodatif. Hal ini berbeda dengan pemikiran ar-Raniry. Kitabnya menjangkau pembahasan yang lebih luas, yaitu seluruh ajaran fiqh. Dalam bidang muamalah bahasannya melipitu: jual beli, riba, khiyar, syirkah, qirad, sulh, hiwalah, wakalah, dan iqrar.[13]

Muhammad Arsyad al-Banjari (1710-1812 M) menulis kitab Sabil al-Muhtadin li at-Tafaqquh fi Amr ad-Din. Kitab ini ditulis pada tahun 1193 H/1779 M sampai 1195H/1781 M. Tahun ini bertepatan dengan pemerintahan Tahmidullah bin Sultan Tamjidullah dari Kesultanan Banjar. Corak pemikiran hukumnya adalah syafi’iyah. Hal ini terlihat dari rujukan yang digunakan dalam menyusun kitabnya, yaitu Syarh Minhaj karya Zakariya al-Ansari dan Tuhfah karya Ibnu Hajar al-Haitami.

Karya ini merupakan anotasi (syarah) dari Kitab Siratal Mustaqimnya ar-Raniry. Meskipun kitab syarah, tetapi banyak perbedaan di dalamnya. Disamping itu juga terdapat beberapa pemikiran yang futuristik, spekulatif, dan dalam beberapa hal tidak berangkat dari realitas masyarakat Banjar.[14] Pemikiran fiqhnya berupaya menyantuni aspek lokal, seperti ketika dia mensahkan pembagia waris berdasarkan adat perpantangan. Dalam tradisi ini harta waris terlebih dahulu dibagi dua antara suami istri, setelah itu barulah hasil parohan itu dibagi kepada ahli waris. Hal ini merupakan pengembangan dari konsep fiqh klasik, bahkan keluar dari diktum tektual al-Qur’an.[15]

Ulama lain yang menulis kitab fiqh akulturatif adalah Abdul Malik bin Abdullah Trengganu (1138-1146 H/1725-1733 M). Kitab-kitab yang disusun adalah Risalah an-Naql, Risalat Kaifiyat an-Niyat, dan al-Kifayat. Ahmad Rifai Kalisasak (1786-1876 M) menulis kitab Tarjuman, Tasyrihat al-Muhtaj, Nazham at-Tasfiyah, Abyan al-hawaij, dan Tabyin al-Islah. Nawawi al-Bantani (1230-1316 H/1813-1898 M) menyusun Kitab ‘Uqud al-Lujain, yang menjadi bacaan wajib di berbagai Pesantren Jawa. Karya lain adalah kitab Syarah atau komentar, yaitu: Syarah Fath al-Qarib karya Qasim al-Ghazi, Nihayat az-Zein syarah Kitab Qurrat al-‘Ain karya al-Malibari, Safinat an-Najah syarah kitab Safinah as-Salat karya Abdullah Umar al-Hadrami, dan Kasifatus Saja’ syarah kitab Safinatun Najah karya Salim bin Abdullah bin Samir.

Kitab-kitab fiqh tersebut ada yang dijadikan sebagai undang-undang kerajaan dan ada pula yang ditulis untuk konsumsi masyarakat umum. Kitab Siratal Mustaqim dijadikan sebagai qanun resmi Kerajaan Samudera Pasai di Aceh, sedangkan Kitab Sabilal Muhtadin menjadi pegangan remi Kerajaan Banjar di Kalimantan. Kitab-kitab fiqh selainnya disusun oleh penulisnya sebagai jawaban bagi kebutuhan hukum di kalangan masyarakat. Kitab-kitab ini diajarkan di pesantren-pesantren maupun dalam pengajian-pengajian umum.


2.      Fase Represi dan Eliminasi (Abad XVIII-pertengahan Abad XX)
Fase ini berlangsung sejak Belanda secara de facto menancapkan kolonialismenya di Indonesia, yaitu sekitar abad ke XIX M hingga pertengahan abad XX, yaitu ketika Indonesia memperoleh kemerdekaannya. Dengan demikian tidak seluruh masa kolonialisasi mengakibatkan dampak negatif terhadap hukum Islam. Pada awal kedatangan bangsa-bangsa Eropa di Indonesia, yaitu abad ke 17, mereka berkepentingan mengembangkan usaha perdagangan, terutama rempah-rempah. Dari niat berdagang ini lambat laun muncul keinginan untuk menguasai wilayah yang menjadi pusat rempah-rempah.  Hingga pertengahan abad ke 20 bangsa-bangsa asing yang berkepentingan menguasai nusantara adalah Portugis, Belanda, Inggris dan terakhir Jepang. Dari keempatnya, Belanda yang paling lama dan memberikan pengaruh yang cukup besar dalam berbagai sistem kehidupan masyarakat, termasuk sistem hukum.

Sejarah perkembangan hukum Islam pada masa kolonial dapat dibagi dalam dua periode, yaitu periode receptio in complexu dan periode receptie. Periode pertama diimplementasikan pada fase pertama pemerintahan Belanda, yaitu awal abad ke-17 hingga akhir abad 18. Periode ini disebut juga dengan pemberlakuan hukum Islam sepenuhnya bagi orang Islam. VOC tidak turut campur dengan institusi hukum Islam. Hukum keluarga Islam, terutama yang menyangkut perkawinan dan kewarisan diaplikasikan sepenuhnya.[16]

Belanda tidak ikut campur dalam urusan hukum Islam. Bahkan pada tanggal 25 Mei 1670 Belanda memberikan pengakuan atas kedudukan hukum Islam sebagai hukum yang berlaku. Melalui Kantor Dagang Belanda VOC dikeluarkanlah Resolute de Indeshe Regeering yang berisi pemberlakuan hukum waris dan hukum perkawinan Islam pada pengadilan VOC bagi orang Indonesia. Resolusi ini dikenal dengan nama Copendium Freijer, yang merupakan legislasi hukum Islam pertama di Indonesia.[17]

Legislasi lainnya adalah diterbitkannya Compendium der Voornaamste Javaansche Wetten nauwkeurig getrokken uit het Mohammedaansche Wetboek Mogharraer. Peraturan ini merupakan koleksi hukum Jawa primer yang diambil dari kitab Al Muharrar dan diberlakukan untuk Landraad (pengadilan umum) di Semarang pada tahun 1750.[18] Di Karisedenan Cirebon disusun Pepakem Cirebon, yang dibuat atas usul residen Cirebon, Mr. P.C. Hosselaar (1757-1765).[19] Aturan ini merupakan kompilasi kitab hukum Jawa Kuno, seperti: Kitab Hukum Jawa Niscaya, Undang-Undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa, dan Adilulah.[20] Aturan ini dipakai oleh enam menteri  pelaksana kekuasaan peradilan yang mewakili tiga sultan Cirebon (Sultan Sepuh, Sultan Anom, dan Panembahan Cirebon), sebagai pedoman dalam memutuskan perkara perdata dan pidana di wilayah Kesultanan Cirebon. Pepakem ini kemudian diadopsi oleh Sultan Bone dan Goa untuk dijadikan undang-undang dan diberi nama Compendium Indianche Wetten bij de Hoven van Bone en Goa.

Kebijakan adopsi terhadap hukum Islam berlangsung hingga masa pemerintahan Gubernur Jendral Daendels (1808-1811). Hal ini tidak terlepas dari peran para ahli hukum Belanda, khususnya yang menulis tentang Islam di Indonesia. Diantaranya adalah J.E.W. van Nes (1850) yang menerbitkan buku Boedelsscheidingen of Java volgens de kitab Saphi’i. A. Meurenge juga mengeluarkan saduran Hanboek van het Mohammedansche Recht pada tahun 1844. Ahli hukum yang paling berjasa dalam hal ini adalah Lodewijk Willem Christian van den Berg (1845-1927) dengan teorinya yang bernama receptio in complexu. Dia juga mengkonsepkan Statsblaad 1882 No.152 yang berisi ketentuan bahwa yang berlaku bagi rakyat jajahan yang beragama Islam adalah hukum Islam.[21]
Peraturan lain yang menguatkan berlakunya hukum Islam sepenuhnya bagi umat Islam adalah Reglement of het Beleid der Regering ven Nederlandsch Indie atau disingkat regeringsreglement (RR). Peraturan ini dikeluarkan tanggal 2 September 1854 dan termuat dalam Stbl. 1854/2. RR ini berisi tentang peraturan tata pemerintahan daerah jajahan. Dalam Stbl. 1885 No.2 terutama pasal 75 yang menegaskan bahwa bagi hakim Indonesia hendaklah memberlakukan hukum agama dan kebiasaan penduduk Indonesia.[22]

Periode kedua ditandai dengan munculnya kebijakan yang sifatnya intervensionis terhadap hukum Islam dan hukum adat. Masa inilah terjadi represi dan eliminasi terhadap pemberlakuan hukum Islam. Periode ini dimulai ketika terjadi transfer kekuasaan dari VOC kepada pemerintah kerajaan Belanda. Pemerintah Belanda melakukan represi terhadap hukum Islam dengan mengkonfrontasikannya dengan hukum adat, yakni hukum asli penduduk Indonesia sebelum kedatangan Islam. Kebijakan-kebijakan hukum pemerintah Belanda ditujukan untuk meminimalisir dan mengeliminir peran hukum Islam. Pada masa ini muncul peraturan-peraturan (staatsblad) yang mensubordinasikan hukum Islam di bawah hukum adat.

Upaya pertama Belanda untuk mengurangi fungsi dan peran sistem hukum Islam adalah dengan memperlemah institusi peradilannya. Pada tahun 1824 fungsi penghulu sebagai penasehat hukum Islam dihapus. Hal ini kemudian dipertegas dengan keluarnya Stbl 1835 No. 56 yang menentukan kompetensi penghulu. Perselisihan tentang perkawinan, kewarisan yang terjadi diantara orang-orang Islam di Jawa dan Madura harus diselesaikan oleh penghulu. Sementara kasus-kasus yang berhubungan dengan masalah pembayaran (uang) menjadi wewenang pengadilan umum.

Pada tanggal 24 Januari 1882 Belanda mengeluarkan Stbl 1882 No.152 tentang berdirinya peradilan agama di Jawa dan Madura (Bepaling Betreffende de Priesterraden op Java en Madoera).[23] Pembentukan priesterrad ini berdasarkan Koninkelijk Besluit (Keputusan Raja Belanda) No. 19 tahun 1882.[24] Pengadilan ini dipimpin oleh seorang penghulu dan dibantu para ulama sebagai anggotanya. Kompetensinya meliputi segala jenis perkara yang terjadi diantara orang Islam Indonesia.

Berdirinya lembaga ini menunjukkan adanya pengakuan yuridis pemerintah Belanda terhadap keberadaan hukum Islam. Namun di sisi lain mengindikasikan bahwa pemerintah kolonial ingin menguasai kontrol administrasi hukum Islam. Nama priesterrad yang berarti pengadilan pendeta, menunjukkan bahwa Belanda tidak memahami tradisi hukum Islam.  Pada awalnya lembaga ini dipahami sebagai suatu bentuk formalisasi dari adanya institusi Islam, namun secara langsung justru bertentangan dengan praktek Islam yang memberi penghulu jurisdiksi tunggal dalam perkara-perkara perkawinan, perceraian dan kewarisan.[25]

Akibat dari pelembagaan peradilan Islam adalah bahwa setiap keputusan priesterrad harus diratifikasikan kepada pengadilan umum sebelum diimplementasikan. Hal ini jelas merugikan penghulu, karena pada kenyataannya nasehat-nasehat dari penghulu sering dikesampingkan oleh pengadilan umum. Akibatnya terjadi ketegangan antara umat Islam dengan pemerintahan kolonial. Menyadari situasi ini pada tahun 1889 dibentuk Kantor Urusan Pribumi (Kantoor voor Inlandsche Zaken). Lembaga ini diharapkan mampu meningkatkan saling pengertian antara penjajah dengan masyarakat negeri jajahan.

Direktur pertama dari kantor ini adalah Dr. Christian Snouck Hurgronje (1867-1936). Inilah titik awal di mana studi ilmiah terhadap Islam di Hindia Belanda mulai semarak. Tugas dari lembaga ini adalah memberikan advis kepada pemerintah Belanda dalam merumuskan kebijakan terhadap umat Islam. Berdasarkan penelitiannya Snouck menemukan metode yang menjadi dasar kebijakan pemerintah yaitu toleransi dalam kehidupan agama dan kehati-hatian dalam menghadapi perluasan kontrol politik Islam.[26] Nasehat-nasehat Snouck menghasilkan beberapa peraturan. Diantaranya peraturan tentang administrasi peradilan Islam diratifikasikan menjadi undang-undang pada periode antara tahun 1929 dan 1938. Namun pengundangan peraturan ini sebenarnya justru mengurangi jurisdiksi pengadilan agama.

Menurut Snouck, hukum Islam baru berlaku bila diterima atau dikehendaki oleh hukum adat. Pendapat ini kemudian diberi dasar hukum dalam undang-undang dasar Hindia Belanda yang disebut Wet op de Staatsinrichting van Nederlands Indie, disingkat Indische Staatsregeling (IS). IS merupakan pengganti regeringsreglement (RR) dan berisi peraturan ketatanegaraan Indonesia. Peraturan ini dikeluarkan tanggal 23 Juni 1925 dan termuat dalam Stbl. 1925/415 dan mulai berlaku tanggal 1 Januari 1926.[27] Dalam Stbl. No.212 tahun 1929, hukum Islam dicabut dari lingkungan tata hukum Hindia Belanda. Pasal 134 ayat (2) IS disebutkan, “dalam hal terjadi perkara perdata antara sesama orang Islam akan diselesaikan oleh hakim agama Islam apabila hukum adat mereka menghendakinya dan sejauh itu tidak ditentukan lain dengan suatu ordonansi”.[28]

Upaya mengontrol operasionalisasi hukum Islam juga dilakukan Belanda. Pada tahun 1929 muncul undang-undang perkawinan yang menempatkan penghulu sebagai pemerintah yang berada di bawah kontrol bupati. Dengan keadaan seperti ini memudahkan Belanda untuk menguasai dan mengintervensi pelaksanaan hukum Islam.

Pada tahun 1931 keluar Stbl No. 53 tahun 1931 yang berisi tiga hal, yaitu: (1) priesterrad akan dihapuskan dan diganti dengan pengadilan penghulu, di mana seorang hakim tunggal memecahkan kasus-kasus dalam masalah hukum Islam, (2) penghulu berstatus sebagai abdi pemerintah dan mendapatkan gaji tetap, (3) pengadilan banding akan dibentuk untuk mereview keputusan-keputusan dari pengadilan penghulu. Namun peraturan ini tidak pernah dilaksanakan karena Belanda mengalami kesulitan keuangan. Untuk mengobati kekecewaan umat Islam, pada tahun 1937 dikeluarkan Stbl. No. 610 tentang pembentukan Hof voor Islamietische Zaken atau Mahkamah Islam Tinggi untuk menerima perkara banding.

Pengebirian terhadap kewenangan lembaga peradilan Islam  diupayakan pemerintah Belanda dengan mengkonfrontasikannya dengan hukum adat. Melalui Stbl. No. 116 tahun 1937, yang merupakan pelaksanaan pasal 134 ayat (2) IS, pemerintah memindahkan penyelesaian masalah kewarisan dari peradilan Islam ke peradilan umum (landraad), di mana perkara tersebut diselesaikan dengan hukum adat.[29] Alasannya hukum Islam belum sepenuhnya diterima oleh hukum adat. Di sini terjadi perebutan supremasi hukum antara hukum adat yang diunggulkan Belanda dengan hukum Islam.

Reaksi pihak Islam terhadap campur tangan Belanda dalam masalah hukum Islam banyak ditulis dalam buku dan surat kabar waktu itu.[30] Jelas bahwa politik hukum yang menjauhkan umat Islam dari ketentuan-ketentuan agamanya adalah taktik Belanda untuk meneguhkan kekuasaannya di Indonesia. Tahun 1937 Belanda juga mengeluarkan ordonansi mengenai catatan perkawinan yang mengusulkan tentang penghapusan poligami. Tetapi peraturan ini ditarik kembali karena mendapat perlawanan yang besar dari umat Islam.

Di luar Jawa lembaga peradilan agama juga dibentuk oleh Belanda. Stbl. No. 638 tahun 1937 menyebutkan pendirian Pengadilan Kadhi untuk tingkat pertama di wilayah bagian selatan dan timur pulau Kalimantan. Di susul kemudian terbitnya Stbl. No 639 tentang pembentukan Kerapatan Kadhi Besar yang merupakan pengadilan tingkat banding di Kalimantan Selatan. Di wilayah lain, umat Islam mendirikan peradilan agama sendiri, seperti di Palembang dan Jambi untuk Sumatera, dan juga kota-kota pesisir di kepulauan Kalimantan dan Ternate.[31]

Meskipun pengadilan Islam banyak didirikan, kekuatan judisialnya sangat dibatasi. Institusi ini hanya mengurus permasalahan yang berhubungan dengan perkawinan, kewarisan, dan hal-hal yang menyangkut wasiat saja. Hal inipun masih harus diresipir dengan hukum adat. Inilah wujud dari adatrecht politiek Belanda, sehingga apapun dilakukan untuk menguatkan posisi hukum adat dan melemahkan kedudukan hukum Islam.

Pada masa Jepang tidak ada perubahan substantif terhadap peradilan Islam dan hukum Islam. Jepang hanya mengubah nama lembaga peradilan Islam dari priesterrad menjadi Sooryoo Hooin dan pengadilan Banding dari Hof voor Islamietsche Zaken menjadi Kaikyoo Kootoo Hooin.[32] Di Jawa dan Madura, lembaga ini menjalankan tugas menangani kasus-kasus perkawinan, dan kadang memberi nasehat dalam bidang kewarisan.


3.      Fase Formatisasi (1945 – 1998)
Berakhirnya kolonialisme di Indonesia sekaligus juga mengakhiri fase represi dan eliminasi terhadap pemberlakuan hukum Islam. Kedudukan hukum Islam pada masa kemerdekaan mengalami kemajuan yang berarti. Namun hal itu tidak berarti bahwa hukum Islam kembali pada kondisi reception in complexu. Lamanya Belanda menjajah mengakibatkan perubahan struktur politik dan sosial bangsa Indonesia. Meskipun mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim, tetapi bukan hal yang mudah untuk memberlakukan hukum Islam di Indonesia. Pelan tapi pasti, terjadi upaya formatisasi terhadap hukum Islam, sebagai konsekuensi dipilihnya Pancasila sebagai ideologi negara.

Sejak masa menjelang kemerdekaan keinginan kaum nasionalis Islam untuk memberlakukan hukum Islam begitu kuat. Meskipun untuk tujuan itu mereka harus berhadapan dengan kaum nasionalis sekuler. Hal ini terlihat dalam perdebatan di sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) maupun sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Perdebatan tersebut terjadi ketika para foundingfathers berusaha merumuskan dasar negara Indonesia.

Pada fase ini hukum Islam mengalami dua periode, yaitu periode persuasive-sources dan authoritative source. Periode persuasive adalah periode penerimaan hukum Islam sebagai sumber persuasive, yaitu sumber yang terhadapnya orang harus yakin dan menerimanya.[33] Masa ini berlangsung selama empat belas tahun, yakni sejak diterimanya Piagam Jakarta sebagai salah satu hasil sidang BPUPKI hingga keluarnya dekrit presiden Republik Indonesia tanggal 5 Juli 1959. Semua hasil sidang BPUPKI adalah sumber persuasive bagi grondwetinterpretatie UUD 1945, sehingga Piagam Jakarta juga merupakan persuasive-source UUD 1945. Meskipun dalam UUD 1945 tidak dimuat tujuh kata Piagam Jakarta,[34] namun hukum Islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam berdasarkan pasal 29 ayat (1) dan (2).[35] Berdasarkan pasal ini pula, maka dibentuklah departemen agama pada tanggal 3 Januari 1946.[36]

Periode kedua, authoritative source dimulai ketika Piagam Jakarta ditempatkan dalam Dekrit Presiden RI tanggal 5 Julu 1959. Dalam konsiderans Dekrit Presiden disebutkan: “Bahwa kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai UUD 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dalam konstitusi tersebut”. Dekrit Presiden selain menetapkan Piagam Jakarta di dalam konsiderans, juga menetapkan dictum tentang berlakunya kembali UUD 1945. Dengan demikian dasar hukum Piagam Jakarta dan UUD 1945 ditetapkan dalam satu peraturan perundangan yaitu Dekrit Presiden. Menurut hukum tata negara Indonesia, keduanya memiliki kedudukan hukum yang sama.[37] Hal ini berarti Piagam Jakarta, termasuk ketujuh katanya, menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dalam UUD 1945.

Ketentuan di atas kemudian diwujudkan dalam politik hukum sebagaimana dirumuskan dalam Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960. Ketetapan itu berbunyi bahwa penyempurnaan hukum perkawinan dan hukum waris hendaknya juga memperhatikan faktor-faktor agama. Namun hingga tahun 1968, batas waktu berlakunya Ketetapan MPRS No. II/MPRS/1960, tidak satupun muncul undang-undang dalam bidang hukum perkawinan dan kewarisan.

Memasuki masa orde baru, pembangunan nasional dalam berbagai bidang terus diupayakan, termasuk dalam bidang hukum. Dalam rumusan Garis-Garis Besar Haluan Negara[38] yang merupakan haluan pembanguan nasional menghendaki terciptanya hukum baru Indonesia. Hukum tersebut harus sesuai dengan cita-cita hukum Pancasila dan UUD 1945 serta mengabdi kepada kepentingan nasional. Hukum baru Indonesia harus memuat ketentuan-ketentuan hukum yang menampung dan memasukkan hukum agama (termasuk hukum Islam) sebagi umsur utamanya. Inilah dasar yuridis bagi upaya formatisasi hukum Islam dalam hukum nasional.  

Formatisasi hukum Islam dilakukan dengan upaya mentransformasikan hukum Islam ke dalam aturan perudangan. Dalam peraturan perundang-undangan kedudukan hukum Islam semakin jelas. Dari sinilah kemudian muncul legislasi hukum Islam yang bersifat nasional, yaitu UU No.1/1974 tentang Perkawinan dan Peraturan pemerintah No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik. Undang-undang ini berlaku efektif mulai tanggal 1 Oktober 1975. Sebagai produk politik, undang-undang perkawinan ini merupakan kompromi berbagai kekuatan politik dengan aspirasi hukumnya masing-masing. Pasal 2 ayat (2) UU no.1/1974 menetapkan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing.  Dengan ketentuan ini berarti terjadi perubahan hukum dari yang rasial etnis (pada masa kolonial) kepada hukum yang berdasar keyakinan agama.

Institusi peradilan Islam juga menempati posisi yang kuat berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dalam pasal 10 ayat (1) ditetapkan bahwa kekuasaan kehakiman di Indonesia dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara. Jenis peradilan tersebut meliputi peradilan tingkat pertama dan tingkat banding.
Penjelasan pasal 10 UU No. 14 tahun 1970 menetapkan bahwa peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara merupakan peradilan khusus. Kompetensinya menangani perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan-golongan tertentu. Dengan demikian peradilan agama merupakan peradilan negara, yaitu peradilan resmi yang dibentuk oleh pemerintah dan berlaku khusus untuk umat Islam.[39]

Keberadaan Peradilan Agama semakin jelas dengan ditetapkannya Undang-Undang No.7 tahun 1989 tentang kekuasaan Peradilan Agama. Kompetensi Peradilan Agama memiliki dua ukuran, yaitu asas personalitas dan bidang hukum perkara tertentu.[40] Dalam Bab III pasal 49-53 kewenangan Peradilan Agama meliputi bidang-bidang hukum perdata antara lain: perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, serta wakaf dan sadakah. Dari bidang-bidang tersebut dapat dikatakan bahwa jurisdiksi Peradilan Agama adalah bidang hukum keluarga (ahwal al-syakhsiyah).

Berdasarkan kompetensinya, maka diperlukan hukum materiil sebagai pedoman bagi para hakim Peradilan Agama dalam menjalankan tugasnya. Dalam menangani perkara, hakim Peradilan Agama menggunakan kitab fikih klasik sebagai dasar putusannya.[41] Kitab fikih yang digunakan antara satu peradilan agama dengan peradilan agama yang lain tidak sama. Hal ini mengakibatkan adanya putusan yang berbeda dalam masalah yang sama. Kondisi ini memunculkan pemikiran untuk menyusun kodifikasi hukum Islam sebagai panduan dalam menangani perkara.

Berdasarkan pertimbangan di atas, dikeluarkanlah putusan bersama Ketua Mahkamah Agung dan Menteri Agama tanggal 21 Maret 1985 No.07/KMA/1985 dan No.25 tahun 1985 tentang Penunjukan Pelaksanaan Pengembangan Hukum Islam. Proyek ini dikenal dengan Kompilasi hukum Islam di Indonesia. Pelaksanaannya dilakukan melalui empat jalur, yaitu jalur kitab fikih, wawancara, jurisprudensi dan studi komparatif ke negara-negara yang penduduknya mayoritas Islam. Hal ini dimaksudkan untuk mengkaji kitab-kitab fikih yang digunakan sebagai dasar putusan hakim dan menyesuaikannya dengan perkembangan masyarakat Indonesia menuju hukum nasional.  Setelah draft disetujui, maka dikeluarkanlah Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991 tanggal 10 Juni 1991 sebagai dasar penyebarluasannya. Inpres ini kemudian ditindak lanjuti dengan Keputusan Menteri Agama nomor 154 tahun 1991 tanggal 22 Juli 1991. Format KHI teragi ke dalam tiga buku. Buku satu berisi tentang hukum perkawinan, buku dua tentang hukum kewarisan, dan buku tiga tentang hukum perwakafan.

Keinginan umat Islam untuk memberlakukan hukum Islam semakin menguat dan melebar ke berbagai bidang. Dalam hal obat dan makanan diwajibkan memiliki sertifikat halal yang dikeluarkan oleh Lembaga Pengkajian Produk Obat dan Makanan (LPPOM) Majlis Ulama Indonesia. Di samping itu juga muncul aksi-aksi sosial untuk menegakkan hukum Islam, seperti pelarangan SDSB, kebebasan berjilbab di sekolah dan kantor dan lain-lain. Disamping itu muncul perundang-undangan yang mendukung terlaksananya hukum Islam, seperti UU No.17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji dan UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.

Berdasarkan deskripsi diatas, formatisasi hukum agama Islam dalam hukum nasional dapat berupa hukum umum yang berlaku nasional atau menjadi hukum khusus yang berlaku bagi umat Islam saja. Hukum Islam yang berlaku nasional tercermin dalam UU No. 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan, PP No. 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan, dan UU No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, di mana di dalamnya diakui keberadaan Bank Islam). Formatisasi yang berupa hukum khusus terlihat dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, UU No.17 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji, dan UU No. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat.


4.      Fase Aktualisasi (1998 – sekarang)
Ketika masa reformasi menggantikan orde baru (tahun 1998),  keinginan mempositifkan hukum Islam semakin kuat. Pada awalnya muncul pemikiran untuk menghidupkan lagi Piagam Jakarta. Hal ini didasarkan kenyataan bahwa umat Islam adalah mayoritas di Indonesia, sehingga wajar jika hukum agamanya diberlakukan. Kondisi ini terjadi terutama di daerah-daerah yang kuat Islamnya, seperti Nangroe Aceh Darussalam dan Makassar.

Perkembangan hukum Islam pada masa ini mengalami kemajuan. Secara riil hukum Islam mulai teraktualisasikan dalam kehidupan sosial. Wilayah cakupannya menjadi sangat luas, tidak hanya dalam masalah hukum privat atau perdata tetapi masuk dalam ranah hukum publik. Hal ini dipengaruhi oleh munculnya undang-undang tentang Otonomi daerah. Undang-undang otonomi daerah di Indonesia pada mulanya adalah UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah, yang kemudian diamandemen melalui UU No. 31 tahun 2004 tentang otonomi daerah. Menurut ketentuan Undang-undang ini setiap daerah memiliki kewenangan untuk mengatur wilayahnya sendiri termasuk dalam bidang hukum.

Akibatnya bagi perkembangan hukum Islam adalah banyak daerah menerapkan hukum Islam. Secara garis besar, pemberlakuan hukum Islam di berbagai wilayah Indonesia dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu penegakan sepenuhnya dan penegakan sebagian. Penegakan hukum Islam sepenuhya dapat dilihat di provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Provinsi ini memiliki otonomi khusus dalam menyusun dan memberlakukan hukum Islam di wilayahnya.[42] Penegakan model ini bersifat menyeluruh, karena bukan hanya menetapkan materi hukumnya, tetapi juga menstruktur lembaga penegak hukumnya. Daerah lain yang sedang mempersiapkan adalah Sulawesi Selatan (Makassar) yang sudah membentuk Komite Persiapan Penegakan Syari’at Islam (KPPSI), dan Kabupaten Garut yang membentuk Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI).[43]

Provinsi Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah terdepan dalam pelaksanaan hukum Islam di Indonesia. Dasar hukumnya adalah Undang-Undang nomor 44 tahun 1999 tentang Keistimewaan Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Keistimewaan tersebut meliputi empat hal, (1) penerapan syari’at Islam di seluruh aspek kehidupan beragama, (2) penggunaan kurikulum pendidikan berdasarkan syari’at Islam tanpa mengabaikan kurikulum umum, (3) pemasukan unsur adat dalam sistem pemerintahan desa, dan (4) pengakuan peran ulama dalam penetapan kebijakan daerah.[44]

Tindak lanjut dari undang-undang di atas adalah ditetapkannya Undang-undang Nomor 18/tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Nanggroe Aceh Darussalam. Pemerintah Aceh kemudian menindaklanjuti dengan membuat peraturan daerah guna merinci pelaksanaan dari undang-undang ini. Maka lahirlah empat perda, yaitu (1) Perda nomor 3 tahun 2000 tentang organisasi dan tata kerja Majelis Permusyawaratan Ulama, (2) Perda nomor 5 tahun 2000 tentang Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh, (3) Perda nomor 6 tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, dan (4) Perda nomor 7 tahun 2000 tentang penyelenggaraan kehidupan adat.

Fenomena pelaksanaan hukum Islam juga merambah daerah-daerah lain di Indonesia, meskipun polanya berbeda dengan Aceh. Berdasarkan prinsip otonomi daerah maka muncullah perda-perda bernuansa syari’at Islam di wilayah tingkat I maupun tingkat II. Daerah-daerah tersebut antara lain: Provinsi Sumatera Barat, Kota Solok, Padang Pariaman, Bengkulu, Riau, Pangkal Pinang, Banten, Tangerang, Cianjur, Gresik, Jember, Banjarmasin, Gorontalo, Bulukumba, dan masih banyak lagi. [45] Pada umumnya perda-perda syari’ah yang ditetapkan oleh pemda mengatur tiga aspek, yaitu: (1) menghapus kejahatan sosial seperti prostitusi dan perjudian, (2) menegakkan ibadah ritual di kalangan muslim, seperti membaca Al-Qur’an, salat jum’at, dan puasa Ramadan, dan (3) mengatur tata cara berpakaian muslim/muslimah, khususnya penggunaan jilbab dalam wilayah publik.[46].

Materi perda syari’at Islam tidak bersifat menyeluruh, tetapi hanya menyangkut masalah-masalah luar saja. Jika dikelompokkan berdasarkan aturan yang tercantum dalam perda-perda syari’at tersebut, maka isinya mencakup masalah: kesusilaan, pengelolaan Zakat, Infaq dan Sadaqah, penggunaan busana muslimah, pelarangan peredaran dan penjualan minuman keras, pelarangan pelacuran, dan sebagainya.

Fenomena munculnya perda-perda syari’at di satu sisi menunjukkan arah baru perkembangan hukum Islam di Indonesia. Namun di sisi lain banyak ekses yang ditimbulkan terkait dengan munculnya perda-perda ini. Menurut Muhyar Fanani, keberadaan perda-perda syari’at ini tidak akan berlangsung lama. Hal ini dikarenakan oleh tiga hal, Pertama, perda-perda tersebut tidak menyentuh langsung kebutuhan mendesak masyarakat seperti pemberantasan kemiskinan, penyediaan lapangan kerja, dan sebagainya. Kedua, perda-perda tersebut belum tampak efektif terutama menyangkut perilaku para pengelola pemerintahan. Ketiga, perda-perda tersebut tidak didukung oleh nalar publik. Aturan dalam perda lebih mengedepankan kulit dan tidak menyentuh substansi syari’at. Karena terjebak pada kulit sehingga menimbulkan polemik, termasuk di kalangan umat Islam sendiri.[47]

C.     Sustainsi dan Resistensi Pemberlakuan Hukum Islam di Indonesia
Membaca sejarah perkembangan hukum Islam di atas, memunculkan satu pertanyaan tentang bagaimana masa depan kedudukan dan keberlakuannya di Indonesia. Jawaban pertanyaan ini tentu tidak mudah, karena harus melihat berbagai faktor yang mendukung adanya penerimaan (sustainsi) dan juga faktor yang menghambat atau melakukan resistensi. Kedua faktor ini perlu dipertimbangkan mengingat dua hal, yaitu bentuk negara dan kemajemukan masyarakat Indonesia. Bentuk negara Indonesia sudah diangap final, dan pluralitas masyarakat juga sebuah kenyataan sosial. Dengan demikian yang dapat dilakukan adalah membaca berbagai peluang atau prospek sekaligus melihat penghambat bagi implementasi hukum Islam di Indonesia.
 Secara politis maupun sosiologis terdapat faktor-faktor yang dianggap sebagai peluang bagi pemberlakua hukum Islam di Indonesia. Faktor-faktor tersebut adalah: kedudukan hukum Islam, penganut yang mayoritas, ruang lingkup hukum Islam yang luas, serta dukungan aktif organisasi kemasyarakatan Islam. Kedudukan hukum Islam sejajar dengan sistem hukum yang lain, dalam arti mempunyai kesempatan yang sama dalam pembentukan hukum nasional. Namun, hukum Islam mempunyai prospek yang lebih cerah berdasarkan berbagai alasan, baik alasan historis, yuridis maupun sosiologis. Nilai-nilai hukum Islam mempunyai lingkup yang lebih luas, bahkan sebagian nilai-nilai tersebut sudah menjadi bagian dari kebudayaan nasional. Sedangkan hukum adalah bagian dari kebudayaan. Hukum merupakan penjelmaan dari struktur ruhaniyah suatu masyarakat atau sebagai penjelmaan dari nilai-nilai sosial budaya dari golongan yang membentuk hukum tersebut.[48]

Di sisi lain, kenyataan bahwa Islam merupakan agama dengan penganut mayoritas merupakan aset yang menjanjikan. Dengan modal mayoritas ini, umat Islam bisa masuk dalam berbagai lembaga pemerintahan, baik eksekutif, legislatif maupun yudikatif, yang mempunyai kewenangan menetapkan politik hukum. Logikanya semakin banyak populasi muslim, maka semakin banyak aspirasi yang masuk dan terwakili. Namun realitas ini tidak serta merta menjadi niscaya, karena sangat tergantung pada bagaimana keinginan dan upaya umat Islam mengimplementasikannya. Perdebatan pada saat menentukan bentuk negara dapat menjadi cermin bagaimana menyatukan umat Islam dalam visi dan misi yang sama tentang pemberlakuan hukum Islam di Indonesia.

Faktor pendukung lain terletak pada cakupan bidang hukum yang luas. Dengan keluasan bidangnya, hukum Islam merupakan alternatif utama dalam pembentukan tata hukum, karena mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan hukum masyarakat. Nilai, asas dan karakteristiknya dapat menjadi landasan dan sumber hukum. Pelaksanaannya dapat dilakukan dengan mengabil nilai-nilai Islam yang bersifat universal (sebagai norma abstrak) untuk dijadikan sebagai konsep teoritis untuk dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Penuangannya dapat melibatkan nilai-nilai budaya lokal yang telah berlaku dalam masyarakat, sehingga warna Indonesia sebagai identitas budaya tetap terwujud.[49]

Faktor keempat yang juga penting adalah peran aktif lembaga atau organisasi Islam. Secara struktural keberadaan organisasi-organisasi Islam dalam sistem politk Indonesia menjadi pengimbang bagi kebijakan pemerintah. Kontribusi nyata dari berbagai organisasi Islam setidaknya dapat menjadi daya tawar dalam pengambilan berbagai keputusan yang menyangkut kepentingan umum. Dengan daya tawarnya organisasi Islam dapat menyalurkan aspirasi anggotanya dan berpartisipasi aktif dalam pembangunan politik.

Keempat faktor di atas memberikan gambaran betapa hukum Islam memiliki peluang yang besar untuk menjadi hukum nasional. Namun semua itu tergntung bagaimana umat Islam mengelola potensi tersebut. Hal yang terpenting adalah menyatukan visi tentang Islam, terutama diantara kalangan yang disebut fundamentalis dengan meeka yang modernis atau liberalis. Tanpa kesatuan visi, maka cita-cita untuk mengimplementasikan hukum Islam hanya akan menjadi angan-angan, atau hanya tampil dalam wacana diskusi-diskusi di kalangan umat Islam.

Di samping peluang atau prospek positif di atas, perlu dicermati juga sejumlah hambatan yang menjadi penghalang bagi berlakunya hukum Islam di Indonesia. Secara sederhana faktor yang kurang mendukung prospek hukum Islam di Indonesia terdiri dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari kurang ‘kafahnya’ institusionalisasi dan pandangan dikotomis terhadap hukum Islam. Sedangkan faktor eksternalnya adalah pengaruh politik hukum pemerintah terhadap bidang-bidang hukum tertentu. 

Belum kaafaahnya pelembagaan hukum Islam di Indonesia terlihat dari pandangan dikhotomis dalam implementasinya. Hukum-hukum yang berhubungan dengan masalah perdata atau hubungan antar pribadi hampir sepenuhnya mendapatkan perhatian khusus. Namun hukum-hukum selainnya seperti hukum pidana dan ketatanegaraan belum tersentuh atau minim perhatian. Sehingga penetapan peraturan-peraturan atau hukum yang berkaitan dengan masalah tersebut belum ada campur tangan yang serius.[50] Hal ini tidak lepas dari peran kolonial Belanda yang melakukan represi dan eliminasi terhadap hukum Islam. Pada masa kerajaan Islam, hukum Islam berlaku sepenuhnya, dalam arti menjadi pegangan para hakim/qadhi untuk memutuskan semua jenis perkara, baik perdata maupun pidana. Intervensi penjajah dengan kekuatan politiknya menyebabkan terjadinya dikhotomis, di mana hukum pidana dan tata negara digantikan dengan sistem hukum Barat/Eropa.  

Pola dikhotomi hukum privat dan publik ini berlanjut setelah Indonesia merdeka. Pemerintah yang baru hanya memberikan kewenangan pemberlakuan hukum perdata Islam. Hukum publik tetap menjadi monopoli pemerintah, yang masih tetap memberlakukan hukum peninggalan Belanda. Pengadilan Agama, sebagai institusi resmi, hanya berwenang menangani perkara-perkara yang terjadi diantara orang-orang yang beragama Islam, dalam bidang perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah, wakaf serta sodaqoh yang dilaksanakan menurut hukum Islam.[51]

 Kurang melembaganya hukum publik Islam ini juga dipengaruhi oleh faktor politik hukum. Negara Indonesia bukanlah negara agama, permasalahan penetapan hukum adalah kekuasaan negara, termasuk masalah agama menjadi wewenang negara. Sehingga dalam hal ini umat Islam sepenuhnya tunduk kepada undang-undang yang diberlakukan oleh negara. Menyikapi hal ini perlu adanya penegasan kaidah agama dengan cara penegakan diri agar para penganutnya tidak melanggar ajaran agamanya. Pola penegakan hukum preventif dari kaidah agama tersebut sangat efektif dalam membantu menetapkan pola penegakan hukum negara secara prefentif-represif, agar masyarakat memahami dan mentaati kaidah hukum negara dan kaidah agama. Dengan demikian syariat Islam tidak hanya didakwahkan tetapi diaktualisasikan dan disosialisasikan guna membatasi kelemahan dan kekurangan hukum positif.


D.    Penutup
Perkembangan hukum Islam di Indonesia pada dasarnya ditentukan oleh dua hal, yaitu keinginan umat Islam sendiri serta kebijakan pemerintah yang berkuasa.  Ketika kedua hal tersebut bergayut, maka pemberlakuan hukum Islam menjadi mudah. Namun sebaliknya, jika kedua hal tersebut bertentangan orientasinya, maka pemerintah menjadi pihak yang menentukan kedudukan hukum Islam. Kondisi inilah yang mewarnai sejarah perkembangan hukum Islam di Indonesia sejak masa awal hingga masa kontemporer sekarang. Seberapa besar keinginan umat Islam dan seberapa kuat bargaining powernya menjadi faktor yang menentukan eksistensi hukum Islam.

DAFTAR PUSTAKA
Adurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Akademika Presindo, 1991
Ahmad Azhar Basyir, “Nilai-nilai Dasar Hukum Nasional”, dalam Artidjo Al-Kostar (ed), Identitas Hukum Nasional, Yogyakarta: FH UII, 1997
Amrullah Ahmad et.al., Dimensi Hukum Islam dalam Hukum Nasional, Jakarta: Gema Insani Pers, 1996
Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1985
Ario Sosroatmojo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang,  1988
Bolland, BJ., Pergumulan Islam di Indonesia, Jakarta: Graffiti Press, 1995.
C.S.T. Kansil, Pengantar Hukum Indonesia, Julid II, Jakarta: Balai Pustaka, 1993
Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia, Berkeley: University of California Press, 1972
Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia, Jakarta: Rajawali, 1983
Dewi Candraningrum, “Unquestioned Gender Lens in Contemporary Indonesian Shari’ah-Ordinances (Perda Syari’ah)”, dalam Al-Jami’ah, Journal of Islamic Studies, vol. 45, no. 2, 2007 M/1428 H, hlm. 294
Eddi Rudiana Arief dkk., Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994
Faozi Barkah, “Implementasi Penegakan Syari’at Islam di Garut, Studi Atas Gerakan Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI)”, dalam Jurnal Penelitian Agama, vol. XV, No. 2 Mei-Agustus 2006
Harry J. Benda, The Crescent and The Rising Sun, The Hague and Bandung: W. Van Hoeve Ltd., 1958
H.J. de Graaf/Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Jakarta: Grafiti Press, 1986
Muhyar Fanani, Membumikan Hukum Langit, Nasionalisasi Hukum Islam dan Islamisasi Hukum Nasional, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009.
Nur A. fadhil Lubis, Hukum Islam dalam Kerangka Teori Fikih dan Tata Hukum Indonesia, Medan: Pustaka Widyasarana, 1995
Nurcholis Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1995.
Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Seri  XXXV, Jakarta: INIS, 1998
Riswinarno, “Pengadilan dan Peradilan di Kasultanan Yogyakarta”, dalam jurnal Thaqafiyyat, Vol.5, No.1 Januari-Juni 2004
Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, Jakarta: Rajawali Pers, 1991
Supriatna, dkk., Perkembangan Berlakunya Hukum Islam di Yogyakarta, Yogyakarta: Balai Penelitian P3M IAIN Sunan Kalijaga, 1991
Soepomo dan Djokosutono, Sejarah Politik Hukum Adat, 1609-1848, Jakarta: Djambatan, 1955
Soepomo, Sistim Hukum Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke-II, Jakarta: Pradnja Paramita, 1972
Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat, Jakarta: Rajawali, 1987.
Taufiq Abdullah (ed), Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda, Jakarta: Gema Insani Press, 2003.
Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, Jakarta: Gema Insani Pers, 1996
Zulfran Sabrie (ed), Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila, Jakarta: Pustaka Antara, 1992
Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Pengadilan Agama di Indonesia, Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983
Kompas, 12 April 2007.

Footnote
[1] Kristeningspolitiek merupakan sebutan dari kalangan umat Islam Indonesia tentang kebijaksanaan pemerintah Belanda yang menunjang usaha kristenisasi. Lihat Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 23

[2] Taufik Abdullah, “Adat dan Islam: Suatu Tinjauan tentang Konflik di Minangkabau”, dalam Taufiq Abdullah (ed), Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di Indonesia (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hl. 104-127.

[3] Diantara naskah tersebut adalah: Buku Peringatan 1000 hari Wafatnya Kanjeng Pengulu Tapsir Anom V, Pengulu Ageng Kerajaan Surakarta Hadiningrat. Lihat Zaini Ahmad Noeh, “Kepustakaan Jawa sebagai Sumber Sejarah Perkembangan Hukum Islam”, dalam Amrullah Ahmad et.al., Dimensi Hukum Islam dalam Hukum Nasional (Jakarta: Gema Insani Pers, 1996), hlm. 69
[4] Ibid., hlm. 70.
[5] Ichtianto, “Pengembangan Teori Berlakunya Hukum Islam di Indonesia” dalam Eddi Rudiana Arief dkk., Hukum Islam di Indonesia, Perkembangan dan Pembentukan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 118

[6] H.J. de Graaf/Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa (Jakarta: Grafiti Press, 1986), hlm.94

[7] Riswinarno, “Pengadilan dan Peradilan di Kasultanan Yogyakarta”, dalam jurnal Thaqafiyyat, Vol.5, No.1 Januari-Juni 2004, hlm. 45

[8] Dalam beberapa manuskrip kitab ini disebut juga Serat Angger-Angger. Isinya adalah kumpulan sumber hukum yang dipakai sebagi pedoman dalam menjalankan roda peradilan tradisional di Kasultanan Yogyakarta. Kitab ini terdiri dari enam bagian yaitu: Angger Arubiru, Angger Sadasa, AnggerRedi atau Gunung, Angger Nawala Pradata Dalem, Angger Pradata Akhir, dan Angger Ageng. Selengkapnya lihat Ibid., hlm. 38-41

[9] Supriatna, dkk., Perkembangan Berlakunya Hukum Islam di Yogyakarta (Yogyakarta: Balai Penelitian P3M IAIN Sunan Kalijaga, 1991), hlm. 75-76

[10] Riswinarno, Pengadilan dan Peradilan…, hlm. 47

[11] Karel Stenbrink, Kitab Suci atau Kertas Toilet?
Nuruddin Ar-Raniry dan Agama Kristen (Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press, 1988), hlm. 5.

[12] A Hasjmi, 50 Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 109.

[13] Abdul Rahman Haji Abdullah, Pemikiran Umat Islam di Nusantara, Sejarah dan Perkembangannya Hingga Abd ke-19 (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 1990), hlm. 127.

[14] Karel Stenbrink, Beberapa Aspek Islam Indonesia Abad ke -19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1983), hlm. 100.

[15] Abdurrahman Wahid, “Pengembangan Fiqh yang Kontekstual”, dalam Pesantren, No. 2/Vol. II/ Tahun 1985, hlm. 4.

[16] Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam dan Adat di Indonesia, Seri  XXXV, (Jakarta: INIS, 1998), hlm. 30

[17] Idris Ramulyo, Azas-azas Hukum Islam: Sejarah Timbul dan Berkembangnya (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1993), hlm. 145-146.

[18] Supomo dan Djokosutono, Sejarah Politik Hukum Adat, 1609-1848 (Jakarta: Djambatan, 1955), hlm. 30

[19] Ichtianto, Pengembangan Teori…,hlm. 119

[20] Cik Hasan Basri, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hlm. 108.

[21] Karya van den Berg dalam bidang hukum Islam antara lain Mohammedaansch Recht, yang berisi tentang asas-asas hukum Islam menurut ajaran Syafi’i dan Hanafi (1882), dan tentang hukum famili dan hukum waris Islam di Jawa dan Madura (1892). Dia juga menerjemahkan kitab Fathu al-Qarib dan Minhaaj at-Thalibin ke dalam bahasa Perancis. Lihat dalam Ichtianto, Pengembangan Teori…, hlm. 121

[22] Ismail Sunny, “Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia” dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam…, hlm. 131

[23] Deliar Noer, Administrasi Islam di Indonesia (Jakarta: Rajawali, 1983), hlm. 84

[24] A. Wasit Aulawi, “Sejarah Perkembangan Hukum Islam”, dalam Amrullah Ahmad, Dimensi Hukum Islam…, hlm. 55

[25] Daniel S. Lev, Islamic Courts in Indonesia (Berkeley: University of California Press, 1972), hlm. 18-19

[26] Harry J. Benda, The Crescent and The Rising Sun (The Hague and Bandung: W. Van Hoeve Ltd., 1958), hlm. 20-26

[27] C.S.T. Kansil, Pengantar Hukum Indonesia, Julid II (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), hlm.6

[28] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam…, hlm. 132

[29] R. Soepomo, Sistim Hukum Indonesia Sebelum Perang Dunia Ke-II (Jakarta: Pradnja Paramita, 1972), hlm. 85

[30] Aqib Suminto, Politik Islam…, hlm30-31

[31] Ratno Lukito, Pergumulan Antara Hukum Islam…, hlm. 37

[32] Zaini Ahmad Noeh dan Abdul Basit Adnan, Sejarah Singkat Pengadilan Agama di Indonesia (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1983), hlm. 44

[33] Ismail Sunny, Kedudukan Hukum Islam…, hlm. 133

[34] Tujuh kata tersebut berbunyi: Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

[35] Pasal 29 ayat (1) berbunyi: Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Ayat (2) berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

[36] Deliar Noer, Administrasi Islam…, hlm. 13-14

[37] Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia (Jakarta: Gema Insani Pers, 1996), hlm 27

[38] Berdasarkan Tap MPR No. II/MPR/1973, No. II/MPR/1978, No.IV/MPR/1982 dan No.II/MPR/1988.

[39] Yusril Ihza Mahendra, “Kedaulatan Negara dan Peradilan Agama”, dalam Zulfran Sabrie (ed), Peradilan Agama dalam Wadah Negara Pancasila (Jakarta: Pustaka Antara, 1992), hlm. 41

[40] Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Rajawali Pers, 1991), hlm. 25-27

[41] Diantara kitab-kitab fikih yang digunakan adalah: Kifayat al-Ahyar, Fathu al-Mu’in, Syarh al-Tahrir, Syarh Kanz al-Raghibin, Fathu al-Wahab, Tuhfat al-Muhtaj, Targhib al-Mustaq, Qawanin as-Syar’iyah, Al-Faraid, Bughyat al-Mustarsyidin, Kitab al-Fiqh Ala al-Mazahib al-Arba’ah, dan Mughni al-Muhtaj. Lihat dalam Nur A. Fadhil Lubis, Hukum Islam dalam Keranghka Teori Fikih dan Tata Hukum Indonesia (Medan: Pustaka Widyasarana, 1995), hlm. 135

[42] Dasar pelaksanaannya adalah UU No. 44 tahun 1999 tentang kewenangan Aceh memberlakukan syari’at Islam.

[43] Tentang LP3SyI baca Faozi Barkah, “Implementasi Penegakan Syari’at Islam di Garut, Studi Atas Gerakan Lembaga Pengkajian, Penegakan, dan Penerapan Syari’at Islam (LP3SyI”, dalam Jurnal Penelitian Agama, vol. xv, no. 2 Mei-Agustus 2006, hlm. 309

[44] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam: Penegakan Syari’at dalam Wacana dan Agenda (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), hlm. 109.

[45] Kompas, 12 April 2007.

[46] Lihat dalam Dewi Candraningrum, “Unquestioned Gender Lens in Contemporary Indonesian Shari’ah-Ordinances (Perda Syari’ah)”, dalam Al-Jami’ah, Journal of Islamic Studies, vol. 45, no. 2, 2007 M/1428 H, hlm. 294

[47] Fanani, Membumikan Hukum Langit, Nasionalisasi Hukum Islam dan Islamisasi Hukum Nasional (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2009), hlm. 167.

[48] Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah, Sosiologi Hukum Dalam Masyarakat (Jakarta: Rajawali, 1987) , hlm. 33

[49] Dalam hukum Islam dikenal kaidah al-adat al-muhakkamah, adat itu dihukumkan. Artinya adat atau kebiasaan masyarakat (budaya lokal) adalah sumber hukum dalam Islam. Hal ini menunjukkan kemungkinan akulturasi timbal balik antara Islam dan budaya lokal. Unsur budaya lokal yang bisa digunakan sebagai sumber hukum adalah tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Lihat Nurcholis Madjid, Islam Doktrin Dan Peradaban (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. 150.

[50] Pada masa-masa menjelang proklamasi kemerdekaan memang ada usaha untuk menjadikan hukum Islam sebagai ideologi atau dasar negara. Tetapi usaha ini gagal karena tidak didukung oleh golongan nasionalis yang anggotanya sebagian besar beragama Islam dan golongan non muslim. Kemudian muncul berbagai pemberontakan yang bertujuan mendirikan negara Islam seperti gerakan DI/TII. Namun usaha ini juga tidak berhasil. Setelah Indonesia merdeka belum ada perhatian yang khusus mengenai bidang hukum pidana dan ketatanegaraan. Hal ini disebabkan karena umat Islam sudah menerima konstitusi yang ada, di samping juga mulai mundur dari arena politik untuk lebih konsentrasi dibidang sosial budaya. Lihat BJ Bolland, Pergumulan Islam di Indonesia (Jakarta: Graffiti Press, 1995), hlm. 170-172.

[51] Mengenai kekuatan absolute PA selengkapnya terdapat pada pasal 49 dan 50 UU No.7/1989

[sumber;adia-adab.org]