Minggu, 18 September 2011

DIALEKTIKA HUKUM ISLAM DENGAN MODERNISASI
TERHADAP HUKUM ISLAM DI INDONESIA
By Moh. Subhan


Dialektika antara hukum dan masyarakat merupakan sebuah keniscahyaan, artinya bahwa hukum dipengaruhi oleh dinamika masyarakatnya dan sebaliknya hukum akan berpengaruh terhadap masyarakatnya. Dapat dikatakan pula bahwa perubahan hukum dapat mempengaruhi perubahan masyarakat, dan sebaliknya perubahan masyarakat dapat menyebabkan perubahan hukum. Bahkan ada adagium yang menyatakan bahwa الحكام وليدة الحاجة hukum lahir karena adanya tuntutan kebutuhan dalam masyarakat. Secara realitas diyakini bahwa dinamika masyarakat dapat berpengaruh terhadap konsepsi hukum, misalnya saja modernitas yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat ternyata telah mempengaruhi pandangan terhadap hukum Islam. Dengan perkataan lain bahwa modernitas telah membawa dampak terhadap berbagai aspek kehidupan manusia termasuk terhadap konsep hukum khususnya hukum Islam.[1]
Berawal dari kenyataan di atas maka tulisan ini akan memfokuskan kajiannya pada pengaruh modernitas terhadap hukum Islam di Indonesia. Tulisan ini akan berusaha mencari sejauhmana pengaruh modernitas terhadap hukum Islam tersebut. Untuk tujuan melengkapi kajian tersebut terlebih dahulu akan dipaparkan tentang signifikansi kajian modernitas dan hukum Islam, hukum Islam dan tantangan modernitas, pengaruh modernitas terhadap konsepsi hukum Islam, dan pada bagian terakhir sebelum kesimpulan dari tulisan ini akan dicermati perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diamandemen dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 sebagai dampak dari adanya modernitas yang terjadi di tengah-tengah masyarakat Indonesia.

Signifikansi Kajian Modernitas dan Hukum Islam
Hukum Islam adalah hukum yang dibuat untuk kemaslahatan hidup manusia dan oleh karenanya hukum Islam sudah seharusnya mampu memberikan jalan keluar dan petunjuk terhadap kehidupan manusia baik dalam bentuk sebagai jawaban terhadap suatu persoalan yang muncul maupun dalam bentuk aturan yang dibuat untuk menata kehidupan manusia itu sendiri. Hukum Islam dituntut untuk dapat menyahuti persoalan yang muncul sejalan dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi di masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan pentingnya mempertimbangkan modernitas dalam hukum Islam.
Hukum Islam adalah hukum yang hidup di tengah-tengah masyarakat sedangkan masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perubahan masyarakat dapat berupa perubahan tatanan sosial, budaya, sosial ekonomi dan lain-lainnya. Bahkan menurut para ahli lingusitik dan semantik bahasa akan mengalami perubahan setiap sembilan puluh tahun. Perubahan dalam bahasa secara lansung atau tidak langsung mengandung arti perubahan dalam masyarakat. Perubahan dalam masyarakat dapat terjadi disebabkan karena adanya penemuan-penemuan baru yang merubah sikap hidup dan menggeser cara pandang serta membentuk pola alur berfikir serta menimbulkan konsekwensi dan membentuk norma dalam kehidupan bermasyarakat.
Oleh karena hukum Islam hidup di tengah-tengah masyarakat dan masyarakat senantiasa mengalami perubahan maka hukum Islam perlu dan bahkan harus mempertimbangkan perubahan (modernitas) yang terjadi di masyarakat tersebut, hal ini perlu dilakukan agar hukum Islam mampu mewujudkan kemaslahatan dalam setiap aspek kehidupan manusia di segala tempat dan waktu. Dalam teori hukum Islam kebiasaan dalam masyarakat (yang mungkin saja timbul sebagai akibat adanya modernitas) dapat dijadikan sebagai hukum baru (al-‘Adah Muhakkamah) selama kebiasaan tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Perubahan dalam masyarakat memang menuntut adanya perubahan hukum. Soekanto menyatakan bahwa terjadinya interaksi antara perubahan hukum dan perubahan masyarakat adalam fenomena nyata. Dengan kata lain perubahan masyarakat akan melahirkan tuntutan agar hukum (hukum Islam) yang menata masyarakat ikut berkembang bersamanya.

Hukum Islam dan Tantangan Modernitas
Islam diyakini sebagai agama yang universal dan berlaku sepanjang masa yang ajarannya diklaim akan selalu sesuai dengan tuntutan zaman dan tempat (shalihun likulli zaman wa makan). Al-Qur’an menyatakan bahwa lingkup keberlakuan ajaran Islam adalah untuk seluruh ummat manusia, dimanapun mereka berada. Oleh karena itu Islam sudah seharusnya dapat diterima oleh setiap manusia di muka bumi ini, tanpa ada konflik dengan situasi kondisi dimana ia berada.[2]
Islam akan berhadapan dengan masyarakat modern, sebagaimana ia telah berhadapan dengan masyarakat bersahaja. Ketika Islam berhadapan dengan masyarakat modern, ia dituntut untuk dapat menghadapinya. Secara sosiologis diakui bahwa masyarakat senantiasa mengalami perubahan. Perubahan suatu masyarakat dapat mempengaruhi pola pikir dan tata nilai yang ada dalam masyarakat. Semakin maju cara berfikir, suatu masyarakat akan semakin terbuka untuk menerima kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kenyataan ini dapat menimbulkan masalah, terutama jika dikaitkan dengan norma-norma agama. Akibatnya, pemecahan atas masalah tersebut diperlukan, sehingga Syariat Islam (termasuk hukum Islam) dapat dibuktikan tidak bertentangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Gambaran tentang kemampuan syariat Islam dalam menjawab tantangan modernitas dapat diketahui dengan mengemukakan beberapa prinsip syariat Islam diantaranya adalah prinsip yang terkait dengan mu’amalah dan ibadah. Dalam bidang mu’amalah hukum asal segala sesuatu adalah boleh kecuali apabila ada dalil yang menunjukkan bahwa sesuatu itu terlarang. Sedangkan dalam bidang ibadah hukum asalnya adalah terlarang kecuali ada dalil yang mendasarinya.
Berdasarkan prinsip di atas dapat dipahami bahwa modernisasi yang terkait dengan segala macam bentuk mu’amalat diizinkan oleh syariat Islam selama tidak bertentangan dengan prinsip dan jiwa syariat Islam. Berbeda dengan bidang muamalah, hukum Islam dalam bidang ibadah tidak terbuka kemungkinan adanya modernisasi, melainkan materinya harus berorientasi kepada nash al-Qur’an dan Hadis yang telah mengatur secara jelas tentang tata cara pelaksanaan ibadah tersebut. Namun modernisasi dalam bidang sarana dan prasarana ibadah mungkin untuk dilakukan.

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
Perkembangan terakhir yang menarik untuk dicermati terkait dengan pengaruh modernitas terhadap hukum Islam adalah amandemen terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 dan telah diundangkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006. Sebagaimana diketahui bahwa DPR RI pada tanggal 21 Februrai 2006 sudah menyetujui Revisi Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Fenomena ini merupakan awal yang baik bagi Peradilan Agama pasca satu atap (one roof system) setelah munculnya Undang-undang RI Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-undang RI Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.
Lahirnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 telah memunculkan dampak yang sangat luas di lingkungan Peradilan Agama baik menyangkut penyiapan Sumber Daya Manusianya maupun penyiapan materi hukum yang siap pakai di lingkungan Peradilan Agama khususnya terkait dengan kewenangan baru di bidang ekonomi syari’ah.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, kewenangan Peradilan Agama tidak hannya terbatas pada permasalahan perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah tetapi juga menyangkut masalah zakat, infaq, dan ekonomi syari’ah (Pasal 49). Adanya tiga tambahan kewenangan ini (zakat, infaq, dan ekonomi syari’ah) telah secara signifikan merubah wajah peradilan Agama di Indonesia yang telah berjalan semenjak zebelum zaman kolonial hingga saat ini. Kalau dulu peradilan agama terkesan hannya menangani persoalan hukum keluarga Islam, saat ini wajah peradilan agama tampak lebih mentereng yaitu peradilan hukum keluarga Islam dan peradilan perdata Islam, bahkan belakangan ada usulan untuk memakai nama baru “Peradilan Agama dan Niaga Syariah”.
Perubahan di atas telah secara jelas memberikan gambaran tentang adanya pengaruh modernitas terhadap hukum Islam, munculnya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tidak dapat dilepaskan dari adanya trend dan perkembangan perilaku masyarakat di bidang ekonomi syari’ah yang mencakup bank syari’ah, lembaga keuangan mikro syari’ah, asuransi syari’ah, obligasi syari’ah, pembiayaan syari’ah, pegadaian syari’ah, bisnis syari’ah dan lainlain.
Disamping dalam bidang di atas perubahan lain (dalam bidang Hukum Perkawinan/Hukum Keluarga) yang perlu dicatat adalah bahwa Undang-undang No. 3 Tahun 2006 dengan tegas menyebutkan bahwa Peradilan Agama berwenang dalam hal menetapkan pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam (Penjelasan Huruf a Pasal 49 Undang-Undang RI No. 3 Tahun 2006). Kewenangan baru ini membawa implikasi serius bagi perkembangan peradilan Agama ke depan mengingat selama ini masih ada kecenderungan pemahaman bahwa pengangkatan anak harus melalui Peradilan Umum.
Dengan adanya kewenangan baru dalam hal pengangkatan anak berdasarkan Hukum Islam ini juga perlu ditegaskan bahwa akibat hukum dari pengangkatan anak dalam Islam berbeda dengan pengangkatan anak berdasarkan tradisi hukum Barat / Belanda melalui Pengadilan Negeri. Pengangkatan anak dalam Islam sama sekali tidak merubah hubungan hukum, nasab dan mahram antara anak angkat dengan orang tua dan keluarga asalnya, pengangkatan anak dalam Islam ini tidak merubah status anak angkat menjadi anak kandung dan status orang tua angkat menjadi status orang tua kandung, yang dapat saling mewarisi, mempunyai hubungan keluarga seperti keluarga kandung, dan lain-lain. Perubahan yang terjadi dalam pengangkatan anak menurut Hukum Islam adalah perpindahan tanggungjawab pemeliharaan, pengawasan dan pendidikan dari orang tua asli kepada orang tua angkat.[3]

Kesimpulan
Dari pemaparan di atas amatlah jelas bahwa hukum Islam tidak dapat lepas dari pengaruh modernitas dan bahkan modernitas haruslah dipertimbangkan dalam perkembangan hukum Islam agar hukum Islam mampu menciptakan kemaslahatan bagi ummat manusia.
Dari pemaparan di atas juga terlihat adanya fakta yang menunjukkan bahwa revisi atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diundangkan dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2006 juga tidak dapat dilepaskan dari adanya modernitas yang tengah terjadi di tengah-tengah masyarakat bangsa Indonesia.

Daftar Pustaka

v     Hanafi, Ahmad. MA. Pengantar Sejarah Hukum Islam, PT Bulan Bintang, Jakarta 1991.
v     Murodi, Drs. Dkk. Sejarah Kebudayaan Islam, CV Toha Putra, Semarang, 1995.
v     Sardar, Ziauddin dan Malik, Zafar Abbas. Mengenal Islam "For Beginners  ", Terjemahnya, Mizan, 1997.
v     Munawwir, Imam. 1986. Posisi Islam di Tengah Pertarungan Ideologi dan Keyakinan. Surabaya: PT Bina Ilmu.
v     Amin, Muhammad. 1991. Ijtihad Ibnu Taimiyah dalam Fiqih Islam. Jakarta:    INIS. Jilid IX
v     Azhar Basyir, Ahmad. KH. MA. 1996. Refleksi atas Persoalan Keislaman. Bandung: Mizan. Cet. IV
v     Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. 1997. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve. Cet. IV



[1] Lihat, Imam Munawwir, Posisi Islam di Tengah Pertarungan Ideologi dan Keyakinan, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1986), hal. 42
[2] Ziauddin Sardar dan Zafar Abbas Malik, Mengenal Islam "For Beginners: Terjamahnya  " , Penerbit Mizan, Bandung, 1997, hal ; 79.
[3] Ahmad Hanafi, MA. Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, PT. Bulan Bintang, Jakarta 1991, hal ; 159.
MEMAHAMI KONSEP FIQH PLURALIS
By Moh. Subhan

Pada dasarnya, pluralisme adalah sebuah pengakuan akan hukum Tuhan yang menciptakan manusia yang tidak hanya terdiri dari satu kelompok, suku, warna kulit, dan agama saja. Tuhan menciptakan manusia berbeda-beda agar mereka bisa saling belajar, bergaul, dan membantu antara satu dan lainnya. Pluralisme mengakui perbedaan-perbedaan itu sebagai sebuah realitas yang pasti ada di mana saja. Justru, dengan pluralisme itu akan tergali berbagai komitmen bersama untuk memperjuangkan sesuatu yang melampaui kepentingan kelompok dan agamanya. Kepentingan itu antara lain adalah perjuangan keadilan, kemanusiaan, pengentasan kemiskinan, dan kemajuan pendidikan. Maka, pendefinisian pluralisme sebagai sebuah relativisme adalah sebuah kesalahan yang fatal. Sebab, pluralisme sendiri mengakui adanya tradisi iman dan keberagamaan yang berbeda antara satu agama dengan agama lainnya.
Pengakuan terhadap pluralisme agama dalam sebuah komunitas sosial menjanjikan dikedepankannya prinsip inklusivitas (keterbukaan) –suatu prinsip yang mengutamakan akomodasi dan bukan konflik- di antara mereka. Sebab, pada dasarnya masing-masing agama mempunyai berbagai klaim kebenaran yang ingin ditegakkan terus, sedangkan realitas masyarakat yang ada terbukti heterogen secara kultural dan religius. Oleh karena itu, inklusivitas menjadi penting sebagai jalan menuju tumbuhnya kepekaan terhadap berbagai kemungkinan unik yang bisa memperkaya usaha manusia dalam mencari kesejahteraan spiritual dan moral. Realitas pluralitas yang bisa mendorong ke arah kerja sama dan keterbukaan itu, secara jelas telah diserukan oleh Allah Swt dalam QS. Al-Hujurat ayat 14. Dalam ayat itu, tercermin bahwa pluralitas adalah sebuah kebijakan Tuhan agar manusia saling mengenal dan membuka diri untuk bekerja sama.
Dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 213 juga disebutkan: “Manusia itu adalah satu umat. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan, dan beserta mereka mereka Ia turunkan Kitab-kitab dengan benar, supaya Dia bisa memberi keputusan antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan”. Dalam ayat itu muncul tiga fakta: kesatuan umat dibawah satu Tuhan; kekhususan agama-agama yang dibawa oleh para nabi; dan peranan wahyu (Kitab suci) dalam mendamaikan perbedaan di antara berbagai umat beragama. Ketiganya adalah konsepsi fundamental Alquran tentang pluralisme agama. Di satu sisi, konsepsi itu tidak mengingkari kekhususan berbagai agama, di sisi lain konsepsi itu juga menekankan kebutuhan untuk mengakui kesatuan manusia dan kebutuhan untuk menumbuhkan pemahaman yang lebih baik antar umat beragama. (The Islamic Roots of Democratic Pluralism, 2001).
Sejak awal, hubungan antaragama tergolong masalah sensitif yang tidak mudah diselesaikan kecuali dengan adanya kesediaan pemeluknya untuk saling mengerti dan memahami.  Di negeri-negeri muslim yang baru menjalankan eksperimentasi demokrasi, umumnya kelompok-kelompok nonmuslim seringkali dipandang sebelah mata dan belum mendapat perlakuan yang sewajarnya. Mereka masih dipandang sebagai “warga kelas dua”, meskipun secara simbolik eksistensi mereka diakui. Memang, masih ada semacam ganjalan di kalangan umat muslim untuk menerima kehadiran mereka sepenuh hati.  Ini biasanya menyangkut keyakinan teologis yang seolah-olah taken for granted, yaitu bahwa orang-orang nonmuslim adalah orang-orang musyrik yang menyimpang dari keimanan monoteis yang digariskan Allah dan Nabi-Nya.
Keyakinan semacam ini merembes pada penafsiran hukum atas ayat-ayat al-Quran yang membicarakan status orang-orang nonmuslim. Para fuqaha’ hampir seluruhnya sepakat bahwa ada beberapa point hukum fiqih yang tidak dapat dikompromikan dengan kalangan nonmuslim, seperti kasus nikah antaragama dan harta warisan bagi keluarga yang tak seagama. Dalam hal ini, nonmuslim tidak diperbolehkan berhubungan dengan umat muslim karena perbedaan agama tadi. Sementara itu, ada pula masa>’il fiqhiyyah di mana baik umat muslim maupun non-muslim diperlakukan sejajar dan mendapat perlakuan hukum yang sama, seperti persoalan zakat dan kewajiban menaati penguasa (uli> al-amr).
Para fuqaha’ tidak menyamakan status hukum semua orang nonmuslim. Mereka menetapkan kategori-kategori tertentu yang memilah antara kaum nonmuslim yang ahl al-kita>b maupun nonmuslim yang sepenuhnya musyrik. Sayangnya, kategorisasi itu-untuk konteks sekarang-belum cukup memadai untuk mewadahi pluralitas dan menjamin hubungan yang efektif dan egaliter antara kaum muslim dan nonmuslim sendiri. Ada dua alasan mendasar yang melatari. Pertama, kategori apakah seorang nonmuslim musyrik atau bukan yang dibuat para fuqaha’ masih didominasi oleh asumsi teologi skolastik yang melihat keimanan atau akidah orang-orang nonmuslim, tak terkecuali kelompok ahl al-kita>b, sebagai bentuk penyimpangan (deviasi) dari kebenaran Islam, dan karena itu perlu “diluruskan”.  Kedua, kategorisasi semacam ini telah mengabaikan munculnya komunitas-komunitas keberagamaan yang lebih kompleks dan beragam daripada sekadar pembedaan antara ahl al-kita>b (Yahudi-Nasrani) dan musyrik yang dibuat para fuqaha’ abad pertengahan.
Selain itu, menurut al-Jabiri, fiqih yang dikonstruksi para ulama terdahulu tidak hanya menutupi masa depan atau masa setelah fiqih tersebut dikodifikasi, melainkan juga tidak mengakomodasi tradisi yang berkembang pada masa-masa sebelumnya.  Hal itu terjadi karena fiqih ibarat pendulum yang tidak secara tegas melakukan dialektika epistemologis. Fiqih hanya dijadikan upaya untuk memapankan kepatuhan dan ketundukan terhadap sebuah aliran dan madzhab tertentu.
Dalam konteks kenegaraan, Indonesia sebagai negara yang pluralis, baik dari sudut etnis, bahasa, budaya, dan agama, jelas membutuhkan rumusan fikih yang mempunyai visi dan wawasan yang pluralis. Sehingga tak salah kiranya ketika Yayasan Paramadina sebuah lembaga yang dimotori Dr. Nurcholish Madjid dan berkecimpung dalam kajian keagamaan dan sosial, sedang mengembangkan dan merumuskan gagasan tentang fikih lintas agama yang dirampungkan dalam bentuk buku yang berjudul “Fiqih Lintas Agama”. Inilah buku pertama yang secara spesifik membahas soal fikih hubungan antar umat beragama di Indonesia.

A.    Pandangan Fiqh Lintas Agama Terhadap Hubungan Antar Umat Beragama
Secara konseptual, fiqih memerlukan pijakan keimanan yang menggambarkan keutuhan dimensi-dimensi keberagamaan. Fiqih yang inklusif dan pluralis pastilah lahir dari teologi dan paham keimanan yang pluralis pula. Untuk mengembangkan pijakan teologi pluralis dibutuhkan suatu pemahaman dan kesadaran akan keragaman kebenaran yang dibawa oleh para nabi utusan Tuhan.
Karena itu muncul sebuah tesis yang, mengatakan  bahwa perlu dipegang teguh dalam konteks hubungan antaragama. “Fiqih hubungan antaragama yang sesuai dengan teologi pluralis adalah fiqih pluralis. Fiqih eksklusivis tidak sesuai dengan teologi pluralis. Fiqih eksklusivis sesuai hanya dengan teologi eksklusivis. Itulah sebabnya mengapa fiqih lama yang ekslusivis tidak mampu menjawab masalah-masalah keagamaan dalam hubungan antaragama di dunia dan masyarakat sekarang ini, yang kesadaran pluralis anggota-anggotanya semakin meningkat. Fiqih yang sesuai dengan situasi ini adalah fiqih pluralis, yang mampu menjawab masalah-masalah keagamaan itu.[1]
Untuk melakukan pola ini diperlukan dua langkah elemental; pertama, melakukan dekonstruksi (al-qati’ah al-ma’rafiyyah) dengan melakukan pembacaan kritis untuk mengungkap “kepentingan dan ideologi” di balik konsepsi fiqih yang ada dalam teks. Kedua, melakukan rekonstruksi (al-tawa>s}ul al-ma’rafy) sebagai upaya kontekstualisasi konsep fiqih tersebut dengan problem kemanusiaan kontemporer. Dalam konsep hubungan antaragama misalnya, fiqih harus mempertimbangkan faktor keragaman masyarakat dan harus memberikan perhatian yang lebih terhadap non-Muslim.
Kedua, pembaruan pada level etis. Khazanah fiqih yang berkembang dalam masyarakat seakan-akan menyediakan sesuatu yang baku, akibatnya produk fiqih adalah produk yang formalistik dan legalistik. Di sini, perlu pembaruan fiqih yang lebih bernuansa sosial etis. Fiqih tidak sekadar membahas hukum halal-haram, melainkan membahas tujuan hukum (maqas}id al-syari>’ah).  Ketiga, pembaruan pada level filosofis. Pada level ini, fiqih terbuka terhadap filsafat dan teori-teori sosial kontemporer. Ini penting agar fiqih dapat memotret realitas sosial secara komprehensif.   Contoh yang tepat dalam hal ini adalah fiqih terhadap konsep kewarganegaraan dan demokrasi.
Gagasan untuk membangun masyarakat yang damai, harmonis, pluralis-inklusif melalui teologi teoretis (ilmu kalam) dan teologi praktis (fiqih), yang ditawarkan oleh para penulis dalam buku tersebut, memang bagus. Tetapi sebagai sebuah ilmu yang memiliki ciri berkembang secara dinamis tentu saja tidak semuanya benar. Sejauh amatan reviewer terhadap pembahasan dalam buku tersebut, terdapat beberapa “keberatan” yang dapat reviewer ajukan.
Pertama, kerangka pijak dari fiqih lintas agama adalah teologi pluralis sesungguhnya tidak terlalu tepat. Teologi pluralis yang menghendaki pemahaman bahwa semua agama sama adalah lebih karena ajaran semua agama adalah kepasrahan pada Tuhan. Misalnya, jika Islam dalam konteks pluralitas, maka pemahamannya menjadi agama kemanusiaan dan agama fitrah. Kepatuhan terhadap Tuhan yang bersifat vertikal itu harus diturunkan menjadi kesalihan sosial melalui perilaku dalam kehidupan. Dari situ, jelas dan ada alasan untuk merumuskan teologi pluralis karena memang terdapat titik temu di antara beberapa agama, yaitu ajaran untuk patuh kepada Tuhan Maha Kuasa.

B.    Refungsionalisasi Ushul Fiqh (Upaya Menggagas Fiqh Maqhasid)
Pada dekade terakhir ini, di dunia Islam muncul gagasan dan wacana pembaharuan fiqh (tajdid al-fiqh), bahkan terkadang terkesan lebih radikal dengan munculnya gagasan untuk menggagas fiqh baru yang punya semangat dan nilai pluralisme, toleransi dan egalitarianisme.  Sorotan tajam terhadap fiqh saat ini, hingga akhirnya muncul gagasan pembaharuan itu, tidak bisa dilepaskan dari pandangan dan penilaian dari banyak kalangan yang mengganggap fiqh yang ada saat ini yang merupakan hasil formulasi ulama’ zaman dulu, sebagai faktor utama dalam kemunduran dan keterbelakangan umat Islam saat ini. Penilaian dan pandangan semacam itu lahir, karena dalam pandangan kalangan itu, fiqh yang banyak diamalkan oleh umat Islam saat ini, banyak menyisakan kesan eksklusifitas dan bernada diskriminatif terhadap golongan lain atau non-muslim[2], dan terlalu rendah dan subordinatif dalam memandang derajat dan keberadaan perempuan. Berangkat dari kerangka asumsi inilah kemudian, ada sebagian kalangan yang menyerukan untuk melakukan pembaharuan atau dekonstruksi terhadap rumusan dan konsep fiqh yang ada saat ini.
Akan tetapi, para pemikir ini memberikan pandangan bahwa usaha pembaharuan fiqh itu tidak akan berbuah manis, jika perangkat teoritik-metodologisnya masih belum diperbaharui juga. Oleh karena itulah, pembaharuan dan pembenahan konsep ushul fiqh lebih urgen dan utama untuk dirumuskan ketimbang pembaruan pada level fiqh.  Hal itu mendesak dilakukan karena memang ushul fiqh merupakan pijakan atau akar metodologis dan epistemologis dari hukum Islam atau fiqh. Hanya akan menjadi hal yang sia-sia belaka bila pembaharuan fiqh yang lebih inklusif dan egaliter dan berpijak pada konsep maqashidus syari’ah dilakukan, tatkala akar dari fiqh itu sendiri, yaitu ushul fiqh, masih belum juga dibenahi. Seperti yang disampaikan oleh Hasan Turabi, ushul fiqh yang ada  saat ini yang merupakan hasil kajian ulama’ dahulu tidak lagi relevan untuk diterapkan sekarang ini, dan itu hanya sesuai untuk konteks masyarakat pada waktu itu.[3]
Maka dari itulah, dalam tulisan makalah ini yang menjadi titik tekannya, adalah pengfungsian kembali kembali ushul fiqh dalam merumuskan dan menetapkan hukum Islam. Upaya untuk mencipta fiqh maqashid, setidaknya langkah utama yang mesti ditempuh adalah mengembalikan ushul fiqh sebagai perangkat metodologis dalam melahirkan hukum Islam, yang akhir-akhir ini banyak dilupakan oleh umat Islam. Umat Islam lebih senang menerima produk fiqh secara taken for granted ketimbang bersusah-susah untuk mengkaji dan menerapkan metode dan konsep ushul fiqh dalam merumuskan hukum Islam.

Kedudukan Ushul Fiqh Dalam Hukum Islam

     Hukum Islam merupakan titah Allah yang berkaitan dengan aktivitas para umat manusia, baik berbentuk perintah (suruhan dan larangan), pilihan, maupun ketetapan. Secara global, hukum Islam yang dititahkan oleh Allah itu, digali dari al-Quran, Hadits, maupun dalil lain yang diratifikasikan kepada al-Qur’an dan hadits, dengan format hierarkis.
     Kita tidak perlu panjang lebar lagi membicarakan tentang al-Qur’an dan hadits sebagai sandaran hukum Islam, akan tetapi yang perlu untuk di perhatikan secara seksama, kandungan pesan hukum Islam yang ada dalam al-Qur’an dan hadits, semuanya tidak menjelaskan format atau model hukum secara jelas dan gamblang. Dalam al-Qur’an maupun Hadits, sangat banyak didapatkan kandungan pesan hukum yang masih samar. Dan hal ini semakin dipersulit dengan adanya ambiguitas dan ambivalensi makna teks.
     Pada hal yang samar-samar inilah, hukum Islam harus kita gali dan di kaji dengan menggunakan pendekatan kemampuan akal. Hal inilah yang terus dikembangkan oleh para mujaddid, sehingga pada akhirnya Islam mampu menjadi sebuah peradaban di dunia dengan bekal peradaban fiqh-nya.  Agar dalam merumuskan hukum Islam atau melakukan ijtihad tidak mengalami distorsi atau penyimpangan dari semangat teks al-Qur’an dan Hadits, perlu dibuat semacam aturan main (rule of the game) dalam bentuk norma-norma atau kaidah-kaidah ijtihad, yang kemudian dikenal dengan ushul fiqh. Dengan adanya ushul fiqh inilah kemudian, para mujtahid tidak akan serampangan dalam menetapkan hukum Islam, dan dalam menggunakan akalnya tidak dipengaruhi oleh nafsunya.
     Bertitik tolak dari inilah, akahirnya bisa di ambil kesimpulan sementara bahwasanya hukum Islam atau fiqh itu sangat bergantung, baik secara metodologis maupun epistemologis kepada ushul fiqh. Fiqh yang merupakan penderivasian dari al-Qur’an dan Hadits, memerlukan kerangka teoritik berfikir, yaitu ushul fiqh. Ushul fiqh ini pada hakekatnya, menjadi kartu kunci dalam perumusan dan formulasi hukum Islam.
Ushul fiqh merupakan pengetahuan tentang dalil-dalil fiqh secara umum, cara menggunakannya, serta pengetahuan tentang orang-orang yang menggunakan dalil tersebut. Ushul fiqh begitu penting dalam merumuskan dan menderivikasikan hukum Islam, sehingga fungsi dan perannya mirip logika dalam filsafat. Jika logika dapat menghindarkan seseorang dari melakukan kesalahan (fallacies) dalam berargumentasi, maka ushul fiqh mencegah seorang faqih atau mujtahid dari berbuat kesalahan dalam menderivikasikan atau menetapkan hukum.[4]
Sehingga tidak berlebihan jika para ulama, menetapkan ushul fiqh sebagai salah satu prasyarat utama yang mesti dimiliki dan dikuasai oleh seorang mujtahid. Dan fiqh memang banyak bergantung secara konseptul maupun secara metodologis pada ushul fiqh. Kedudukan ushul fiqh dalam hukum Islam, begitu vital dan menduduki tempat utama ketimbang ilmu yang lain, karena ushul fiqh merupakan media instrumental yang bisa menjembatani antara teks-teks otoritatif dan realitas kemanusian, yang pada akhirnya terumuskan dalam sebuah hukum.

Refungsionalisasi Ushul Fiqh
    Hukum Islam atau yang biasa disebut dengan fiqh  merupakan ajaran yang paling banyak bersentuhan dengan kehidupan umat manusia. Bahkan, terkesan di dalam umat Islam bahwa fiqh adalah totalitas ajaran Islam. Sehingga ketika fiqh membeku dan tidak lagi mampu merespons laju kemajuan dalam segala bidang kehidupan, seakan-akan seluruh ajaran Islam telah runtuh. Di sini fiqh dicap sebagai biang kemandulan terhadap pencerahan problem kemanusian. Tetapi patut kita akui, bahwa fiqh saat ini sudah menjadi alat untuk mengklaim sesat golongan lain yang berbeda aliran. Dan dalam konsep fiqh, sudah banyak yang tidak sesuai dengan tuntutan realitas kebutuhan umat Islam yang sudah mengalami perkembangan yang cukup pesat.
     Maka, saat ini kita tidak perlu takut dan ragu-ragu lagi melakukan ijtihad baru dalam fiqh untuk memberikan jawaban atas problem-problem kemanusiaan yang semakin kompleks. Sudah saatnya ijtihad menjadi “lagu” yang senantiasa disenandungkan oleh umat Islam. Dan dalam rangka membiakkan ijtihad inilah, metodologi ushul fiqh perlu mendapatkan ruang gerak yang lebih luas. Karena, menurut Imam al-Ghazali, syarat utama yang harus dipenuhi dalam proses ijtihad adalah perangkat metode ushul fiqh. Kebenaran hasil ijtihad salah satunya banyak ditentukan oleh ketepatan dalam menggunakan metode ushul fiqh.
     Ushul fiqh merupakan seperangkat metode untuk melakukan pembacaan terhadap dialektika antara teks dan realitas empiris. Sebab itulah, agenda kajian ushul fiqh adalah analisis teks dan analisis maqashid syari’ah. Analisis teks dibutuhkan dalam ushul fiqh, adalah untuk memahami teks al-Qur’an dan Hadits secara benar. Sedangkan analisis maqashid syari’ah diarahkan untuk mempersambungkan makna teks dengan realitas empiris dan kebutuhan riil masyarakat. Dan antara analisis teks dan analisis maqashid syari’ah harus dijalankan secara padu dan seimbang, agar produk hukum yang dihasilkan tidak cenderung “melangit” dan kering dari nilai kemanusian.
     Untuk memenuhi kebutuhan analisis teks itu, ushul fiqh sudah menyiapkan segala pirantinya, dengan menghadirkan kaidah-kaidah kebahasaan yang begitu rumit, seperti kategori lafadz (al-‘am, al-khas, al-Muthlaq, al-Muqayyad, al-amr, al-nahi, dll.) dan teori kalimat (al-Mafhum, ibaratun an-nash, isyaratun an-nash, dalalatun an-nash, dll.). Dengan bekal kaidah dan teori tersebut, ushul fiqh bisa memecahkan sekian makna teks yang tersembunyi dan masih ambigu.
     Sedangkan dalam hal analisis maqashid syari’ah, yang bertujuan untuk menangkap substansi dari kahadiran hukum, ushul fiqh cukup peka dalam memahami antara kebutuhan dan dialektika antara teks dan konteks. Dengan konsep maqashid syari’ah yang berpijak pada maslahah, kerangka ushul fiqh dalam melahirkan hukum sangat memperhatikan pada kesejahteraan dan asas kemanfaatan seluruh umat manusia terhadap hukum yang dilahirkan. Oleh karenanya ushul fiqh menghadirkan teori istihsan, al-qiyas, maslahah mursalah, dan sadd al-dzari’ah sebagai metode alternatif untuk menangkap problem kemanusiaan yang tidak bisa dirangkul oleh teks, setelah melalui pembacaan secara komprehensif terhadap struktur teks.
     Sudah saatnya fiqh dibangun bukan hanya sekedar berpijak pada teks suci atau semata berdasarkan pada kebutuhan empiris manusia, akan tetapi sudah seyogyanya fiqh dihadirkan dengan cara mendialogkan secara terus-menerus antara dimensi teks dengan realitas-empiris kemanusian. Ushul fiqh layak dijadikan medium atau instrumen dalam dialektika antara teks dan realitas kemanusiaan tersebut.
Sudah saatnya ushul fiqh memegang peranan vital dalam proses perumusan dan penetapan hukum Islam. Oleh karena itulah, langkah dan usaha refungsionalisasi atau revitalisasi ushul fiqh dalam hukum Islam, patut mendapat apresiasi dari semua pihak, sebagai langkah awal untuk menggagas fiqh maqhasid yang akomodatif terhadap kebutuhan umat manusia pada zaman ini yang sudah mengalami dinamisasi kehidupan yang begitu pesat. Selama ini ushul fiqh, kayaknya hanya menempati rangking kedua dalam dinamika hukum Islam, dan ushul fiqh dalam konteks perkembangan hukum Islam di Indonesia masih belum —kalau tidak mau mengatakan tidak sama sekali – menjadi metode ijtihad. Walaupun NU  dalam Munas NU di Lampung pada bulan Januari 1992, sudah menetapkan bermazhab secara manhaji menjadi bagian dari sistem pengambilan keputusan hukum dalam bahtsul masail di lingkungan NU[5], tetapi dalam proses aplikasinya dalam bahtsul masail NU masih belum terjadi dan masih banyak di warnai oleh tekstualisasi pengambilan hukum. Satu hal yang pasti, dengan mengembalikan ushul fiqh sebagai metodologi penetapan dan pengambilan hukum Islam, maka hukum Islam atau fiqh akan lebih adaptif dan akomodatif dengan kondisi kehidupan manusia saat ini.

Kesimpulan
Dari beberapa analisa di atas dapat penulis simpulkan beberapa hal penting terkait dengan fiqh lintas agama dan refugsionalisasi ushul fiqh dalam upaya menggagas fiqh maqashid, sebagai berikut :
  1. Fiqih lintas agama memperlihatkan betapa fiqih dapat dijadikan instrumen untuk membuka kerangka kerjasama antaragama yang genuine.  Selain itu, fiqih lintas agama juga memiliki ancangan kuat agar fiqih yang ada saat ini tidak melulu berkutat pada hal-hal yang bersifat individual-privat atau ‘iba>dah mah}d}ah saja, melainkan juga menyentuh ranah publik, termasuk di dalamnya menyangkut hubungan antara satu agama dengan agama lainnya. Dalam konteks keindonesiaan, wacana ini akan membantu mengatasi merebaknya fobia sebagian kalangan Islam terhadap segala hal yang berbau Barat (yang diidentikkan dengan Kristen) belakangan ini.
  2. Ushul fiqh memegang peranan vital dalam proses perumusan dan penetapan hukum Islam. Oleh karena itulah, langkah dan usaha refungsionalisasi atau revitalisasi ushul fiqh dalam hukum Islam, patut mendapat apresiasi dari semua pihak, sebagai langkah awal untuk menggagas fiqh maqhasid yang akomodatif terhadap kebutuhan umat manusia pada zaman ini yang sudah mengalami dinamisasi kehidupan yang begitu pesat. Selama ini ushul fiqh, kayaknya hanya menempati rangking kedua dalam dinamika hukum Islam, dan ushul fiqh dalam konteks perkembangan hukum Islam di Indonesia masih belum —kalau tidak mau mengatakan tidak sama sekali – menjadi metode ijtihad







DAFTAR PUSTAKA


Al-Munawwar, Said Aqil Husin. 2003. Al-Qur’an : Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Jakarta : Ciputat Press

Azizy, A. Qodry. 2003.  Reformasi Bermazhab : Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad sesuai Saintifik-Modern. Jakarta : Teraju

Sirry, A. Mun’im (ed.) 2004.  Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis. Jakarta : Paramadina dan The Asia Foundation

Syafrin, Nirwan, “Konstruk Epistemologi Islam : Telaah Bidang Fiqh dan Ushul fiqh”  (Majalah Islamia edisi : Thn. II No. 5, April – Juni 2005)

Keputusan Munas Alim Ulama’ dan Konbes Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung, Januari 1992. Semarang : LTN-NU & Sumber Barokah.

Madjid, Nurcholish, dkk. 2004.  Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, Jakarta: Paramadina












[2] Untuk menghilangkan kesan dan nuansa fiqh yang eksklusif dan diskriminatif  tadi, Yayasan Paramadina menerbitkan buku “Fiqh Lintas Agama” yang di dalamnya berisi tentang  rumusan konseptual tentang fiqh yang lebih mengesankan pluralitas dan bernuansa keadilan. Dalam pengantar buku ini, Mun’im A. Sirry menegaskan bahwa banyak konsep fiqh yang menempatkan penganut agama lain lebih rendah ketimbang umat Islam, sehingga berimplikasi meng-exclude atau mendiskreditkan mereka. Mun’im A. Sirry (ed.), Fiqh Lintas Agama : Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta : Paramadina dan The Asia Foundation, 2004), h. ix
[3] Lihat Hasan Turabi, Tajdid Ushul al-Fiqh al-Islami, (Jeddah : Al-Dar al-Su’udiyah, 1984), h. 9-13, yang saya kutip dari tulisan Nirwan Syafrin, “Konstruk Epistemologi Islam : Telaah Bidang Fiqh dan Ushul fiqh” dalam  majalah Islamia edisi : Thn. II No. 5, April – Juni 2005, h. 45-46.
[4] Ibid., h. 38-39
[5] Lihat keputusan Munas Alim Ulama’ dan Konbes Nahdlatul Ulama di Bandar Lampung, Januari 1992, (Semarang : LTN-NU & Sumber Barokah, 1992), h. 3-9