Rabu, 26 Oktober 2011

DINASTI ABBASIYAH
(Kebangkitan Sunni, Perkembangan Filsafat, Sains dan Tasawuf)
By Moh. Subhan
A. PENDAHULUAN
Kekuasaan dinasti Abbasiyah diperoleh bukan sebagai akibat komplotan kaum istana, melainkan hasil koalisi dari beberapa kelompok yang berbeda (Persia, Turki dan Bani Abbas) yang dipimpin oleh Abdullah al Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas.[1] Koalisi terjadi karena dilatar belakangi oleh persamaan nasib yang sama, yaitu sama-sama tertindas oleh penguasa dinasti Umayyah. Persamaan nasib inilah yang akhirnya memunculkan sebuah gerakan untuk menumbangkan kekuasaan dinasti Umayyah yang dianggapnya dlalim. Usaha mereka tidak sia-sia, sehingga pada tahun 750 M dinasti Umayyah dapat digulingkan. Sejak saat itulah, kekuasaan dinasti Umayyah digantikan oleh dinasti Abbasiyah. Kekuasaan dinasti Abbasiyah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, mulai tahun 132 – 656 H / 750 – 1258 M. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya.
Pada periode awal kekuasaan dinasti Abbasiyah, umat Islam mencapai masa keemasan dalam Peradaban, politik dan kebudayaan. Bahkan, periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan sains dalam Islam. Perkembangan sains dan filsafat pada periode ini tidak bisa lepas dari peran para khalifah yang sangat interes terhadap ilmu pengetahuan dan menghargai kepada para ilmuawan, sehingga muncul beberapa tempat yang dijadikan sebagai basis pengkajian ilmu pengetahuan, seperti kota Baghdad di Irak, kota Moru dan Nasabur di Persia, kota Mesir, kota Kairawan di Afrika, dsb.[2] Maka muncullah beberapa pakar ilmu; filsafat, teolog dan hukum. Begitu pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan pada waktu itu, sehingga dikenal sebagai kebangkitan terbesar pemikiran dan kebudayaan dalam Islam. Popularitas dinasti Abbasiyah mencapai puncaknya pada era khalifah Harun al Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Makmun (813-833 M). Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. Transliterasi buku-buku asing yang dilakukan oleh khalifah Al Makmun, terutama buku-buku filsafat Yunani membawa pengaruh yang signifikan terhadap kebebasan berpikir umat Islam, terutama kelompok Mu’tazila. Namun, kebebasan berpikir yang bercorak rasional ini segera meredup sejak al Ghazali melontarkan kritik tajam terhadap pemikiran filsafat yang dianggap sudah kelewat batas. Al Ghazali tidak hanya menyerang pemikiran filsafat pada masanya, tetapi juga menghidupkan ajaran tasawuf.[3]
Berangkat dari uraian di atas, maka penulis ingin mengupas lebih jauh tentang Kebangkitan Sunni, Perkembangan Filsafat, Sains dan Tasawuf di era dinasti Abbasiyah dalam makalah ini. Dengan harapan mudah-mudahan kajian yang sederhana ini menambah cakrawala berpikir kita dan yang terpenting adalah bagaimana kita mampu berkiprah untuk izzul Islam wal muslimin.
B. PEMBAHASAN
1. Kebangkitan Sunni
Periode pertama dinasti Abbasiyah 132 – 232 H / 750 – 847 M) mencapai masa keemasan. Karena khalifah pada waktu itu adalah sosok yang kuat perhatian terhadap perkembangan agama dan ilmu pengetahuan. Para ulama dan pakar pengetahuan pada masa dinasti Umayyah yang kurang mendapat tempat, pada masa dinasti Abbasiyah ini mereka dihargai dan dimulyakan. Maka sangat wajar, jika pada waktu itu berkembang dengan cepat dan pesat berbagai disiplin ilmu; ilmu tafsir, ilmu hadits, ilmu kimia, fisika, dsb. Perkembangan dan kemajuan dinasti Abbasiyah mencapai puncaknya pada era Harun al Rasyid dan puteranya, al Makmun.
Pada era kekuasaan Harun al Rasyid, rakyat benar-benar merasakan kemajuan di segala bidang, kebebasan berpikir benar-benar dijunjung tinggi. Tetapi kondisi seperti itu berubah, ketika al Makmun menjabat sebagai khalifah. Dia seorang khalifah yang sangat gandrung terhadap gaya pemikiran orang-orang Yunani yang bebas dan rasional. Mu’tazilah sebagai salah satu aliran dalam Islam yang banyak dipengaruhi oleh filsafat Yunani, terkenal dengan rasionalis. Oleh karena itulah maka ia menjadikan Mu’tazilah sebagai madzhab negara. Dan memaksa kepada rakyat agar mengikuti madzhab tersebut. Bahkan ia akan menghukum siapa saja yang menentang. Dan hal tersebut dibuktikan, dengan memenjarakan Ahmad bin Hambal yang dinyatakan telah menentang terhadap ajaran Mu’tazilah.
Tetapi setelah kekuasaan al Makmun usai dan digantikan oleh Al Mutawakkil, maka keadaan menjadi berubah. Di mana al Mutawakkil adalah sosok khalifah yang tidak senang terhadap aliran Mu’tazilah. Tindakan yang pertama kali dilakukan adalah membebaskan Ahmad bin Hambal dari penjara. Tindakan khalifah al Mutawakkil ini disambut hangat oleh kalangan Sunni, terutama kalangan Ahlu Hadits (al muhadistin) yang ingin memurnikan ajaran tauhid kembali kedalam bentuk kesederhanaannya tanpa pembahasan-pembahasan yang logis dan rasional.[4]
Sejalan dengan tindakan itu khalifah al Mutawakkil memulihkan kembali kedudukan aliran Sunni dan mengumumkan larangan terhadap aliran Mu’tazilah. Berlangsung demonstrasi-demontrasi di ibukota mendukung kebijakan tersebut, di bawah komando Ahmad bin Hambal.
Gerakan sunni yang berada di bawah pimpinan Ahmad bin Hambal (164 242 H / 780 -855 M) makin memperlihatkan pengaruhnya yang bertambah kuat terhadap khalifah al Mutawakkil. Gerakan sunni ini bertujuan “memurnikan” kembali ajaran islam agar terbebas dari campur aduk akal dan filsafat, seperti yang dianut oleh kaum salaf.
Tapi pengaruh yang begitu kuat tersebut sampai kelewat batas, ekstrim. Sehingga pada tahun 851 M keluar dekrit dari khalifah, yang memerintahkan menghancurkan dan perataan terhadap seluruh bangunan yang dimuliakan kaum Syi’ah. Termasuk makam Hasan dan Husain di Karbala. Dekrti ini membangkitkan reaksi dan ketegangan yang tiada terkira pada masa-masa berikutnya. Tetapi segala tantangan yang menghambat telah disingkirkan.[5]
2. Perkembangan Sain dan Filsafat
Gerakan penerjemahan secara besar-besaran ke dalam bahasa Arab terjadi pada masa dinasti abbasiyah. Gerakan ini terdiri dari dua fase. Pertama, dimulai pada awal berdirinya dinasti Abbasiyah, dan kedua pada era pemerintahan al makmun dan khalifah sesudahnya.
Khalifah Al manshur yang dikenal sangat menyukai filsafat, hukum dan astronomi, mendirikan kota Baghdad pada tahun 148 H / 765 M. Pada masa pemerintahannya penerjemahan dilakukan oleh para penerjemah, meliputi filsafat dan sains Yunani. Dan ia memberi imbalan yang besar kepada para penerjemahnya. Kemajuan yang sangat besar juga dicapai pada era khalifah Harun al rasyid (786 – 809). Pada era kekuasaanya banyak karya astronomi yang diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Sekitar tahun 773 M, seorang pendatang dari India membawa naskah aritmatika dan astronomi ke baghdad. Naskah astronomi itu adalah Shiddanta, yang lebih dikenal dengan nama Sindhind. Buku yang diterkemahkan oleh ibrahim al farazi ini merangsang minat baru terhadap kajian astronomi di Persia. Beberapa saat seteleh itu Muhammad bin Musa ak Khawarizmi menggabungkan sistem astronomi Yunani dan India. Sejak saat itu, astronomi mendapat posisi yang penting dalam dunia keilmuan Arab.
Salah satu astronom Arab terkemuka dari generasi berikutnya adalah, Abu Ma’shar salah seorang murid al Kindi. Dalam sejarah peradabah Eropah ia dikenal dengan nama Abumazar. [6]
Selain buku Aritmatika, astronomi dan kedokteran diterjemahkan pula buku filsafat dan logika. Kegemaran pada karya filsafat ini sebenarnya baru nampak pada masa pemerintahan al Makmun (813-833 M).[7] Al Makmun merupakan sosok khalifah yang rasionalis yang berusaha menanamkan pandangan keagamaan kepada rakyatnya melalui mekanisme otoritas negara dan ia sangat cinta kepada ilmu pengetahuan. Hal tersebut dibuktikan, pada masa pemerintahannya penerjemahan buku-buku non Arab kedalam bahasa Arab, terutama buku-buku filsafat dan kedokteran terjadi secara besar-besaran.[8] Dan puncaknya, ketika didirikannya Bait al Hikmah (House of Wisdom) sebagai perpustakaan, observatorium dan pusat penerjemahan Pendirian Bait al Hikmah merupakan karya monumental Al Makmun yang dimaksudkan untuk memasukkan hal-hal positip dari kebudayaan Yunani ke dalam Islam. Bait al Hikmah merupakan pusat pengkajian dan penelitian berbagai macam ilmu sekaligus sebagai perpustakaan yang lengkap dengan team penerjemah. Team ini bertugas menerjemahkan teks-teks asli Yunani, Persia, Suryani dan bahasa lainnya ke dalam bahasa Arab. Para penerjemah yang terdiri dari kaum Nasrani, Yahudi dan Majusi (sabaean) digaji oleh khalifah dengan gaji yang tinggi. Pada masa inilah Baghdad sebagai pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.[9]
Buku-buku yang diterjemahkan pada saat itu terdiri dari berbagai macam bahasa; Persia, Latin, Suryani, Yunani, Ibrani, India, Qibti dan Nibti. Keragaman karya yang diterjemahkan inilah yang pada akhirnya membentuk corak tersendiri filsafat Islam. Orang yang dianggap berjasa besar pada waktu itu adalah, Abu zaid Hunain bin Ishak al Ibadi (w. 263 H / 876 M). Dia yang menerjemahkan buku karya Plato seperti Republik, Laws dan Timaeus dan menerjemahkan juga karya Aristoteles seperti Categories, Physic dan Magna Moralia. Disamping Abu Zaid, di lembaga Bait al Hikam masih banyak penerjemah-penerjemah lain, seperti Qusta bin Luqa seorang Kristen Suria, yang menerjemahkan karya filsafat, astronomi dan geometri, Abu Bisr Matta bin Yunus (w. 328 H/ 939 M) seorang dari kalangan Nestorian menerjemahkan karya Aristoteles; Analytica Posteriora dan komentar Alexander dari Aphrodisias tentang De Generatione et de Corruptione yang berbahasa Suria ke dalam bahasa Arab. Cukup banyak di antara buku-buku itu yang penting sekali artinya dari segi pengembangan filsafat di lingkungan dunia pemikiran Arab-Islam.[10] Maka tampillah abad ke-4 H adalah abad yang paling subur dalam usaha penerjemahan karya intelektual Yunani ke dalam bahasa Arab.
Dengan diterjemahkannya buku-buku karya filosof Yunani yang dikembangkan oleh Plotinus dan Agustine kedalam bahasa Arab, banyak melahirkan filosof-filosof Islam eperti; Ibnu Rusy (w. 1198 M), al Farabi (w. 950 M), al Biruni (w. 973-1048 M), Ibnu Sina (w. 1037 M) dan tokoh-tokoh yang lain. Lahirnya sejumlah filosof tadi, telah mengakibatkan lahirnya sejumlah pemikiran yang sangat luar biasa, bukan saja untuk jamannya, bahkan dikenal sampai sekarang. Ide-ide Plotanian tentang dasar asasi dari realita, yakni ide keesaan dari Socrates dan Plotinus telah banyak mempengaruhi doktrin keesaan Tuhan kaum Mu’tazilah (kelompok Islam Rasional). Tuhan didefinisikan sebagai dzat yang mengetahui terhadap hal-hal yang dapat diketahui, kehendak-Nya sebagai ketidak mungkinan keterpaksaan bagi wujudnya, aktvitas kreatif-Nya sebagai emanasi benda-benda dan hal-hal dari pada-Nya. Tuhan dengan demikian tidak mengetahui persoalan secara rinci. Hak-hak yang terperinci dapat dan harus dijelaskan dan dilakukan oleh manusia.[11]
C. Kebangkitan Sufi
Pengaruh penerjemahan buku-buku asing terutama filsafat Yunani membawa dampak yang sangat signifikan terhadap tata cara berpikir umat Islam. Sehingga lahirlah tokoh-tokoh Islam yang sangat gandrung dengan tata berpikir filsafat, seperti Ibnu Rusy (w. 1198 M), al Farabi (w. 950 M), al Biruni (w. 973-1048 M), Ibnu Sina (w. 1037 M), dan sebagainya. Cara berpikir dan cara pandang tokoh-tokoh tersebut dinilai oleh al Ghazali dianggap telah kelewat batas. Sehingga al ghazali mengkritik pemikiran filsafat yang tertuang dalam kitabnya “Tahafut al Falasifah” (Kekacauan Para Filosof). Kritik al Ghazali ini mendapat sanggahan dari filosof besar islam, Ibnu Rusyd, balam kitabnya “ Tahafut al tahafut (Kekacauan buku kekacauan). Tetapi nampaknya kritik al Ghazali jauh lebih populer dan berpengaruh daripada bantahan Ibnu rusyd.
Bahkan al Ghazali tidak hanya mengkritik dan menyerang filsafat pada masanya, tetapi juga menghidupkan ajaran tasawuf dalam Islam. Sehingga ajaran ini berkembang pesat setelah al Ghazali. Di antara ajaran tasawuf adalah tawakkal, zuhud, sabar, dan sebagainya. Dalam tasawuf kehidupan ukhrawi jauh lebih diutamakan daripada kehidupan duniawi.
D. Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan:
1. Dinasti Abbasiyah dibangun di atas koalisi dari elemen bangsa yang berbeda, dengan misi yang sama yaitu menumbangkan kekuasaan dinasti Umayyah, dan selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya.
2. Puncak keemasan Dinasti Abbasiyah tercapai pada periode awal kekuasaan, banyak buku-buku karya Yunani, India, dsb. yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Dan hal ini membawa pengaruh terhadap perkembangan ilmu dan filsafat.
3. Penerjemahan buku-buku non Arab kedalam bahasa Arab terjadi sejak awal pemerintahan dinasti Abbasiyah dan mencapai puncaknya pada era kekuasaan al makmun.
4. Penerjemahan buku-buku filsafat Yunani membawa pengaruh yang signifikan terhadap cara berpikir umat islam saat itu (rasional), sehingga lahirlah beberapa filosof Islam seperti ibnu Rusyd, al Kindi. Tetapi di satu sisi hal ini dianggap telah merusak agama, maka terjadilah saling kritik antara para filosof dengan mereka yang tidak suka pada filsafat. (Ibnu Rusyd VS al Ghazali).
5. Akibat dari kebijakan khalifah al makmun yang menjadikan Mu’tazilah sebagai madzhab negara membawa reaksi keras dari ummat saat itu, sehingga pada era kekuasaan al mutawakkil aliran Mu’tazilah harus dilenyapkan.
DAFTAR PUSTAKA
Badri Yatim, SejarahbPeradaban islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet. XII, 2000
Watt, W. Montgomery, The Influence of Islam on Medieval Europe, Endiburgh University Press, 1972
Joesoef Sou’yb, Sejarah daulah Abbasiyah II, Bulan Bintang, Jakarta, 1977
Nur Cholis Majid, Khazanah Intelektual islam , Jakarta, Bulan Bintang, 1994
Majid Fahry, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis, mizan, Bandung, 2002
Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2006
Syalabi, A, Sejarah Kebudayaan Islam, Pustaka Al Husna Baru, Jakarta, 2003
Syed Mahmudunnasir, islam dan konseopsinya, Rosyda, Bandung, 1988


[1] Badri Yatim, SejarahbPeradaban islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet. XII, hlm. 49
[2] Watt, W. Montgomery, The Influence of Islam on Medieval Europe, Endiburgh University Press, 1972, hlm. 124
[3] Badri Yatim, op.cit, hlm. 152
[4] Joesoef Sou’yb, Sejarah daulah Abbasiyah II, Bulan Bintang, Jakarta, 1977, hlm. 10
[5] Ibid, hlm. 14
[6] Syed Mahmudunnasir, islam dan konseopsinya, Rosyda, Bandung, hlm. 104
[7] Ibid, hlm. 52
[8] Nur Cholis Majid, Khazanah Intelektual islam , Jakarta, Bulan Bintang, 1994, hlm. 56- 57
[9] Watt, W. Montgomery, op. cit, hlm. 68
[10] Majid Fahry, Sejarah Filsafat Islam Sebuah Peta Kronologis, mizan, Bandung, 2002, hlm. 45
[11] Cecep Sumarna, Filsafat Ilmu, Pustaka Bani Quraisy, Bandung, 2006, hlm. 17
SEJARAH ISLAM DALAM SOROTAN
 By Moh. Subhan




Di dalam bahagian pertama tulisan saya (Majalah I Ogos 2005), kita telah sama-sama meneliti bagaimana Syiah memainkan peranan yang besar di dalam menabur racun kepalsuan terhadap kemurnian Sejarah Islam. Ini tertumpu kepada era al-Khulafa’ ar-Rashideen dan zaman awal Bani Umayyah yang menjadi era penentu kepada survival sirah perjalanan umat Islam secara keseluruhannya. Jika para Sahabat dapat ditumbangkan melalui sejarah, maka akan tumbanglah seluruh tubuh badan umat kerana generasi tersebutlah yang menjadi penyampai pertama risalah Islam dari Rasulullah SAW kepada sekalian umat.

Kita sama-sama menyedari bahawa Sejarah adalah bukti universal yang amat berkesan untuk mensabitkan sesuatu. Jati diri umat Islam dan keyakinan mereka untuk kembali bangkit selepas siri keruntuhan, berkait rapat dengan sejauh mana mereka berjaya menghayati Sejarah generasi terdahulu yang menyajikan pelajaran berharga. Di atas dasar inilah, Sejarah Islam terus menjadi sasaran musuh untuk dikelirukan supaya umat yang sedang bangun ini akan terus terpukul di belakangnya dengan pemahaman Sejarah yang salah dan mengecewakan.


KEPENTINGAN DOKUMENTASI SEJARAH
 Dokumen-dokumen yang menjadi sumber premier kepada Sejarah disebut di dalam Bahasa Arab sebagai watheeqah. Ia berasal dari kata umbi thiqah yang bermaksud kepercayaan. Dalam erti kata yang lain, kepercayaan terhadap sesuatu fakta Sejarah berkait rapat dengan hal ehwal yang bersangkutan dengan dokumen yang dirujuk. Muhammad Mahir Hamadah menukilkan kata, “tiada Sejarah tanpa dokumen” dan pada satu tahap, kata-kata itu memang benar.

Hal ini sememangnya telah diterima dengan baik oleh umat Islam zaman berzaman. Walaupun kita menghadapi pelbagai kesukaran untuk mendapatkan dokumen Sejarah bagi era awal Islam akibat kemusnahan yang dicetuskan oleh Perang Salib, Perang Tatar ke atas Baghdad dan sebagainya, sedikit sebanyak tradisi mendokumentasikan bahan rujukan Sejarah terus berkembang dan berwaris. Di zaman Bani Umayyah dan Abbasiyyah, pelbagai ‘Diwan’ ditulis sebagai dokumen pemerintah dan rujukan. Manakala di zaman kerajaan Uthmaniyyah, urusan-urusan kerajaan khususnya semasa peperangan, direkod oleh penulis rasmi kerajaan yang dikenali sebagai ‘vakanuvis’. Malah dari sudut pencapaian kemajuan sistem pentadbiran negara, umat Islam amat terkehadapan berbanding masyarakat yang lain. Kesimpulannya,  pelbagai dokumen berupa manuskrip, di samping buku-buku karangan ulama pelbagai zaman, tersedia untuk dirujuk dan dikaji ke arah mengeluarkan khazanah mutiara Sejarah Islam yang amat berharga itu.

Walau bagaimanapun, usaha membentangkan sejarah kepada masyarakat menghadapi beberapa cabaran yang wajar dihalusi untuk mengatasinya. Walaupun umat Islam agak beruntung kerana kesedaran dan usaha merakamkan peristiwa-peristiwa penting telah sedia wujud semenjak dari generasi pertama Islam, namun bahan-bahan tersebut tetap berhadapan dengan beberapa ciri yang menyulitkan pengkaji.


1. Catatan Yang Tidak Seimbang
  Era awal seperti Sejarah Bani Umayyah hanya dirakamkan oleh ahli sejarah seperti al-Imam at-Thabari kebanyakannya dari sudut siasah. Oleh itu kebanyakan catatan adalah berkisar tentang pemerintahan, silih pergantian pemimpin dan peristiwa yang berkaitan dengannya serta peperangan yang berlaku. Akan tetapi, pengkajian dari dimensi ketamadunan seperti ekonomi dan sosio budaya, tidak banyak dibantu oleh karya at-Thabari.

Kesan daripada ketidakseimbangan ini dapat dilihat daripada kecenderungan tanpa sedar sesetengah kita yang selalunya mendapat gambaran bahawa apabila disebut Sejarah Islam, perhatiannya terlalu banyak difokuskan kepada aspek siasah semata-mata. Oleh yang demikian, persembahan Islam yang dilakukan kepada masyarakat, khususnya kepada non-Muslim, dilakukan dalam bentuk yang kurang menonjolkan keindahan dan ‘manfaat’ yang relevan kepada paradigma pemikiran non-Muslim. Mesej terhadap hak non-Muslim banyak terfokus kepada jaminan keselamatan mereka dari gangguan dan ketidakadilan semata-mata. Mereka kurang dapat melihat bagaimanakah mereka boleh terus berniaga, hidup berkualiti dan maju di bawah sistem Islam kerana sentiasa menyebut tentang soal jaminan hak dan keselamatan. Ia memberikan gambaran secara reverse psychology seolah-olah hidup di bawah sistem Islam sentiasa berhadapan dengan ancaman keselamatan.


2. Taasub Kaum dan Bangsa di Dalam Dokumentasi
 Suatu perkara yang diketahui umum, bahawa era Abbasiyyah mengalami kesuburan sentimen anti Bani Umayyah. Ia turut memberikan kesan kepada bahan-bahan rujukan yang dihasilkan di zaman Abbasiyyah yang banyak bercorak prejudis terhadap Bani Umayyah. Misalnya, koleksi khutbah Bani Umayyah yang mencela Ahlul Bayt, banyak yang seni bahasanya menunjukkan bahawa khutbah itu berbahasa Arab era Abbasiyyah dan bukannya Umayyah. Hal ini memerlukan ketelitian para pengkaji agar tidak terdorong untuk menerima bulat-bulat segala yang dipaparkan.

Malah dari satu sudut yang lain, kajian terhadap Bani Umayyah hanya tertumpu kepada unsur-unsur yang terhad dan tidak menyeluruh lantaran halangan yang dibentuk oleh sifat prejudis itu tadi [Dirasah Wathaqiyyah li at-Tarikh al-Islami wa Masadiruhu min ‘Ahd Bani Umayyah Hatta al-Fath al-Uthmani li Suria wa Misr oleh Muhammad Mahir Hamadah]


3. Permasalahan Bahasa
 Perbedaan antara rujukan di satu zaman dengan zaman yang lain bukan hanya tertumpu kepada teknik merekod, malah bahasa yang digunakan juga mengalami perkembangan dan perubahan. Pengkajian sejarah era Seljuk memberikan keutamaan kepada dokumen berbahasa Parsi berbanding dengan yang berbahasa Arab. Hal ini perlu diambil kira oleh pengkaji supaya sebarang pertentangan fakta diselesaikan dengan mengambil kira aspek bahasa yang dominan di zaman tersebut.

Amat malang apabila pengkajian sejarah era Daulah Othmaniyyah tidak bermula dengan penguasaan bahasa sumber rujukan. Tidak ramai pengkaji, khususnya dari kalangan Muslim, yang mempelajari bahasa Turki dan bahasa Othmaniyyah (Osmanlıca) sebagai langkah pertama untuk mendalami sejarah era Othmaniyyah. Hal ini amat berbeza dengan pendekatan para orientalis, misalnya Bernard Lewis yang bukan sahaja memulakan pengkhususan beliau di bidang ini dengan menguasai bahasa Turki, malah berkahwin terus dengan wanita berbangsa Turki untuk mendalami bahasa dan kebudayaan mereka.

Kesannya dapat dilihat, apabila tokoh terbilang seperti Hamka, hanya berupaya merujuk buku-buku yang dikarang oleh orientalis Belanda untuk menghasilkan penulisan tentang era Othmaniyyah di dalam bukunya yang terkenal, Sejarah Umat Islam. Ia bukanlah suatu keaiban terhadap Hamka memandangkan kepada rujukan yang amat terhad pada masa itu. Namun perlulah kita mengambil pelajaran untuk tidak mensesiakan penyelesaian yang berada di depan mata hari ini.

Atas kesedaran betapa pentingnya penguasaan bahasa dan teknik pembacaan sumber rujukan seperti manuskrip dan kitab-kitab lama, Universiti Ankara di Turki telah menubuhkan Fakulti Bahasa dan Sejarah-Geografi atau lebih dikenali sebagai Dil ve Tarih-Coğrafya Fakültesi.

Sesungguhnya ketidakupayaan pengkaji sejarah menguasai bahasa sumber rujukan premier, mengundang kepada kecacatan yang besar di dalam pembentangan hasil kajian Sejarah. Lebih-lebih lagi, di Republic of Turkey Prime Ministry General Directorate of State Archives menjelaskan bahawa masih terhadap 150 juta keping dokumen berupa manuskrip dan surat-surat rasmi di sepanjang pemerintahan kerajaan Othmaniyyah yang masih belum disentuh untuk dikaji! Semestinya banyak lagi khazanah yang boleh digali, khususnya yang berkaitan dengan hubungan pemerintahan Daulah Othmaniyyah ke atas umat Islam di Kepulauan Melayu suatu ketika dahulu.


4. Referensi yang Terkurung
 Satu lagi faktor yang menjadi halangan kepada pengkaji ialah bagaimana banyak bahan rujukan Sejarah kita tersimpan di institusi-institusi yang amat rumit dan untuk diakses. Khususnya setelah kekalahan umat Islam semasa Perang Dunia Pertama, umat Islam telah ditimpa dengan suatu kebodohan yang merugikan apabila banyak manuskrip dan bahan Sejarah yang diberikan secara percuma kepada kuasa barat untuk dibawa ke muzium-muzium Eropah demi sedikit habuan yang tidak seberapa. Hari ini, umat Islam berhadapan dengan kesulitan apabila terpaksa pergi ke negara-negara Barat yang sesetengahnya mengenakan pelbagai polisi yang rumit, semata-mata untuk membolehkan kita membaca dan mengkaji hasil tulisan datuk nenek moyang kita sendiri.

Kita lihat, misalnya usaha untuk mendapatkan manuskrip dari Perpustakaan Suleymaniye di Istanbul, menuntut kita berhadapan dengan pelbagai karenah birokrasi. Lebih menyulitkan jika bahan tersebut berada di sesetengah negara Arab yang amat curiga dan skeptik dengan permohonan mendapatkan manuskrip di perpustakaan mereka.

Lebih mencabar lagi, peperangan yang berlaku di bandar seperti Baghdad sudah semestinya mengorbankan khazanah bahan rujukan sejarah Islam yang sama tragisnya dengan kematian penduduk bandar ‘berhantu’ itu.


5. Taasub Kaum dan Bangsa di Dalam Penafsiran Sejarah
 Permusuhan di antara masyarakat Abbasiyyah dengan Bani Umayyah tidak terhenti di zaman tersebut sahaja malah berlarutan hingga ke hari ini. Ia lebih ketara selepas kemusnahan jati diri umat Islam sewaku hancurnya Khilafah Othmaniyyah pada tahun 1924. Penyebaran fahaman nasionalisma perkauman telah mendorong kepada sikap tidak adil dan prejudis di dalam penafsiran Sejarah Islam.

Orang Arab melihat kuasa Othmaniyyah Turki sebagai kuasa penjajahan dan ia menjadi teras kepada penulisan ramai dari kalangan pengkaji Arab. Mereka melabelkan Sultan Abdul Hamid II sebagai ‘Sultan Merah’ yang kejam, zalim dan sebagainya. Senada dengan tuduhan Syiah terhadap peribadi seperti Muawiyah bin Abi Sufyan RA. Manakala bangsa Turki pula memandang orang Arab sebagai pengkhianat dan mereka menulis sejarah tentang gerakan Revolusi Arab dan lain-lain dengan bahasa kebencian yang melampaui realiti sebenar.


6. Sikap Terhadap Amanah Ilmu
 Sekali lagi masalah sikap diketengahkan sebagai punca permasalahan Sejarah Islam. Kecenderungan masyarakat kita untuk mendengar hanya berita yang dramatik, sensasi dan panas, mengundang kepada munculnya penulisan-penulisan yang cuba untuk bermain dengan akal dan emosi semata-mata. Ini mendorong kepada pengambilan bahan Sejarah yang boleh menarik pembaca tetapi tidak sedikitkan membantu kepada pembelajaran Sejarah.


Misalnya jika di zaman sahabat Rasulullah SAW, riwayat-riwayat sahih tentang Majlis Tahkim tidak dipedulikan, sebaliknya tertumpu kepada riwayat palsu yang menceritakan penipuan para sahabat, sikap gila kuasa dan sebagainya. Ini sedikit sebanyak berpunca daripada keadaan riwayat sahih yang tidak mempunyai unsur panas yang diperkatakan tadi.                                                                                                                                                                 


7. Kesilapan di Dalam Pendekatan Pembelajaran Sejarah

Pembelajaran Sejarah Islam banyak tertumpu kepada mengetahui apa yang berlaku pada satu-satu masa menurut kronologi peristiwa sahaja. Amat kurang usaha untuk mengambil manfaat daripada penafsiran Sejarah malah subjek Sejarah di sekolah hanya tertumpu kepada menjawab soalan berasaskan teknik PES iaitu menjawab soalan peperiksaan melalui skop politik, ekonomi dan sosial! Sedangkan suntikan roh sejarah amat kurang diusahakan.

Kita juga kurang mengenali aspek Fiqh at-Tarikh, iaitu ilmu berhubung dengan asas-asas kepada ilmu Sejarah, cara mengenali sumber rujukan dan permasalahan yang memerlukan perhatian, teknik menafsir bahan Sejarah dan lain. Sebagai analogi, kita kenal ilmu Fiqh tetapi mengabaikan Usul al-Fiqh. Justeru ramailah yang membuat kesilapan semasa mempelajari Sejarah.


8. Bidang Yang Ketinggalan dan Tidak Komersil

Walaupun Sejarah Islam merupakan bidang yang amat penting di dalam ‘membina manusia’ di dalam sesebuah masyarakat, rata-rata ia bukanlah menjadi subjek pilihan pelajar yang mahu menempah tempat di Institusi Pengkajian Tinggi. Hal ini berlawanan dengan kesedaran yang wujud di negara-negara sosialis di mana golongan cerdik dan bijak pandai dipilih untuk mendalami ilmu-ilmu yang membentuk manusia.

Semasa saya meluangkan masa sepanjang hari selama seminggu di Perpustakaan IRCICA di Yildiz Sarayi untuk menyiapkan beberapa penyelidikan, saya berapa kecewa kerana hampir-hampir tidak ada orang Islam yang datang mengkaji Sejarah dan Tamadun Islam di situ. Kebanyakan pengkaji adalah terdiri daripada pengkaji British, Perancis, Jerman dan Amerika Syarikat.

Oleh itu, kita berharap agar pengkajian Sejarah Islam di peringkat universiti dapat dipertingkatkan persembahannya. Para ahli akademik janganlah tenggelam di dalam dunia akademiknya sehingga tidak turun dengan ilmu dan kepakarannya kepada masyarakat. Manakala para pendakwah, penulis dan mereka yang bekerja di tengah-tengah masyarakat pula hendaklah bertanggungjawab mempersembahkan teladan Sejarah secara amanah dan bersandarkan kepada sumber yang sahih lagi muktamad.

Kelalaian di dalam memelihara imbangan antara kedua-dua ini akan hanya menjadikan bangsa kita iaitu bangsa Muslim, membina kediamannya di persada tamadun kemanusiaan dengan bangunan yang lebih pasir dan simen, menanti hari rebah ke bumi, lemah kepercayaan kepada Tuhan dan tiada keyakinan diri.

Disiarkan di Majalah I Keluaran September 2005
SEJARAH ISLAM DALAM SOROTAN
 By Moh. Subhan




Di dalam bahagian pertama tulisan saya (Majalah I Ogos 2005), kita telah sama-sama meneliti bagaimana Syiah memainkan peranan yang besar di dalam menabur racun kepalsuan terhadap kemurnian Sejarah Islam. Ini tertumpu kepada era al-Khulafa’ ar-Rashideen dan zaman awal Bani Umayyah yang menjadi era penentu kepada survival sirah perjalanan umat Islam secara keseluruhannya. Jika para Sahabat dapat ditumbangkan melalui sejarah, maka akan tumbanglah seluruh tubuh badan umat kerana generasi tersebutlah yang menjadi penyampai pertama risalah Islam dari Rasulullah SAW kepada sekalian umat.

Kita sama-sama menyedari bahawa Sejarah adalah bukti universal yang amat berkesan untuk mensabitkan sesuatu. Jati diri umat Islam dan keyakinan mereka untuk kembali bangkit selepas siri keruntuhan, berkait rapat dengan sejauh mana mereka berjaya menghayati Sejarah generasi terdahulu yang menyajikan pelajaran berharga. Di atas dasar inilah, Sejarah Islam terus menjadi sasaran musuh untuk dikelirukan supaya umat yang sedang bangun ini akan terus terpukul di belakangnya dengan pemahaman Sejarah yang salah dan mengecewakan.


KEPENTINGAN DOKUMENTASI SEJARAH
 Dokumen-dokumen yang menjadi sumber premier kepada Sejarah disebut di dalam Bahasa Arab sebagai watheeqah. Ia berasal dari kata umbi thiqah yang bermaksud kepercayaan. Dalam erti kata yang lain, kepercayaan terhadap sesuatu fakta Sejarah berkait rapat dengan hal ehwal yang bersangkutan dengan dokumen yang dirujuk. Muhammad Mahir Hamadah menukilkan kata, “tiada Sejarah tanpa dokumen” dan pada satu tahap, kata-kata itu memang benar.

Hal ini sememangnya telah diterima dengan baik oleh umat Islam zaman berzaman. Walaupun kita menghadapi pelbagai kesukaran untuk mendapatkan dokumen Sejarah bagi era awal Islam akibat kemusnahan yang dicetuskan oleh Perang Salib, Perang Tatar ke atas Baghdad dan sebagainya, sedikit sebanyak tradisi mendokumentasikan bahan rujukan Sejarah terus berkembang dan berwaris. Di zaman Bani Umayyah dan Abbasiyyah, pelbagai ‘Diwan’ ditulis sebagai dokumen pemerintah dan rujukan. Manakala di zaman kerajaan Uthmaniyyah, urusan-urusan kerajaan khususnya semasa peperangan, direkod oleh penulis rasmi kerajaan yang dikenali sebagai ‘vakanuvis’. Malah dari sudut pencapaian kemajuan sistem pentadbiran negara, umat Islam amat terkehadapan berbanding masyarakat yang lain. Kesimpulannya,  pelbagai dokumen berupa manuskrip, di samping buku-buku karangan ulama pelbagai zaman, tersedia untuk dirujuk dan dikaji ke arah mengeluarkan khazanah mutiara Sejarah Islam yang amat berharga itu.

Walau bagaimanapun, usaha membentangkan sejarah kepada masyarakat menghadapi beberapa cabaran yang wajar dihalusi untuk mengatasinya. Walaupun umat Islam agak beruntung kerana kesedaran dan usaha merakamkan peristiwa-peristiwa penting telah sedia wujud semenjak dari generasi pertama Islam, namun bahan-bahan tersebut tetap berhadapan dengan beberapa ciri yang menyulitkan pengkaji.


1. Catatan Yang Tidak Seimbang
  Era awal seperti Sejarah Bani Umayyah hanya dirakamkan oleh ahli sejarah seperti al-Imam at-Thabari kebanyakannya dari sudut siasah. Oleh itu kebanyakan catatan adalah berkisar tentang pemerintahan, silih pergantian pemimpin dan peristiwa yang berkaitan dengannya serta peperangan yang berlaku. Akan tetapi, pengkajian dari dimensi ketamadunan seperti ekonomi dan sosio budaya, tidak banyak dibantu oleh karya at-Thabari.

Kesan daripada ketidakseimbangan ini dapat dilihat daripada kecenderungan tanpa sedar sesetengah kita yang selalunya mendapat gambaran bahawa apabila disebut Sejarah Islam, perhatiannya terlalu banyak difokuskan kepada aspek siasah semata-mata. Oleh yang demikian, persembahan Islam yang dilakukan kepada masyarakat, khususnya kepada non-Muslim, dilakukan dalam bentuk yang kurang menonjolkan keindahan dan ‘manfaat’ yang relevan kepada paradigma pemikiran non-Muslim. Mesej terhadap hak non-Muslim banyak terfokus kepada jaminan keselamatan mereka dari gangguan dan ketidakadilan semata-mata. Mereka kurang dapat melihat bagaimanakah mereka boleh terus berniaga, hidup berkualiti dan maju di bawah sistem Islam kerana sentiasa menyebut tentang soal jaminan hak dan keselamatan. Ia memberikan gambaran secara reverse psychology seolah-olah hidup di bawah sistem Islam sentiasa berhadapan dengan ancaman keselamatan.


2. Taasub Kaum dan Bangsa di Dalam Dokumentasi
 Suatu perkara yang diketahui umum, bahawa era Abbasiyyah mengalami kesuburan sentimen anti Bani Umayyah. Ia turut memberikan kesan kepada bahan-bahan rujukan yang dihasilkan di zaman Abbasiyyah yang banyak bercorak prejudis terhadap Bani Umayyah. Misalnya, koleksi khutbah Bani Umayyah yang mencela Ahlul Bayt, banyak yang seni bahasanya menunjukkan bahawa khutbah itu berbahasa Arab era Abbasiyyah dan bukannya Umayyah. Hal ini memerlukan ketelitian para pengkaji agar tidak terdorong untuk menerima bulat-bulat segala yang dipaparkan.

Malah dari satu sudut yang lain, kajian terhadap Bani Umayyah hanya tertumpu kepada unsur-unsur yang terhad dan tidak menyeluruh lantaran halangan yang dibentuk oleh sifat prejudis itu tadi [Dirasah Wathaqiyyah li at-Tarikh al-Islami wa Masadiruhu min ‘Ahd Bani Umayyah Hatta al-Fath al-Uthmani li Suria wa Misr oleh Muhammad Mahir Hamadah]


3. Permasalahan Bahasa
 Perbedaan antara rujukan di satu zaman dengan zaman yang lain bukan hanya tertumpu kepada teknik merekod, malah bahasa yang digunakan juga mengalami perkembangan dan perubahan. Pengkajian sejarah era Seljuk memberikan keutamaan kepada dokumen berbahasa Parsi berbanding dengan yang berbahasa Arab. Hal ini perlu diambil kira oleh pengkaji supaya sebarang pertentangan fakta diselesaikan dengan mengambil kira aspek bahasa yang dominan di zaman tersebut.

Amat malang apabila pengkajian sejarah era Daulah Othmaniyyah tidak bermula dengan penguasaan bahasa sumber rujukan. Tidak ramai pengkaji, khususnya dari kalangan Muslim, yang mempelajari bahasa Turki dan bahasa Othmaniyyah (Osmanlıca) sebagai langkah pertama untuk mendalami sejarah era Othmaniyyah. Hal ini amat berbeza dengan pendekatan para orientalis, misalnya Bernard Lewis yang bukan sahaja memulakan pengkhususan beliau di bidang ini dengan menguasai bahasa Turki, malah berkahwin terus dengan wanita berbangsa Turki untuk mendalami bahasa dan kebudayaan mereka.

Kesannya dapat dilihat, apabila tokoh terbilang seperti Hamka, hanya berupaya merujuk buku-buku yang dikarang oleh orientalis Belanda untuk menghasilkan penulisan tentang era Othmaniyyah di dalam bukunya yang terkenal, Sejarah Umat Islam. Ia bukanlah suatu keaiban terhadap Hamka memandangkan kepada rujukan yang amat terhad pada masa itu. Namun perlulah kita mengambil pelajaran untuk tidak mensesiakan penyelesaian yang berada di depan mata hari ini.

Atas kesedaran betapa pentingnya penguasaan bahasa dan teknik pembacaan sumber rujukan seperti manuskrip dan kitab-kitab lama, Universiti Ankara di Turki telah menubuhkan Fakulti Bahasa dan Sejarah-Geografi atau lebih dikenali sebagai Dil ve Tarih-Coğrafya Fakültesi.

Sesungguhnya ketidakupayaan pengkaji sejarah menguasai bahasa sumber rujukan premier, mengundang kepada kecacatan yang besar di dalam pembentangan hasil kajian Sejarah. Lebih-lebih lagi, di Republic of Turkey Prime Ministry General Directorate of State Archives menjelaskan bahawa masih terhadap 150 juta keping dokumen berupa manuskrip dan surat-surat rasmi di sepanjang pemerintahan kerajaan Othmaniyyah yang masih belum disentuh untuk dikaji! Semestinya banyak lagi khazanah yang boleh digali, khususnya yang berkaitan dengan hubungan pemerintahan Daulah Othmaniyyah ke atas umat Islam di Kepulauan Melayu suatu ketika dahulu.


4. Referensi yang Terkurung
 Satu lagi faktor yang menjadi halangan kepada pengkaji ialah bagaimana banyak bahan rujukan Sejarah kita tersimpan di institusi-institusi yang amat rumit dan untuk diakses. Khususnya setelah kekalahan umat Islam semasa Perang Dunia Pertama, umat Islam telah ditimpa dengan suatu kebodohan yang merugikan apabila banyak manuskrip dan bahan Sejarah yang diberikan secara percuma kepada kuasa barat untuk dibawa ke muzium-muzium Eropah demi sedikit habuan yang tidak seberapa. Hari ini, umat Islam berhadapan dengan kesulitan apabila terpaksa pergi ke negara-negara Barat yang sesetengahnya mengenakan pelbagai polisi yang rumit, semata-mata untuk membolehkan kita membaca dan mengkaji hasil tulisan datuk nenek moyang kita sendiri.

Kita lihat, misalnya usaha untuk mendapatkan manuskrip dari Perpustakaan Suleymaniye di Istanbul, menuntut kita berhadapan dengan pelbagai karenah birokrasi. Lebih menyulitkan jika bahan tersebut berada di sesetengah negara Arab yang amat curiga dan skeptik dengan permohonan mendapatkan manuskrip di perpustakaan mereka.

Lebih mencabar lagi, peperangan yang berlaku di bandar seperti Baghdad sudah semestinya mengorbankan khazanah bahan rujukan sejarah Islam yang sama tragisnya dengan kematian penduduk bandar ‘berhantu’ itu.


5. Taasub Kaum dan Bangsa di Dalam Penafsiran Sejarah
 Permusuhan di antara masyarakat Abbasiyyah dengan Bani Umayyah tidak terhenti di zaman tersebut sahaja malah berlarutan hingga ke hari ini. Ia lebih ketara selepas kemusnahan jati diri umat Islam sewaku hancurnya Khilafah Othmaniyyah pada tahun 1924. Penyebaran fahaman nasionalisma perkauman telah mendorong kepada sikap tidak adil dan prejudis di dalam penafsiran Sejarah Islam.

Orang Arab melihat kuasa Othmaniyyah Turki sebagai kuasa penjajahan dan ia menjadi teras kepada penulisan ramai dari kalangan pengkaji Arab. Mereka melabelkan Sultan Abdul Hamid II sebagai ‘Sultan Merah’ yang kejam, zalim dan sebagainya. Senada dengan tuduhan Syiah terhadap peribadi seperti Muawiyah bin Abi Sufyan RA. Manakala bangsa Turki pula memandang orang Arab sebagai pengkhianat dan mereka menulis sejarah tentang gerakan Revolusi Arab dan lain-lain dengan bahasa kebencian yang melampaui realiti sebenar.


6. Sikap Terhadap Amanah Ilmu
 Sekali lagi masalah sikap diketengahkan sebagai punca permasalahan Sejarah Islam. Kecenderungan masyarakat kita untuk mendengar hanya berita yang dramatik, sensasi dan panas, mengundang kepada munculnya penulisan-penulisan yang cuba untuk bermain dengan akal dan emosi semata-mata. Ini mendorong kepada pengambilan bahan Sejarah yang boleh menarik pembaca tetapi tidak sedikitkan membantu kepada pembelajaran Sejarah.


Misalnya jika di zaman sahabat Rasulullah SAW, riwayat-riwayat sahih tentang Majlis Tahkim tidak dipedulikan, sebaliknya tertumpu kepada riwayat palsu yang menceritakan penipuan para sahabat, sikap gila kuasa dan sebagainya. Ini sedikit sebanyak berpunca daripada keadaan riwayat sahih yang tidak mempunyai unsur panas yang diperkatakan tadi.                                                                                                                                                                 


7. Kesilapan di Dalam Pendekatan Pembelajaran Sejarah

Pembelajaran Sejarah Islam banyak tertumpu kepada mengetahui apa yang berlaku pada satu-satu masa menurut kronologi peristiwa sahaja. Amat kurang usaha untuk mengambil manfaat daripada penafsiran Sejarah malah subjek Sejarah di sekolah hanya tertumpu kepada menjawab soalan berasaskan teknik PES iaitu menjawab soalan peperiksaan melalui skop politik, ekonomi dan sosial! Sedangkan suntikan roh sejarah amat kurang diusahakan.

Kita juga kurang mengenali aspek Fiqh at-Tarikh, iaitu ilmu berhubung dengan asas-asas kepada ilmu Sejarah, cara mengenali sumber rujukan dan permasalahan yang memerlukan perhatian, teknik menafsir bahan Sejarah dan lain. Sebagai analogi, kita kenal ilmu Fiqh tetapi mengabaikan Usul al-Fiqh. Justeru ramailah yang membuat kesilapan semasa mempelajari Sejarah.


8. Bidang Yang Ketinggalan dan Tidak Komersil

Walaupun Sejarah Islam merupakan bidang yang amat penting di dalam ‘membina manusia’ di dalam sesebuah masyarakat, rata-rata ia bukanlah menjadi subjek pilihan pelajar yang mahu menempah tempat di Institusi Pengkajian Tinggi. Hal ini berlawanan dengan kesedaran yang wujud di negara-negara sosialis di mana golongan cerdik dan bijak pandai dipilih untuk mendalami ilmu-ilmu yang membentuk manusia.

Semasa saya meluangkan masa sepanjang hari selama seminggu di Perpustakaan IRCICA di Yildiz Sarayi untuk menyiapkan beberapa penyelidikan, saya berapa kecewa kerana hampir-hampir tidak ada orang Islam yang datang mengkaji Sejarah dan Tamadun Islam di situ. Kebanyakan pengkaji adalah terdiri daripada pengkaji British, Perancis, Jerman dan Amerika Syarikat.

Oleh itu, kita berharap agar pengkajian Sejarah Islam di peringkat universiti dapat dipertingkatkan persembahannya. Para ahli akademik janganlah tenggelam di dalam dunia akademiknya sehingga tidak turun dengan ilmu dan kepakarannya kepada masyarakat. Manakala para pendakwah, penulis dan mereka yang bekerja di tengah-tengah masyarakat pula hendaklah bertanggungjawab mempersembahkan teladan Sejarah secara amanah dan bersandarkan kepada sumber yang sahih lagi muktamad.

Kelalaian di dalam memelihara imbangan antara kedua-dua ini akan hanya menjadikan bangsa kita iaitu bangsa Muslim, membina kediamannya di persada tamadun kemanusiaan dengan bangunan yang lebih pasir dan simen, menanti hari rebah ke bumi, lemah kepercayaan kepada Tuhan dan tiada keyakinan diri.

Disiarkan di Majalah I Keluaran September 2005
PROBLEMATIKA SEJARAH ISLAM
Disiarkan di Majalah I Keluaran September 2005
 By Moh. Subhan




Di dalam bahagian pertama tulisan saya (Majalah I Ogos 2005), kita telah sama-sama meneliti bagaimana Syiah memainkan peranan yang besar di dalam menabur racun kepalsuan terhadap kemurnian Sejarah Islam. Ini tertumpu kepada era al-Khulafa’ ar-Rashideen dan zaman awal Bani Umayyah yang menjadi era penentu kepada survival sirah perjalanan umat Islam secara keseluruhannya. Jika para Sahabat dapat ditumbangkan melalui sejarah, maka akan tumbanglah seluruh tubuh badan umat kerana generasi tersebutlah yang menjadi penyampai pertama risalah Islam dari Rasulullah SAW kepada sekalian umat.

Kita sama-sama menyedari bahawa Sejarah adalah bukti universal yang amat berkesan untuk mensabitkan sesuatu. Jati diri umat Islam dan keyakinan mereka untuk kembali bangkit selepas siri keruntuhan, berkait rapat dengan sejauh mana mereka berjaya menghayati Sejarah generasi terdahulu yang menyajikan pelajaran berharga. Di atas dasar inilah, Sejarah Islam terus menjadi sasaran musuh untuk dikelirukan supaya umat yang sedang bangun ini akan terus terpukul di belakangnya dengan pemahaman Sejarah yang salah dan mengecewakan.


KEPENTINGAN DOKUMENTASI SEJARAH
 Dokumen-dokumen yang menjadi sumber premier kepada Sejarah disebut di dalam Bahasa Arab sebagai watheeqah. Ia berasal dari kata umbi thiqah yang bermaksud kepercayaan. Dalam erti kata yang lain, kepercayaan terhadap sesuatu fakta Sejarah berkait rapat dengan hal ehwal yang bersangkutan dengan dokumen yang dirujuk. Muhammad Mahir Hamadah menukilkan kata, “tiada Sejarah tanpa dokumen” dan pada satu tahap, kata-kata itu memang benar.

Hal ini sememangnya telah diterima dengan baik oleh umat Islam zaman berzaman. Walaupun kita menghadapi pelbagai kesukaran untuk mendapatkan dokumen Sejarah bagi era awal Islam akibat kemusnahan yang dicetuskan oleh Perang Salib, Perang Tatar ke atas Baghdad dan sebagainya, sedikit sebanyak tradisi mendokumentasikan bahan rujukan Sejarah terus berkembang dan berwaris. Di zaman Bani Umayyah dan Abbasiyyah, pelbagai ‘Diwan’ ditulis sebagai dokumen pemerintah dan rujukan. Manakala di zaman kerajaan Uthmaniyyah, urusan-urusan kerajaan khususnya semasa peperangan, direkod oleh penulis rasmi kerajaan yang dikenali sebagai ‘vakanuvis’. Malah dari sudut pencapaian kemajuan sistem pentadbiran negara, umat Islam amat terkehadapan berbanding masyarakat yang lain. Kesimpulannya,  pelbagai dokumen berupa manuskrip, di samping buku-buku karangan ulama pelbagai zaman, tersedia untuk dirujuk dan dikaji ke arah mengeluarkan khazanah mutiara Sejarah Islam yang amat berharga itu.

Walau bagaimanapun, usaha membentangkan sejarah kepada masyarakat menghadapi beberapa cabaran yang wajar dihalusi untuk mengatasinya. Walaupun umat Islam agak beruntung kerana kesedaran dan usaha merakamkan peristiwa-peristiwa penting telah sedia wujud semenjak dari generasi pertama Islam, namun bahan-bahan tersebut tetap berhadapan dengan beberapa ciri yang menyulitkan pengkaji.


1. Catatan Yang Tidak Seimbang
  Era awal seperti Sejarah Bani Umayyah hanya dirakamkan oleh ahli sejarah seperti al-Imam at-Thabari kebanyakannya dari sudut siasah. Oleh itu kebanyakan catatan adalah berkisar tentang pemerintahan, silih pergantian pemimpin dan peristiwa yang berkaitan dengannya serta peperangan yang berlaku. Akan tetapi, pengkajian dari dimensi ketamadunan seperti ekonomi dan sosio budaya, tidak banyak dibantu oleh karya at-Thabari.

Kesan daripada ketidakseimbangan ini dapat dilihat daripada kecenderungan tanpa sedar sesetengah kita yang selalunya mendapat gambaran bahawa apabila disebut Sejarah Islam, perhatiannya terlalu banyak difokuskan kepada aspek siasah semata-mata. Oleh yang demikian, persembahan Islam yang dilakukan kepada masyarakat, khususnya kepada non-Muslim, dilakukan dalam bentuk yang kurang menonjolkan keindahan dan ‘manfaat’ yang relevan kepada paradigma pemikiran non-Muslim. Mesej terhadap hak non-Muslim banyak terfokus kepada jaminan keselamatan mereka dari gangguan dan ketidakadilan semata-mata. Mereka kurang dapat melihat bagaimanakah mereka boleh terus berniaga, hidup berkualiti dan maju di bawah sistem Islam kerana sentiasa menyebut tentang soal jaminan hak dan keselamatan. Ia memberikan gambaran secara reverse psychology seolah-olah hidup di bawah sistem Islam sentiasa berhadapan dengan ancaman keselamatan.


2. Taasub Kaum dan Bangsa di Dalam Dokumentasi
 Suatu perkara yang diketahui umum, bahawa era Abbasiyyah mengalami kesuburan sentimen anti Bani Umayyah. Ia turut memberikan kesan kepada bahan-bahan rujukan yang dihasilkan di zaman Abbasiyyah yang banyak bercorak prejudis terhadap Bani Umayyah. Misalnya, koleksi khutbah Bani Umayyah yang mencela Ahlul Bayt, banyak yang seni bahasanya menunjukkan bahawa khutbah itu berbahasa Arab era Abbasiyyah dan bukannya Umayyah. Hal ini memerlukan ketelitian para pengkaji agar tidak terdorong untuk menerima bulat-bulat segala yang dipaparkan.

Malah dari satu sudut yang lain, kajian terhadap Bani Umayyah hanya tertumpu kepada unsur-unsur yang terhad dan tidak menyeluruh lantaran halangan yang dibentuk oleh sifat prejudis itu tadi [Dirasah Wathaqiyyah li at-Tarikh al-Islami wa Masadiruhu min ‘Ahd Bani Umayyah Hatta al-Fath al-Uthmani li Suria wa Misr oleh Muhammad Mahir Hamadah]


3. Permasalahan Bahasa
 Perbedaan antara rujukan di satu zaman dengan zaman yang lain bukan hanya tertumpu kepada teknik merekod, malah bahasa yang digunakan juga mengalami perkembangan dan perubahan. Pengkajian sejarah era Seljuk memberikan keutamaan kepada dokumen berbahasa Parsi berbanding dengan yang berbahasa Arab. Hal ini perlu diambil kira oleh pengkaji supaya sebarang pertentangan fakta diselesaikan dengan mengambil kira aspek bahasa yang dominan di zaman tersebut.

Amat malang apabila pengkajian sejarah era Daulah Othmaniyyah tidak bermula dengan penguasaan bahasa sumber rujukan. Tidak ramai pengkaji, khususnya dari kalangan Muslim, yang mempelajari bahasa Turki dan bahasa Othmaniyyah (Osmanlıca) sebagai langkah pertama untuk mendalami sejarah era Othmaniyyah. Hal ini amat berbeza dengan pendekatan para orientalis, misalnya Bernard Lewis yang bukan sahaja memulakan pengkhususan beliau di bidang ini dengan menguasai bahasa Turki, malah berkahwin terus dengan wanita berbangsa Turki untuk mendalami bahasa dan kebudayaan mereka.

Kesannya dapat dilihat, apabila tokoh terbilang seperti Hamka, hanya berupaya merujuk buku-buku yang dikarang oleh orientalis Belanda untuk menghasilkan penulisan tentang era Othmaniyyah di dalam bukunya yang terkenal, Sejarah Umat Islam. Ia bukanlah suatu keaiban terhadap Hamka memandangkan kepada rujukan yang amat terhad pada masa itu. Namun perlulah kita mengambil pelajaran untuk tidak mensesiakan penyelesaian yang berada di depan mata hari ini.

Atas kesedaran betapa pentingnya penguasaan bahasa dan teknik pembacaan sumber rujukan seperti manuskrip dan kitab-kitab lama, Universiti Ankara di Turki telah menubuhkan Fakulti Bahasa dan Sejarah-Geografi atau lebih dikenali sebagai Dil ve Tarih-Coğrafya Fakültesi.

Sesungguhnya ketidakupayaan pengkaji sejarah menguasai bahasa sumber rujukan premier, mengundang kepada kecacatan yang besar di dalam pembentangan hasil kajian Sejarah. Lebih-lebih lagi, di Republic of Turkey Prime Ministry General Directorate of State Archives menjelaskan bahawa masih terhadap 150 juta keping dokumen berupa manuskrip dan surat-surat rasmi di sepanjang pemerintahan kerajaan Othmaniyyah yang masih belum disentuh untuk dikaji! Semestinya banyak lagi khazanah yang boleh digali, khususnya yang berkaitan dengan hubungan pemerintahan Daulah Othmaniyyah ke atas umat Islam di Kepulauan Melayu suatu ketika dahulu.


4. Referensi yang Terkurung
 Satu lagi faktor yang menjadi halangan kepada pengkaji ialah bagaimana banyak bahan rujukan Sejarah kita tersimpan di institusi-institusi yang amat rumit dan untuk diakses. Khususnya setelah kekalahan umat Islam semasa Perang Dunia Pertama, umat Islam telah ditimpa dengan suatu kebodohan yang merugikan apabila banyak manuskrip dan bahan Sejarah yang diberikan secara percuma kepada kuasa barat untuk dibawa ke muzium-muzium Eropah demi sedikit habuan yang tidak seberapa. Hari ini, umat Islam berhadapan dengan kesulitan apabila terpaksa pergi ke negara-negara Barat yang sesetengahnya mengenakan pelbagai polisi yang rumit, semata-mata untuk membolehkan kita membaca dan mengkaji hasil tulisan datuk nenek moyang kita sendiri.

Kita lihat, misalnya usaha untuk mendapatkan manuskrip dari Perpustakaan Suleymaniye di Istanbul, menuntut kita berhadapan dengan pelbagai karenah birokrasi. Lebih menyulitkan jika bahan tersebut berada di sesetengah negara Arab yang amat curiga dan skeptik dengan permohonan mendapatkan manuskrip di perpustakaan mereka.

Lebih mencabar lagi, peperangan yang berlaku di bandar seperti Baghdad sudah semestinya mengorbankan khazanah bahan rujukan sejarah Islam yang sama tragisnya dengan kematian penduduk bandar ‘berhantu’ itu.


5. Taasub Kaum dan Bangsa di Dalam Penafsiran Sejarah
 Permusuhan di antara masyarakat Abbasiyyah dengan Bani Umayyah tidak terhenti di zaman tersebut sahaja malah berlarutan hingga ke hari ini. Ia lebih ketara selepas kemusnahan jati diri umat Islam sewaku hancurnya Khilafah Othmaniyyah pada tahun 1924. Penyebaran fahaman nasionalisma perkauman telah mendorong kepada sikap tidak adil dan prejudis di dalam penafsiran Sejarah Islam.

Orang Arab melihat kuasa Othmaniyyah Turki sebagai kuasa penjajahan dan ia menjadi teras kepada penulisan ramai dari kalangan pengkaji Arab. Mereka melabelkan Sultan Abdul Hamid II sebagai ‘Sultan Merah’ yang kejam, zalim dan sebagainya. Senada dengan tuduhan Syiah terhadap peribadi seperti Muawiyah bin Abi Sufyan RA. Manakala bangsa Turki pula memandang orang Arab sebagai pengkhianat dan mereka menulis sejarah tentang gerakan Revolusi Arab dan lain-lain dengan bahasa kebencian yang melampaui realiti sebenar.


6. Sikap Terhadap Amanah Ilmu
 Sekali lagi masalah sikap diketengahkan sebagai punca permasalahan Sejarah Islam. Kecenderungan masyarakat kita untuk mendengar hanya berita yang dramatik, sensasi dan panas, mengundang kepada munculnya penulisan-penulisan yang cuba untuk bermain dengan akal dan emosi semata-mata. Ini mendorong kepada pengambilan bahan Sejarah yang boleh menarik pembaca tetapi tidak sedikitkan membantu kepada pembelajaran Sejarah.


Misalnya jika di zaman sahabat Rasulullah SAW, riwayat-riwayat sahih tentang Majlis Tahkim tidak dipedulikan, sebaliknya tertumpu kepada riwayat palsu yang menceritakan penipuan para sahabat, sikap gila kuasa dan sebagainya. Ini sedikit sebanyak berpunca daripada keadaan riwayat sahih yang tidak mempunyai unsur panas yang diperkatakan tadi.                                                                                                                                                                 


7. Kesilapan di Dalam Pendekatan Pembelajaran Sejarah

Pembelajaran Sejarah Islam banyak tertumpu kepada mengetahui apa yang berlaku pada satu-satu masa menurut kronologi peristiwa sahaja. Amat kurang usaha untuk mengambil manfaat daripada penafsiran Sejarah malah subjek Sejarah di sekolah hanya tertumpu kepada menjawab soalan berasaskan teknik PES iaitu menjawab soalan peperiksaan melalui skop politik, ekonomi dan sosial! Sedangkan suntikan roh sejarah amat kurang diusahakan.

Kita juga kurang mengenali aspek Fiqh at-Tarikh, iaitu ilmu berhubung dengan asas-asas kepada ilmu Sejarah, cara mengenali sumber rujukan dan permasalahan yang memerlukan perhatian, teknik menafsir bahan Sejarah dan lain. Sebagai analogi, kita kenal ilmu Fiqh tetapi mengabaikan Usul al-Fiqh. Justeru ramailah yang membuat kesilapan semasa mempelajari Sejarah.


8. Bidang Yang Ketinggalan dan Tidak Komersil

Walaupun Sejarah Islam merupakan bidang yang amat penting di dalam ‘membina manusia’ di dalam sesebuah masyarakat, rata-rata ia bukanlah menjadi subjek pilihan pelajar yang mahu menempah tempat di Institusi Pengkajian Tinggi. Hal ini berlawanan dengan kesedaran yang wujud di negara-negara sosialis di mana golongan cerdik dan bijak pandai dipilih untuk mendalami ilmu-ilmu yang membentuk manusia.

Semasa saya meluangkan masa sepanjang hari selama seminggu di Perpustakaan IRCICA di Yildiz Sarayi untuk menyiapkan beberapa penyelidikan, saya berapa kecewa kerana hampir-hampir tidak ada orang Islam yang datang mengkaji Sejarah dan Tamadun Islam di situ. Kebanyakan pengkaji adalah terdiri daripada pengkaji British, Perancis, Jerman dan Amerika Syarikat.

Oleh itu, kita berharap agar pengkajian Sejarah Islam di peringkat universiti dapat dipertingkatkan persembahannya. Para ahli akademik janganlah tenggelam di dalam dunia akademiknya sehingga tidak turun dengan ilmu dan kepakarannya kepada masyarakat. Manakala para pendakwah, penulis dan mereka yang bekerja di tengah-tengah masyarakat pula hendaklah bertanggungjawab mempersembahkan teladan Sejarah secara amanah dan bersandarkan kepada sumber yang sahih lagi muktamad.

Kelalaian di dalam memelihara imbangan antara kedua-dua ini akan hanya menjadikan bangsa kita iaitu bangsa Muslim, membina kediamannya di persada tamadun kemanusiaan dengan bangunan yang lebih pasir dan simen, menanti hari rebah ke bumi, lemah kepercayaan kepada Tuhan dan tiada keyakinan diri.
PROBLEMATIKA SEJARAH ISLAM
Disiarkan di Majalah I Keluaran September 2005
 By Moh. Subhan




Di dalam bahagian pertama tulisan saya (Majalah I Ogos 2005), kita telah sama-sama meneliti bagaimana Syiah memainkan peranan yang besar di dalam menabur racun kepalsuan terhadap kemurnian Sejarah Islam. Ini tertumpu kepada era al-Khulafa’ ar-Rashideen dan zaman awal Bani Umayyah yang menjadi era penentu kepada survival sirah perjalanan umat Islam secara keseluruhannya. Jika para Sahabat dapat ditumbangkan melalui sejarah, maka akan tumbanglah seluruh tubuh badan umat kerana generasi tersebutlah yang menjadi penyampai pertama risalah Islam dari Rasulullah SAW kepada sekalian umat.

Kita sama-sama menyedari bahawa Sejarah adalah bukti universal yang amat berkesan untuk mensabitkan sesuatu. Jati diri umat Islam dan keyakinan mereka untuk kembali bangkit selepas siri keruntuhan, berkait rapat dengan sejauh mana mereka berjaya menghayati Sejarah generasi terdahulu yang menyajikan pelajaran berharga. Di atas dasar inilah, Sejarah Islam terus menjadi sasaran musuh untuk dikelirukan supaya umat yang sedang bangun ini akan terus terpukul di belakangnya dengan pemahaman Sejarah yang salah dan mengecewakan.


KEPENTINGAN DOKUMENTASI SEJARAH
 Dokumen-dokumen yang menjadi sumber premier kepada Sejarah disebut di dalam Bahasa Arab sebagai watheeqah. Ia berasal dari kata umbi thiqah yang bermaksud kepercayaan. Dalam erti kata yang lain, kepercayaan terhadap sesuatu fakta Sejarah berkait rapat dengan hal ehwal yang bersangkutan dengan dokumen yang dirujuk. Muhammad Mahir Hamadah menukilkan kata, “tiada Sejarah tanpa dokumen” dan pada satu tahap, kata-kata itu memang benar.

Hal ini sememangnya telah diterima dengan baik oleh umat Islam zaman berzaman. Walaupun kita menghadapi pelbagai kesukaran untuk mendapatkan dokumen Sejarah bagi era awal Islam akibat kemusnahan yang dicetuskan oleh Perang Salib, Perang Tatar ke atas Baghdad dan sebagainya, sedikit sebanyak tradisi mendokumentasikan bahan rujukan Sejarah terus berkembang dan berwaris. Di zaman Bani Umayyah dan Abbasiyyah, pelbagai ‘Diwan’ ditulis sebagai dokumen pemerintah dan rujukan. Manakala di zaman kerajaan Uthmaniyyah, urusan-urusan kerajaan khususnya semasa peperangan, direkod oleh penulis rasmi kerajaan yang dikenali sebagai ‘vakanuvis’. Malah dari sudut pencapaian kemajuan sistem pentadbiran negara, umat Islam amat terkehadapan berbanding masyarakat yang lain. Kesimpulannya,  pelbagai dokumen berupa manuskrip, di samping buku-buku karangan ulama pelbagai zaman, tersedia untuk dirujuk dan dikaji ke arah mengeluarkan khazanah mutiara Sejarah Islam yang amat berharga itu.

Walau bagaimanapun, usaha membentangkan sejarah kepada masyarakat menghadapi beberapa cabaran yang wajar dihalusi untuk mengatasinya. Walaupun umat Islam agak beruntung kerana kesedaran dan usaha merakamkan peristiwa-peristiwa penting telah sedia wujud semenjak dari generasi pertama Islam, namun bahan-bahan tersebut tetap berhadapan dengan beberapa ciri yang menyulitkan pengkaji.


1. Catatan Yang Tidak Seimbang
  Era awal seperti Sejarah Bani Umayyah hanya dirakamkan oleh ahli sejarah seperti al-Imam at-Thabari kebanyakannya dari sudut siasah. Oleh itu kebanyakan catatan adalah berkisar tentang pemerintahan, silih pergantian pemimpin dan peristiwa yang berkaitan dengannya serta peperangan yang berlaku. Akan tetapi, pengkajian dari dimensi ketamadunan seperti ekonomi dan sosio budaya, tidak banyak dibantu oleh karya at-Thabari.

Kesan daripada ketidakseimbangan ini dapat dilihat daripada kecenderungan tanpa sedar sesetengah kita yang selalunya mendapat gambaran bahawa apabila disebut Sejarah Islam, perhatiannya terlalu banyak difokuskan kepada aspek siasah semata-mata. Oleh yang demikian, persembahan Islam yang dilakukan kepada masyarakat, khususnya kepada non-Muslim, dilakukan dalam bentuk yang kurang menonjolkan keindahan dan ‘manfaat’ yang relevan kepada paradigma pemikiran non-Muslim. Mesej terhadap hak non-Muslim banyak terfokus kepada jaminan keselamatan mereka dari gangguan dan ketidakadilan semata-mata. Mereka kurang dapat melihat bagaimanakah mereka boleh terus berniaga, hidup berkualiti dan maju di bawah sistem Islam kerana sentiasa menyebut tentang soal jaminan hak dan keselamatan. Ia memberikan gambaran secara reverse psychology seolah-olah hidup di bawah sistem Islam sentiasa berhadapan dengan ancaman keselamatan.


2. Taasub Kaum dan Bangsa di Dalam Dokumentasi
 Suatu perkara yang diketahui umum, bahawa era Abbasiyyah mengalami kesuburan sentimen anti Bani Umayyah. Ia turut memberikan kesan kepada bahan-bahan rujukan yang dihasilkan di zaman Abbasiyyah yang banyak bercorak prejudis terhadap Bani Umayyah. Misalnya, koleksi khutbah Bani Umayyah yang mencela Ahlul Bayt, banyak yang seni bahasanya menunjukkan bahawa khutbah itu berbahasa Arab era Abbasiyyah dan bukannya Umayyah. Hal ini memerlukan ketelitian para pengkaji agar tidak terdorong untuk menerima bulat-bulat segala yang dipaparkan.

Malah dari satu sudut yang lain, kajian terhadap Bani Umayyah hanya tertumpu kepada unsur-unsur yang terhad dan tidak menyeluruh lantaran halangan yang dibentuk oleh sifat prejudis itu tadi [Dirasah Wathaqiyyah li at-Tarikh al-Islami wa Masadiruhu min ‘Ahd Bani Umayyah Hatta al-Fath al-Uthmani li Suria wa Misr oleh Muhammad Mahir Hamadah]


3. Permasalahan Bahasa
 Perbedaan antara rujukan di satu zaman dengan zaman yang lain bukan hanya tertumpu kepada teknik merekod, malah bahasa yang digunakan juga mengalami perkembangan dan perubahan. Pengkajian sejarah era Seljuk memberikan keutamaan kepada dokumen berbahasa Parsi berbanding dengan yang berbahasa Arab. Hal ini perlu diambil kira oleh pengkaji supaya sebarang pertentangan fakta diselesaikan dengan mengambil kira aspek bahasa yang dominan di zaman tersebut.

Amat malang apabila pengkajian sejarah era Daulah Othmaniyyah tidak bermula dengan penguasaan bahasa sumber rujukan. Tidak ramai pengkaji, khususnya dari kalangan Muslim, yang mempelajari bahasa Turki dan bahasa Othmaniyyah (Osmanlıca) sebagai langkah pertama untuk mendalami sejarah era Othmaniyyah. Hal ini amat berbeza dengan pendekatan para orientalis, misalnya Bernard Lewis yang bukan sahaja memulakan pengkhususan beliau di bidang ini dengan menguasai bahasa Turki, malah berkahwin terus dengan wanita berbangsa Turki untuk mendalami bahasa dan kebudayaan mereka.

Kesannya dapat dilihat, apabila tokoh terbilang seperti Hamka, hanya berupaya merujuk buku-buku yang dikarang oleh orientalis Belanda untuk menghasilkan penulisan tentang era Othmaniyyah di dalam bukunya yang terkenal, Sejarah Umat Islam. Ia bukanlah suatu keaiban terhadap Hamka memandangkan kepada rujukan yang amat terhad pada masa itu. Namun perlulah kita mengambil pelajaran untuk tidak mensesiakan penyelesaian yang berada di depan mata hari ini.

Atas kesedaran betapa pentingnya penguasaan bahasa dan teknik pembacaan sumber rujukan seperti manuskrip dan kitab-kitab lama, Universiti Ankara di Turki telah menubuhkan Fakulti Bahasa dan Sejarah-Geografi atau lebih dikenali sebagai Dil ve Tarih-Coğrafya Fakültesi.

Sesungguhnya ketidakupayaan pengkaji sejarah menguasai bahasa sumber rujukan premier, mengundang kepada kecacatan yang besar di dalam pembentangan hasil kajian Sejarah. Lebih-lebih lagi, di Republic of Turkey Prime Ministry General Directorate of State Archives menjelaskan bahawa masih terhadap 150 juta keping dokumen berupa manuskrip dan surat-surat rasmi di sepanjang pemerintahan kerajaan Othmaniyyah yang masih belum disentuh untuk dikaji! Semestinya banyak lagi khazanah yang boleh digali, khususnya yang berkaitan dengan hubungan pemerintahan Daulah Othmaniyyah ke atas umat Islam di Kepulauan Melayu suatu ketika dahulu.


4. Referensi yang Terkurung
 Satu lagi faktor yang menjadi halangan kepada pengkaji ialah bagaimana banyak bahan rujukan Sejarah kita tersimpan di institusi-institusi yang amat rumit dan untuk diakses. Khususnya setelah kekalahan umat Islam semasa Perang Dunia Pertama, umat Islam telah ditimpa dengan suatu kebodohan yang merugikan apabila banyak manuskrip dan bahan Sejarah yang diberikan secara percuma kepada kuasa barat untuk dibawa ke muzium-muzium Eropah demi sedikit habuan yang tidak seberapa. Hari ini, umat Islam berhadapan dengan kesulitan apabila terpaksa pergi ke negara-negara Barat yang sesetengahnya mengenakan pelbagai polisi yang rumit, semata-mata untuk membolehkan kita membaca dan mengkaji hasil tulisan datuk nenek moyang kita sendiri.

Kita lihat, misalnya usaha untuk mendapatkan manuskrip dari Perpustakaan Suleymaniye di Istanbul, menuntut kita berhadapan dengan pelbagai karenah birokrasi. Lebih menyulitkan jika bahan tersebut berada di sesetengah negara Arab yang amat curiga dan skeptik dengan permohonan mendapatkan manuskrip di perpustakaan mereka.

Lebih mencabar lagi, peperangan yang berlaku di bandar seperti Baghdad sudah semestinya mengorbankan khazanah bahan rujukan sejarah Islam yang sama tragisnya dengan kematian penduduk bandar ‘berhantu’ itu.


5. Taasub Kaum dan Bangsa di Dalam Penafsiran Sejarah
 Permusuhan di antara masyarakat Abbasiyyah dengan Bani Umayyah tidak terhenti di zaman tersebut sahaja malah berlarutan hingga ke hari ini. Ia lebih ketara selepas kemusnahan jati diri umat Islam sewaku hancurnya Khilafah Othmaniyyah pada tahun 1924. Penyebaran fahaman nasionalisma perkauman telah mendorong kepada sikap tidak adil dan prejudis di dalam penafsiran Sejarah Islam.

Orang Arab melihat kuasa Othmaniyyah Turki sebagai kuasa penjajahan dan ia menjadi teras kepada penulisan ramai dari kalangan pengkaji Arab. Mereka melabelkan Sultan Abdul Hamid II sebagai ‘Sultan Merah’ yang kejam, zalim dan sebagainya. Senada dengan tuduhan Syiah terhadap peribadi seperti Muawiyah bin Abi Sufyan RA. Manakala bangsa Turki pula memandang orang Arab sebagai pengkhianat dan mereka menulis sejarah tentang gerakan Revolusi Arab dan lain-lain dengan bahasa kebencian yang melampaui realiti sebenar.


6. Sikap Terhadap Amanah Ilmu
 Sekali lagi masalah sikap diketengahkan sebagai punca permasalahan Sejarah Islam. Kecenderungan masyarakat kita untuk mendengar hanya berita yang dramatik, sensasi dan panas, mengundang kepada munculnya penulisan-penulisan yang cuba untuk bermain dengan akal dan emosi semata-mata. Ini mendorong kepada pengambilan bahan Sejarah yang boleh menarik pembaca tetapi tidak sedikitkan membantu kepada pembelajaran Sejarah.


Misalnya jika di zaman sahabat Rasulullah SAW, riwayat-riwayat sahih tentang Majlis Tahkim tidak dipedulikan, sebaliknya tertumpu kepada riwayat palsu yang menceritakan penipuan para sahabat, sikap gila kuasa dan sebagainya. Ini sedikit sebanyak berpunca daripada keadaan riwayat sahih yang tidak mempunyai unsur panas yang diperkatakan tadi.                                                                                                                                                                 


7. Kesilapan di Dalam Pendekatan Pembelajaran Sejarah

Pembelajaran Sejarah Islam banyak tertumpu kepada mengetahui apa yang berlaku pada satu-satu masa menurut kronologi peristiwa sahaja. Amat kurang usaha untuk mengambil manfaat daripada penafsiran Sejarah malah subjek Sejarah di sekolah hanya tertumpu kepada menjawab soalan berasaskan teknik PES iaitu menjawab soalan peperiksaan melalui skop politik, ekonomi dan sosial! Sedangkan suntikan roh sejarah amat kurang diusahakan.

Kita juga kurang mengenali aspek Fiqh at-Tarikh, iaitu ilmu berhubung dengan asas-asas kepada ilmu Sejarah, cara mengenali sumber rujukan dan permasalahan yang memerlukan perhatian, teknik menafsir bahan Sejarah dan lain. Sebagai analogi, kita kenal ilmu Fiqh tetapi mengabaikan Usul al-Fiqh. Justeru ramailah yang membuat kesilapan semasa mempelajari Sejarah.


8. Bidang Yang Ketinggalan dan Tidak Komersil

Walaupun Sejarah Islam merupakan bidang yang amat penting di dalam ‘membina manusia’ di dalam sesebuah masyarakat, rata-rata ia bukanlah menjadi subjek pilihan pelajar yang mahu menempah tempat di Institusi Pengkajian Tinggi. Hal ini berlawanan dengan kesedaran yang wujud di negara-negara sosialis di mana golongan cerdik dan bijak pandai dipilih untuk mendalami ilmu-ilmu yang membentuk manusia.

Semasa saya meluangkan masa sepanjang hari selama seminggu di Perpustakaan IRCICA di Yildiz Sarayi untuk menyiapkan beberapa penyelidikan, saya berapa kecewa kerana hampir-hampir tidak ada orang Islam yang datang mengkaji Sejarah dan Tamadun Islam di situ. Kebanyakan pengkaji adalah terdiri daripada pengkaji British, Perancis, Jerman dan Amerika Syarikat.

Oleh itu, kita berharap agar pengkajian Sejarah Islam di peringkat universiti dapat dipertingkatkan persembahannya. Para ahli akademik janganlah tenggelam di dalam dunia akademiknya sehingga tidak turun dengan ilmu dan kepakarannya kepada masyarakat. Manakala para pendakwah, penulis dan mereka yang bekerja di tengah-tengah masyarakat pula hendaklah bertanggungjawab mempersembahkan teladan Sejarah secara amanah dan bersandarkan kepada sumber yang sahih lagi muktamad.

Kelalaian di dalam memelihara imbangan antara kedua-dua ini akan hanya menjadikan bangsa kita iaitu bangsa Muslim, membina kediamannya di persada tamadun kemanusiaan dengan bangunan yang lebih pasir dan simen, menanti hari rebah ke bumi, lemah kepercayaan kepada Tuhan dan tiada keyakinan diri.