Sabtu, 23 Juli 2011

TASAWUF REVOLUSI SPIRITUAL-MORALITAS *
(Refleksi atas kehidupan modern)
By Moh Subhan

A. Pendahuluan
Islam sebagai agama yang bersifat universal dan mencakup berbagai jawaban atas berbagai kebutuhan manusia, selain menghendaki kebersihan lahiriah (eksoterik) juga menghendaki kebersihan batiniah (esoterik), memelihara keseimbangan antara keperluan badani dan kebutuhan rohani, antara keutamaan dunia dan akhirat. Lantaran penilaian yang sesungguhnya dalam Islam diberikan pada aspek batin. Kedamaian tidak mungkin ditemukan dalam suatu peradaban yang menyusutkan seluruh kesejahteraan manusia menjadi kebutuhan hewani.
Kehidupan dewasa ini telah berkembang menjadi demikian materialistik dan hedonistik. Kesenangan sesaat dan materi menjadi tolok ukur segala hal, kesuksesan, kebahagiaan, semuanya ditentukan oleh materi. Orang berlomba mendapatkan materi yang sebanyak-banyaknya, karena dengannya manusia merasa sukses dan bisa mereguk kesenangan sesaat duniawi. Akibatnya manusia sering bertindak tanpa kontrol (menghalalkan segala cara) hanya untuk mendapatkan materi; manipulasi, korupsi dan kolusi. Menuruti hawa nafsu; pergaulan bebas yang menjurus pada perilaku penyimpangan seksual, pengguguran kandungan (aborsi), pemerasan, penindasan, pembunuhan dan perilaku tercela lainnya sudah dianggap sah-sah saja. Nilai-nilai kemanusiaan; adil, bijaksana, kasih sayang, kedamaian, dan nilai-nilai luhur lainnya semakin terkikis. Kehidupan manusia kian dihinggapi rasa cemas, dan hampa dari nilai-nilai spiritual. Sehingga yang tercipta sekarang ini adalah sebuah ras non manusiawi yang cenderung cemas, gugup, sulit diatur dan lebih mudah marah (impulsif dan agresif). Semua itu bermula dari kekotoran jiwa manusia, yaitu jiwa yang jauh dari bimbingan Allah swt, yang disebabkan ia tidak pernah mencoba mendekati-Nya.
Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut, tasawuflah yang paling memiliki potensi dan otoritas, karena di dalam tasawuf dibina secara intensif tentang cara-cara melakukan pembersihan diri (tazkiyatun nafs) serta mengamalkan syariat secara benar. Dengan pengetahuan ini diharapkan seseorang akan tampil sebagai individu yang bisa mengendalikan dirinya di saat ia berinteraksi dengan orang lain, atau di saat melakukan berbagai aktivitas duniawi yang menuntut kejujuran, keikhlasan, tanggung jawab, kepercayaan dan sebagainya, semata-mata karena Allah. Dengan cara ini seseorang akan selalu merasakan kehadiran Allah swt dalam dirinya. Sehingga pada gilirannya ia akan merasa malu jika berbuat yang menyimpang dari aturan Allah, karena merasa diperhatikan oleh-Nya. Ketika menduduki sebuah jabatan, ia lakukan dengan amanah, berpolitik ia lakukan dengan elegan dan jujur, berbinis sifat jujur dan tidak curang menjadi dasar pijakannya. Dengan kata lain apapun kedudukan dan bagaimanapun kondisinya ia akan ingat bahwa ia sedang diperhatikan Allah. Sosok pribadi seperti inilah yang dibutuhkan negara kita yang sedang terpuruk ini.
Fenomena yang terjadi di negara kita amat unik. Para kiai, sebagaian mursyid (guru dalam thariqah) sedang berlomba-lomba masuk dalam kancah politik praktis. Sehingga terkadang mereka malah dibuat alat legetimasi untuk kepentingan politik partai tertentu. Hal ini sungguh amat ironis. Tugas mulia yang seharusnya diemban --penebar kedamaian dan kerukunan, pembimbing umat—berubah menjadi pemecah belah umat. Hal ini amat berbeda dengan masa Islam klasik, mereka hadir dengan tasawuf sebagai gerakan check and balance (kontrol dan penyeimbang) atas gaya hidup yang berlebih-lebihan, bermewah-mewah, berfoya-foya yang dilakukan oleh kalangan pejabat, orang-orang kaya dan kaum borjuis lainnya. Dalam konteks yang demikian tasawuf menjadi gerekan protes sosial terhadap cara hidup dan berbuat yang dilakukan oleh kaum borjuis tersebut. Sebagai simbol dari protes itu maka mereka mengenakan pakaian yang sangat sederhana, seperti dari wool kasar.
Demikian pentingnya peranan tasawuf dalam kelangsungan hidup manusia seutuhnya (lahir dan batin) maka tidak mengherankan apabila tasawuf demikian akrab dengan kehidupan masyarakat Islam, setelah masyarakat tersebut membina akidah (iman) dan ibadahnya (islam), melalui ilmu tauhid dan ilmu fiqh, kemudian tasawuf yang merupakan pengejawantahan lebih lanjut dari ajaran ihsan. Dengan demikian terjadi hubungan tiga serangkai yang amat harmonis yaitu; iman, islam dan ihsan atau akidah, syari’ah dan akhlak. Pertanyaan yang mendasar dan perlu kita jawab adalah, apakah memang cocok tasawuf bagi bangsa Indonesia yang sedang krisis dan morat-marit ini ? Apa malah tidak menjadikan bangsa ini menjadi semakin eskapistis (lari dari dunia) dan fatalistis (menyerah pada nasib atau takdir) serta kehilangan dorongan dan semangat kerja (etos kerka) ?

B. Pembahasan
Menurut Harun Nasution tasawuf mempunyai lima istilah yaitu shuffah yang bermakna sebuah serambi sederhana yang terbuat dari tanah dengan bangunan yang sedikit lebih tinggi daripada tanah, , Shaf yaitu barisan atau deretan dalam shalat berjama’ah, Shafa yaitu bersih dan suci, sophos (bahasa Yunani: hikmah) dan shuf yaitu kain wol kasar.
Jadi, jika diperhatikan secara seksama, kelima istilah tersebut bertemakan tentang sifat-sifat dan keadaan yang terpuji; kesederhanaan dan kedekatan pada Tuhan.
Dengan demikian, dari segi bahasa tasawuf “menggambarkan keadaan yang selalu berorientasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan Allah, berpola hidup sederhana, mengutamakan kebenaran dan rela berkorban demi tujuan-tujuan yang mulia di sisi Allah.”
Sedangkan pengertian tasawuf dari segi istilah (terminologi), terdapat tiga sudut pandang yag digunakan para ahli dalam mendefinisikan tasawuf. Pertama, sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, kedua sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, dan ketiga sudut pandang manusia sebagai makhluk bertuhan.
Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatiannya kepada Allah. Selanjutnya, jika sudut pandang yang digunakan adalah pandangan bahwa manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf dapat didefinisikan upaya memperindah diri dengan akhlak yang besumber pada ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri pada Allah. Dan jika sudut pandang yang digunakan adalah manusia sebagai makhluk bertuhan, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai suatu kesadaran fitrah yang dapat mengarahkan jiwa agar selalu tertuju pada aktivitas yang dapat menghubungkan manusia dengan tuhan.
Jika ketiga definisi tersebut disatukan, maka segera nampak bahwa tasawuf intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan diri manusia dari pengaruh kehidupan duniawi dan selalu merasa dekat dengan Allah, sehingga jiwanya bersih dan memancarkan akhlak mulia.
Dengan menempatkan pengertian tasawuf secara proporsional dan mempraktekkan dengan tepat dan benar, maka nampak tasawuf tidak mengesankan keterbelakangan dan kemunduran atau semacamnya, melainkan justru menjadi suatu metode yang efektif dan impresif dalam menghadapi tantangan zaman dan dinamika kehidupan yang silih berganti. Sebab, dalam tasawuf terdapat prinsip-prinsip positip yang mampu menumbuhkan perkembangan masa depan masyarakat. Bahkan tasawuf mendoromg wawasan hidup yang moderat (tawasuth) yang bertumpu pada basis keharmonisan dan keseimbangan total.

Dari Gerakan Hidup Zuhud menjadi Ajaran Tasawuf
Suatu kenyataan bahwa kelahiran tasawuf bermula dari gerakan hidup zuhud. Dengan kata lain bahwa cikal bakal aliran tasawuf adalah kehidupan zuhud yang sebenarnya telah dipraktekkan dan diajarkan oleh Rasulullah, kemudian diikuti oleh para sahabat. Pada abad pertama Hijriah mereka yang menempuh kehidupan zuhud dikenal dengan sebutan nasik, ubad atau zahid (ascetic). Karena mereka lebih memperbanyak ibadah, zuhud dan wara’ sesuai dengan batas yang diperintahkan agama. Kemudian pada pertengahan abad ke-2 H barulah dikenal istilah tasawuf, dan orang yang melaksanakan tasawuf disebut dengan shufi. Orang yang mula-mula digelari shufi adalah Abu Hasyim al Kufi (w. 150 H).
Meskipun pada saat itu sudah ada istilah shufi, tetapi belum berarti telah lahir sistem tasawuf sebagai ilmu, ia masih dalam perkembangan dari zuhud ke arah tasawuf. Perkembangan zuhud ke arah tasawuf sebagai ilmu yang sistematis dimulai pada permulaan abad ke-3 H, dan mencapai kesempurnaanya pada abad ke-4 H.
Menurut al-Taftazani, pada masa ini terdapat dua aliran tasawuf Pertama, tasawuf yang beraliran moderat atau tasawuf suluki (Behaviourist), (ajarannya selalu merujuk pada al Qur’an dan al Sunnah). Ajaran tasawufnya didominasi ajaran-ajaran moral. Kedua, tasawuf yang beraliran “wahdatul wujud / kesatuan wujud” (panteisme), atau tasawuf falsafi (Philosophical). Ajaran tasawufnya mengajarkan konsep hubungan manusia dengan Allah, seperti hulul dan ittihad, atau bercirikan kecenderungan pada metafisis.
Abad ke-5 H, masih menurut al-Taftazani corak tasawuf moderat lebih mendominasi dari aliran tasawuf lainnya, dan mengadakan kritik yang keras terhadap keekstreman tasawuf Abu Yazid al Busthami dan al Hallaj maupun para sufi lainnya yang dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam. Dengan demikian, kaum sufi abad ke-5 H cenderung mengadakan pembaruan, yakni dengan mengembalikan tasawuf pada landasan al Qur’an dan al Sunnah. Al-Qusyairi (w. 465 H) dan al Harawi (w. 481 H) dipandang sebagai tokoh-tokoh sufi yang paling menonjol di abad ini, yang membawa tasawuf ke arah aliran sunni. Kemudian metode mereka berdua diikuti oleh al Ghazali (w.505 H). Karena itu, pada abad ke-5 H, tasawuf sunni berada pada posisi yang menentukan.
Para pengkaji tasawuf sering menempatkan al Ghazali sebagai tokoh utama periode ini, yang menyelamatkan tasawuf dari kehancuran. Ia berupaya untuk mengintegrasikan fiqh dan teologi (Ilmu Kalam) menjadi satu ajaran Islam yang utuh, melalui karya monumentalnya “Ihya ‘Ulum al-Din”, sehingga tasawuf bisa diterima di kalangan umat Islam saat itu. Karena pada masa awal kemunculan tasawuf telah terjadi ketegangan-ketegangan yang serius antara para zahid atau sufi dengan para fuqaha dan mutakllimin. Sehingga banyak para sufi yang dicap oleh kalangan fuqaha dan mutakllimin dengan zindiq. Bahkan diantara mereka ada yang dihukum bunuh, seperti al Hallaj, sufi-sufi seperti Zu al-Nun al-Misri, Abu Yazid al Bustami, Junaid al-Baghdadi dan laiinya tidak luput dari tuduhan zindiq tersebut.
Memasuki abad ke-6 H, tasawuf falsafi yang muncul pada abad ke-4 H dan tenggelam pada abad ke-5 H, muncul kembali dengan bentuknya yang lebih sempurna pada pengajaran Ibn Arabi (sufi Andalusia, w. 638 H). Dengan pengetahuan yang amat kaya, baik dalam ilmu keislaman maupun filsafat, ia berhasil mempublikasikan beberapa karyanya, diantaranya al Futuhat al Makiyah dan Fusu al Hikam. Hampir semua praktek, pengajaran dan ide yang berkembang dikalangan kaum sufi diliputnya dengan penjelasan-penjelasan yang memadai. Ajaran sentral Ibn Arabi adalah “kesatuan wujud” (wahdat al wujud). Melalui sufi-sufi besar yang menjadi murid atau pengikutnya, seperti al Qunawi (w. 673 H), al farqani (w. 700 H), al Kasyani (w. 730), Jalaluddin ar Rumi (w. 672 H), dan lain-lain, tasawuf ini berkembang, terutama di Persia.

Isi Pokok Ajaran Tasawuf
Dalam pandangan kaum shufi, manusia cenderung dikendalikan oleh dorongan-dorongan nafsu pribadinya. Ia cenderung ingin berkuasa dan menguasai dunia. Cara hidup seperti ini menurut al Ghazali, akan membawa manusia ke jurang kehancuran moral. Sebab sadar atau tidak, lambat atau cepat, manusia akan terbawa kepada pemujaan dunia (hubbu al dunya). Kenikmatan hidup dunia akan menjadi tujuan utama, bukan sebagai sarana untuk menuju kebahagiaan dan kenikmatan akhirat yang hakiki.
Pandangan hidup seperti itu menjurus ke arah pertentangan manusia dengan sesamanya. Sehingga ia lupa akan wujud dirinya sebagai hamba Allah yang harus berjalan di atas aturan agama. Karena sebagaian besar waktunya dihabiskan untuk persoalan-persoalan dunia, maka ingatannyapun jauh dari Allah. Semua itu disebabkan oleh tidak terkontrolnya hawa nafsu.
Sebenarnya, manusia tidak perlu mematikan sama sekali potensi nafsunya, tetapi bagaimana ia mampu meguasainya agar nafsu itu tidak membawa pada kesesatan. Memang, pada dasarnya nafsu manusia mempunyai kecenderungan untuk baik dan buruk, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Asy Syams, 7-10.
ونفس وما سواها◘ لإا لهمها فجو رها وتقواها◘ قد افلح من زكها◘ وقد خاب من دسها
Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),
Maka Allah mengilhami kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaan,
Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.
Agar nafsu dapat dikuasai, maka perlu adanya rehabilitasi mental secara total (lahir dan bathin), sebab hawa nafsu itu merupakan hijab antara manusia dengan Tuhan. Sebagai upaya untuk menyingkap tabir itu, seseorang harus melakukan amalan dan latihan kerohaniaan melalui cara-cara (thariqah) tertentu. Dalam hal ini, ahli tasawuf membuat suatu sistem yang tersusun atas dasar didikan tiga tingkat, yaitu takhalli, tahalli dan tajalli.
Takhalli adalah membersihkan diri dari sifat-sifat basyariyah; yakni manusia dalam dimensi jasmani dan lahiriahnya yang memilki nafsu (nafsu untuk menikmati hidup dan kemapanan, nafsu dan hasrat untuk membangun cita-cita, serta kekuatan dan kelemahan). Dengan ungkapan lain, mengosongkan diri dari sifat ketergantungan terhadap kelezatan hidup duniawi.
Tahalli, mengisi diri dengan sifat-sifat insaniyah; (manusia dalam dimensi ruhani dan spiritualnya), atau menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, sifat dan perbuatan yang terpuji dengan cara mentaati ketentuan agama baik yang bersifat lahiriyah seperti; shalat, puasa, zakat dan sebagainya, maupun yang bersifat batin seperti, wara’, ihlas, ridla dan sebagainya. Jalur yang bisa dilakukan adalah, riyadlah (spiritual exercise / olah rohani); dzikir, do’a serta memperbanyak ibadah dan muhasabah (kalkulasi diri); syukur, tawakkal, sabar, cinta kasih, ridla dan mengingat mati.
Sedangkan tajalli berarti terungkapnya nur gaib untuk hati, karena telah lenyapnya hijab (tabir) dari sifat-sifat manusia dalam dimensi jasmani dan lahiriahnya yang memilki nafsu (basyariyah). Dalam posisi seperti itu, seseorang telah mampunyai rasa (dzauq) dan memberi pemahaman lebih metafisis tentang rahasia-rahasia ketuhanan (sirr), sehingga hatinya menjadi kosong dari sifat-sifat tercela (takhalli), tetapi penuh dengan sifat-sifat terpuji (tahalli). Karenanya, Allah bisa dikenal secara jelas (tajalli) dengan bantuan nur kehendak-Nya yang dipancarkan dalam mata hati orang-orang yang dikehendaki-Nya. Kaum shufi yakin bahwa seseorang dapat memperoleh pancaran nur Ilahi.
Ketika hijab telah tersingkap, maka Allah tampak dengan af’al, sifat dan asma’ Nya serta hal-hal yang gaib menjadi pengetahuan yang hakiki (mukasyafah, ma’rifah dan musyahadah). Hal itu tidak didapat dengan menyusun dalil dan menata argumentasi, tetapi karena nur Allah yang dipancarkan-Nya kedalam hati; dan nur itu merupakan kunci untuk sekian banyak pengetahuan. Oleh karena itu, jika ada orang yang menyangka bahwa tersingkapnya itu tergantung pada dalil-dalil semata, maka sesungguhnya orang itu telah menyempitkan rahmat Allah yang luas.

Tasawuf sebagai Revolusi Spiritual-Moralitas.
Tasawuf merupakan ajaran yang berasal dari agama Islam, sebab tasawu merupakan pengejawantahan lebih lanjut dari aspek ihsan, dan ihsan merupakan salah satu kerangka dasar agama selain iman dan islam. Dengan demikian pada hakikatnya tasawuf adalah suatu yang inheren (melekat tak terpisahkan) dengan syariat.
Tasawuf merupakan sebuah media untuk membebaskan diri manusia dari belenggu nafsu. Dan, pembebasan itu membutuhkan pengorbanan baik lahir maupun bathin. Kehidupan duniawi yang secara kemanusiaan sangat dibutuhkan oleh manusia selaku makhluk hidup yang membutuhkan materi, tapi keinginan tersebut harus di menej (diatur). Sebab kekacauan hidup dimulai ketika manusia membebaskan diri dari keterikatanya dengan Allah, atau ketika manusia tidak lagi menganut “ajaran keterbatasan”. Kekalahan manusia melawan hawa nafsu menyebabkan kecelakaan dan kecederaan hidup. Hal ini terutama karena akumulasi gerakan-gerakan nafsu akan menyatu menjadi kekuatan hewani yang menyeret manusia dari posisi “homo sapiens” (makhluk berakal) ke posisi “homo economicus” (makhluk matrialistis) dan “homo homini lopus” (manusia yang berkarakter seperti hewan buas), pemeras, penindas dan bermata hati hitam pada kebenaran.
Manusia rakus diumpamakan sebagai bebek yang setelah makan semua yang ada dipermukaan air, lantas ia akan membenamkan paruhnya ke dalam lumpur untuk menyosor apa saja yang ada di dalamnya. Orang rakus menjadi semacam penggarong yang menggeledah semua isi rumah bahkan negara dan memenuhi seluruh kantongnya dengan cepat, dia akan memasukkan apa saja, baik atau buruk, panas atau dingin, dan sebagainya. Fenomena ini bisa kita saksikan pada sebagian besar bangsa Indonesia yang mayoritas umat Islam, tetapi negara Indonesia merupakan salah satu negara terkorup di dunia. Suatu hal hal yang sangat ironis, satu sisi warga negaranya mayoritas beragama Islam yang menjunjung nilai-nilai moral, tapi di sisi lain korupsi meraja lela. Hal demikian terjadi, karena manusia sudah dikalahkan dengan keinginan nafsu duniawinya. Di negara ini semua tidak bisa diperoleh dengan gratis tetapi harus dengan uang. Untuk bisa menjabat sebagai kepala desa saja, harus mempunyai dana minimal Rp. 500 juta, dengan asumsi gaji kepala desa hanya beberapa tanah bengkok yang juka dikalkulasi dalam jangka 5 tahun, modal itu tidak akan kembali. Yang menarik di sini adalah, mengapa dengan gaji yang tidak seberapa itu jabatan kepala desa diperebutkan oleh banyak orang bahkan di Madura ada yang sampai “carok massal” –kasus 2007, di desa Bira Kecamatan Palengaan pamekasan--. Jawabannya tentu ada hal lain di balik itu yang bisa menguntungkan secara materi. Sehingga ketika jabatan sudah diraih, mulailah mengeruk, menggarong uang rakyat. Para politikus cara berpolitiknya sudah menyimpang dari koridor –koridor agama, mereka melakukan apa saja, menyuap, memanipulasi ayat al Qur’an bahkan memerah kyai untuk mencapai ambisi pribadi dan partainya, mereka yang berprofesi sebagai guru atau dosen tanpa merasa bersalah telah memanipulasi data hanya untuk menaikkan jabatan agar bertambah tunjangan materinya, bahkan kyai tidak mau ketinggalan menjual suara warga atau santrinya hanya untuk memperoleh segelintir bantuan. Dengan kata lain, bahwa warga bangsa ini sudah jauh dari aturan agama.

Suri tauladan sejak semula sudah dicontohkan bahkan diserukan oleh Rasulullah saw, betapa beliau menghindari hidup rakus dan boros, sebaliknya mengakrabi hidup kesederhanaan. Sikap mampu menahan diri terhadap kehidupan duniawi itu membangun kecintaan kepada Allah. Ajaran hidup hemat terhadap kebutuhan duniawi perlu diaksuentasikan, lebih-lebih kehidupan nasional saat ini yang tengah diberondong varian krisis.
Bila penghematan kekayaan bisa ditekuni apalagi sampai menjadi gerakan massal yang menasional, serta kontinyu, maka akan bernilai matreial yang sangat besar yang mampu meringankan beban pukulan krisis ekonomi. Penyikapan akan hidup hemat dan kesederhanaan, ini tidak berarti bahwa manusia harus meninggalkan dan menanggalkan kehidupan duniawi sama sekali, sebab hal itu bertentangan dengan konsep agama. Sebagaimana terdapat dalam surat al Qashas, 77.
وابتغ فيما اتك الله الدار الآخرة ولآ تنس نصيبك من الد نيا واحسن كما احسن الله اليك ولآ تبغ الفسد فى الآرض. ان الله لآ يحب المفسد ين (القصاص: 77)
Dan carilah apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.
Manusia yang kalah melawan dan mengedalikan hawa nafsunya menjulurkan kehidupan ke bawah lumpur kehidupan dengan hanya sanggup mencintai pakaian jasmaniah, tanpa pernah merasa risau dengan realitas rohaniahnya yang kosong ompong tanpa isi. Usaha sufi sesungguhnya tiada lain untuk menanggalkan baju jasmaniah itu. Bagi sufi perjalanan hidup hanya satu yaitu “Tuhan”. Dan tuhan tidak mau dimadu dengan dunia. Lalu bagaimana agar ajaran tasawuf bisa dilaksanakan pada era yang serba materi dan pada kondisi yang krisis ini, sehingga ajaran tasawuf benar-benar bisa dirasakan kemanfaatannya ?
Esensi dasar ajaran sufisme adalah menahan hawa nafsu keduniawian, kiranya sufistik kekuasaan menuntun kita untuk mampu menahan diri atau membangun pola kesederhanaan hidup duniawi dalam kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat.
Ajaran Islam tidak memisahkan antara isi dengan kulit, antara syariat dengan tasawuf. Syariat dan tasawuf sebenarnya bagaikan dua sisi dari sebuah mata uang. Syariat dan tasawuf menyatu dalam setiap ibadah. Syariat tanpa tasawuf bagaikan badan tanpa jiwa, dan tasawuf tanpa syariat bagaikan jiwa tanpa badan. Syariat adalah ilmu yang bagaikan pohon, dan tasawuf adalah amal sholeh yang bagaikan buah. Jika salah satu saja yang diperhatikan sedangkan yang lainnya diabaikan, maka tidak saja sia-sia tetapi justru akan menimbulkan kontra produkif yang dapat mendatangkan malapetaka.
Munculnya ungkapan-ungkapan sinis dalam masyarakat, seperti; banyak orang yang lapar tapi sedikit yang puasa, banyak mahasiswa yang kuliah tapi sedikit yang belajar, banyak orang yang meraih gelar sarjana tapi sedikit yang cendikia, banyak guru /dosen yang mengajar tapi sedikit yang mendidik, banyak orang yang sholat tapi sedikit yang menegakkan nilai-nilai sholat, banyak orang yang bersholawat tapi sedikit yang menegakkan sunnahnya, dan seterusnya. Ungkapan-ungkapan sinis tersebut merupakan akibat lepasnya syariat dari tasawuf.
Sebagaimana telah diuraikan di atas, bahwa pada dasarnya ajaran tasawuf merupakan pengalaman (al tajribah) spiritual yang bersifat pribadi / khusus, dan tidak semua orang dapat mengalaminya. Dan, setiap shufi mempunyai cara tersendiri (thariqah) dalam rangka revolusi spiritual; penjernihan hati dan pengungkapan kondisi dirinya untuk mencapai ma’rifatullah.
Bagi kaum shufi, ma’rifatullah merupakan tujuan utama (primer) dan pijakan mendasar (iltizam) dalam proses ibadah. Melalui tujuan inilah, kaum shufi berkonsentrasai penuh melatih keruhaniyahannya (tajribah al ruhiyah) untuk menggapai penyucian hati (tazkiyatun nafsi) secara kontinu. Ikhtiar atau pelatihan shufi ini kemudian mempengaruhi penajaman hati. Dengan latihan yang intensif dan tepat sasaran, maka akan tersingkap segala selubung dalam hati (makrifat). Dalam kondisi demikian, kelimpahruahan materi dunia tidak akan mempengaruhi hatinya. Seorang shufi adalah mereka yang kaya hatinya, tapi tidak pasif terhadap realitas dunia. Kehidupan dunia ini bagi sang shufi adalah fakta yang tidak bisa diingakri. Mereka menghadapi secara realistis dengan kedekatan kepada Allah. Segala aktivitas yang dilakukan bertujuan mencari ridla Allah.
Teladan-teladan kesufian bisa dilihat dalam sejarah, seperti Umar bin Abdul Azis seorang raja yang bersikap asketis, Jabir ibnu Hayyan, seorang fisikawan yang shufi, Al Junaid seorang pengusaha suskes sekaligus shufi, Syeikh Abu al Hasan Asy Syadzili, seorang petani yang shufi, dan tokoh-tokoh lainnya. Ini menunjukkan bahwa seorang shufi sesungguhnya tidaklah berjarak total dari dunia. Sang shufi hanya memagaru dirinya dengan dunia melalui medium pelatihan ruhani sehingga tercapai keteduhan dan ketenangan jiwa (an nafsul muthmainnah).
Secara praktis, dalam dunia kesufian, ini lazim ditempuh melalui pelatihan spiritual yang terformulasikan dalam maqamat ruhiyah (tahapan spiritual) yang digapai melalui bermacam-macam ibadah, mujahadah, riyadlah, serta mempersembahkan jiwa raga hanya untuk Allah. Jumlah maqomat tidak dapat dipastikan secara matematis, karena setiap shufi memiliki pengalaman ruhani sendiri-sendiri. Meskipun demikian, para ahli tasawuf (mutasawwifah) secara umum menetapkan tujuh maqamat, yaitu; taubat, wara’, zuhud, faqr, sabar, tawakal dan ridla.
Sebagai konsekwensi dari perolehan maqamat yang bersifat konstan, seorang shufi akan mengalami ahwal, yaitu kondisi spiritual yang menyelimuti qalb, bersifat spontan dan tidak langgeng. Ahwal merupakan ekspresi ketulusan seorang sufi dalam mengingat Allah.
Ahwal yang menyelimuti para shufi (pelaku tasawuf) pada dasarnya merupakan proses revolusi qalbu yang mengandung dua substansi: Pertama, takhalli. Pada fase ini, terkadang para shufi mengalami kondisi raja’ (optimistis) atau sebaliknya khauf (segan). Kedua, tahalli. Pada fase ini, para shufi dapat mengalami kondisi fana’ atau sebaliknya, hudlur.




DAFTAR PUSTAKA

Al Ghazali, Mukasyafah al Qulub, Abdul Hamid Ahmad Hanafi, Cairo, t.t
Asmaran, AS, Pengantar Studi Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002
Atjeh,Abu Bakar, Pengantar Sejarah Shufi dan Tasawuf, Ramadhani, Solo, 1984
Atang Abd. Hakim & Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, Remaja Rosdakarya, Bandung , 2000
Depag RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, Semarang, Karya Toha Putra, 1995
Jalal Syarif, Muhammad, Al tasawuf al Islami wa madarisuhu, Dar Matba’ah al Jami’ah, 1974
Hidayat, Komaruddin, Agama di Tengah Kemelut, Jakarta, Mediacita, 2001
Kafie,Jamaluddin, Tasawuf Kontemporer, Republika, 2003
Nasution,Harun, Falsafat dan Mistisisme dalam islam, Bulan Bintang, jakarta, 1983, cet III
Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2000
--------------, Akhlak Tasawuf, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996. cet I
Siroj, Said Aqil, Tasawuf sebagai Kritik Sosial, Mizan, Bandung, 2006
Zahri,Mustafa, Kunci Memahami Ilmu Tasawuf, Bina Ilmu, Surabaya, 1991
Taftazani, Abu al Wafa’ Al, Madkhal ila asawwuf al Islami, Dar Al-Saqafah li Al-Tiba’ah wa Al-Nasyr, Cairp, 1979.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar