Kamis, 16 Juni 2011

Kaidah ttg Kesulitan

I. Pendahuluan

Salah satu cara mensimplifikasikan figh agar mudah difahami, dilaksanakan dan diaplikasikan adalah dengan cara memberikan kemudahan. Hal ini sangat dianjurkan, karena baik al-Qur,an atupun hadist memerintahkan hal tersebut. Bahkan menurut Dr. Yusuf Qardhawi, pada zaman sekarang ini, apabila ada dua pendapat yang seimbang atau berdekatan dalam suatu masalah, yang pertama lebih hati-hati dan yang kedua lebih mudah, maka dalam berfatwa kepada masyarakat umum kita harus memilih yang termudah, bukan yang lebih hati-hati.

Terkait dengan kemudahan, apabila ada suatu perintah, dan kita tidak mampu untuk melaksanakannya, maka lakukanlah semampunya. Bukan karena kita tidak mampu, kemudian gugurlah perintah tersebut. tidak. Tidak demikian! Melakukan semampunya ini adalah suatu keharusan. Inilah salah satu permasalahan yang akan kita bahas

KAIDAH I

الميسور لا يسقط بالمعسور

Yang mudah tidak bisa gugur karena yang sukar

I. Dasar kaidah

Dasar kaidah ini diambil dari hadits yang berbunyi;إذا أمرتكم بأمر فأتوا منه ما استطعتم

(apabila aku perintahkan kalian pada suatu perkara, maka laksanakanlah sebisa kalian)

Dari hadist ini, bisa kita korelasikan dengan kaidah diatas bahwasannya apabila terdapat suatu perintah, sedang kita tidak mampu melaksanakannya, maka lakukanlah apa yang kita mampu. Apa yang mampu itu harus kita lakukan. Karena sebagai ganti apa yang seharusnya kita lakukan. Seperti misalnya;

 seseorang hanya memilki satu tangan, maka ketika ia berwudlu, ia harus membasuh apa yang ia miliki, yaitu satu tangan yang lain. Membasuh satu tangan ini tidak bisa gugur hanya karena tangan yang lain tidak ada (tidak bisa dibasuh).

 orang yang hanya bisa baca fatihah separo, dalam shalatnya ia harus membaca yang separo tersebut. Membaca separo ini tidak bisa gugur hanya karena tidak bisa baca seluruhnya..

 apabila seseorang memiliki hutang Rp.1.000, dan berjanji akan melunasinya minggu depan. Ketika waktunya tiba, ia hanya memiliki Rp.500. Maka ia harus membayar yang 500,00 itu. Masalah kekurangannya bisa kapan-kapan.



II. Pengecualian

Dari kaidah ini terdapat masalah yang dikecuaikan. Antara lain;

• seseorang berkewajiban membayar kafarat dengan memerdekakan budak. Jika ia hanya memiliki separo, maka tidak boleh memerdekakan separo yang ia miliki, melainkan harus menggantinya dengan puasa dua bulan berturut-turut.

• Orang yang hanya kuat puasa setengah hari, ia tidak diwajibkan imsak setengah hari yang terakhir. Masih ada contoh yang bisa dilihat pada Asbah wa al-Nadloir.


KAIDAH II

ما لا يقبل التبعيض فاختياربعضه كاختياركله وإسقاط بعضه كإسقاط كله

(sesuatu yang tidak dapat dibagi bilamana (seseorang) memilih sebagiannya, maka sama dengan memilih keseluruhannya dan bilamana menggugurkan sebagiannya, maka sama dengan menggugurkan keseluruhan

Contoh;

 Apabila seorang laki-laki mengatakan kepada istrinya;” kamu saya talak separo/sebagian. Maka menurut hukum talaknya jatuh satu. Karena dalam talak itu tidak bisa dibagi. (Memilih sebagian, sama dengan memilih seluruhnya)

 Apabila A membeli baju dan diketahui lengannya robek. Maka ia tidak bisa minta ganti hanya lengannya saja. Karena baju tidak bisa dibagi-bagi. Apabila ia menggugurkan sebagiannya, maka hukumnya sama dengan menggugurkan keseluruhannya.

Dalam masalah semenjadi keseluruhan terdapat perbedaan pendapat diantara Ulama. Apakah hukum sebagian menjadi keseluruhan dengan jalan merembet ataukah tidak?. Imam Rafi’iy berpendapat bahwa jalan hukum terhadap sebagian menjadi keseluruhan dengan jalan merembet. Sedangkan Imam Haramain mengatakan; tidak merembet, melainkan sekaligus. Hal ini berarti lafadznya menunjukan umum, tetapi yang dimaksud adalah keseluruhan. Seperti perkataan; “sudah banyak telinga yang mendengar”. Kata yang dimaksud adalah “sudah banyak orang yang mendengar”, sebab telinga saja (telinga putus misalnya) tentu tidak dapat mendengar.

Memang pada umumnya “kullun” lebih kuat daripada “ba’dlun”, tetapi ada juga yang sebagian (ba’dun) lebih kuat dapipada keseluruhan (kullun). Hal ini terdapat hanya dalam satu masalah, yakni masalah dhihar. Seperti suami berkata kepada istrinya; أنت علي كظهر أمي ( engkau bagiku, seperti punggung ibuku). Kata-kata ini merupakan dhihar shareh. Berbeda kalau ia mengatakannya; أنت علي كأمي (engkau bagiku seperti ibuku). Kata-kata ini bukanlah dhihar shareh, malainkan kinayah.


KAIDAH III

إذا اجتمع السبب والغرور والمبا شرة قدمت المباشرة

Apabila terdapat sebab atau tipuan berkumpul dengan pelaksanaan, maka pelaksanaan didahulukan

Atau dalam kitab lain disebutkan;

إذا اجتمع المباشر والمتسبب يضاف الحكم إلي المباشر

Contoh;

 Apabila ada seseorang membuat sumur pada jalan umum (untuk suatu keperluan), walaupun dengan tanpa izin kepala desa, kemudian ada orang lain menjatuhkan hewan dalam sumur tersebut, maka ia (orang yang menjatuhkan) harus menanggungnya.

 A menjual sebilah pisau kepada B, lalu pisau tersebut digunakan untuk membunuh. Dalam hal ini, B terkena tuntutan, meskipun penyebabnya adalah A.



Pengecualian dari kaidah ini banyak sekali. Diantaranya adalah apabila A mengambil kambing milik B, tanpa sepengetahuannya, kemudian A menyuruh C untuk menyembelih kambing tersebut. Maka dalam hal ini yang terkena tuntutan adalah B, walaupun C adalah sebagai pelaksana.

Qowaid Fiqh

AL-QOIDAH AL-KULLIYAH

Kaidah fiqh adalah salah satu metode pengambilan hukum yang di rancang sebagai landasan filosofi dari semua rumusan hukum yang di lakukan para ulama’di manapun mereka berada, sehinga setiap ulama’ yang menguasai dan mendalami kaidah-kaidah fiqh akan mendapati kemudahan di dalam menjalani ketentuan-ketentuan yang di tetapkan Alloh di muka bumi ini serta mampu memberikan solusi dan inovasi-inivasi baru bagi masyarakat dalam menjawab setiap perubahan dan tantangan yang ada.

Lantas sudahkah ulama’-ulama’ kita serta para santri -sebagai penerus para ulama’- secara intens mendalami ilmu ini? Kalau jawapanya “ya” lantas mengapa keadaan masyarakat kita masih seperti ini. Penulis pikir pertanyaan ini tidaklah penting untuk dijawab, karena dengan melihat kondisi masyarakat indonesia saat ini kita bisa menyimpulkan sendiri jawabanya, akan tetapi yang sangat diperlukan saat ini adalah adanya tindakan konkrit bagi para ulama’ serta kita sebagai santri sebagai penangung jawab dari kontrol moral masyarakat, untuk melakukan sebuah gerakan bermazdhab secara manhaji. Salah satu langkah awal dari keseriusan kita dalam permasalahan ini adalah dengan mendalami kaidah fiqh

Sebagai tindak lanjut, penulis akan sedikit memaparkan beberapa kaidah yang sangat penting untuk di fahami. Karena kaidah ini membahas tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan ritual keagamaan dan interaksi sosial kemasyarakatan. Kaidah-kaidah tersebut adalah:



الْخُرُوجُ مِنْ الْخِلَافِ مُسْتَحَبّ

ما ثبت على خلاف القياس لا يقاس عليه

لا حجة مع الإحتمال

دليل الشيء في الأمور الباطنة يقوم مقامه


(" الْخُرُوجُ مِنْ الْخِلَافِ مُسْتَحَبٌّ ")
“keluar dari perbedaan disunahkan”

a. Uraian Kaidah
Kaidah ini memotivasi umat islam agar selalu menjaga persatuan dan mencari solusi dari setiap perbedaan yang ada, walaupun sebenarnya perbedaan itu adalah sunnatulloh. Kaidah ini juga menekankan kepada kita agar selalu berhati-hati dalam menyikapi segala perbedaan yang ada . pengertian khilaf (perbedaan) adalah ketidaksamaan dalam memahami sesuatu, tetapi masih mengacu pada satu pokok, sebagaimana perbedaan dikalangan pemikir islam.

Berbeda dengan pengertian tanaqudh (pertentangan), yaitu ketidaksamaan pendapat terhadap isi pokok dari suatu permasalahan serta unsur-unsur yang melingkupinya, sebagaimana perbedaan prinsipil antara orang-orang muslim dan non muslim.

b. Dasar Kaidah

Kaidah ini menurut imam as Suyuthy berasal dari firman Alloh:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“ wahai orang-orang yang beriman jauhilah prasangka-prasangka, karena sebagian dari prasangka adalah (menyebabkan) dosa”.(al hujarat 11)

Hadis nabi:

قَالَ الْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ( حَفِظْتُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ دَعْ مَا يَرِيبُكَ إِلَى مَا لَا يَرِيبُكَ فَإِنَّ الصِّدْقَ طُمَأْنِينَةٌ وَإِنَّ الْكَذِبَ رِيبَةٌ)

Dari pemahaman Hadist yang diriwayatkan dari cucu nabi di atas kita bisa menyadari bahwa dalam diri manusia, sebenarnya memiliki potensi untuk mengetahui atau merasakan hal-hal baik atau buruk. Serta kita diperintahkan untuk mengunakan argumentasi yang meyakinkan dalam setiap keputusan dan tindakan. Sebagaimana kaidah di atas

c. Analisis Kaidah Serta Syarat-Syarat Aplikasinya

Contoh kongkrit dari kaidah ini adalah di sunahkan membasuh seluruh rambut kepala saat wudhu’, agar terbebas dari perbedaan pendapat dengan maliki dan hanafi yang mewajibkan tidak hanya sebagian dari rambut kepala, tetapi separo atau keseluruhan.

Dalam mengunakan kaidah di atas ulama’ memberikan beberapa ketentuan, sejauh manakah perbedaan itu bisa dikompromikan agar dalam implementasinya tidak menyebabkan kebimbangan dan kerancuan. Adapun syarat-syaratnya adalah:

 Pendapat yang lain tidak bisa dipertahankan keabsahanya. Contoh: melakukan sholat witir tiga rokaat, apakah dengan satu kali salam atau dua kali. Dalam permasalahan ini pendapat yang mengatakan satu kali salam tidak bisa dipertahankan, karena sudah jelas bahwa pendapat abu hanifah tentang satu kali salam bertentangan dengan Hadist nabi yang berbunyi:

حَدَّثَنَا أَبُو عَبْدِ اللَّهِ الْفَارِسِىُّ حَدَّثَنَا مِقْدَامُ بْنُ دَاوُدَ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ يَزِيدَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلاَلٍ عَنْ صَالِحِ بْنِ كَيْسَانَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْفَضْلِ عَنْ أَبِى سَلَمَةَ وَعَنِ الأَعْرَجِ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « لاَ تُوتِرُوا بِثَلاَثٍ وَأَوْتِرُوا بِخَمْسٍ أَوْ سَبْعٍ وَلاَ تُشَبِّهُوا بِصَلاَةِ الْمَغْرِبِ ».

عَنْ قَيْسِ بْنِ أَبِى حَازِمٍ قَالَ رَأَيْتُ سَعْدًا صَلَّى بَعْدَ الْعِشَاءِ رَكْعَةً فَقُلْتُ مَا هَذِهِ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُوتِرُ بِرَكْعَةٍ.

Perbedaan pendapat tidak berbenturan dengan Hadist yang shohih atau hasan. Contoh: seperti dalam masalah Imam Hanafi yang melarang mengangkat tangan saat sholat, karena bisa membatalkan sholat. Pendapat ini bertentangan dengan hadis mutawatir dan shohih yang berbunyi:

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى التَّمِيمِيُّ وَسَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ وَأَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَمْرٌو النَّاقِدُ وَزُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ وَابْنُ نُمَيْرٍ كُلُّهُمْ عَنْ سُفْيَانَ بْنِ عُيَيْنَةَ وَاللَّفْظُ لِيَحْيَى قَالَ أَخْبَرَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيَيْنَةَ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ سَالِمٍ عَنْ أَبِيهِ قَالَ

رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا افْتَتَحَ الصَّلَاةَ رَفَعَ يَدَيْهِ حَتَّى يُحَاذِيَ مَنْكِبَيْهِ وَقَبْلَ أَنْ يَرْكَعَ وَإِذَا رَفَعَ مِنْ الرُّكُوعِ وَلَا يَرْفَعُهُمَا بَيْنَ السَّجْدَتَيْنِ

“aku melihat Nabi,S.A.W ketika memulai sholat mengangkat kedua tangan sama dengan pundaknya, serta sebelum ruku’ dan saat berdiri dari ruku’ (juga) dan beliau tidak mengangkatnya ketika di antara dua sujud.

 Dalil yang di gunakan untuk bisa dikomparasikan harus memeiliki dalil yang sama-sama kuat. Sebagaimana contoh kasus wudhu’ di atas


ما ثبت على خلاف القياس لا يقاس عليه
“Segala ketentuan hukum yang yang tidak sesuai dengan qiyas maka tidak boleh untuk mengunakan qiyas”

a. uraian kaidah.
Segala ketentuan hukum yang telah jelas ada dalam nash tidak boleh dilakukan atau dikatakan qiyas terhadapnya. Qiyas adalah membuat keputusan hukum sebagaimana ketentuan tersurat dalam nash yang jelas, dikarenakan ada kesamaan sebab. Qiyas adalah salah satu dari landasan hukum islam. Adapun syarat daripada qiyas, secara umum adalah, tidak ditemukanya hukum yang jelas dalam nash mengenai suatu permasalahan. Qiyas adalah salah satu dari metode pengambilan hukum, yang hanya boleh dilakukan pada saat-saat dibutuhkan.

Qiyas bukanlah suatu metode yang bersandarkan pada kecenderungan (dhon) yang lemah, akan tetapi qiyas adalah kecenderungan yang telah mencapai klimaksnya serta sebuah pemikiran yang telah matang dan mantap, sehinga pantas untuk di gunakan sebagai sarana pengambilan hukum.

b. Dalil kaidah
Kaidah ini bersumber dari ijma’, ulama bahwa tidak diperkenankan bagi seseorang mengunakan nalarnya ketika permasalahan sudah jelas diterangkan dalam nash. Sebagaimana kaidah (لا مساغ للإجتهاد في مورد التص)

c. Analisis Kaidah
Ketentuan potong tangan bagi orang yang terbukti mencuri, adalah tidak bisa ditawar-tawar lagi, jadi pemenjaraan dan hukuman-hukuman lain tidak bisa dikatakan sebagai qiyas dari potong tangan.
Transaksi sewa menyewa adalah transaksi yang tidak mengunakan barang untuk dimiliki, akan tetapi hanya memangfaatkanya. Transaksi dalam bentuk yang tidak jelas dan abstrak seperti ini dilarang dalam islam. Hukum di perbolehkanya akad ini adalah bertendensi pada kebutuhan mendesak masyarakat, sehinga para ulama’ sepakat memperbolehkan transaksi model ini. Jadi bolehnya transaksi ini tidak di qiyaskan dari dalil jual beli.


لا حجة مع الإحتمال
“tidak diterima argumentasi yang bias”

a. Uraian Kaidah
Setiap argumentasi yang belum jelas tidak bisa di pakai sebagai dalil. Dan setiap dalil atau argumentasi haruslah terbebas dari kemungkinan-kemungkinan, yaitu kemungkinan yang timbul dari dalil itu sendiri.

b. Dasar Kaidah
ياا يُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“wahai orang-orang yang beriman jauhilah prasangka-prasangka, karena sebagian dari prasangka adalah (menyebabkan) dosa”.(al hujarat 11)

c. Analisis Kaidah
Apabila ada orang tua yang menderita sakit parah menyerahkah semua hartanya kepada salah satu ahli waris, maka traksaksinya tidak sah kecuali dengan persetujuan ahli waris yang lain. Hal ini karena dimungkinkan adanya kesengajaan bagi orang tua tersebut untuk memberikan warisanya hanya kepada satu orang saja (hirmanu al warist ila ghoirihi) hal ini tidak di benarkan dalam islam..

Apabila ada salah satu ahli waris yang mengaku memiliki harta yang di hutang orang tuanya yang meningal dan ia tidak mempunyai bukti, maka hal ini tidak dibenarkan, karena ada kemungkinan ia hanya ingin mendapat bagian lebih banyak.


(دليل الشيء في الأمور الباطنة يقوم مقامه)
“petunjuk atas hal-hal yang samar adalah sebagaimana adanya”

a. Uraian Kaidah
Maksud dari kaidah ini adalah ketetapan atau keputusan atas suatu yang masih samar disesuaikan dengan argumentasi dilapangan, dan segala hal yang sulit untuk dilihat atau masih samar disebut perkara yang batin. Yang dikkehendaki dengan dalil disini adalah petunjuk.

Kaidah ini menjadi motivasi bagi seseorang untuk berlaku adil dan menjadikan setiap tindakan yang dilakukan harus berdasarkan hal-hal yang rasional

b. Dalil Kaidah
Dalil dari kaidah ini adalah adalah dalil akal, yaitu segala pengetahuan yang di peroleh dari hasil pengamatan empiris tidak akan jauh beda dengan kenyataan yang ada. Sebagaimana firman Alloh yang berbunyi;

فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الأبْصَار

“Ambilah i’tibar wahai orang-orang yang mempunyai akal sempurna” ( al hasyr: 2)

kita diperintah untuk selalu I’tibar dari apa yang telah kita fahami dan ketahui, sehingga kita bisa melakukan hipotesa terhadap petunjuk-petunjuk yang terjadi untuk mengambil keputusan.

c. Analisis kaidah
dari pemahaman kaidah di atas kita bisa menconhtohkan sebuah kasus, apabila si A membeli HP pada si B, dan si B menunjukan adanya kekurangan pada HPnya, tapi kemudian si A tetap membelinya (dalil al-batin), maka berpijak dari kaidah ini berarti si A sejutu dengan segala kekurangan yang ada pada HP tersebut walaupun tanpa ucapan yang jelas, dan akad ini di hukumi sah.

Apabila ada seorang karyawan yang tidak konsisten dengan jam kerjanya serta ada indikasi ia tidak membawa kemajuan terhadap perusahaan, bahkan ia terkesan membawa pengaruh buruk terhadap karyawan yang lain. Maka sang majikan boleh memecatnya secara tidak hormat. Karena melihat indikasi-indikasi di atas menunjukan bahwa ia telah menghianati segala amanat yang telah diberikan kepadanya dan kepada sang juragan

Apabila ada seseorang yang membunuh pencuri di rumahnya dikarenakan ia membela diri dari pencuri tersebut yang akan membunuhnya. Berdasarkan kaidah di atas pemilik rumah dibenarkan apabila pencuri tersebut terbukti membawa senjata yang mematikan, namun apabila terbukti bahwa pencuri tersebut tidak membawa apa-apa maka ia terkena hukuman pembunuhan

d. pengecualian kaidah
dikecualikan dari kaidah ini adalah apabila ada seorang wanita yang memasukan putting susunya kemulut bayi yang masih menyusui, dan tidak diketahui apakah ada air susu yang masuk ditelan bayi atau tidak, maka hukumnya adalah bayi tersebut tidak bisa dihukumi muhrim.

SIMPULAN

Kaidah fiqh adalah metode pengambilan hukum yang menekanan adanya prinsip keadilan dan kemaslahatan bagi umat. Akan tetapi kaidah-kaidah tersebut ibarat pisau analisis yang bermata dua, apabila jatuh ditangan yang tidak kreatif dan tidak memiliki kapasitas yang mumpuni, akan menjadi sesuatu yang kering akan inovasi, atau bahkan menjadi jastifikasi dari pendapat-pendapatnya yang sebenarnya sudah tidak sesuai lagi dengan situasi dan kondisi masyarakat. Oleh karena itu untuk mengoptimalkan fungsi dari kaidah-kaidah tersebut diperlukan seseorang yang memiliki kapabilitas dan kredibilitas keilmuan yang dibarengi dengan kemampuan dalam memotret dan menganalisis permasalahan-permasalahan sosial yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Dengan kata lain Seorang mujtahid haruslah memiliki kepekaan sosial yang tinggi.

WAllohu a’lam bi as-showaab


DAFTAR PUSTAKA`
As-Suyuti Jalaluddin Abdurrahman ibn Abi Bakar, ,al-Asybah wa an-Nadzair, alhidayah surabaya tt
az-zarqo Ahmad bin shaikh muhammad. Sarkh a lqowaid al fiqhiyah. Dar al qolam damaskus. tt. Cet 3
al ahdhory Abdurahman. Taqrirat Nadhom sulam al munawwaroq. MHM lirboyo Kediri .
al ‘ubady.Abdullah bin said Idhohu alqowaid al fiqhiyah. Al hidayah surabaya 1410 .H cet 3
al-Hajjaj bin Abdulloh muslim. shohih muslim. Hadist no: 568 Dar al fikr bairut 1989 cet 4
Abdul Hamid Hakim. As-sulam. Sa’adiyah putra Jakarta. tt.

mMaulid Nabi

Tradisi Maulid Nabi
Dalam Beberapa Versi


Sebagai umat Islam, kita pasti ingat pada hari yang bersejarah, di mana terlahir manusia yang kelak akan membawa perubahan yang signifikan pada hidup manusia seluruh alam, yaitu hari kahiran sang baginda Rasulullah Muhammad saw. Sudah menjadi tradisi sebagian masyarakat Islam memperingati hari lahirnya Rasulullah tersebut. Lalu apa tujuannya ? Bervariasi tujuan masyarakat mengadakan peringatan maulid nabi, mulai dari menginginkan kelapangan rizki, dapat keturunan sampai pada keinginan cepat dapat jodoh dan naik pangkat. Bahkan ada yang menjadikannya sebagai ajang silaturahmi. So, pasti berbagai macam acara yang diselenggarakan merupakan refleksi dari kesyukuran dan kebahagiaan. Tetapi sayangnya masih ada kebiasaan masyarakat dalam merefleksikannya dengan hal-hal yang sia-sia.

Dalam kalender tahun 2010 pada bulan Februari tanggal 26 oleh Pemerintah telah ditetapkan sebagai hari libur Nasional. Hari tersebut adalah tanggal 12 Rabiul Awal, hari kelahiran Baginda Rasulullah Muhammad SAW. Selain diperingati secara kenegaraan, pada umumnya masyarakat muslim Indonesia menyambut Maulid Nabi dengan mengadakan perayaan-perayaan keagamaan seperti pembacaan shalawat nabi, pembacaan syair Barjanzi dan pengajian.

Menurut penanggalan Jawa bulan Rabiul Awal disebut bulan Mulud, dan acaranya dikenal dengan istilah "Muludan". Secara subtansi, peringatan maulid nabi adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Perayaan Maulid Nabi diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, di Irak, pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193). Adapula yang berpendapat bahwa idenya sendiri justru berasal dari Sultan Salahuddin sendiri. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem. Sebagian masyarakat muslim Sunni dan Syiah di dunia merayakan Maulid Nabi. Muslim Sunni merayakannya pada tanggal 12 Rabiul Awal sedangkan muslim Syiah merayakannya pada tanggal 17 Rabiul Awal, yang juga bertepatan dengan ulang tahun Imam Syiah yang keenam, yaitu Imam Ja'far ash-Shadiq.

Ada sebagian pemahaman ulama yang tidak memperingatinya karena menganggap perayaan Maulid Nabi merupakan sebuah Bid'ah. Bid'ah adalah bentuk aktifitas ibadah yang tidak pernah dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Mereka berpendapat bahwa kaum muslim yang merayakannya keliru dalam menafsirkannya sehingga keluar dari esensi kegiatan. Secara khusus, Nabi Muhammad SAW memang tidak pernah menyuruh hal-hal demikian. Karena tidak pernah menyuruh, maka secara spesial pula, hal ini tidak bisa dikatakan "masyru'" (disyariatkan), tetapi juga tidak bisa dikatakan berlawanan dengan teologi agama. Hal yang perlu kita tekankan dalam memaknai aktifitas-aktifitas itu adalah "mengingat kembali hari kelahiran beliau --atau peristiwa-peristiwa penting lainnya-- dalam rangka meresapi nilai-nilai dan hikmah yang terkandung pada kejadian itu". Misalnya, hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, itu bisa kita jadikan sebagai bentuk "mengingat kembali diutusnya Muhammad SAW" sebagai Rasul yang membawa ajaran kasih sayang pada sesama makhluk, keadilan dalam segala tindakan dan perilaku, kebijakan dalam mengambil putusan, menempatkan manusia pada proporsinya tanpa membeda-bedakan baik dia laki-laki atau perempuan (egaliter). Jika dengan mengingat saja kita bisa mendapatkan semangat-semangat khusus dalam beragama, tentu ini akan mendapatkan pahala. Apalagi jika peringatan itu betul-betul dengan niat "sebagai bentuk rasa cinta kita kepada Nabi Muhammad SAW".

Dalam Shahih Bukhari diceritakan, sebuah kisah yang menyangkut tentang Tsuwaibah. Tsuwaibah adalah budak (perempuan) Abu Lahab (paman Nabi Muhammad (SAW). Tsuwaibah memberikan kabar kepada Abu Lahab tentang kelahiran Muhammad (keponakannya), tepatnya hari Senin tanggal 12 Robiul Awwal tahun Gajah. Abu Lahab bersuka cita sekali dengan kelahiran beliau. Maka, dengan kegembiraan itu, Abu Lahab membebaskan Tsuwaibah. Dalam riwayat disebutkan, bahwa setiap hari Senin, di akhirat nanti, siksa Abu Lahab akan dikurangi karena pada hari itu, hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, Abu Lahab turut bersuka cita. Kepastian akan hal ini tentu kita kembalikan kepada Allah SWT, yang paling berhak tentang urusan akhirat. Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW secara seremonial sebagaimana yang kita lihat sekarang ini. Yang menjadi prinsip kita adalah esensi.

Esensi dari suatu kegiatan itulah yang harus kita utamakan. Nabi Muhammad SAW bersabda : 'Barang siapa yang melahirkan aktifitas yang baik, maka baginya adalah pahala dan (juga mendapatkan) pahala orang yang turut melakukannya' (Muslim dll). Makna 'aktifitas yang baik' --secara sederhananya--adalah aktifitas yang menjadikan kita bertambah iman kepada Allah SWT dan Nabi-Nabi-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW, dan lain-lainnya. Masalah Bid'ah: Ibnu Atsir dalam kitabnya "Annihayah fi Gharibil Hadist wal-Atsar" pada bab Bid'ah dan pada pembahasan hadist Umar tentang Qiyamullail (sholat malam) Ramadhan "Sebaik-baik bid'ah adalah ini", bahwa bid'ah terbagi menjadi dua : bid'ah baik dan bid'ah sesat. Bid'ah yang bertentangan dengan perintah qur'an dan hadist disebut bid'ah sesat, sedangkan bid'ah yang sesuai dengan ketentuan umum ajaran agama dan mewujudkan tujuan dari syariah itu sendiri disebut bid'ah hasanah. Ibnu Atsir menukil sebuah hadist Rasulullah "Barang siapa merintis jalan kebaikan maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang orang yang menjalankannya dan barang siapa merintis jalan sesat maka ia akan mendapat dosa dan dosa orang yang menjalankannya". Rasulullah juga bersabda "Ikutilah kepada teladan yang diberikan oleh dua orang sahabatku Abu Bakar dan Umar".

Dalam kesempatan lain Rasulullah juga menyatakan "Setiap yang baru dalam agama adalah Bid'ah". Untuk mensinkronkan dua hadist tersebut adalah dengan pemahaman bahwa setiap tindakan yang jelas bertentangan dengan ajaran agama disebut "bid'ah". Izzuddin bin Abdussalam bahkan membuat kategori bid'ah sbb : 1) wajib seperti meletakkan dasar-dasar ilmu agama dan bahasa Arab yang belum ada pada zaman Rasulullah. Ini untuk menjaga dan melestarikan ajaran agama. Seperti kodifikasi al-Qur'an misalnya. 2) Bid'ah yang sunnah seperti mendirikan madrasah di masjid, atau halaqah-halaqah kajian keagamaan dan membaca al-Qur'an di dalam masjid. 3) Bid'ah yang haram seperti melagukan al-Qur'an hingga merubah arti aslinya, 4) Bid'ah Makruh seperti menghias masjid dengan gambar-gambar 5) Bid'ah yang halal, seperti bid'ah dalam tata cara pembagian daging Qurban dan lain sebagainya. Syatibi dalam Muwafawat mengatakan bahwa bid'ah adalah tindakan yang diklaim mempunyai maslahah namun bertentangan dengan tujuan syariah.

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa bid'ah terjadi hanya dalam masalah-masalah ibadah. Namun di sini juga ada kesulitan untuk membedakan mana amalan yang masuk dalam kategori masalah ibadah dan mana yang bukan. Memang agak rumit menentukan mana bid'ah yang baik dan tidak baik dan ini sering menimbulkan percekcokan dan perselisihan antara umat Islam, bahkan saling mengkafirkan. Selayaknya kita tidak membesar-besarkan masalah seperti ini, karena kebanyakan kembalinya hanya kepada perbedaan cabang-cabang ajaran (furu'iyah). Kita diperbolehkan berbeda pendapat dalam masalah cabang agama karena ini masalah ijtihadiyah (hasil ijtihad ulama). Sikap yang kurang terpuji dalam mensikapi masalah furu'iyah adalah menklaim dirinya dan pendapatnya yang paling benar, sehingga merusak ukhuwah islamiyah yang jauh lebih penting (wajib), sementara dirumahnya aktifitas ‘ulang tahun’ itu dilestarikannya untuk dirinya dan keluarga yang dicintainya, sementara untuk memperingati maulid Nabi Muhammad SAW yang dengan jelas telah berjasa membawa kita pada kehidupan yang paling sempurna, dengan tujuan seperti disebutkan diatas kita mengingkarinya. Masih pantaskan kita disebut umat Muhammad SAW. Itu semua kembali pada diri kita masing-masing. Wallahu’alam
Tradisi Maulid Nabi
Dalam Beberapa Versi


Sebagai umat Islam, kita pasti ingat pada hari yang bersejarah, di mana terlahir manusia yang kelak akan membawa perubahan yang signifikan pada hidup manusia seluruh alam, yaitu hari kahiran sang baginda Rasulullah Muhammad saw. Sudah menjadi tradisi sebagian masyarakat Islam memperingati hari lahirnya Rasulullah tersebut. Lalu apa tujuannya ? Bervariasi tujuan masyarakat mengadakan peringatan maulid nabi, mulai dari menginginkan kelapangan rizki, dapat keturunan sampai pada keinginan cepat dapat jodoh dan naik pangkat. Bahkan ada yang menjadikannya sebagai ajang silaturahmi. So, pasti berbagai macam acara yang diselenggarakan merupakan refleksi dari kesyukuran dan kebahagiaan. Tetapi sayangnya masih ada kebiasaan masyarakat dalam merefleksikannya dengan hal-hal yang sia-sia.

Dalam kalender tahun 2010 pada bulan Februari tanggal 26 oleh Pemerintah telah ditetapkan sebagai hari libur Nasional. Hari tersebut adalah tanggal 12 Rabiul Awal, hari kelahiran Baginda Rasulullah Muhammad SAW. Selain diperingati secara kenegaraan, pada umumnya masyarakat muslim Indonesia menyambut Maulid Nabi dengan mengadakan perayaan-perayaan keagamaan seperti pembacaan shalawat nabi, pembacaan syair Barjanzi dan pengajian.

Menurut penanggalan Jawa bulan Rabiul Awal disebut bulan Mulud, dan acaranya dikenal dengan istilah "Muludan". Secara subtansi, peringatan maulid nabi adalah ekspresi kegembiraan dan penghormatan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Perayaan Maulid Nabi diperkirakan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Said al-Qakburi, seorang gubernur Irbil, di Irak, pada masa pemerintahan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi (1138-1193). Adapula yang berpendapat bahwa idenya sendiri justru berasal dari Sultan Salahuddin sendiri. Tujuannya adalah untuk membangkitkan kecintaan kepada Nabi Muhammad SAW, serta meningkatkan semangat juang kaum muslimin saat itu, yang sedang terlibat dalam Perang Salib melawan pasukan Kristen Eropa dalam upaya memperebutkan kota Yerusalem. Sebagian masyarakat muslim Sunni dan Syiah di dunia merayakan Maulid Nabi. Muslim Sunni merayakannya pada tanggal 12 Rabiul Awal sedangkan muslim Syiah merayakannya pada tanggal 17 Rabiul Awal, yang juga bertepatan dengan ulang tahun Imam Syiah yang keenam, yaitu Imam Ja'far ash-Shadiq.

Ada sebagian pemahaman ulama yang tidak memperingatinya karena menganggap perayaan Maulid Nabi merupakan sebuah Bid'ah. Bid'ah adalah bentuk aktifitas ibadah yang tidak pernah dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Mereka berpendapat bahwa kaum muslim yang merayakannya keliru dalam menafsirkannya sehingga keluar dari esensi kegiatan. Secara khusus, Nabi Muhammad SAW memang tidak pernah menyuruh hal-hal demikian. Karena tidak pernah menyuruh, maka secara spesial pula, hal ini tidak bisa dikatakan "masyru'" (disyariatkan), tetapi juga tidak bisa dikatakan berlawanan dengan teologi agama. Hal yang perlu kita tekankan dalam memaknai aktifitas-aktifitas itu adalah "mengingat kembali hari kelahiran beliau --atau peristiwa-peristiwa penting lainnya-- dalam rangka meresapi nilai-nilai dan hikmah yang terkandung pada kejadian itu". Misalnya, hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, itu bisa kita jadikan sebagai bentuk "mengingat kembali diutusnya Muhammad SAW" sebagai Rasul yang membawa ajaran kasih sayang pada sesama makhluk, keadilan dalam segala tindakan dan perilaku, kebijakan dalam mengambil putusan, menempatkan manusia pada proporsinya tanpa membeda-bedakan baik dia laki-laki atau perempuan (egaliter). Jika dengan mengingat saja kita bisa mendapatkan semangat-semangat khusus dalam beragama, tentu ini akan mendapatkan pahala. Apalagi jika peringatan itu betul-betul dengan niat "sebagai bentuk rasa cinta kita kepada Nabi Muhammad SAW".

Dalam Shahih Bukhari diceritakan, sebuah kisah yang menyangkut tentang Tsuwaibah. Tsuwaibah adalah budak (perempuan) Abu Lahab (paman Nabi Muhammad (SAW). Tsuwaibah memberikan kabar kepada Abu Lahab tentang kelahiran Muhammad (keponakannya), tepatnya hari Senin tanggal 12 Robiul Awwal tahun Gajah. Abu Lahab bersuka cita sekali dengan kelahiran beliau. Maka, dengan kegembiraan itu, Abu Lahab membebaskan Tsuwaibah. Dalam riwayat disebutkan, bahwa setiap hari Senin, di akhirat nanti, siksa Abu Lahab akan dikurangi karena pada hari itu, hari kelahiran Nabi Muhammad SAW, Abu Lahab turut bersuka cita. Kepastian akan hal ini tentu kita kembalikan kepada Allah SWT, yang paling berhak tentang urusan akhirat. Peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW secara seremonial sebagaimana yang kita lihat sekarang ini. Yang menjadi prinsip kita adalah esensi.

Esensi dari suatu kegiatan itulah yang harus kita utamakan. Nabi Muhammad SAW bersabda : 'Barang siapa yang melahirkan aktifitas yang baik, maka baginya adalah pahala dan (juga mendapatkan) pahala orang yang turut melakukannya' (Muslim dll). Makna 'aktifitas yang baik' --secara sederhananya--adalah aktifitas yang menjadikan kita bertambah iman kepada Allah SWT dan Nabi-Nabi-Nya, termasuk Nabi Muhammad SAW, dan lain-lainnya. Masalah Bid'ah: Ibnu Atsir dalam kitabnya "Annihayah fi Gharibil Hadist wal-Atsar" pada bab Bid'ah dan pada pembahasan hadist Umar tentang Qiyamullail (sholat malam) Ramadhan "Sebaik-baik bid'ah adalah ini", bahwa bid'ah terbagi menjadi dua : bid'ah baik dan bid'ah sesat. Bid'ah yang bertentangan dengan perintah qur'an dan hadist disebut bid'ah sesat, sedangkan bid'ah yang sesuai dengan ketentuan umum ajaran agama dan mewujudkan tujuan dari syariah itu sendiri disebut bid'ah hasanah. Ibnu Atsir menukil sebuah hadist Rasulullah "Barang siapa merintis jalan kebaikan maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang orang yang menjalankannya dan barang siapa merintis jalan sesat maka ia akan mendapat dosa dan dosa orang yang menjalankannya". Rasulullah juga bersabda "Ikutilah kepada teladan yang diberikan oleh dua orang sahabatku Abu Bakar dan Umar".

Dalam kesempatan lain Rasulullah juga menyatakan "Setiap yang baru dalam agama adalah Bid'ah". Untuk mensinkronkan dua hadist tersebut adalah dengan pemahaman bahwa setiap tindakan yang jelas bertentangan dengan ajaran agama disebut "bid'ah". Izzuddin bin Abdussalam bahkan membuat kategori bid'ah sbb : 1) wajib seperti meletakkan dasar-dasar ilmu agama dan bahasa Arab yang belum ada pada zaman Rasulullah. Ini untuk menjaga dan melestarikan ajaran agama. Seperti kodifikasi al-Qur'an misalnya. 2) Bid'ah yang sunnah seperti mendirikan madrasah di masjid, atau halaqah-halaqah kajian keagamaan dan membaca al-Qur'an di dalam masjid. 3) Bid'ah yang haram seperti melagukan al-Qur'an hingga merubah arti aslinya, 4) Bid'ah Makruh seperti menghias masjid dengan gambar-gambar 5) Bid'ah yang halal, seperti bid'ah dalam tata cara pembagian daging Qurban dan lain sebagainya. Syatibi dalam Muwafawat mengatakan bahwa bid'ah adalah tindakan yang diklaim mempunyai maslahah namun bertentangan dengan tujuan syariah.

Ada juga pendapat yang mengatakan bahwa bid'ah terjadi hanya dalam masalah-masalah ibadah. Namun di sini juga ada kesulitan untuk membedakan mana amalan yang masuk dalam kategori masalah ibadah dan mana yang bukan. Memang agak rumit menentukan mana bid'ah yang baik dan tidak baik dan ini sering menimbulkan percekcokan dan perselisihan antara umat Islam, bahkan saling mengkafirkan. Selayaknya kita tidak membesar-besarkan masalah seperti ini, karena kebanyakan kembalinya hanya kepada perbedaan cabang-cabang ajaran (furu'iyah). Kita diperbolehkan berbeda pendapat dalam masalah cabang agama karena ini masalah ijtihadiyah (hasil ijtihad ulama). Sikap yang kurang terpuji dalam mensikapi masalah furu'iyah adalah menklaim dirinya dan pendapatnya yang paling benar, sehingga merusak ukhuwah islamiyah yang jauh lebih penting (wajib), sementara dirumahnya aktifitas ‘ulang tahun’ itu dilestarikannya untuk dirinya dan keluarga yang dicintainya, sementara untuk memperingati maulid Nabi Muhammad SAW yang dengan jelas telah berjasa membawa kita pada kehidupan yang paling sempurna, dengan tujuan seperti disebutkan diatas kita mengingkarinya. Masih pantaskan kita disebut umat Muhammad SAW. Itu semua kembali pada diri kita masing-masing. Wallahu’alam