Kamis, 05 Mei 2011

Pendidikan


MEMBANGUN
PENDIDIKAN TINGGI AGAMA ISLAM SWASTA (PTAIS)
BERBASIS KERAKYATAN


A.  Pendahuluan
Pengembangan Pendidikan Tinggi (PT) secara historis telah mengalami berbagai perubahan  baik yang menyangkut konsep maupun praksis, metode dan media pembelajaran maupun substansi kurikulum. Dan tentunya perubahan-perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperoleh dan mencapai tujuan pendidikan nasional. Dalam hal ini, perubahan tersebut tentunya merupakan salah satu cara atau strategi untuk menjawab tantangan pendidikan yang semakin kompleks, baik dari segi input (masukan), proses maupun out put-nya (lulusan).
Dari sisi input pendidikan tinggi, kapasitas daya tampungnya cukup memadai. Bahkan pada tahun 1990-an, terjadi fenomena yang cukup menarik yaitu dengan dibukanya perguruan tinggi ditingkat kabupaten / daerah, baik yang berbasis pendidikan umum maupun agama. Kehadiran perguruan tinggi ditingkat daerah tentunya berpengaruh positip bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) masyarakat setempat. Tetapi, keberadaan perguruan tinggi di daerah ternyata kurang mendapat respon dari para calon mahasiswa. Mereka lebih senang dan merasa bangga jika bisa kuliah ke perguruan tinggi vaforit yang berada di ibukota propensi. Sementara perguruan tinggi yang ada di daerah menampung mereka yang tidak mampu, baik dari sisi IQ (intelegent Quintent) maupun materi (economi). Sehingga hampir sebagian besar perguruan tinggi yang ada di daerah dalam setiap program studinya hanya memiliki tidak lebih dari 500 mahasiswa. Jumlah yang sangat minim. Mengapa hal demikian bisa terjadi ? Sebab, mereka yang secara intelektual memadai telah diserap oleh pendidikan tinggi negeri di ibukota propensi, sedangkan yang berekonomi tinggi terserap oleh pendidikan tinggi swasta maju yang kebanyakan juga berada di ibukota propensi. Jadi bisa dikatakan bahwa mahasiswa sebagai input perguruan tinggi swasta di daerah adalah mereka yang berkualitas rendah, baik secara intelektual maupun ekonomi.
Jumlah mahasiswa yang minim akan mempengaruhi perolehan nominal (dana) sebuah perguruan tinggi. Padahal perguruan tinggi merupakan salah satu institusi yang membangun dan mencetak sumber daya manusia (human reusouches). Proses pembangunan memerlukan dana pembangunan (capital investment) yang besar. Secara konseptual, modal pembangunan terdiri dari tiga hal penting yang tidak mungkin dipisahkan antara yang satu dengan lainnya, yaitu modal manusia (human investment), modal uang (capital investment) dan modal sosial (sosial capital; trust: sikap amanah), atau masyarakat yang saling percaya dan bisa dipercaya.[1]  Itulah sebabnya mengapa jumlah mahasiswa merupakan salah satu faktor dominan dari sebuah perguruan tinggi. Meskipun tidak harus selalu mengukur lembaga pendidikan tinggi semata-mata dari aspek ekonomi. Lembaga-lembaga pendidikan non profit sekalipun –lembaga yang tidak mengharapkan penghasilan dari usaha penyelenggaraan pendidikan— mengakui bahwa dengan jumlah mahasiswa yang minim seperti itu,  masih jauh berada di titik impas untuk bisa menyelenggarakan program pendidikan yang sistematis dan kondusif dalam jangka panjang, apalagi berkualitas.
Ketika proses pembelajaran sebuah lembaga pendidikan tinggi tidak sistematis dan kurang kondusif maka kemungkinan besar, bila tidak boleh dikatakan pasti, sumber daya manusia yang dihasilkan (out put) tidak akan berkualitas. Jika hal demikian terjadi, maka perguruan tinggi yang secara ideal diharapkan mampu mencetak manusia (generasi) masa depan yang memiliki ketangguhan jasmani dan rohani, memiliki kemampuan (capabilitas) untuk menghadapi kehidupan riel yang serba kompleks, tetapi kenyataannya malah menambah jumlah “pengangguran intelektual.” Labelisasi  seperti itu tentunya muncul dari kenyataan bahwa banyak alumni pendidikan tinggi yang memang menemui kendala ketika harus memasuki dunia kerja.
Hal demikian tentu bertolak belakang dari cita-cita bangsa yang telah digariskan dalam UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003, bahwa secara garis besarnya ada tiga sumbu pendidikan, yaitu keimanan, ketaqwaan yang bermuara pada akhlak mulia, memiliki ilmu yang bermuara pada kemampuan dan kemandirian serta memiliki perilaku demokratis dan tanggung jawab sosial.
Di sisi lain, pendidikan tinggi memiliki tujuan sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 1999 pasal 2, yaitu: Pertama, menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau memperkaya hasanah ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian. Kedua, Mengembangkan dan menyebar luaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta memperkaya penggunaannya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Di era otonomi daerah seperti sekarang ini, sesuai dengan UU No. 22 dan 25 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, bahwa pendidikan termasuk bidang garapan wilayah kabupaten / kota madya.[2] Sehingga apapun dan bagaimanapun kenyataannya, pendidikan adalah aset daerah yang memerlukan kegiatan sinergi dengan pengembangan potensi wilayah masing-masing. Artinya, bahwa pendidikan bukan semata-mata tanggung jawab pemerintah, tetapi juga merupakan tanggung jawab masyarakat secara bersama-sama. Sehingga lembaga pendidikan termasuk perguruan tinggi merupakan tanggung jawab bersama antara masyarakat dan pemerintah wilayah setempat.
Makalah ini sengaja tidak mengangkat paradigma pengembangan pengajaran (kurikulum) di perguruan tinggi, sebab hal itu di luar jangkauan kami. Tetapi, makalah ini akan memberikan tawaran konsep, bagaimana membangun atau menciptakan perguruan tinggi, khususnya Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS) di daerah yang berkualitas dan kompetitif dan mandiri tanpa tergantung pada dana subsidi negara dan SPP (Sumbangan Pembiayaan Pendidikan) dari mahasiswa. Yaitu suatu pendidikan yang dalam proses belajar dan mengajar tidak hanya bersumber dari dana mahasiswa dan pemerintah tetapi mencoba untuk mencari dan menekuni sumber dana lain sebagai gerakan diversifikasi usaha pendidikan tinggi. Metode pengkajian dalam makalah ini menggunakan metode deskriptif eksploratif, yaitu menggambarkan kondisi PTAIS baik secara umum maupun detail. Dari gambaran tersebut akan dianalisa dengan metode SWOT (strenght, weakness, opportunitiess, dan treath) sebagai upaya untuk menemukan solusi yang terbaik.

B. Pembahasan
1.   Peran Pendidikan Tinggi
Salah satu institusi yang dianggap memiliki peran penting dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) tentunya adalah perguruan tinggi. Anggapan ini tidaklah salah sebab lembaga pendidikan tinggi merupakan tempat bagi persemaian wawasan, sikap dan tindakan yang relevan dengan bakat, kemampuan dan sekaligus juga tantangan. Pendidikan tinggi adalah jendela untuk menatap dunia kehidupan yang luas dan kompleks. Begitu kompleksnya, sehingga banyak stereotip yang delabelkan pada lulusan perguruan tinggi, seperti tidsk siap memasuki lapangan kerja, kalang bersaing, tidak profesional, dan sebagainya. Melihat realita seperti itu, muncullah gagasan untuk kurikulum pendidikan tinggi. Mulai dari konsep link and match, competency base, dan sebagainya. Perubahan-perubahan itu dibuat, sebagai upaya untuk mengurangi kesenjangan antara dunia pekerjaan dengan alumni pendidikan tinggi.
Apapun realitasnya, kita sedang berada dalam alam kompetisi kehidupan yang semakin kuat. Melalui Era perdagangan bebas di wilayah Asia Tenggara 2003 (Asean Free Trade Area) dan Asia Pasifik 2020, maka sesungguhnya kita sedang berpacu dengan waktu untuk menantikan apakah SDM Indonesia mampu berkompetisi di tengah persaingan bebas tersebut. Sungguh ironos, jika SDM Indonesia yang melimpah itu terdesak dan kalah dengan SDM dari negara lain. Dalam kasus TKI di luar negeri saja, TKI yang berasal Fhilipina lebih diperhitungkan dibanding dengan TKI dari Indonesia. Hal tersebut hanya disebabkan oleh penguasaan bahasa yang berbeda. Tenaga kerja Fhilipina yang berkultur terbuka lebih siap dalam menghadapi tantangan berbahasa Inggris dibanding dengan TKI Indonesia yang kebanyakan berasal dari lapisan masyarakat pedesaan yang jauh dari perkembangan.[3]
Pendidikan tinggi yang hakikatnya didirikan untuk menjawab tantangan mengenai pentingnya sarjana yang memiliki kualifikasi keahlian sesuai dengan bidang atau profesinya. Dalam hal ini, maka terdapat pembidangan  ilmu sesuai dengan nomenklaturnya masing-masing. Oleh karena itu, dikenal perguruan tinggi berbasis teknikal-operasional  yang memproduk sarjana hard science dan konseptual-teoritikal/implementatif yang memproduk sarjana soft science.
Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTAI), didirikan dalam rangka untuk menjawab tantangan kedepan, yaitu mencetak sarjana yang memilki kualifikasi dalam bidang agama Islam. Sesuai dengan pembidangan di atas, alumni PTAI adalah sarjana yang tergolong ke dalam tataran keilmuan yang konseptual-teoritikal/implementatif. Sebagai ciri keilmuan yang konseptual-teoritikal /implementatif  adalah keahlian yang tidak semata-mata implementatif, tetapi juga memilkki keahlian konseptual, yang berciri khas analitik. Keahlian analitik diperlukan sebab mereka berhadapan dengan perubahan sosial secara terus-menerus yang tentunya juga mengharuskan perubahan paradigma dalam berpikir.
Ilmu-ilmu agama memiliki kaitan dengan dunia sosial-antropologis, bahkan politik dan ekonomi, sehingga pengembangan keilmuan Islam juga harus tertata dengan apik. Sehubungan dengan itu, maka produk PTAI akan memilki profil sebagai sarjana yang memiliki kemampuan untuk melakukan analisis terhadap perubahan-perubahan sosial-relegius berdasarkan pendekatan keilmuan yang relevan.
Peranan pendidikan tinggi dalam pengembangan SDM dapat dicirikan pada tiga hal. Pertama, mencetak manusia yang bertanggung jawab. Menurut A. Qadri Azizi, bahwa ada kaitan antara fitrah, akhirat dan tanggung jawab. Setiap perbuatan pasti ada tanggungjawabnya yang berkonsekwensi akhirat. Tanggung jawab tidak hanya sekedar administratif di dunia, tetapi lebih jauh secara substantif di akhirat.  Melalui tanggung jawab inilah akan tercipta etika sosial, karena setiap tindakan dalam bentnuk apapun akan memiliki  nilai tanggung jawab baik dunia maupun akhirat.[4] Kedua, Peran kebebasan berpikir. Kebebasan berpikir mengajarkan pada kita bahwa ilmu pengetahuan adalah sarana untuk membebaskan, dalam arti bahwa melalui kemampuan berpikir manusia diajarkan untuk menemukan (discovery) tentang sesuatu dalam bidangnya. Kebebasan dalam konteks ini adalah kebebasan untuk menemukan sesuatu, merevisi, atau menguatkan suatu dalil, teori dan konsep yang telah ada untuk kemaslahatan. Kebebasan bukan malah menjadi desdruktif. Ketiga, penguasaan terhadap kompetensi. Pendidikan harus mengarahkan peserta didik pada keahlian tertentu sehingga menjadi sarana untuk mengakses kehidupan. Oleh karena itu maka pendidikan tinggi harus dirancang untuk mewujudkan sarjana yang profesional sesuai dengan keahliannya.

2.   PTAIS di Tengfah UU Sisdiknas
Pada tanggal 11 Juni 2003 oleh sementara kalangan dikenal sebagai hari kemenangan pendidikan, di mana pada hari itu telah disahkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sissdiknas) oleh DPR yang di dalamnya secara tegas memberikan kesempatan pada masyarakat untuk terlibat dalam proses penyelenggaraan pendidikan. Undang-undang pendidikan yang desentralisasi tersebut mengisyaratkan urgensi dan pentingnya masyarakat dalam ikut terlibat dalam proses pendidikan. Dengan undang-undang pendidikan yang desentralistik tersebut, maka peran masyarakat baik perorangan maupun kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha dan ORMAS diakui keberadaannya. Menurut UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003 pasal 55, dinyatakan bahwa pendidikan harus berbasis masyarakat. Dalam pasal 56, bahwa untuk menunjang, mendukung, mengawasi dan memberikan pertimbangan demi kemajuan pendidikan dibentuklah Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah.
Paradigma lain yang berubah adalah kurikulum. Melalui UU Sisdiknas ini, lembaga pendidikan ditantang untuk memilih basis kompetensi sesuai dengan rational choice-nya. Apakah akan mengambil jenis pendidikan umum kejuruan, akademik, profesi atau keagamaan dan khusus. Jika pendidikan akademik lebih menawarkan konsep dan teoritik berkaitan dengan out put pendidikannya, profesi mengarah pada keahlian khusus yang dimiliki alumninya, pendidikan vokasional menawarkan basis kompetensi pada keahlian terapan, maka PTAI menawarkan basis kompetensi keagamaan. Fakultas Syari’ah memiliki basis kompetensi ahli hukum Islam dalam berbagai variasinya, Fakultas Tarbiyah memiliki basis kompetensi ilmu kependidikan Islam, Fakultas Ushuluddin memiliki basis kompetensi penguasaan ilmu-ilmu tafsir, hadits, dan sebagainya, Fakultas dakwah memiliki basis kompetensi penyebar agama Islam dalam berbagai sudut pandangnya dan Fakultas Adab memiliki basis kompetensi dalam sastra Arab dan sejarah Islam. [5]

3.   Kondisi Riel PTAIS
Sampai saat ini, kiblat pendidikan tinggi Islam adalah Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Bahkan pemerintah membentuk sebuah lembaga Koordinator Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (KOPERTAIS) yang berfungsi untuk memberdayakan, membimbing dan mengevaluasi pelaksanaan pendidikan di PTAIS. Meskipun demikian, masih terdapat semacam label bahwa PTAIS berada di bawah IAIN. Image yang semacam ini tentu tidak menguntungkan posisi PTAIS yang dikategorikan sebagai peringkat kedua.
Menurut data KOPERTAIS Wilayah IV Surabaya tahun 2006/2007, jumlah  PTAIS yang ada di bawah naungan KOPERTAIS wil. IV berjumlah 113 PTAIS yang menyebar di Jawa Timur, Bali, Lombok,  NTT dan NTB. Dari 113 PTAIS hanya terdapat beberapa perguruan tinggi yang dikatakan layak, selebihnya masih di bawah standart. Untuk menyatakan apakah suatu perguruan tinggi memenuhi standart atau tidak maka perlu adanya indikator-indikator yang dijadikan sebagai ukuran. Adapun indikator yang dipakai adalah:
a.   Jumlah mahasiswa.
                  Peserta didik dalam hal ini adalah mahasiswa merupakan objek utama dalam pendidikan. Jumlah mahasiswa ideal dari sebuah perguruan tinggi pada setiap program studinya adalah 500 mahasiswa. Sedangkan kondisi riel, hampir sebagian besar  PTAIS yang ada di daerah mempunyai mahasiswa dibawah 500 orang. Jumlah yang sangat minim untuk sebuah perguruan tinggi. Dengan jumlah yang minim seperti itu, maka sangat sulit bagi sebuah perguruan tinggi untuk tetap eksis dalam proses belajar dan mengajar.
b.   Jumlah tenaga pengajar (dosen).
                  Dosen sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan dosen sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di dalam ruangan maupun di luar ruangan. Dosen harus pandai membawa peserta didik kepada tujuan yang hendak dicapai. Beberapa hal yang harus dimiliki oleh dosen adalah; mempunyai kualifikasi pendidikan yang cukup, yaitu minimal harus magister (S-2),  mempunyai loyalitas sebagai pendidik, menguasai materi pengajaran, menguasai beberapa metode pengajaran sehingga ia mampu menggunakan metode yang sesuai dengan situasi dan kondisi peserta didik, dan sebagainya.
Dengan demikian, dalam pembaruan pendidikan, keterlibatan dosen mulai dari perencanaan inovasi pendidikan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasinya memainkan peranan yang sangat besar bagi keberhasilan suatu inovasi pendidikan.[6] Perguruan tinggi merupakan sebuah institusi yang mencetak kader atau generasi yang berkemampuan dan mandiri serta memiliki perilaku demokratis dan tanggung jawab sosial. Oleh karena itu kehadiran dosen yang profesional dan kualifite merupakan syarat mutlak. Sedangkan kondisi riel, Jumlah dosen yayasan yang berpendidikan memadai untuk pendidikan tinggi –kepangkatan minimal IV/a (Lektor Kepala) atau berpendidikan strata dua atau tiga (S-2 atau S-3)--  masih sangat terbatas.
c.   Sarana dan prasarana yang memadai.
                  Sarana dan prasarana merupakan faktor penting dalam proses pembelajaran disamping faktor-faktor yang lain. Sarana dan prasarana yang memadai akan menjadikan suasana akademik dan proses pembelajaran menjadi kondusif dan sistematis. Tanpa adanya sarana dan prasarana yang memadai proses belajar dan mengajar tidak akan berjalan dengan baik. Sarana dan prasarana, terutama sarana belajar dan mengajar, merupakan hal yang esensial.[7] Kondisi riel, sarana dan prasarana yang dimiliki PTAIS tergolong masih minim. Padahal, keberadaan sebuah pendidikan tinggi sangat ditentukan oleh keberadaan sarana dan prasarana pendidikannya, seperti ruang perkuliahan, perpustakaan dengan ruangan dan koleksi buku yang memadai, laboratorium pembelajaran yang memadai. 
d.   Proses belajar dan mengajar yang berkualitas.
                  Ada indikasi banyak PTAIS yang kurang serius dalam melakukan proses pembelajaran. Kekurang seriusan dalam proses pembelajaran bisa disebabkan oleh beberapa faktor, seperti: Kekurang siapan tenaga pengajar (dosen tidak profesional) sehingga menyebabkan mahasiswa kurang aktif mengikuti perkuliahan, atau minimnya jumlah mahasiswa, dan sebagainya.
e.   Input dan out pun pendidikan yang belum maksimal.
                  Kebanyakan calon mahasiswa (input) yang masuk PTAIS adalah mereka yang gagal dalam ajang UMPTN. Sehingga bisa dikatakan bahwa mereka yang masuk PTAIS adalah mahasiswa yang kurang berkualitas baik dari segi intelegensi-nya maupun ekonominya. Akibatnya tentu saja  lulusan (out put) pendidikan menjadi kurang maksimal.

4.   Potensi yang Dimiliki.
Masyarakat Indonesia tergolong sebagai masyarakat yang memiliki tingkat religiusitas (keagamaan) yang tinggi. Hal ini berarti, bahwa orang Indonesia masih memandang agama sebagai hal yang urgen dalam kehidupan. Oleh karena itu mengetahui dan memahami persoalan agama merupakan hal yang wajib. Maka wajar jika di Indonesia terdapat beberapa pesantren dan lembaga pendidikan Islam dengan jumlah santri yang relatif banyak. Kondisi seperti itu secara kuantitatif dapat menunjang kuantitas mahasiswa PTAIS. Sehingga PTAIS tidak sampai kekurangan mahasiswa.
Pada sisi lain, masyarakat Indonesia relatif paternalistik sehingga keterikatan pada tokoh masyarakat atau kiai masih besar. Dalam konteks ini, kyai merupakan status yang dihormati dengan berbagai peran yang dimainkan dalam masyarakat. Ketokohan dan kepemimpinan kiai sebagai akibat dari status yang disandangnya, telah menunjukkan betapa kuatnya kecakapan dan pancaran kepribadiannya (kharisma) dalam memimpin pesantren dan masyarakat. Hal ini dapat dilihat bagaimana seorang kiai dapat membangun peran strategisnya sebagai pemimpin masyarakat non formal melalui komunikasi intensif dengan masyarakat. Kiai dengan kahrisma yang dimilikinya tidak hanya dikategorikan sebagai elit agama, tapi juga sebagai pemimpin (tokoh sentral) dalam masyarakat yang memiliki otoritas tinggi.  Kharisma kiai merupakan karunia yang diperoleh dari latuhan (riyadlah) dan anugerah Tuhan.[8] Sehingga apa yang menjadi kehendak dan pendapat kyai, akan diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat sekitarnya. Dengan demikian, kiai merupakan sumber legetimasi yang potensial bagi PTAIS. Sehingga pencitraan PTAIS bisa dibangun dari sini.
Faktor lain yang menunjang terhadap PTAIS adalah tersedianya potensi fisik (tanah) yang relatif memadai untuk dikembangkan, bahkan dapat dimanfaatkan sebagai sumber keuangan.

  1. Hambatan Aktualisasi Potensi
Tidak ada potensi yang dapat dikembangkan tanpa melihat ada atau tidaknya hambatan dalam aktualisasi potensi tersebut. Berdasarkan uraian di atas, setidaknya ada tiga potensi yang dapat dikembangkan secara riel untuk mengambangkan PTAIS, tetapi pengembangan tersebut juga memiliki sejumlah hambatan yang harus di carikan solusinya. Hambatan tersebut, adalah:
a. Banyak santri atau siswa lulusan SMA/MA atau yang sederajat, tetapi kondisi perekonomiannya tidak mendukung pendidikan lebih lanjut, disamping tidak ada niat untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ada persepsi di sebagian masyarakat, bahwa kuliah tidak menyelesaikan masalah, bahkan hal tersebut didukung oleh kenyataan bahwa sebagian lulusan pendidikan tinggi justru menjadi beban masyarakat.
b.   Banyak tokoh masyarakat Islam, akan tetapi rasa memiliki terhadap pendidikan tinggi Islam terasa masih belum maksimal. Sehingga belum dapat menjadi mediator (penyambung) yang dapat mengarahkan kecenderungan masyarakat ke lembaga tersebut.
c.   Potensi kepemimpinan umat masih belum dapat difokuskan untuk mendukung eksistensi dan pengembangan pendidikan tinggi Islam. Sehingga yang nampak berjalan sendiri-sendiri tanpa keterkaitan secara langsun dengan program pengembangan pendidikan tinggi.
d.   Penggalangan dana selalu terkait dengan kekurang percayaan terhadap pengelola dana, sehingga setiap penggalangan dana selalu mengalami kegagalan.


  1. Mengelola Potensi dan Hambatan
Titik sentral dalam makalah ini adalah bagaimana membangun sebuah PTAIS di daerah yang berkualitas. Oleh karena itu, ada beberapa solusi untuk mengelola potensi dan hambatan, sehingga diperoleh alternatif pemecahan yang aplikabel.
Pertama, membuat imej atau pencitraan bahwa pendidikan tinggi Islam sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Perguruan tinggi yang mempunyai imej baik di masyarakat akan mendapatkan peluang lebih baik di tengah pertarungan memperebutkan pangsa pasar. Imej yang baik dapat dibangun melalui kemampuan tenaga edukatifnya (dosen), prestasi mahasiswanya, sarana dan pra sarananya.
Jika selama ini ada imej bahwa PTAIS mendidik calon modin, maka imej tersebut perlu diubah. Memang benar, bahwa menu pembelajaran di PTAIS adalah pendidikan agama Islam dengan beberapa konsentrasi; hukum, pendidikan, tafsir – hadits, dan sebagainya. Akan tetapi masalahnya, bagaimana menyajikan menu keagamaan tersebut dalam arena yang dibutuhkan masyarakat. Untuk itu pembagian Kurikulum Nasional dan Kurikulum Lokal perlu dicermati. Atau dengan kata lain, bagaimana kurikulum lokal dapat menjadi ajang bagi pengembangan program studi yang menjadi nilai tambah. Sebagai ilustrasi, Fakultas Dakwah yang akan mencetak sarjana ahli sosial Islam tetapi dapat juga berbisnis. Dengan menambah kurikulum lokal (kurlok) berupa keahlian vokasional, seperti ilmu manajemen, ilmu politik, dan sebagainya yang masih mempunyai korelasi dan dibutuhkan masyarakat.
Kedua, menjadikan kiai atau tokoh masyarakat (negara) sebagai mediator untuk menggalang imej dan menggalang sumber dana bagi pengembangan pendidikan tinggi Islam. Potensi kepemimpinan yang berada di tangan umat Islam perlu dimaksimalkan dengan mengadakan komunikasi yang lebih aktif dan intens serta mengadakan kerja sama dalam bentuk kegiatan baik yang berfungsi untuk pengembangan kelembagaan (faculty oriented) maupun kegiatan yang bermanfat bagi masyarakat (peopel oriented).
Ketiga, Penggalangan sumber dana melalui pemetaan ekonomi para konglomerat (aghniya’) dan dilanjutkan dengan  penyadaran akan pentingnya pendidikan tinggi Islam. Pendidikan tinggi merupakan investasi manusia. Memang, harus diakui bahwa masih banyak orang mempertanyakan tentang efektivitas invesatasi melalui pendidikan, terutama efektifitasnya dalam memberikan nilai timbal balik bagi ekonomi individu dan masyarakat. Pendidikan dalam kenyataannya masih belum mampu menjadi sarana investasi yang menggiurkan bagi banyak orang, terutama PTAIS yang berbasis pendidikan humaniora. PTAIS lebih menawarkan tentang ”bagaimana menjadi orang baik” dan kurang menawarkan ”bagaimana menjadi orang berguna”.
Menurut UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 pasal 55, bahwa pendidikan harus berbasis masyarakat. Artinya bahwa landasan keagamaan, lingkungan sosial, lingkungan budaya masyarakat menjadi basis bagi pengembangan pendidikan. Pendidikan berbasis masyarakat juga mengindikasikan pentingnya peran masyarakat dalam pendanaan pendidikan , tetapi subsidi pemerintah masih tetap dibutuhkan. Untuk mengembangkan pendidikan di tingkat daerah, maka dibentuklah Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah yang anggotanya berasal dari para anggota dan tokoh masyarakat. Lembaga ini berfungsi sebagai lembaga mandiri, pemberi pertimbangan, dukungan, pengawasan dan berperan dalam peningkatan mutu pendidikan.
Keempat, pemberdayaan sumber daya manusia (SDM) pengelola pendidikan tinggi. Semakin baik pengelola dan pengelolaan pendidikan tinggi akan berpengaruh pada peningkatan imej masyarakat terhadapnya. Peningkatan pengelolaan perguruan tinggi dapat dilakukan dengan mengirim para pengelola mengikuti pelatihan-pelatihan yang berkorelasi dengan pengembangan perguruan tinggi.

=Han’s=






















DAFTAR PUSTAKA

Abd. Mujib Muhaimin, Madrasah Menatap Peradaban Global, Makalah pd.  Seminar Pendidikan di Sidoarjo, Maret 2003.
Bryan S.Turner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analisis atas Tesa Sosiologi Weber, Ter. Machnun Husein, Rajawali, Jakarta, 1984
A. Qadri Azizy, Pendidikan (agama) untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat, Semarang, Aneka Cipta
Nur Syam, Institusi Sosisl di tengah Perubahan, Jenggala Pustaka Utama, 2004, Surabaya
Departemen Penerangan RI, UU tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta, 1999. 
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Madrasah  dan Perguruan Tinggi, Raja Grafindo Persada, jakarta, 2005.
Day, C. P. Whitaker, and D. Wren, Appraisal and Professional Development in the Primary Scholl. Philadelpia: Open University Press, 1987.
Gutek, Gerald A, Philosophical and Idiological Perspective on Education, USA: Allyn and Bacon, Inc, 1988.
Al Jamali, Muhammad Fadlil, Al Falsafah al Tarbawiyah fi al Qur’an, Terj. Judi al Falasani, Solo, Ramadhani, 1986


[1] Abd. Mujib Muhaimin, Madrasah Menatap Peradaban Global, Makalah pd.  Seminar Pendidikan di Sidoarjo, Maret 2003.
[2] Departemen Penerangan RI, UU tentang Pemerintahan Daerah, Jakarta, 1999. 
[3] Nur Syam, Institusi Sosisl di tengah Perubahan, Jenggala Pustaka Utama, 2004, Surabaya, hlm. 41
[4] A. Qadri Azizy, Pendidikan (agama) untuk Membangun Etika Sosial (Mendidik Anak Sukses Masa Depan: Pandai dan Bermanfaat, Semarang, Aneka Cipta, hlm. 122.
[5] Nur Syam, Opcit, 69
[6] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Madrasah  dan Perguruan Tinggi, Raja Grafindo Persada, jakarta, 2005, hlm. 120
[7] Muhaimin, Ibid.
[8] Bryan S.Turner, Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analisis atas Tesa Sosiologi Weber, Ter. Machnun Husein, Rajawali, Jakarta, 1984, hlm. 168

Tidak ada komentar:

Posting Komentar