Sabtu, 07 Mei 2011

PARADIGMA DAKWAH
Cara Pandang Dakwah Tentang Tuhan, Alam dan Manusia

Krisis lingkungan saat ini sudah sampai pada tahap yang serius dan mengancam eksitensi planet bumi di mana manusia, hewan dan tumbuhan bertempat tinggal dan melanjutkan kehidupannya. Manusia modern dewasa ini sedang melakukan perusakan secara perlahan akan tetapi pasti terhadap sistem lingkungan yang menopang kehidupannya. Kerusakan lingkungan baik dalam skala global maupun lokal termasuk di negara kita hingga saat ini sudah semakin parah .
Indikator kerusakan lingkungan terutama yang diakibatkan oleh degradasi lahan cukup nyata didepan mata dan sudah sangat sering kita alami seperti banjir tahunan yang semakin besar dan meluas, erosi dan pendangkalan (sedimentasi) sungai dan danau, tanah longsor, kelangkaan air (kuantitas dan kualitasnya) yang berakibat terjadinya kasus kelaparan di beberapa daerah dinegara kita dan beberapa negara lain. Polusi air dan udara, pemanasan global yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim dunia, mencairnya salju di wilayah kutub utara dan selatan, kerusakan keragaman hayati, kepunahan spesies tumbuhan dan hewan serta ledakan hama dan penyakit merupakan gejala lain yang tak kalah serius yang sedang mengancam kehidupan manusia, hewan dan tumbuhan diplanet bumi ini. Mewabahnya penyakit hewan dan manusia yang mematikan akhir-akhir ini seperti demam berdarah, flu burung hingga HIV, sebenarnya juga merupakan akibat akibat dan dampak dari telah terjadinya gangguan keseimbangan dan kerusakan lingkungan fisik maupun non-fisik di permukaan bumi.
Berbagai kasus kerusakan lingkungan yang terjadi baik dalam lingkup global maupun nasional, jika dicermati, sebenarnya berakar dari pandangan manusia tentang alam dan lingkungannya. Perilaku manusia yang tidak bertanggungjawab terhadap alam itulah yang mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan.
Manusia merupakan penyebab utama terjadinya kerusakan lingkungan di permukaan bumi ini. Peningkatan jumlah penduduk dunia yang sangat pesat, telah mengakibatkan terjadinya eksploitasi intensif (berlebihan) terhadap sumberdaya alam yang akibatnya ikut memacu terjadinya kerusakan lingkungan terutama yang berupa degradasi lahan. Padahal lahan dengan sumberdayanya berfungsi sebagai penyangga kehidupan hewan dan tumbuhan termasuk manusia. Orientasi hidup manusia modern yang cenderung materialistik dan hedonistik juga sangat berpengaruh. Kesalahan cara pandang atau pemahaman manusia tentang sistem lingkungannya, mempunyai andil yang sangat besar terhadap terjadinya kerusakan lingkungan yang terjadi dunia saat ini. Cara pandang dikhotomis yang yang dipengaruhi oleh paham antroposentrisme yang memandang bahwa alam merupakan bagian terpisah dari manusia dan bahwa manusia adalah pusat dari sistem alam mempunyai peran besar terhadap terjadinya kerusakan lingkungan.
Cara pandang demikian telah melahirkan perilaku yang eksploitatif dan tidak bertanggung jawab terhadap kelestarian sumberdaya alam dan lingkungannya. Disamping itu paham materialisme, kapitalisme dan pragmatisme dengan kendaraan sain dan teknologi telah ikut pula mempercepat dan memperburuk kerusakan lingkungan baik dalam lingkup global maupun lokal, termasuk di negara kita.
Agama terutama Islam sebenarnya mempunyai pandangan (konsep) yang sangat jelas tentang hubungan manusia dengan alam ini. Islam merupakan agama yang memandang lingkungan sebagai bagian tak terpisahkan dari keimanan seseorang terhadap Tuhan. Dengan kata lain, perilaku manusia terhadap alam lingkungannya merupakan manifestasi dari keimanan seseorang . Dalam Islam, menjaga alam dan memelihara lingkungan sama halnya dengan menjaga dan memelihara kehidupan di alam, dan hukumnya wajib bagi siapapun seperti wajibnya mendirikan sholat, membayar zakat, berpuasa dibulan romadhan dan berhaji. Islam merupakan agama yang amat peduli lingkungan (eco-friendly), baik lingkungnan alam maupun lingkungan sosial .
Konsep Islam tentang lingkungan ini ternyata sebagian telah diadopsi dan menjadi prinsip etika lingkungan yang dikembangkan oleh para ilmuwan lingkungan. Akan tetapi konsep (ajaran) Islam yang sangat jelas ini tampaknya masih belum banyak dipahami apalagi dijadikan pedoman dalam bersikap dan berperilaku terhadap lingkungannya oleh sebagian besar umat Islam yang jumlah nya tak kurang dari spertiga penduduk dunia. Hal ini ditandai dari kerusakan lingkungan yang terjadi baik dalam lingkup nasional maupun global, ternyata sebagian besar terjadi di lingkungan yang mayoritas penduduknya muslim. Atau barangkali dalam hal ini disebabkan oleh terjadinya kesalahan dalam pemahaman ajaran agama serta cara pendekatan yang dipilih oleh para pemeluk Islam di negara kita khususnya dan juga umat islam pada umumnya.
Uraian singkat berikut merupakan upaya pencarian jawaban tersebut, sekaligus merupakan sebuah upaya menggali kembali konsep (ajaran) Islam yang berkaitan dengan hubungan antara manusia dengan alam, yang bisa menjadi landasan terbangunnya konsep etika lingkungan. Konsep (ajaran) Islam ini diharapkan bisa menjadi dasar pijakan moral dan spiritual (moral and spiritual base) dalam upaya penyelamatan lingkungan sudah sangat kritis dewasa ini.
Upaya-upaya praktis penyelamatan lingkungan dengan memanfaatkan kemajuan sain dan teknologi rupanya tidak cukup untuk mengendalikan perusakan lingkungan yang dilakukan oleh manusia. Permasalahan lingkungan ternyata bukan hanya masalah teknis ekologi semata, akan tetapi juga menyangkut teologi. Permasalahan yang menyangkut lingkungan sangat komplek serta multi dimensi. Oleh karena itu nilai-nilai agama (ad-diin) yang juga bersifat multi-dimensi bisa digunakan sebagai landasan berpijak dalam upaya penyelamatan lingkungan.

Teologi Hubungan Manusia dengan Alam
Teologi dalam konteks hubungan manusia dengan alam ini dimaknai sebagai nilai atau ajaran agama yang berkaitan dengan eksistensi atau keberadaan Tuhan, tidak dimaknai sebagai suatu cabang atau bagian dari ilmu-ilmu agama terutama yang membahas tentang ketuhanan. Makna bebas teologi dalam konteks ini adalah : cara “menghadirkan” Tuhan dalam setiap aspek kegiatan manusia, termasuk kegiatan manusia dalam berhubungan dengan alam, pemanfaatan sumberdaya alam dan pengelolaan lingkungan.
Pengelolaan lingkungan adalah salah satu kegiatan sekaligus tugas manusia. Oleh karena itu pertanyaan yang bisa diajukan berkaitan dengan hal ini adalah : Apakah dalam melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam, manusia telah “menghadirkan” Tuhan, atau sebaliknya Tuhan ditinggalkan atau malah “dicampakkan“?. Dengan perkataan yang lain: Tuhan ada dimana pada saat manusia melakukan kegiatan pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan sumberdaya alam.
Dalam bahasa yang lebih “akademis”, teologi bisa dimaknai sebagai sebuah konsep berpikir dan bertindak yang dihubungkan dengan “Yang Ghoib” yang menciptakan sekaligus mengatur manusia dan alam (lingkungannya). Jadi terdapat tiga pusat perhatian dalam bahasan ini yakni : Tuhan, manusia dan alam yang ketiganya merupakan “satu kesatuan” hubungan yang tidak hanya bersifat fungsional, akan tetapi juga yang bersifat spiritual. Dengan demikian teologi dapat dimaknai sebagai sebuah konsep berpikir dan bertindak manusia yang berkaitan dengan lingkungan hidupnya dengan mengintegrasikan aspek fisik (alam) termasuk manusia dan yang non fisik (Yang Maha Menciptakan alam).
Alam semesta termasuk bumi seisinya adalah ciptaan Tuhan dan diciptakan dalam kesetimbangan, proporsional dan terukur atau mempunyai ukuran-ukuran, baik secara kualitatif maupun kuantitatif (QS:ar Ra’d: 8 ; al Qomar : 49 dan al Hijr:19). Bumi yang merupakan planet dimana manusia tinggal dan melangsungkan kehidupannya terdiri atas berbagai unsur dan elemen dengan keragaman yang sangat besar dalam bentuk, proses dan fungsinya. Berbagai unsur dan elemen yang membentuk alam tersebut diciptakan Allah untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam menjalankan kehidupannya di muka bumi, sekaligus merupakan bukti ke Mahakuasaan dan Kemahabesaran Sang Pencipta dan Pemelihara alam (Qs: Ta-Ha; 53-54). Dialah yang menentukan dan mentaqdirkan segala sesuatu di alam semesta. Tidak ada sesuatu di alam ini kecuali mereka tunduk dan patuh terhadap ketentuan hukum dan qadar Tuhan serta berserah diri dan memujiNya (QS:an Nur:41).
Alam merupakan sebuah entitas atau realitas (empirik= bisa diamati dan dirasakan) yang tidak berdiri sendiri, akan tetapi berhubungan dengan manusia dan dengan realitas yang lain Yang Ghaib dan supra-empirik. Alam sekaligus merupakan representasi atau manifestasi dari Yang Maha Menciptakan alam dan Yang Maha Benar, yang melampauinya dan melingkupinya yang sekaligus merupakan Sumber keberadaan alam itu sendiri. Realitas alam ini tidak diciptakan dengan ketidak sengajaan (kebetulan atau main-main atau bathil) sebagaimana pandangan beberapa saintis barat, akan tetapi dengan nilai dan tujuan tertentu dan dengan kebenaran (Q.S Al-An’am: 73; Shaad:27; Al Dukhaan: 38-39, Ali Imran:191-192). Oleh karena itu menurut pandangan Islam, alam mempunyai eksistensi riil, objektif serta bekerja sesuai dengan hukum-hukum yang berlaku tetap (qadar) bagi alam, yang dalam bahasa agama sering pula disebut sebagai hukum Allah (sunnatullah). Sebagai contoh, batu hukumnya atau qadarnya adalah benda padat, sedangkan air adalah benda cair. Batu tak akan pernah bisa berubah menjadi benda cair kecuali kalau batu tersebut dihaluskan hingga menjadi partikel yang sangat kecil dan dicampur dengan benda cair misalnya air. Inilah yang dimaksud dengan hukum atau qadar Tuhan yang berlaku tetap. Sunnatullah ini tidak hanya berlaku bagi benda-benda alam, akan tetapi juga bagi manusia.
Pandangan Islam tidak sama dengan pandangan kaum idealis yang menyatakan bahwa alam adalah semu dan maya atau pancaran dari dunia lain yang tak konkrit yang disebut dunia idea. Pandangan Islam tentang alam (lingkungan hidup) bersifat menyatu (holistik) yang komponennya adalah Sang Pencipta, alam dan makhluk hidup (termasuk manusia). Masing-masing komponen mempunyai peran dan kedudukan yang berbeda-beda akan tetapi tetap berada dalam koridor rancangan atau disain Allah (sunantullah).
Manusia merupakan bagian tak terpisahkan dari alam. Sebagai bagian dari alam, keberadaan manusia di alam adalah saling mengisi dan melengkapi satu dengan lainnya dengan peran yang berbeda-beda. Manusia mempunyai peran dan posisi khusus diantara komponen alam dan makhluq ciptaan Tuhan yang lain yakni sebagai khalifah, wakil Tuhan dan pemimpin di bumi ( QS: Al An’am:165) . Hubungan antara manusia dengan alam lingkungan hidupnya ini ditegaskan dalam beberapa ayat al Qur’an dan Hadist Nabi yang intinya adalah :
1) Hubungan keimanan dan peribadatan. Alam semesta berfungsi sebagai sarana bagi manusia untuk mengenal kebesaran dan kekuasaan Tuhan (beriman kepada Tuhan) melalui alam semesta, karena alam semesta adalah tanda atau ayat-ayat Allah. Manusia dilarang memperhamba alam dan dilarang menyembah kecuali kepada Allah yang Menciptakan alam.
2) Hubungan pemanfaatan yang berkelanjutan. Alam dengan segala sumberdayanya diciptakan Tuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Dalam memanfaatkan sumberdaya alam guna menunjang kehidupannya ini harus dilakukan secara wajar (tidak boleh berlebihan). Demikian pula tidak diperkenankan pemanfaatan sumberdaya alam hanya untuk memenuhi kebutuhan bagi generasi saat ini sementara hak-hak pemanfaatan bagi generasi mendatang terabaikan. Manusia dilarang pula melakukan penyalahgunaan pemanfaatan dan atau perubahan alam dan sumberdaya alam untuk kepentingan tertentu sehingga hak pemanfatatannya bagi semua kehidupan menjadi berkurang atau hilang.
3) Hubungan pemeliharaan. Manusia mempunyai kewajiban untuk memelihara alam untuk keberlanjutan kehidupan, tidak hanya bagi manusia akan tetapi bagi semua makhluk hidup yang lainnya. Tindakan manusia dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang berlebihan dan mengabaikan asas konservasi sehingga mengakibatkan terjadinya degradasi dan kerusakan lingkungan, merupakan perbuatan yang dilarang (haram) dan akan mendapatkan hukuman. Sebaliknya manusia yang mampu menjalankan peran pemeliharaan alam ini dengan baik, maka baginya tersedia ganjaran dari Allh swt.
Manusia dalam hubungannya dengan Tuhan, berhubungan pula dengan alam sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dalam berhubungan dengan Tuhan ini manusia memerlukan alam sebagai sarana untuk mengenal dan memahami Tuhan (yakni: alam adalah ayat-ayat kauniah Tuhan). Manusia juga memerlukan alam (misalnya: papan, pangan, sandang, alat transportasi dan sebagainya) sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah swt. Hubungan manusia–alam ini adalah bentuk hubungan peran dan fungsi, bukan hubungan sub-ordinat (yakni: manusia adalah penguasa alam) sebagaimana pahamnya penganut antroposentrisme dan kaum materialis. Sementara itu alam berhubungan pula dengan Tuhan yang menciptakannya dan mengaturnya. Jadi alampun tunduk terhadap ketentuan atau hukum-hukum atau qadar yang telah ditetapkan oleh Yang Maha Memelihara alam. Agar manusia bisa memahami alam dengan segala hukum-hukumnya, manusia harus mempunyai pengetahuan dan ilmu tentang alam. Dengan demikian, upaya manusia untuk bisa memahami alam dengan pengetahuan dan ilmu ini pada hakekatnya merupakan upaya manusia untuk mengenal dan mamahami yang Menciptakan dan Memelihara alam, agar bisa berhubungan denganNya.
Dalam pandangan Islam, manusia disamping sebagai salah satu makhluk Tuhan, ia sekaligus sebagai wakil (khalifah) Tuhan dimuka bumi ( QS: Al baqarah :30). Sebagai mahkluk Tuhan, manusia mempunyai tugas untuk mengabdi, menghamba (beribadah) kepada Penciptanya (al-Chaliq). Dalam penghambaan ini manusia tidak diperkenankan (haram) untuk mengabdi kepada selain Allah. Pengabdian atau penghambaan kepada selain Allah merupakan perbuatan syirk dan merupakan dosa besar. Dalam pengabdian ini terkandung konsep tauhid (peng Esaan) terhadap Tuhan. Dengan demikian, tauhid merupakan sumber nilai sekaligus etika yang pertama dan utama dalam hubungan antara manusia, alam dan Tuhan.
Sebagai wakil Allah, maka manusia harus bisa merepresentasikan peran Allah terhadap alam semesta termasuk bumi seisinya antara lain memelihara (al rab) dan menebarkan rakhmat ( rakhmatan) di alam semesta. Oleh karena itu kewajiban manusia terhadap alam dalam rangka pengabdiannya kepada Allah swt adalah melakukan pemeliharaan terhadap alam (termasuk pemeliharaan kehidupan diri = hifdzun nafs) untuk menjaga keberlangsungan kehidupan di alam.
Untuk mempertahankan dan memenuhi hajat hidupnya, manusia diperkenankan oleh Tuhan untuk memanfaatkan segala sumberdaya alam secara wajar (sesuai dengan kebutuhan) dan bertanggungjawab. Segala sikap, perilaku atau perbuatan manusia (lahir dan batin) yang berkaitan dengan pemeliharaan alam harus dipertanggungjawabkan dihadapan Tuhan setelah kehidupan dunia ini berakhir. Islam melarang pemanfaatan alam (sumberdaya alam) yang melampaui batas atau berlebihan atau isyraf (Al An’am: 141-142). Pemanfaatan (eksploitasi) sumberdaya alam yang berlebihan akan menguras sumberdaya alam yang bersangkutan hingga habis tak tersisa, sehingga hak-hak untuk memanfaatkan sumberdaya alam bagi generasi yang akan datang terabaikan. Hal ini merupakan perbuatan pelanggaran terhadap hukum atau ketetapan Tuhan sekaligus pelanggaran amanah, sehingga merupakan perbuatan dosa besar pula. Dalam aras praktis untuk menjaga kemanfaatan dan kelestarian alam (fungsi manfaat dan reproduksi), misalnya Rasulullah Muhammad SAW melarang memetik buah sebelum matang (ripe) dan siap dikonsumsi, melarang memetik bunga sebelum mekar dan menyembelih hewan ternak yang masih kecil dan belum berumur. Nabi juga mengajarkan agar manusia selalu bersahabat sekalipun terhadap makhluk yang tak beryawa. Istilah “penaklukan” atau “penguasaan” alam seperti yang dipelopori oleh pandangan Barat yang sekuler dan materialistik tidak dikenal dalam Islam. Islam menegaskan bahwa yang berhak untuk menguasai dan mengatur alam adalah Yang Maha menciptakan dan Maha Mengatur yakni Rab al alamiin.
Konsep hubungan manusia dengan alam sebagaimana telah dikemukakan di muka mengandung makna bahwa perlindungan dan pemeliharaan alam merupakan kewajiban asasi manusia yang telah dipilh oleh Tuhan sebagai wakil Tuhan di muka bumi. Konsep tersebut mengandung pula makna penghargaan dan penghormatan terhadap saling keterkaitan setiap komponen dan aspek kehidupan di alam, pengakuan terhadap kesatuan penciptaan dan persaudaraan semua makhluk. Konsep tersebut menunjukkan pula bahwa etika (akhlak) harus menjadi landasan setiap perilaku (penalaran dan tindakan) manusia. Konsep hubungan manusia dengan alam tersebut sebenarnya juga merupakan salah satu pilar syari’ah Islam. Syari’ah yang bermakna lain as-syirath adalah sebuah “jalan” yang merupakan konsekuensi dari pernyataan atau persaksian (syahadah) tentang keesaan Tuhan (tauhid). Syari’ah adalah sebuah sistem pusat-nilai untuk mewujudkan nilai yang melekat dalam konsep (ajaran) pokok Islam yakni tauhid, khilafah dan amanah. Tujuan tertinggi dari sistem pusat nilai ini adalah kemaslahatan dan kesejahteraan (istishlah) universal (seluruh makhluk) saat ini (dunia) dan di masa depan (akhirat).

Kepemimpinan Profetik Nabi Yunus
Maka, mengapa tidak ada (penduduk) suatu negeri pun yang beriman, lalu imannya itu bermanfaat kepadanya selain kaum Yunus? Ketika mereka (kaum Yunus itu) beriman, Kami hilangkan dari mereka azab yang menghinakan dalam kehidupan dunia, dan Kami beri kesenangan kepada mereka sampai waktu tertentu.” (Al Qur’an, Surat Yunus, 10: 98)
Kepemimpinan profetik kali ini membahas kisah Nabi Yunus, seorang Nabi yang pernah melakukan kesalahan fatal, meninggalkan kaumnya dan mengelakkan diri dari kewajiban berdakwah, tetapi akhirnya Yunus sadar dan bertaubat kepada Allah. Maka, Allah mengembalikan Nabi Yunus kepada kaumnya yang telah bertaubat . Sungguh sebuah kisah yang penuh pelajaran, bahwa sebagai seorang pemimpin tiap manusia pasti akan berbuat salah, tetapi yang menentukan kualitas hidup adalah sikap dan tindakan kita selanjutnya. Itulah inti kisah Nabi Yunus dan kaumnya, yang akhirnya hidup bahagia bila dibandingkan dengan sedikitnya kaum yang selamat dalam cerita Al Qur’an. Kisah itu secara lengkap terdapat dalam Surat Ash-Shaffaat (37).
Nabi Yunus dan Kaumnya
QS 37:139, “Dan sungguh, Yunus benar-benar termasuk salah seorang Rasul”, Nabi Yunus mendapat perintah dari Allah untuk berdakwah di wilayah Ninawa (wilayah Mosul, Irak sekarang). Karena tak mendapat sambutan yang baik dari penduduk, Nabi Yunus memberi ultimatum, jika dalam tempo 40 hari mereka tidak mau insyaf dan bertaubat kepada Allah, maka akan diturunkan siksa. Tetapi kaumnya tidak menggubris tenggang waktu itu. Mereka malah menantang dan berani menunggu datangnya siksa itu. Karena kesal, Nabi Yunus lalu pergi meninggalkan penduduk Ninawa menuju negeri yang jauh.
Sepeninggal Nabi Yunus, setelah 40 hari tiba-tiba muncul awan gelap di pagi hari. Semakin siang mereka melihat cahaya merah seperti api hendak turun dari langit. Mereka sangat ketakutan, berbondong-bondong mereka mencari Nabi Yunus, tapi tak ada seorang pun yang tahu di mana keberadaannya. Mereka lalu bertobat dan berdoa dengan khusyu kepada Allah. Semua orang, baik laki-laki maupun perempuan, tak ketinggalan juga anak-anak saling menangis dan mengembalikan barang-barang rampasan kepada pemiliknya. Maka, Allah Ta’ala menerima taubat mereka, dan mencabut kembali azab-Nya (Surat Yunus 10: 98).
Pelarian dan Pertaubatan Nabi Yunus
Setelah meninggalkan kaum Ninawa, Yunus tiba di suatu tempat di pinggir laut. Di sana ia menjumpai sejumlah orang yang bergegas naik perahu. Yunus meminta izin pada mereka agar diperbolehkan ikut, dan mereka mengizinkannya. Namun ketika berada di tengah laut tiba-tiba badai menerjang. Sang Nahkoda meminta salah satu dari penumpang untuk turun agar yang lain terselamatkan. Setelah diundi berkali-kali, selalu nama Yunus yang keluar, sehingga ia pun pasrah. Ia menganggap bahwa itu sudah kehendak Allah SWT, dan ia pun terjun ke laut.
QS 37:142, “Maka dia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela”. Selagi Yunus berjuang melawan gelombang yang mengayun-ayunkannya, Allah mewahyukan kepada seekor ikan paus untuk menelannya bulat-bulat dan menyimpannya di dalam perut sebagai amanat Tuhan yang harus dikembalikan utuh, tidak cedera, kelak bila saatnya tiba.
QS 37: 143-144, “Maka sekiranya dia tidak termasuk orang yang banyak berzikir (bertasbih kepada Allah” (ayat 143), “Niscaya dia akan tetap tinggal di perut (ikan itu) sampai hari berbangkit” (ayat 144). Yunus yang berada di dalam perut ikan paus yang membawanya memecah gelombang timbul dan tenggelam ke dasar laut, merasa sesak dada dan bersedih hati seraya memohon ampun kepada Allah atas dosa dan tindakan yang salah yang dilakukannya tergesa-gesa. Ia berseru di dalam kegelapan perut ikan paus itu: “…Maka dia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap: tidak ada Tuhan selain Engkau, Maha suci Engkau dan sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim.” (Surat Al Anbiya‘ 21:87)
QS 37: 145-146, “Kemudian Kami lemparkan dia ke daratan yang tandus, sedang dia dalam keadaan sakit” (ayat 145) dan “Kemudian untuk dia Kami tumbuhkan sebatang pohon dari jenis labu” (ayat 146). Setelah selesai menjalani hukuman Allah, selama beberapa waktu yang telah ditentukan, dimuntahkanlah Yunus oleh ikan paus itu dan dilemparkannya ke darat. Ia terlempar dari mulut ikan ke pantai dalam keadaan kurus, lemah dan sakit. Akan tetapi Allah dengan rahmat-Nya menumbuhkan di tempat ia terdampar, sebuah pohon labu yang dapat menaungi Yunus dengan daun-daunnya dan menikmati buahnya.
QS 37: 147-148, “Dan Kami utus dia kepada seratus ribu (orang) atau lebih” (ayat 147), dan “Sehingga mereka beriman, karena itu Kami anugerahkan kenikmatan hidup kepada mereka hingga waktu tertentu” (ayat 148). Setelah sembuh dan segar kembali, Yunus diperintahkan Allah untuk pergi kembali mengunjungi Ninawa dimana seratus ribu lebih penduduknya mendambakan kedatangannya untuk memimpin mereka. Yunus harus bertugas memberi tuntunan lebih lanjut untuk menyempurnakan iman dan aqidah mereka. Alangkah terkejutnya Yunus tatkala masuk Ninawa dan tidak melihat satu pun patung berhala berdiri. Sebaliknya, ia menemui orang-orang yang dahulunya berkeras kepala menentangnya dan menolak ajarannya, maka kini sudah menjadi orang-orang mukmin, soleh dan beribadah memuja-muji Allah SWT.

Kedudukan Dakwah Dalam Perspektif Syariah & Nilai Moral
Bila Dakwah dilihat dari maknanya secara etimologis dan terminologis, dengan yakin kita dapat menyatakan, bahwa dakwah memiliki nilai dan kedudukan yang sangat tinggi. Lebih yakin lagi ketika mendapatkan kejelasan dan penegasan dari sumber segala sumber bagi dakwah.
Tingkat kewajiban Dakwah yang sangat tinggi.
Untuk melihat ketinggian tingkat kewajiban Dakwah, sebaiknya kita cermati definisi terminologi Dakwah. Ibnu Taimiah misalnya mengartikan dakwah dengan mengajak untuk beriman kepada Allah dan kepada risalah Nabi Muhammad saw yang mencakup ajaran Rukun Iman dan Rukun Islam.
Ustadz al-Bahi al-khuli mengatakan, bahwa dakwah ialah kegiatan untuk menghantarkan umat dari suatu tempat / kondisi ke tempat / kondisi yang lain.
Rauf Syalabi mendefinisikan dakwah sebagai gerakan revitalisasi sistem Ilahi yang diturunkan Allah kepada Nabi terakhir.
Sedangkan Abu Bakar Dzikri menjelaskan bahwa dakwah adalah bangkitnya para ulama Islam untuk mengajarkan Islam kepada umatnya, agar mereka dapat memahami agamanya, mengerti tentang makna kehidupan, sesuai kemampuan setiap ulama.
Al-Bayanuni menyimpulkan dari sekian banyak definisi dakwah, bahwa dakwah adalah kegiatan menyampaikan Islam kepada manusia, mengajarkan mereka dan mengaktualisasi dalam kehidupan.
Pengertian tersebut dapat disimpulkan, bahwa Dakwah ialah menyampaikan Islam kepada umat manusia seluruhnya dan mengajak mereka untuk komitmen dengan Islam pada setiap kondisi. Atau dengan kata lain dakwah ialah segala aktifitas kebajikan yang sesuai dengan nilai-nilai dan prinsip Islam dalam rangka membawa manusia kepada kesejahteraan dan kebahagiaan hidup.
Dalam kajian hukum, para ulama yang berpendapat wajib kifayah atau wajib ‘ain, mereka sepakat bahwa dakwah merupakan kewajiban tang dapat mengantar umat ke jalan yang diridhoi Allah, sehingga dakwah benar-benar menjadi ahsana qaulan (Fushilat: 33)
  وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
 Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: "Sesungguhnya aku Termasuk orang-orang yang menyerah diri?"

dan para pengembannya menjadi khairu ummah (Ali Imran: 110).

 كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَوْ آمَنَ أَهْلُ الْكِتَابِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ مِنْهُمُ الْمُؤْمِنُونَ وَأَكْثَرُهُمُ الْفَاسِقُونَ


kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.

Dakwah bukan sekedar kebaikan individu atau amal salih suka rela.
Lebih dari itu, dakwah merupakan hak orang lain yang harus dipenuhi, seperti tercantum penjelasannya dalam hadits muttafaq ‘alaih: “Din (al-Islam) adalah nasehat, bagi Allah, RasulNya, KitabNya, Pemimpin umat dan Umat pada umumnya”.
Nasehat untuk Allah SWT. Adalah beriman kepada-Nya, taat pada perintah-Nya, menjahui segala larangan-Nya. Nasehat kepada Allah adalah mempercayai al-Qura’an sebagai Kalam Allah SWT.
Nasehat untuk umat pada umumnya adalah mengajak kepada kebaikan, mengajarkan agama, membantu mereka, membimbing untuk saling mencintai di jalan Allah (Syarh Muslim, Imam an-Nawawi 2/37).
Sebagaimana Rasulullah SAW menjelaskan hak seorang muslim atas muslim lainnya, antara lain: jika diminta nasehat maka harus memberi nasehat (al-hadits).
Dakwah adalah mediator taqarrub kepada Allah swt.
Seperti tersirat dalam firman Allah swt : “Katakanlah (hai Muhammad), inilah jalanku, aku dan orang yang mengikutiku senantiasa berdakwah (untuk kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik” (Yusuf: 108). Dakwah sebagai mediator taqarrub kepada Allah, karena menjalankan dakwah berarti menjalankan perintah Allah dan mengikuti tuntunan RasulNya. Lebih dari itu dakwah merupakan jejak langkah para nabi dalam menebarkan nilai-nilai kebenaran dan kebajikan kepada manusia.

Kewajiban dakwah

Karena betapapun ada yang merasa berat menjalankan dakwah, tetapi perasaan itu diimbangi dengan motivasi stimulan bagi pelaksanaan dakwah secara konsisten dengan perolehan ganjaran dan pahala yang besar dari Allah swt, antara lain dapat kita cermati hadits-hadits berikut :
• Amar Makruf Nahi Munkar merupakan kunci keselamatan: “Perumpamaan orang yang taat hukum Allah dan yang melanggarnya seperti kaum yang memenuhi kapal laut, sebagian mereka menempati bagian atas kapal, sebagian yang lain di bawah. Orang-orang yang di bagian bawah kapal jika ingin mengambil air, mereka harus melewati orang-orang yang berada di bagian atas, mereka berkata: Kalau kita lubangi saja kapal ini agar kita dapat memperoleh bagian kita (air) tanpa mengganggu orang-orang di atas”. Jika penumpang kapal membiarkan mereka dan keinginannya, mereka semua akan celaka, tetapi jika mereka mencegah rencana buruk mereka, nicaya mereka semua akan selamat.
• Dakwah adalah pekerjaan mulia: “Allah memberikan petunjuk kepada seseorang lewat (dakwah) mu adalah lebih baik dari unta merah” atau lebih baik dari terbitnya matahari” (al-hadits).
• Dakwah adalah amal jariah, pahalanya terus mengalir selama kebaikan dari dakwahnya terus diamalkan: “Barangsiapa berdakwah kepada petunjuk (kebajikan) niscaya ia akan memperoleh pahalanya dan pahala orang yang melakukan tidak kurang sedikitpun dari pahalanya. Barangsiapa yang mengajak kepada kesesatan, ia memperoleh dosanya dan dosa orang yang melakukannya tidak kurang sedikitpun dari dosanya.
Kewajiban berdakwah dirasakan ringan juga dapat dilihat dari sisi lain, bahwa takalif syar'iyah tidak ada yang di luar kemampuan manusia, “Bertakwalah kalian kepada Allah semampunya”. Rasulullah saw bersabda:
 بلغوعني ولواية “
Sampaikan dariku walau satu ayat” (al-hadits).
Apalagi jika dakwah dilihat dari sisi faktor-faktor mengapa harus berdakwah, baik factor akidah, maupun faktor kebutuhan hidup manusia dalam rangka meraih kelestarian hidup, keharmonisan dan kesejahteraan.
Nabi Muhammad Saw bersabda :

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَم يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَان ِ ْ
“ Siapa di antara kamu melihat kemunkaran, ubahlah dengan tangannya, jika tidak mampu, ubahlah dengan lisannya, jika tidak mampu, ubahlah dengan hatinya, dan yang terakhir inilah selemah-lemah iman.” [ H.R. Muslim ].
Dari hadis tersebut terdapat tiga tahapan metode yaitu ;
1. Metode dengan tangan [ bil yadi ], tangan di sini bisa difahami secara tektual ini terkait dengan bentuk kemunkaran yang dihadapi, tetapi juga tangan bisa difahami dengan kekuasaan atau power, dan metode dengan kekuasaan sangat efektif bila dilakukan oleh penguasa yang berjiwa dakwah.
2. Metode dakwah dengan lisan [ billisan ], maksudnya dengan kata-kata yang lemah lembut, yang dapat difahami oleh mad’u, bukan dengan kata-kata yang keras dan menyakitkan hati.
3. Metode dakwah dengan hati [ bilqolb ], yang dimaksud dengan metode dakwah dengan hati adalah dalam berdakwah hati tetap ikhlas, dan tetap mencintai mad’u dengan tulus, apabila suatu saat mad’u atau objek dakwah menolak pesan dakwah yang disampaikan, mencemooh, mengejek bahkan mungkin memusuhi dan membenci da’I atau muballigh, maka hati da’i tetap sabar, tidak boleh membalas dengan kebencian, tetapi sebaliknya tetap mencintai objek, dan dengan ikhlas hati da’i hendaknya mendo’akan objek supaya mendapatkan hidayah dari Allah SWT.
Selain dari metode tersebut, metode yang lebih utama lagi adalah bil uswatun hasanah, yaitu dengan memberi contoh prilaku yang baik dalam segala hal. Keberhasilan dakwah Nabi Muhammad SAW banya ditentukan oleh akhlaq belia yang sangat mulia yang dibuktikan dalam realitas kehidupan sehari-hari oleh masyarakat. Seorang muballigh harus menjadi teladan yang baik dalam kehidupan sehar-hari.
Visi Misi Dakwah Salafiyyah
Dakwah Salafiyyah itu artinya ialah dakwah (seruan) kepada umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya untuk memahami, mengimani dan mengamalkan Islam dengan cara pemahaman dan pengamalan Shalafus Shalih.
Program utamanya dakwah ini adalah:
1). Mengajari manusia pada umumnya dan kaum muslimin pada khususnya pemahaman yang benar tentang agama ini dengan menunjukkan kaidah-kaidah pemahaman yang lengkap guna menjawab segala problematika kehidupan.
2). Meluruskan penyimpangan-penyimpangan pemahaman yang berkembang di umat Islam akibat penyusupan berbagai pemahaman bid’ah dan kufur. Program ini dilakukan dengan membantah dan menjelaskan kebatilan berbagai bid’ah dan kufur tersebut agar kekaburan pemahaman umat tentang Islam dapat jernih kembali.
3). Menghidupkan dan memasyarakatkan amalan-amalan yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang ditinggalkan dan dilupakan oleh umat. Di samping itu juga mengkokohkan amalan-amalan sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam yang telah dikerjakan umat.
4). Menumbuhkan persaudaraan dan kesatuan umat Islam atas dasar loyalitas dan kecintaan sepenuhnya kepada sunnah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan kebencian kepada kebid’ahan dan kekafiran.
Tujuan akhir dari dakwah ini adalah:
1). Mengembalikan umat manusia kepada posisinya sebagai hamba Allah dan tugasnya sebagai hamba-Nya, yaitu mentauhidkan-Nya dalam:
a). Rububiyyah-Nya, dengan arti meyakini-Nya sebagai satu-satunya pencipta, pemberi rejeki, penguasa dan pemilik segenap makhluk-Nya.
b). Uluhiyyah-Nya, yaitu meyakini hanya Allah-lah satu-satunya Dzat yang pantas dan harus diibadahi.
c). Asma’ wa Sifat-Nya, yaitu meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya Dzat yang mempunyai nama-nama kebesaran dan sifat-sifat kemuliaan yang sempurna dan tidak sama dengan kebesaran serta kemuliaan yang ada pada makhluk.
2). Membersihkan hati, lisan, dan amalan manusia dari noda syirik hingga syirik ini tidak menurunkan nilai amalan dan keyakinannya atau tidak membatalkan keduanya.
3). Menyelamatkan umat manusia dari api neraka dan adzab kubur serta mengantarkan mereka kepada rahmat Allah dan maghfirah-Nya (ampunan-Nya). Dakwah Salafiyyah adalah tugas yang diwariskan oleh para Nabi dan Rasul kepada para ulama. Generasi pertama umat Islam yang mewarisi tugas tersebut adalah para shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Mereka inilah yang dinamakan Salafus Shalih. Generasi ini mewarisi ilmu dan amal langsung dari Rasulullah SAW.

MANHAJ YANG BENAR
Hidayah Allah itu ada yang langsung masuk ke dalam hati dan membuka hati untuk menerima bimbingan yang benar. Hidayah dalam bentuk ini sepenuhnya ditangan Allah dan kehendak-Nya. Selain itu ada pula hidayah dalam bentuk ilmu yang diajarkan oleh para Nabi dan Rasul. Hidayah dalam bentuk ini disebarkan di kalangan manusia oleh para Nabi dan Rasul serta para ulama waratsatul anbiya’ (pewaris Nabi).
Ilmu para Nabi dan Rasul yang diwarisi oleh ulama Ahlus Sunnah tidak hanya berwujud materi ilmu saja, tetapi juga lengkap dengan manhaj pemahaman, pengamalan dan perjuangan mendakwahkannya di kalangan manusia. Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah tersimpul pada dua pokok:
1). Gigih memperjuangkan pengamalan dan mendakwahkan sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin. Ini dinamakan al-wala’.
2). Gigih memerangi bid’ah dan ahli bid’ah serta mengingatkan umat Islam tentang bahaya bid’ah, bagi masa depan kita di akherat, ini dinamakan al-bara’. Dua kegigihan ini adalah simbol Dakwah Salafiyyah dan sekaligus juga simbol manhaj yang benar. Bila salah satunya dilecehkan atau diremahkan dengan cara:
a). Mengentengkan perjuangan, pengamalan dan dakwah kepada sunnah Rasulullah dan Khulafa’ur Rasyidin. Perjuangan ini dianggap sebagai salah satu cabang perjuangan dan bukan pokoknya. Sedangkan, pokok perjuangan adalah politik misalnya, atau persatuan umat Islam dan lain-lainnya yang sesungguhnya adalah perkara cabang.
b). Dianggap kecilnya bahaya bid’ah dan ahli bid’ah. Umat diserukan untuk mentolelir bid’ah dan bergandengan tangan dengan Ahlul Bid’ah dalam rangka dakwah Islamiyah atau sejenisnya. Ahlul Bid’ah harus dihargai kelebihannya atau kebaikannya disamping kita mengkritik kebid’ahannya, sehingga tampak semangat semu persaudaraan sesama umat Islam. Sikap ini sering dinamakan adil atau dengan istilah lain al-inshaf.
Dua sikap ini adalah bentuk pelecehan terhadap manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan sikap menyimpang dari manhaj yang benar. Karena Al-Wala’ wal Bara’ adalah pokok manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah, maka menolak salah satunya atau dua-duanya jelas adalah sikap bid’ah.
Oleh karena itu penulis mengharapkan kepada segenap pembaca untuk terus bersungguh-sungguh minta petunjuk kepada Allah kepada ilmu yang benar dan manhaj yang benar. Juga kita harus meminta Allah perlindungan dari bahaya penyimpangan untuk condong kepada ilmu yang batil dan ilmu yang sesat. Janganlah kewajiban belajar ilmu agama dengan manhaj yang benar ini dianggap remeh, dan janganlah sampai pula kewajiban ini dilalaikan oleh kesibukan apapun yang kita lakukan. Karena ilmu dan manhaj yang demikian inilah sebagai salah satu dari dua jenis hidayah Allah Subhanahu wa Ta`ala.

DAFTAR PUSTAKA
Al Barry, M. Dahlan & Partanto, Pius A. Kamus Ilmiah Popular, ARKOLA
Surabaya, 1994
Arikunto, Suharsimi Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik, Rineka
Cipta, Jakarta: 1998
Buku Organisasi “Dasar Pemikiran Pendirian Website FSRMY”
Chulsum, Umi & Novia, Widy Kamus Besar Bahasa Indonesia, KASHIKO
Surabaya, Cetakan 1, 2006
Effendy, Onong Uchjana, Dinamika Komunikasi, Rosda Karya , Bandung : 2002
___________________, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, Citra Aditya Bakti,
Bandung: 1993
Ensiklopedi Indonesia, Ikhtiar Baru Van Hoeve Tarsito, Jakarta: 1980
Ihcsan, Mas'ud Kamus Istilah Pengetahuan, Abdul Qadir DKK. CV. Bintang
Pelajar, 1991
Kamus Arab-Indonesia Al-Munawwir, cetakan ke dua, Pustaka Progressif
Koenjaraningrat, Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta; PT. Gramedia)
Thn. 1983
Kun Wardhana, "Umat Islam Wajib Kuasai Ilmu Teknologi”, diakses dari
http:/www.republika.co.id/suplemen/cetak d-.tail. asp?raid=5&id=
145794&kat id=10&kat ldl=147&kat id2=269.
Muis, A. Komunikasi Islami, Rosda Karya, Bandung: (2001)
Masy’ari, Anwar Studi Tentang Ilmu Dakwah, Citra, Banjarmasin: 1979
Moeleong, Lexy J. Metode Penelitian Kualeatif, Remaja Rosdakarya, Bandung:
tahun 1988
Rakhmat, Jalaluddin Psikologi Komunikasi, Remaja Rosdakarya, Bandung: 2005
_______________, Rhetorika Modern, Academics, Bandung : 1982
Sanwar, Aminuddin Ilmu Dakwah, Fakulas Dakwah IAIN Walisongo, Semarang :
2004
Syukir, Asmuni Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, Al-Ikhlas, Surabaya: 1983
Saputro, Hendra W "Pengertian Website dan Unsur-unsurnya ", Diakses dari
http://www.balebengong.net/2007/08/01/Pengertian-website-dan-unsurunsumya,.
Sanwar, M. Aminuddin Ilmu Dakwah, Semarang : Fakultas Dakwah IAIN
Walisongo, 1986
Sindunata : "Islam Sebagai Puisi', Basis, No. 11-12, Thn. 2002
The Motivated Sequence: Organization from the Perspective of the Listener,
www.shkaminski.com/Classes/Handouts/Motivated%20Sequence.htm
Tasmara, Toto Komunikasi Dakwah, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997
Widjaja, A. W. Komunikasi Komunikasi dan Hubungan Masyarakat), Bumi
Aksara, Jakarta : 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar