Sabtu, 07 Mei 2011

Dakwah

DAKWAH SEBAGAI REKAYASA SOSIAL
Oleh : Moh. Subhan

Sebelum kita melangkah untuk membahas rekayasa sosial maka biasanya orang harus mengetahui dulu apa itu problem sosial, karena adanya rekayasa sosial itu didahului timbulnya problem-problem (masalah) sosial. Problem adalah sebuah kondisi di mana terjadi perbedaan antara apa yang kita inginkan (das Sollen) dan apa yang telah terwujud menjadi suatu kenyataan (das Sein). Kita menginginkan cepat lulus kuliah namun kenyataannya skripsi tidak kelar-kelar, atau kita ingin segera mengakhiri masa lajang, namun apa daya ternyata proposal ditolak terus. Akibatnya terjadi perbenturan antara idealita dan realita.
Problem itu sendiri sebenarnya dibagi menjadi 2 dimensi yakni bertaraf individu dan bertaraf sosial. Problem individu adalah masalah yang timbul dari individual qualities (kualitas-kualitas individu) atau dari lingkungan terdekat. Misalnya seseorang pemuda yang ditolak lamarannya oleh orang tua sang gadis yang telah diincarnya karena dianggap masih menganggur. Si pemuda masih menganggur disebabkan memang malas mencari duit, jadi ini adalah masalah personal dari yang bersangkutan. Atau seseorang yang ditolak untuk menjadi penyanyi oleh produser rekaman karena suaranya memang hanya merdu kala di kamar mandi saja.
Sebaliknya masalah sosial bermula dari faktor dan lingkungan sosial. Philip Kotler menyebutkan bahwa problem sosial adalah kondisi tertentu dalam masyarakat yang dianggap tidak enak atau menganggu oleh sebagian anggota masyarakat dan dapat dikurangi atau dihilangkan melalui upaya bersama (kolektif). Ada 3 problem sosial yang bisa kita kemukakan di sini yang mana ketiga problem sosial tersebut menjadi sumber perubahan sosial, yakni kemisikinan, kejahatan, dan konflik.
Perubahan sosial adalah terjadinya perubahan bentuk dan fungsionalisasi kelompok, lembaga, atau tatanan sosial yang penting. Ada istilah lain yang diberikan oleh para ilmuwan tentang perubahan sosial, yang substansinya sama atau hampir sama. Less dan Presley menyebutnya social engineering, MN Ross mengatakannya social planning (perencanaan sosial), dan Ira Kaufman mengistilahkannya dengan change management (manajemen perubahan). Sedangkan Jalaluddin Rakhmat menggunakan istilah rekayasa sosial dan ini yang kita bahas.
Menurut sosiolog terkenal, Max Weber, penyebab utama perubahan adalah ideas atau pandangan. Tesis utama dari Weberianisme adalah pengakuan terhadap peranan besar idelogi sebagai variabel independen bagi perkembangan masyarakat. Penyebab kedua adalah tokoh-tokoh besar. Menurut Thomas Carlyle sejarah dunia adalah biografi orang-orang besar. Perubahan sosial terjadi karena munculnya tokoh atau pahlawan yang dapat menarik simpati para pengikutnya yang setia, dan kemudian mereka bersama-sama melakukan perubahan di dalam masyarakatnya. Perubahan sosial yang ketiga terjadi karena adanya gerakan sosial (social movement) seperti yang dilakukan LSM.

Aksi Sosial
Setelah mengetahui problem sosial yang terjadi dan upaya untuk melakukan rekayasa sosial, maka yang dibutuhkan selanjutnya adalah aksi sosial. Aksi sosial diartikan sebagai tindakan kolektif untuk mengurangi atau menghilangkan masalah sosial. Aksi sosial mengandung lima unsur (5C), yakni cause, change agency, change target, channel, dan change strategy. Cause atau sebab, ini berkaitan dengan misi, motif, atau tujuan. Setiap problem sosial membutuhkan sejumlah pemecahan atau solusi yang beragam. Ada 3 sebab atau alasan untuk turun dalam dataran aksi yakni membantu (helping), memprotes (reform), dan menghancurkan (destroy/revolusi). Saat ini revolusi menjadi wacana yang sedang naik daun di kalangan gerakan mahasiswa. Revolusi adalah motor penggerak sejarah, demikian pendapat Karl Marx. Secara definitif ia diartikan sebagai perubahan yang cepat dan mendasar dari masyarakat dan struktur kelas suatu negara, dan revolusi tersebut dibarengi serta sebagian menyebabkan terjadinya pemberontakan kelas dari bawah.
Rekayasa sosial di mana pun tempatnya dan kapan pun masanya selalu membutuhkan aktor-aktor untuk melakukan gerakan. Ada 2 kelompok besar di balik upaya rekayasa sosial yakni pemimpin-pemimpin (leaders) dan pendukung (supporters). Kalau dijabarkan lebih lanjut akan kita temukan derivasinya yang mana tiap-tiap orang mempunyai peran yang tertentu. Ada orang yang menggerakkan, ada yang terus-menerus memberikan motivasi agar massa tetap bergerak, ada yang membantu dengan sumber daya, dana dan fasilitas, ada yang memperngaruhi kalangan elit, ada yang mengatur administrasi sebuah gerakan, ada yang harus menjadi konsultan, ada juga tipe pekerja atau aktivis, ada pendonor, dan yang tak kalah pentingnya adalah para simpatisan.
Sasaran perubahan dalam Rekayasa Sosial ada 2 yaitu : pertama sasaran akhir, berupa korban atau lembaga-lembaga yang dirusak. Kedua adalah sasaran seperti masyarakat/pemerintah, bisnis, atau profesi.
Unsur selanjutnya dari aksi sosial adalah chanel atau saluran yaitu media untuk menyampaikan pengaruh dan respon dari setiap pelaku perubahan ke sasaran perubahan. Dalam klasifikasi Kotler, media ini dibagi menjadi dua, media pengaruh dan media respon. Keduanya dapat menggunakan media massa atau media interpersonal.
Terakhir adalah change strategy (strategi perubahan), yaitu teknik utama mempengaruhi, yang diterapkan oleh para pelaku perubahan untuk menimbulkan dampak pada sasaran perubahan. Ada tiga alternatif strategi : memaksa (power strategy), membujuk (persuasi), dan mendidik (edukasi).
Ada 2 peran pokok yang selalu tampil mewarnai setiap aktivitas dakwah. Pertama, sebagai kekuatan korektif terhadap penyimpangan yang terjadi. Kedua, sebagai penerus kesadaran masyarakat luas akan problema yang terjadi sehingga ia senantiasa melahirkan berbagai alternatif pemecahan.
Untuk mewujudkan segala apa yang kita cita-citakan itu tidak mungkin berjalan dengan sekejap saja atau seketika. Semua diawali dari hal-hal yang kecil (menurut Aa’ Gym lho). Maka itu paling tidak ada 3 hal yang harus kita lakukan, yaitu banyak membaca baik membaca tekstual maupun fenomena, berinstitusi (membentuk komunitas) karena sebuah kerja besar sangat berat untuk dikerjakan sendirian, dan pembiasaan (kulturisasi) sehingga orang lain akan mengikuti apa yang kita lakukan.
Untuk melakukan proses rekayasa sosial yang lebih besar di dunia masyarakat maka dibutuhkan energi dan perencanaan yang sangat matang, karenanya penataan internal di dalam sebuah gerakan itu sendiri dan juga upaya kaderisasi harus selalu menjadi prioritas pemikiran. Mulailah dari diri sendiri, mulailah sekarang ini, dan mulailah dari hal-hal yang kecil dengan senantiasa tidak melupakan senyum, salam, sapa, sopan, dan santun.
“Dakwah kita saat ini sangat membutuhkan kehadiran kelompok pemikir strategis. Generasi ‘ideolog’ telah melakukan tugas mereka dengan baik. Mereka telah membangun basis pemikiran yang kokoh bagi kebangkitan Islam di seluruh dunia. Kini tiba saatnya peran mereka dilanjutkan oleh generasi baru, generasi pemikir strategi yang bertugas menyusun langkah-langkah strategis untuk mencapai cita-cita dakwah.

A. Dakwah Sebagai Ajakan
Islam dan mereka membiarkan budaya asing untuk masuk ke tanah mereka dan konsep Barat untuk menduduki pikiran mereka. Mereka menolak ketika mereka meninggalkan kepemimpinan intelektual Islam, dakwah diabaikan dan aturan keliru. Oleh karena itu, umat Islam harus melanjutkan cara Islam jika mereka ingin kebangkitan (Nahdhah), Namun, mereka tidak akan dapat melanjutkan hidup dengan cara Islam kecuali mereka membawa dakwah Islam dengan membawa kepemimpinan intelektual Islam, dan mendirikan, dengan ini dakwah sebuah Negara Islam yang pada gilirannya akan membawa kepemimpinan intelektual Islam dengan melakukan panggilan Islam.
Harus dicatat bahwa membawa kepemimpinan intelektual dengan membawa dakwah Islam untuk menghidupkan kembali Muslim dilakukan karena Islam sendiri dapat reformasi dunia, dan kebangkitan sejati tidak dapat dicapai tanpa Islam, baik untuk Muslim atau orang muslim.
Hal ini pada dasarnya bahwa dakwah harus dilakukan..Dakwah harus dibawa ke dunia sebagai pemimpin intelektual dari semua sistem yang muncul, dan atas kepemimpinan ini semua pikiran dibangun, dan dari pemikiran tersebut akan muncul semua konsep bahwa pengaruh sudut pandang seseorang dalam hidup sangat beranika ragam.
Dakwah harus dilakukan hari ini seperti yang disampaikan di masa lalu dan harus melanjutkan sesuai dengan contoh Nabi (saw), tanpa penyimpangan sedikitpun dari metode. Tidak ada hal harus diberikan dengan perbedaan waktu, untuk perbedaan ini mencapai tidak lebih dari perubahan berarti (wasaail) dan bentuk (ashkaal). . Namun, hakikat dan realitas kehidupan tidak dan tidak akan berubah, terlepas dari berlalunya usia dan perubahan masyarakat dan tempat.
Dengan demikian, membawa dakwah tuntutan keterbukaan, keberanian, kekuatan pikiran dan menantang semua yang bertentangan dengan fikrah dan Tareeqah (ide dan metode) Islam dengan menghadapi dan memperlihatkan kepalsuan nya, tanpa melihat situasi dan konsekuensinya.
Membawa dakwah Islam memerlukan kedaulatan tertinggi (siyaadah) milik ideologi Islam, dan tidak terlepas dari apakah setuju atau tidak setuju dengan massa dan apakah mereka menerima atau menolaknya dan menentangnya, ataukah itu sesuai dengan masyarakat adat atau tidak.
C. Dakwah Sebagai Penyebaran Rahmat Allah
Keberhasilan agama Islam menjadi agama yang membumi dan menjadi kekuatan pembebas bagi umat manusia adalah karena metode-metode penyebaran yang dipakai oleh Nabi Muhammad dan para sahabatnya. Umumnya, sejarah agama-agama yang ada di dunia dalam menyebarkan ajarannya mempunyai kecenderungan untuk berwatak tirani mayoritas atau anarki minoritas. Maksudnya, bila paham yang mereka bawa menunjukkan angin segar penerimaan yang lumayan besar, maka biasanya agama baru itu akan langsung berusaha ingin mengubah segalanya dengan cepat.
Begitu juga sebaliknya, bila kecenderungan yang ada nampak terjadi penolakan, biasanya akan dilakukan perongrongan kekuatan dengan segala cara demi mencapai tujuannya. Akan tetapi, Islam di masa awal justru berusaha menyebarkan empati, menolong kaum lemah, berusaha mengakar ke masyarakat bawah, dan menjauhi pemaksaan dan penggunaan kekerasan.

Visi Rahmat
Dakwah, pada dasarnya adalah alat untuk memenuhi perintah Allah di atas. Menurut Ismail R. al-Faruqi, dakwah meliputi tugas mengajarkan kebenaran kepada mereka yang mengabaikan kebenaran, menyampaikan kabar baik tentang rahmat duniawi dan surga ukhrawi; dan memperingatkan tentang siksaan di hari akhirat dan tentang kesengsaraan di dunia ini (The Cultural Atlas of Islam, 1986). Al-Quran menyatakan bahwa pemenuhan perintah ini merupakan puncak kebajikan dan kebahagiaan. Nabi Muhammad juga memandang, bahwa misi dakwah ini sebagai kebajikan termulia, dan konsekuensinya menjadi Muslim merupakan sebaik-baik ibadah.
Dalam pengertian yang lebih luas, dakwah adalah upaya untuk mengajak seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) agar memeluk dan dan mengamalkan ajaran Islam ke dalam kehidupan sehari-hari. Dalam konteks ini, dakwah dapat dimaknai sebagai sarana pembangunan kualitas sumberdaya manusia, pengentasan kemiskinan, memerangi kebodohan dan keterbelakangan, serta mewujudkan agenda pembebasan. Dakwah juga bisa berarti penyerbarluasan rahmat Allah, sesuai misi Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin. Dengan begitu, dakwah merupakan proses untuk mengubah kehidupan manusia atau masyarakat dari kehidupan yang tidak islami menuju suatu kehidupan yang Islami.
Titik tuju dakwah Islam adalah memberi pengertian kepada umat Islam agar mengambil segala ajaran Allah yang terkandung dalam Kitab Al-Quran dan Sunnah Nabi sebagai pedoman jalan hidupnya. Ajaran Allah itu, menurut Sayyid Qutb, diintisarikan dalam surat al-Fatihah yang terdiri dari pedoman “aqidah” dan “syariah” atau dengan istilah yang lain bisa disebut “iman” dan “amal saleh” (Fiqh Da’wah, Maudhu’at fi ad-Da’wah wa al-Harakah, Beirut-Lebanon: Muassasah ar-Risalah, 1970).

Bentuk dan Cara

Al-Quran menampilkan ajaran aqidah (Iman) dan syariat (amal saleh) dalam berbagai bentuk dan bermacam cara. Adakalanya dengan bimbingan dan berita pahala, atau dengan peringatan dan berita siksa; adakalanya dengan pernyataan yang positif dan perbandingan-perbandingan yang mengandung ibarat; adakalanya disuruh aktif berdoa dan meminta; adakalanya dengan pemaparan sejarah manusia dan peristiwa masa lalu dalam hubungannya dengan pembinaan politik, ekonomi, dan sosial. Berdasarkan ajaran aqidah dan syariat seperti itu, maka tugas seorang Muslim bagi umat manusia lainnya adalah melakukan seruan dan ajakan menuju nilai-nilai keagamaan yang universal dengan strategi dan metode dakwah yang senantiasa diperbaharui. Dengan begitu, upaya perwujudan kerukunan umat beragama, harmoni Islam dan Barat, penciptaan perdamaian dunia, serta pemberadayaan masyarakat akan lekas tampak membentang di depan mata.
Dalam Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali menjelaskan tentang tingkatan-tingkatan dalam dakwah, khususnya nahi munkar. Pertama, memberi penerangan kepada orang yang hendak diubah perbuatannya, sebab adakalanya seseorang melakukan suatu kemunkaran itu dengan sebab tidak tahu atau kebodohannya, sehingga apabila setelah diberi tahu, mungkin sekali ia akan meninggalkannya. Kedua, melarang orang yang berbuat kemunkaran itu dengan memberi nasehat yang baik serta menakut-nakuti akan siksa Allah Swt. Ketiga, melarang dengan tegas, tetapi tetap harus menghindari kata-kata yang kasar (tidak sopan). Ini perlu dilakukan apabila dengan kelemahlembutan tidak membekas. Keempat, melarang kemunkaran dengan menggunakan kekuasaan. Cara ini dilakukan sebagai usaha terakhir. Misalnya dengan menggunakan tangan seperti membuang atau menuangkan arak, merusak alat yang digunakan untuk melakukannya yang dimiliki oleh orang yang berbuat itu atau menyingkirkan dirinya sehingga tidak dapat melakukan kemunkaran itu lagi.
Dalam tahap keempat di atas, Imam Ghazali melegalkan melakukan pengrusakan, tetapi dilakukan oleh aparat keamanan negara. Semua kegiatan pemusnahan fasilitas kemunkaran itu juga harus berdasarkan pertimbangan hukum yang diputuskan oleh aparat yang berwenang. Oleh sebab itu, Imam Ghazali memberikan batasan-batasan kesopanan yang harus dipenuhi oleh seseorang yang melakukan nahi munkar. Pertama, berilmu, ia mengetahui mana-mana kejadian atau peristiwa yang perlu di-amarmakruf-kan dan di-nahimunkar-kan. Kedua, wara’, hendaklah melarang orang yang melakukannya dengan niat semata-mata untuk agama dan memperoleh keridaan Allah Swt. Ketiga, berbudi baik, sehingga orang yang bertugas sedapat mungkin tetap menunjukkan sikap sopan, lemah lembut dan ramah kepada siapa pun, terutama orang yang hendak diinsafkan kesalahannya.

D. Dakwah Sebagai Pembebasan
Kondisi umat Islam dewasa ini sangatlah buruk sehingga akan membuat muslim siapa pun merasakan puncak keprihatinan dan kesedihan yang tiada tara. Umat Islam ditimpa kebodohan, kemiskinan, terpecah-belah, dan terjauhkan dari nilai-nilai Islam. Yang lebih memilukan lagi, sejak hancurnya Khilafah Utsmaniyah di Turki tahun 1924, negeri-negeri Islam dengan sendirinya menjadi Darul Kufur yang di dalamnya diterapkan hukum-hukum kufur yang dipaksakan secara kejam oleh para penjajah kafir dan antek-anteknya dari kalangan penguasa kaum muslimin.
Umat Islam setelah itu diharuskan menjalani kehidupan yang tidak Islami (al hayah ghair al islamiyah) setelah sebelumnya mereka mengecap kebahagiaan hidup dalam kehidupan Islam selama berabad-abad lamanya. Islam hanya tinggal sebagai agama ritual yang tak jauh beda dengan agama Nashrani dan agama-agama kafir lainnya. Para penjajah kafir berhasil melaksanakan kehendaknya untuk melakukan sekularisasi, yakni memisahkan agama dari kehidupan dan menjauhkan Islam dari kehidupan bernegara.
Melihat kondisi demikian, maka setiap insan yang memiliki kepekaan nurani dari kalangan umat ini, pasti akan merasakan keharusan adanya perubahan (taghyir) dalam segala hal untuk untuk menyelamatkan umat yang mulia ini dari cengkeraman kekufuran dan kaum kafir, menjauhkan mereka dari keterpecahbelahan, mempersatukan mereka kembali, serta menerapkan kembali Syariat Islam di tengah mereka sehingga umat ini kembali pada sifatnya yang asli yang telah diwajibkan Allah Azza wa Jalla baginya sebagai umat terbaik (khairu ummah) yang dilahirkan untuk seluruh umat manusia. Allah SWT berfirman dalam surat Ali-Imran 110.
Bahkan lebih dari itu, upaya perubahan yang dilakukan sebenarnya tak hanya terbatas untuk umat Islam, namun juga harus dilakukan untuk berbagai bangsa dan umat lain di dunia. Sebab yang sedang mengalami penderitaan sesungguhnya bukan umat Islam saja, melainkan juga umat manusia di seluruh dunia.
Maka dari itu, umat Islam yang mengimani Aqidah Islamiyah sebagai pemikiran menyeluruh tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan, sebagai aqidah siyasiyah (pemikiran dasar sebagai asas pengaturan segala urusan manusia), dan sebagai cara pandang tertentu terhadap kehidupan (wijhah an nazhar fi al hayah); wajib untuk mengambil tanggung jawab menyelamatkan dunia dan mengeluarkan dunia dari kegelapan menuju cahaya. Betapa tidak, umat Islam telah menyaksikan dunia seluruhnya telah jatuh dan dipaksa tunduk di bawah penindasan politik dan ekonomi kapitalisme, sehingga dunia tak merasakan apa pun selain penderitaan, penindasan, dan kehinaan.
Dengan demikian, meskipun umat Islam juga berada di bawah hegemoni itu, mereka tak boleh lagi hanya memikirkan nasibnya sendiri, sebab sikap egoisme (ananiyah) sesungguhnya sangat jauh dari aqidah yang mereka peluk serta merupakan hal yang asing dari prinsip mengutamakan orang lain yang mereka yakini. Karena itu, umat Islam wajib berpikir untuk menyelamatkan dunia (inqadz al ‘alam) sekaligus menyelamatkan dirinya sendiri. Mereka wajib memikul tugas membebaskan dunia (tahrir al ‘alam), bukan sekedar membebaskan dirinya sendiri saja. Sebab umat Islam adalah bagian integral dari dunia dan mereka diciptakan di alam kehidupan ini untuk menyampaikan hidayah Islam kepada umat manusia. Jadi setelah umat Islam memeluk Aqidah Islamiyah, wajib atas mereka untuk menyelamatkan umat manusia dari penderitaan, kezhaliman, penindasan, dan kehinaan. Firman Allah SWT : Qs. al-Anbiyaa’107
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

 dan al-Baqarah 143.
  وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا وَمَا جَعَلْنَا الْقِبْلَةَ الَّتِي كُنْتَ عَلَيْهَا إِلَّا لِنَعْلَمَ مَنْ يَتَّبِعُ الرَّسُولَ مِمَّنْ يَنْقَلِبُ عَلَى عَقِبَيْهِ وَإِنْ كَانَتْ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَانَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِالنَّاسِ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ
 dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan[95] agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa Amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. Umat Islam sebenarnya tidak hanya mampu bangkit secara benar, bahkan sebenarnya mampu untuk menjadi sumber kebaikan dan kebajikan bagi berbagai bangsa dan umat lain serta mampu mengemban pemikiran ini --Aqidah Islamiyah— sebagai sebuah Qiyadah Fikriyah (pemikiran dasar yang memandu pandangan hidup pemeluknya) dan cara pandang tertentu dalam kehidupan kepada seluruh manusia. Selanjutnya, umat ini mampu pula mengatasi masalah-masalah dunia dan menyelamatkan dunia dari keterperosokannya ke jurang penderitaan, kehinaan dan penindasan dengan cara mengemban dakwah Islam kepada berbagai bangsa dan umat. Namun demikian, upaya penyelamatan dunia itu tak akan terwujud sempurna kecuali dengan pembebasan umat Islam terlebih dahulu dari penindasan dan penjajahan kapitalisme yang membelenggu mereka. Dengan pembebasan umat ini, umat Islam akan dapat melanjutkan kembali kehidupan Islam (isti`naf al hayah al islamiyah) yaitu kembali mengamalkan Islam secara keseluruhan dalam aspek aqidah, ibadah, akhlaq, mu’amalat, sistem pemerintahan, sistem ekonomi, sistem pergaulan, politik luar negeri, dan lain-lain. Dalam kondisi ideal ini, umat akan dapat berkiprah dan berjuang secara sempurna mengemban dakwah Islam kepada berbagai bangsa dan umat dalam rangka melaksanakan penyelamatan dunia Akan tetapi pembebasan umat ini pun pada gilirannya tak akan terwujud sempurna kecuali dengan berdirinya negara Khilafah yang memikul kewajiban menerapkan Islam dan mengemban risalah Islam ke seluruh dunia dengan jalan dakwah E. Dakwah Sebagai Penyelamatan Dakwah juga berarti penyelamatan manusia dari berbagai hal yang mungkin timbul aatau yang telah terjadi yang merugikan manusia. Dakwah dalam pengertian pencegahan atau sering kali disebut dengan nahi munkar. Da'wah adalah usaha penyebaran pemerataan ajaran agama di samping amar ma'ruf dan nahi munkar. Terhadap umat Islam yang telah melaksanakan risalah Nabi lewat tiga macam metode yang paling pokok yakni da'wah, amar ma'ruf, dan nahi munkar, Allah memberi mereka predikat sebagai umat yang berbahagia atau umat yang menang . Adapun mengenai tujuan da'wah, yaitu: pertama, mengubah pandangan hidup. Dalam QS. Al Anfal: 24 di sana di siratkan bahwa yang menjadi maksud dari da'wah adalah menyadarkan manusia akan arti hidup yang sebenarnya. Hidup bukanlah makan, minum dan tidur saja. Manusia dituntut untuk mampu memaknai hidup yang dijalaninya. Kedua, mengeluarkan manusia dari gelap-gulita menuju terang-benderang. Ini diterangkan dalam firman Allah:
الر كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ 
"Inilah kitab yang kami turunkan kepadamu untuk mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada terang-benderang dengan izin Tuhan mereka kepada jalan yang perkasa, lagi terpuji." (QS. Ibrahim: 1) Urgensi dan Strategi Amar ma'ruf Nahi munkar Dalam Al-Qur'an dijumpai lafadz "amar ma'ruf nahi munkar" pada beberapa
tempat. Sebagai contoh dalam QS. Ali Imran: 104: "Hendaklah ada di
antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah
orang-orang yang beruntung". Hasbi Ash Siddieqy menafsirkan ayat ini:
"Hendaklah ada di antara kamu suatu golongan yang menyelesaikan urusan
dawah, menyuruh ma'ruf (segala yang dipandang baik oleh syara` dan
akal) dan mencegah yang munkar (segala yang dipandang tidak baik oleh
syara` dan akal) mereka itulah orang yang beruntung."
Dalam ayat lain disebutkan "Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan
bagi umat manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar dan beriman kepada Allah" (QS. Ali Imran: 110). Lafadz amar
ma'ruf dan nahi munkar tersebut juga bisa ditemukan dalam QS. At
Taubah: 71, Al Hajj: 41, Al-A'raf: 165, Al Maidah: 78-79 serta masih
banyak lagi dalam surat yang lain.
Bila dicermati, ayat-ayat di atas menyiratkan bahwa amar ma'ruf nahi
munkar merupakan perkara yang benar-benar urgen dan harus
diimplementasikan dalam realitas kehidupan masyarakat. Secara global
ayat-ayat tersebut menganjurkan terbentuknya suatu kelompok atau
segolongan umat yang intens mengajak kepada kebaikan dan mencegah dari
kejelekan. Kelompok tersebut bisa berupa sebuah organisasi, badan
hukum, partai ataupun hanya sekedar kumpulan individu-individu yang
sevisi. Anjuran tersebut juga dikuatkan dengan hadits Rasulullah: "Jika
kamu melihat umatku takut berkata kepada orang dzhalim, 'Hai dzhalim!',
maka ucapkan selamat tinggal untuknya."
Demikian juga dalam mengklasifikasikan suatu umat ke dalam derajat yang
serendah-rendahnya, Allah menggunakan eksistensi amar ma'ruf nahi
munkar sebagai parameter utama. Allah Swt. berfirman: "Telah dila'nati
orang-orang kafir dari Bani Isra'il melalui lisan Daud dan Isa putera
Maryam. Yang demikian itu disebabkan mereka durhaka dan selalu tidak
melarang tindakan munkar yang mereka perbuat." (QS. Al Maidah 78-79).
Dari sinipun sebenarnya sudah bisa dipahami sejauh mana tingkat
urgensitas amar ma'ruf nahi munkar.
Bila kandungan ayat-ayat amar ma'ruf nahi munkar dicermati, -terutama
ayat 104 dari QS. Ali Imran- dapat diketahui bahwa lafadz amar ma'ruf
dan nahi munkar lebih didahulukan dari lafadz iman, padahal iman adalah
sumber dari segala rupa taat. Hal ini dikarenakan amar ma'ruf nahi
munkar adalah bentengnya iman, dan hanya dengannya iman akan
terpelihara. Di samping itu, keimanan adalah perbuatan individual yang
akibat langsungnya hanya kembali kepada diri si pelaku, sedangkan amar
ma'ruf nahi munkar adalah perbuatan yang berdimensi sosial yang
dampaknya akan mengenai seluruh masyarakat dan juga merupakan hak bagi
seluruh masyarakat.
Hamka berpendapat bahwa pokok dari amar ma'ruf adalah mentauhidkan
Allah, Tuhan semesta alam. Sedangkan pokok dari nahi munkar adalah
mencegah syirik kepada Allah. Implementasi amar ma'ruf nahi munkar ini
pada dasarnya sejalan dengan pendapat khalayak yang dalam bahasa
umumnya disebut dengan public opinion, sebab al ma'ruf adalah apa-apa
yang disukai dan diingini oleh khalayak, sedang al munkar adalah segala
apa yang tidak diingini oleh khalayak. Namun kelalaian dalam ber-amar
ma'ruf telah memberikan kesempatan bagi timbulnya opini yang salah,
sehingga yang ma'ruf terlihat sebagai kemunkaran dan yang munkar tampak
sebagai hal yang ma'ruf.
Konsisnten dalam ber-amar ma'ruf nahi munkar adalah sangat penting dan
merupakan suatu keharusan, sebab jika ditinggalkan oleh semua individu
dalam sebuah masyarakat akan berakibat fatal yang ujung-ujungnya
berakhir dengan hancurnya sistem dan tatanan masyarakat itu sendiri.
Harus disadari bahwa masyarakat itu layaknya sebuah bangunan. Jika ada
gangguan yang muncul di salah satu bagian, amar ma'ruf nahi munkar
harus senantiasa diterapkan sebagai tindakan preventif melawan
kerusakan. Mengenai hal ini Rasulullah Saw. memberikan tamsil:
"Permisalan orang-orang yang mematuhi larangan Allah dan yang
melanggar, ibarat suatu kaum yang berundi di dalam kapal. Di antara
mereka ada yang di bawah. Orang-orang yang ada di bawah jika hendak
mengambil air harus melawati orang-orang yang ada di atas meraka.
Akhirnya mereka berkata 'Jika kita melubangi kapal bagian kita, niscaya
kita tidak akan mengganggu orang yang di atas kita'. Jika orang yang di
atas membiarkan mereka melubangi kapal, niscaya semua akan binasa.
Tetapi jika orang yang di atas mencegah, maka mereka dan semuannya akan
selamat."
Suatu kaum yang senantiasa berpegang teguh pada prinsip ber-amar ma'ruf
nahi munkar akan mendapatkan balasan dan pahala dari Allah Swt. yang
antara lain berupa:
1. Ditinggikan derajatnya ke tingkatan yang setinggi-tingginya (QS. Ali Imran: 110).
2. Terhindar dari kebinasaan sebagaimana dibinasakannya Fir'aun beserta
orang-orang yang berdiam diri ketika melihat kedzalimannya.
3. Mendapatkan pahala berlipat dari Allah sebagaimana sabda Nabi Saw.:
"Barangsiapa yang mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mendapatkan
pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat,
tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun".
4. Terhindar dari laknat Allah sebagai mana yang terjadi pada Bani
Isra'il karena keengganan mereka dalam mencegah kemunkaran. (QS.
Al-Maidah: 78-79).
Secara prinsipil seorang Muslim dituntut untuk tegas dalam menyampaikan
kebenaran dan melarang dari kemunkaran. Rasul Saw. bersabda: "Barang
siapa di antara kamu menjumpai kemunkaran maka hendaklah ia rubah
dengan tangan (kekuasaan)nya, apabila tidak mampu hendaklah dengan
lisannya, dan jika masih belum mampu hendaklah ia menolak dengan
hatinya. Dan (dengan hatinya) itu adalah selemah-lemahnya iman". Hadits
ini memberikan dorongan kepada orang Muslim untuk ber-amar ma'ruf
dengan kekuasaan dalam arti kedudukan dan kemampuan fisik dan kemampuan
finansial. Amar ma'ruf dan khususnya nahi munkar minimal diamalkan
dengan lisan melalui nasihat yang baik, ceramah-ceramah, ataupun
khutbah-khutbah, sebab semua. Muslim tentunya tidak ingin bila hanya
termasuk di dalam golongan yang lemah imannya.
Da'wah dan amar ma'ruf nahi munkar dengan metode yang tepat akan
menghantarkan dan menyajikan ajaran Islam secara sempurna. Metode yang
di terapkan dalam menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar tersebut
sebenarnya akan terus berubah-ubah sesuai dengan kondisi dan situasi
masyarakat yang dihadapi para da'i. Amar ma'ruf dan nahi munkar tidak
bertujuan memperkosa fitrah seseorang untuk tunduk dan senantiasa
mengikuti tanpa mengetahui hujjah yang dipakai, tetapi untuk memberikan
koreksi dan membangkitkan kesadaran dalam diri seseorang akan kesalahan
dan kekurangan yang dimiliki.
Ketegasan dalam menyampaikan amar ma'ruf dan nahi munkar bukan berarti
menghalalkan cara-cara yang radikal. Implementasinya harus dengan
strategi yang halus dan menggunakan metode tadarruj (bertahap) agar
tidak menimbulkan permusuhan dan keresahan di masyarakat. Penentuan
strategi dan metode amar ma'ruf nahi munkar harus mempertimbangkan
kondisi sosial masyarakat yang dihadapi. Jangan sampai hanya karena
kesalahan kecil dalam menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar justru
mengakibatkan kerusakan dalam satu umat dengan social cost yang tinggi.
Dalam menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar hendaknya memperhatikan
beberapa poin yang insya Allah bisa diterapkan dalam berbagai bentuk
masyarakat:
1. Hendaknya amar ma'ruf nahi munkar dilakukan dengan cara yang ihsan
agar tidak berubah menjadi penelanjangan aib dan menyinggung perasaan
orang lain. Ingatlah ketika Allah berfirman kepada Musa dan Harun agar
berbicara dengan lembut kepada Fir'aun (QS. Thaha: 44).
2. Islam adalah agama yang berdimensi individual dan sosial, maka
sebelum memperbaiki orang lain seorang Muslim dituntut berintrospeksi
dan berbenah diri, sebab cara amar ma'ruf yang baik adalah yang
diiringi dengan keteladanan.
3. Menyampaikan amar ma'ruf nahi munkar disandarkan kepada keihklasan
karena mengharap ridla Allah, bukan mencari popularitas dan dukungan
politik.
4. Amar ma'ruf nahi munkar dilakukan menurut Al-Qur'an dan Al-Sunnah,
serta diimplementasikan di dalam masyarakat secara berkesinambungan.
Dalam menyampaikan da'wah amar ma'ruf nahi munkar, para da'i dituntut
memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi, baik kepada Allah maupun
masyarakat dan negara. Bertanggung jawab kepada Allah dalam arti bahwa
da'wah yang ia lakukan harus benar-benar ikhlas dan sejalan dengan apa
yang telah digariskan oleh Al Qur'an dan Sunnah. Bertanggung jawab
kepada masyarakat atau umat menganduang arti bahwa da'wah Islamiyah
memberikan kontribusi positif bagi kehidupan sosial umat yang
bersangkutan. Bertanggung jawab kepada negara mengandung arti bahwa
pengemban risalah senantiasa memperhatikan kaidah hukum yang berlaku di
negara dimana ia berda'wah. Jika da'wah dilakukan tanpa mengindahkan
hukum positif yang berlaku dalam sebuah negara, maka kelancaran da'wah
itu sendiri akan terhambat dan bisa kehilangan simpati dari masyarakat.


F. Dakwah Sebagai Upaya Membangun Peradaban
Seperempat abad sudah umat Islam melewati abad 15 yang awalnya
dipandang sebagai kebangkitan kembali Islam. Berharap kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, pertumbuhan ekonomi yang signifikan lantaran
petro dolar, umat Islam di mana-mana justru semakin terpinggirkan dan
mengkhawatirkan. Hampir tidak ada prestasi yang membanggakan, padahal
pada awal abad baru umat Islam diharapkan dapat memberikan andil yang
besar dalam menghadapi krisis global dengan akibat-akibat yang tak
terbayangkan seperti; terorisme, krisis ekonomi, pencemaran lingkungan
hidup dan krisis moralitas.
Situasi internal umat Islam juga amat memprihatinkan, dimulai dari
krisis epistemologis, yakni memudarnya kesadaran umat untuk memahami
ajaran-ajaran normatif secara kontekstual. Menghadapi
perubahan-perubahan yang amat cepat, umat masih menyandarkan diri pada
beban sejarah masa lalu. Seolah-olah masa kini dan masa depan tidak
menyediakan jawaban bagi persoalan yang dihadapi. Karena itu
cendekiawan muslim seperti Muhammad Arkoun, M. Abid Al Jabiri atau
Hasan Hanafi, mengindentifikasi krisis kesadaran ini sebagai kegagalan
memaknai Islam secara autentik.
Dengan kata lain umat Islam gagal merespons perubahan dengan berangkat
dari ajaran Islam yang substantif dan pengalaman kebudayaan Islam
sendiri. Padahal, konsep dan ajaran Islam baik secara teologis maupun
metodologis masih tetap memiliki relevansi untuk menjawab dan
memecahkan masalah. Ijtihad atau rethinking ajaran Islam dengan cara
memahami sumber-sumber autentik Islam dan mendialogkannya dengan
perubahan-perunahan.
Umat Islam yang sekarang sedang sakit, dimasukkan ke rumah sakit
peradaban Barat untuk minta disembuhkan. Tetapi disembuhkan dari
penyakit apa dan dengan obat apa? Sungguh sebuah pernyataan dan
pertanyaan yang sangat tepat dan sekaligus kritik terhadap para
pengikut setia pengagum pandangan hidup dan sekaligus gaya hidup Barat.
Penyakit itu bernama kebodohan dan kemiskinan, tetapi fakta tersebut
diletakkan dalam kerangka teologis. Penyakit tersebut tidak mungkin
disembuhkan dengan sekularisasi, tidak pula dengan humanisme atau
isme-isme yang lain. Oleh karena itu, obat yang diperlukan adalah
bersifat teologis untuk membangun kembali pendidikan dan ekonomi umat,
yakni konsep Islam yang bersumber kepada ajaran, wahyu dan ra’yu.
Membangun kembali peradaban Islam mesti berangkat dari paradigma dan
model ideal realitas sosial dan idealisme wahyu dan ra’yu tersebut.


DAFTAR PUSTAKA
Rakhmat, Jalaluddin, Rekayasa Sosial, Bandung, Remaja Rosdakarya, 2000
Sanit, Arbi, Pergolakan Melawan Kekuasaan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1999


1 komentar:

  1. Kita menghendaki kebangkitan yang tidak terbatas pada ibadah dan perbuatan mandub saja. Akan tetapi, kita menghendaki kebangkitan atas hukum-hukum Islam keseluruhan baik dalam pemerintahan, politik, ekonomi, sosial, hubungan luar negeri, tsaqafah dan pendidikan, politik dalam negeri dan luar negeri dan dalam seluruh urusan umat, baik secara individu, kelompok maupun negara, sebagaimana Rasulullah Saw. dan para Shahabat.

    BalasHapus